Anda di halaman 1dari 8

TADULAKO DARI SULAWESI TENGAH

MATINYA SANG TADULAKO SEHIMPUN CERITA RAKYAT DARI SULAWESI TENGAH

inilah kisah panglima perang yang tak pernah terkalahkan dalam berbagai peperangan di “Bumi
Tadulako” zaham dahulu. Kesaktian yang dimiliki membuat lawan-lawannya tak berkutik dan ia
berhasil membebaskan Tanah Lore, negeri Poso dari penaklukan suku-suku lainnya. Alkisah
zaman dahulu, negeri Bada selalu mendapat serangan dari orang-orang Baebunta (wilayah
Luwu, Sulawesi Selatan), maka atas kedidkdayaan seorang Tadulako dari Behoa, berhasil
mengusir penyerang dari baebunta.

Sejak itulah sang Tadulako dikenal sebagai kesatria, karena jasa-jasanyalah sehingga negeri
Bada tidak pernah diserang suku-suku lainnya. Bahkan berhasil menciptakan perdamaian
setelah terjadi perjanjian damai dengan lawan-lawannya. Namun dalam pengembaraan cinta,
Sang Tadulako tak berdaya ketika seorang wanita (kekasih yang dikhianati) menumbuknya
dengan alu. Tadulako yang perkasa di medan perang itu akhirnya mati tragis di tanah yang
dibebaskan. Hanya seorang wanita yang mampu merobohkannya.

Beberapa cerita tanah tadulako

MPOLENDA YANG TERKUTUK: Mpolenda seorang pemimpin otoriter yang sulit dikalahkan
dalam peperangan, sehingga bertindak sewenang-wenang menguasai segala sumber ekonomi.
Selain sombong dan takabur, juga menganggap dirinya paling berkuasa. Akhirnya Mpolenda
bersama istri dan anaknya mendapat kutukan jadi patung megalit. Sampai sekarang patung
tersebut dapat dilihat di Desa Wanga Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.

GADIS KULAVI DALAM POHON: Perburuan yang dilakukan Sadomo, pemuda dari tanah Kaili
sampai ke dataran Kulavi membuatnya tersesat di tengah hutan. Meskipun tidak mendapatkan
binatang buruan, tapi seorang gadis cantik keluar dari dalam pohon yang kemudian dijadikan
istri dan menjadi asal-usul suku Kulavi di Kabupaten Sigi.

TUMBAL DI PULAU PELING: Berawal dari musim paceklik, mengakibatkan Baku putra
seorang pemimpin adat meninggal dunia. Tetapi kemudian dari dalam kuburnya tumbuh ubi
besar yang kemudian menjadi sumber makanan pokok di Pulau Peling, Kabupaten Banggai
Kepulauan. Konon itulah asal mula adanya Ubi Banggai yang dipercaya sebagai jelmaan dari
manusia.

TRAGEDI YAMAMORE: Yamamore putri seorang Raja Towale melarikan diri dari istana demi
menghindari perkawinan paksa. Dalam pelariannya, ia bersembunyi dengan cara
mencemplungkan diri ke dalam telaga air asin. Maka sejak itulah Yamamore menghilang dan
tempatnya dinamai pusat laut atau Pusentasi.

PERANG MAHADIYAH: Berawal dari keinginan Sang Pelaut menaklukkan Negeri Dampelas,
akhirnya terjadi perlawanan dari Mahadiyah. Peperangan pun terjadi hingga telaga yang
dijadikan area pertarungan kemudian menjadi Danau Dampelas di Desa Talaga.

SANG PUTRI DAN BENGGA BULA: Putri cantik dari Tanah Kaili diasingkan karena terserang
penyakit cacar di tubuhnya. Dalam pengasingan itulah ia dikejar dan dijilat seekor Bengga Bula
(kerbau putih), sehingga kulitnya sembuh. Sejak itu pula pihak raja dan keturunannya pantang
makan daging kerbau putih.

PERKELAHIAN LABOLONG DENGAN LINDU: Berawal perkelahian Labolong (seeokor anjing


raksasa) dengan Lindu (belut raksasa) di sebuah telaga kecil, akhirnya air meluap menjadi
danau. Tempat tersebut kemudian dinamai Danau Lindu yang dalam bahasa setempat Lindu
berarti belut.

LEGENDA SANG PALINDO: Patung megalit Palindo atau Molindo di Padang Sepe, dataran
tinggi Bada yang mengisahkan tentang tokoh perlawanan terhadap serangan dari Kerajaan
Luwu. Konon Palindo yang bentuk miring dengan tangah mengarah ke kelaminnya itu
menunjukkan simbol persatuan orang Bada zaman dahulu tak mau ditaklukkan.

CERITA TENTANG KUCING KERAMAT: Seekor kucing menyelam ke dalam telaga mengambil
jarum milik Sang Putri yang jatuh. Akibatnya, kucing itu basah kuyub dan tak lama kemudian
hujan deras dan banjir datang sehingga terbentuklah sebuah danau besar. Dalam mitologi
beberapa suku di Sulawesi Tengah, kucing masih disakralkan tidak boleh disakiti atau disiram
karena dipercaya akan menimbulkan bencana.

PETUALANGAN SAWERIGADING DI KERAJAAN SIGI:

Saat akan dilakukan perlagaan ayam milik sang pelaut Sawerigading dengan ratu Ngilinayo,
tiba-tiba terjadi gempa dahsyat. Memporak-porandakan negeri Lembah Kaili membuat kapal
Sawerigading hancur dan banjir bandang tiba dan tanah longsor menimbun laut teluk Kaili
menjadi lembah.
SEJARAH LEMBAH PALU

Suku kaili adalah suku yang mendiami lembah palu. Atau bisa disebut juga sebagai suku
asli lembah palu. Masyarakatsuku ini mendiami sebagian besar wilayah sulawesi tengah meliputi
Kota Palu, Wilayah kabupaten Donggala, Kabupaten Kulawi, Parigi dan Ampana, Sebagian
Kabupaten poso dan sejumlah kecil mendiami kabupaten lainnya seperti Kabupaten Buol dan
kabuaten Toli-toli. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata kaili, salah
satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku orang palu ini berasal dari nama
pohon dan buah kaili, yang umumnya tumbuh dihutan-hutan dikawasan daerah ini. Penulis
belum pernah membaca penelitian tentang khasanah budayah daerah ini dalam suatu karya
ilmiah yang komprehensif mengenai budaya dan tradisi masyarakat ini. Tapi paling tidak
berdasarkan pengalaman, penulis dapat mengungkapkan bahwa Bahasa Kaili yang menjadi
bahasa dimasyarakat ini sangatlah unik dan banyak ragamnya. Misalnya bahasa kaili ledo oleh
masyarakat palu, kaili edo bagi masyarakat watunonju, Kaili inja bagi masyarakat Bora, Kaili
Tara untuk masyarakat Lasoani, Kaili Ija untuk masyarakat Lambara, Kaili ado untuk masyarakat
Pakuli….dan masih banyak lagi …….

Kawasan Lembah Palu dan sekitarnya beberapa abat yang lampau merupakan dataran air sungai
Palu, dan merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri has kebudayaan dan pemerintahan.

Adat hidup dinegeri ini khusus lemba Palu saat ini kecamatan Palu Timur dan Palu Barat,
minus kelurahan Tondo, Petobo, dan kecamatan Marawola adalah kerajaan Palu yang dahulu
masuk dalam lingkungan kerajaan Gowa.

Kerajaan Palu yang terletak di dataran sungai Palu didirikan seorang pangeran yang
berasal dari “MARIMA” diatas Poboya yang bernama “Pue Nggari”. Pue Ngari bersama rakyat
turun dari “Marima” dan tinggal beberapa lama di “Pantosu”, dan setelah itu pindah lagi di
Valangguni kemudian pindah lagi dilokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke
“Pandapa” nama sekarang ini Besusu.

Setelah tinggal dibesusu dibuatlah Istana untuk Pangeran yaitu Pue Nggari dan tempatnya
dibuat dari bahan tanah disusun secara tinggi dan bertingkat. Setelah dibuatkan Istana di Besusu
Pue Nggari kawin lagi dengan Pue Puti dari Dolo, Pue Putih ini, saudara dari Penguasa dolo
yang di sebut pada waktu itu “Bulanggo”

Pue Nggarai mempunyai tiga orang putera dan dua orang puteri yang berada di Palu yaitu :
Putera :
– Lasamaingu
– Pue Songu dan
– Andi Lana
Puteri
– Yenda Bulava dan
– Pue Rupiah,
Tidak lama Pue Nggari mendiami Lemba Palu kemudian di ikuti keluarganya dari “Malino”
yaitu :
– Rombongan Yantakalena turun dan mendiami Kayu Malue
– Rombongan Pue Voka turun dan mendiami Vatu Tela
– Rombongan Pue Nggari turun dilokasi penggaraman nama saat ini, dan kemudian
mendiami Besusu.

Dilokasi penggaraman ini digalilah sumur oleh seorang keluarga Pue Nggari yang bernama
“Rasede”, sumur inilah yang diberi nama “Buvu Rasede” sampai sekarang.

– Rombongan dari Bulili, Gunung Gawalise dan sekitarnya turun langsung ke “Tatanga”
di bawah kepala suku bernama “Raliangi”, kemudian langsung mendiamai bulava dan
Penggeve tidak lama kemudian terus kesiranindi.

PERISTIWA BERSEJARAH

Setelah seluruh persyaratan dari Sombarigowa diterima Pue Nggari maka diadakanlah sebagai
berikut :

– Pengislaman terhadap Pue Nggari bersama keluarganya yang dilaksanakan oleh Dato
Karama dengan istilah “PoVonju Tevo”

Keluarga-keluarga bangsawan yang turut di islamkan sebagai berikut :


– Vua Pinano isteri dari Pue Nggari
– Lasamaingu
– Andi lana bersama isteri dari Tatanga
– Pue Songu tidak mau di Islamkan
– Yenda Bulava , suaminya tidak mau di Islamkan dan tidak menerima agama Islam.
– Pue Rupiah yang dikenal dengan Pue Sese
– Keluarga dari labunggulili keturunan Dari silalangi. Serta di Islamkan juga Pue Njidi yang
Berkedudukan Panggewe.

Setelah persyaratan dari somba ri gowa di penuhi semuanya Palu di Proklamirkan sebagai
kerajaaan yang berdiri sendiri.

Sesudah terlepas dari kekuasaan somba ri gowa tapi yang dipertahankan adalah :
Kalau Gowa menjadi Rusuh maka palu menjadi Susah, kalau Palu tidak dapat menyelesaikan
masalah di ujung pandang kapasana.maka disusunlah Pemerintahan sebagai berikut :
– Magau adalah Pue Nggari
– Madika Malolo dari keluarga Silalangi
– Madika Matua tetap dipegang keluarga dibesusu
– Baligau keluarga madika Tatanga
SEJARAH KERAJAAN PALU
Panjaroro (Pue boNgo) putra dari mbulava lemba pangeran dari bangga. Kawin dengan
yenda bulava. Yenda Bulava puteri pue nggari, magau pertama yang di islamkan pertama dato
karama bersama pemberian payung kerajaan dari Sulawesi Selatan.
Hasil perkawinan pebolai dengan adik magau dolo (pue Puti) pue putih dibuatkan istana
di tangga banggo. Di istana inilah panjororo dilahirkan. Pue inggari pangeran dari besusu yang
menerima payung kerajaan dari Sulawesi Selatan. Adapun Payung kerajaan yang ada dilemba
kaili masing masing :
– Payung kerajaan palu berasal dari Gowa yang diBawah Dato Karama diterima pue nggari di
besusu pada akhir abad ke 19. payung kerajaan dibawah ketatanga.
– Payung Kerajaan Dolo bersal dari bone dibawah Manuraja diterima oleh sumba lemba di
palu, kemudian diteruskan sumba Bulava di Dolo pada waktu itu berkedudukan di Bodi,
sumba bulava pangkatnya magau.
– Payung kerajaan Sigi berasal dari Luwu di bawah oleh Towiwa, kemudian towiwa kawin
dengan bakulu, hasil perkawinan dengan bakulu melahirkan saera dan tandalabua, mereka
inilah menurunkan raja raja sigi dan tavaili. Towiwa ini berpangkat Capita pada waktu itu
pusat kerajaan sigi berpusat sigimpu.
– Puenggari mempunyai dua orang isteri antara lain isteri pertama dari Bulu Masomba di
bawah keistana besusu.
– Isteri Nibolai Berasal dari Dolo tinggal di Tangga banggo.
Dilemba kaili pada saat itu ada dua persekutuan yaitu Rantempanau yang terdiri kerajaan Palu
dibawah Pimpinan Pue Sese
Kerajaan Dolo dibawah Pimpinan Pue Boga dan Rantempandake yang terdiri dari kerajaan sigi
dan Tavaeli pada saat itu dipimpin oleh “Tomai Bakulu”.
Atas perkawinan pue nggari dengan pue putih madika dolo lahir dua orang puteri yaitu
1. bulava
2. Daesana
Pue puti semasa kawin dengan Pue Nggari menempati Istana Tangga Banggo. Istana ini
ditempati juga oleh Yendabulava, Yendabulava dikawini oleh bangsawan dari bangga yang
bernama Mbulawa lemba.Dan hasil perkawinan Yendabulawa dengan Bulawa Lemba lahir
seorang putera bernama “Panjaroro” yang dikenal dengan nama “Pue Bongo”.
“Daesana” dikawini oleh bangsawan dari “Tavaili”,
Panjoro yang disebut sekarang dengan nama “Pue Bonggo” yang berjasa meluaskan kerajaan
palu.
Esepansi Panjaroro, kesebelah barat sampai dengan tanah kasolowa yaitu di Sorodu melahirkan
seorang putera bernama “Tiro lemba”.
Mbangejo Lemba kawin dengan Daeng Mangipi Madika “Bulanggo Dolo”, hasil perkawinan
Mbangejo Lemba dengan Daeng Mangipi Lahir seorang anak bernama Yaruntasi. Yaruntasi
inilah diangkat sebagai Magau Dolo yang ke 4.
Panjororo juga kawin di Labuan dan anak dari labuan kawin dengan Makagera (Pue Lemba)
Melahirkan Jalalemba, Limuintan (Madika Randalabuan) kemudian kawin lagi di Maboro dan
Palu.
Setelah panjaroro meluaskan kerajaan Palu kemudian bergerak ke utara sampai kebuol. setelah
tiba di buol Panjororo (Pue Bonggo) tinggal puluhan tahun di Buol
Setelah puluhan tahun di buol kerajaan Palu diserang dari arah timur dan selatan oleh kerajaan
Sigi kecuali ibu kota kerajaan tidak diserang yaitu Besusu dengan diplomasi Sigi dari Magau
Mombine.
Setelah rombongan Pue Sese dan Pue Bongo tiba di Palu dibuatlah serangan pembalasan
terhadap kerjaan Sigi kemudian Pue Sese dan Pue Bongo mengatur persiapan pasukan untuk
serangan balasan. Pasukan yang disiapkan terdiri dari :
Pasukan dari Dombu / Gunung Gawalise dibawah pimpinan Bangsawan Pindagi dari Bangga.
Panjororo juga ikut berperang langsung sebagai penanggung jawab.
Pue Indate Ngisi dan Pue Mpero sebagai panglima perang.
Pasukan terbagi dua masing masing dibawah pimpinan Puempero dan Pue Ndatengisi, setelah
siap semua persiapan serangan balasan serangan dilaksanakan pada waktu sigi mengadakan
“Salia Madika “ pesta raja
Pasukan Pue Ndatengisi menyerang dari arah timur, Pasukan Pue Mpera menyerang dari arah
barat yaitu dari dolo. Kecuali ibu kota kerajaan sigi tidak diserang.
Pasukan dari Palu mengobrak-abrik Pasukan Sigi yang berada di Vatunonju dan Bora.
Rakyat dari Vatu Nonju bernama Lolu di jadikan tawanan perang kemudian di bawah ke Palu.
Dan sebagian tinggal di Biromaru, dan rakyat berasal dari Sigi tinggal di Palu kemudian diberian
tempat tinggal yang baru yaitu karena mereka berasal dari Sigi.
Setelah Panjororo membawa kemenangan melawan pasukan sigi maka diadakan beberapa isi
perjanjian :
1. Diadakan upacara Notiro Uve yaitu upacara sumpah setia mengeluarkan Batu Putih yang
diambil dari Sigi pada muara sunggai Palu dengan sumpah setia berbunyi : “Meumbapa Vatu
Puti Hie pade Mahancuru Tanah Nupalu”
2. Diadakan pemindahan ibukota kerajaan dari besusu keserang sungai Palu bagian barat.
3. Magau kedua yaitu Pue Sese mengadakan Manjingge Toru artinya melepaskan dan
menyerahkan Kaogea
4. Panjororo Akan dikawinkan dengan Puteri dari siralangi yang bernama Buse Mbaso,
tindakan angka 2, 3, dan 4 disebut diatas dilaksanakan secara damai.
Setelah pue Sese menyerahkan jabatan magau kepada panjaroro Yang disebut saat ini Pue Bongo
yaitu dengan acara Panjingge Toru ibu kota kerajaan dipindahkan dari besusu kebesusus kota
yang sekarang disebut Kelurahan Baru. Maka terjadilah hal sebagai Berikut :
1. Panjororo yang disebut Pue Bonggo dan keturunannya berhak menduduki tahta Magau
Palu dengan Bulanggo
2. Labunggulili dan dinastinya menduduki jabatan sebagai madika malolo Palu
3. Keturunan Pue Sese beserta dinastinya akan menjadi Madika Matua Palu.
4. Labunggulimu dan dinastinya menjadi Baligau Palu.

Hal-hal tersebut diatas hasil perjanjian / sumpah setia agar tidak terjadi perebutan kekusaan
dikerajaan Palu. Setelah Panjororo tinggal di Besusu Busi Mbaso dari hasil perkawinannya lahir
seorang anak bernama Malasigi.
Malasigi inilah menggantikan ayahnya sebagai magau kedua untuk kerajaan Palu. Malasigi
mempunyai yang diakui oleh kerajaan yaitu seorang berkedudukan dibesusu dan seorang lagi
berkedudukan di Panggona (Kel. Lere) saat ini.
Yajibose salah seorang bangsawan yang berpengaruh kuat di dolo. dan siapa yang berhak
menggantikan Yaruntasi, apakah Pue Bengge atau Yanuraja atau Putra dari Yajibose. dan untuk
menyelesaikan masalah ini diadakan musyawarah dikerajaan antara kerajaan Dolo dengan
kerajaan Palu dipimpin oleh Madika Matua dari Besusu dan hasil musyawarah yaitu dibuatkan
baruga lima di kaleke baruga 7 di dolo.
1. Saudara dari yanu raja bernama Satimanuru dikawinkan dengan Jalalolu (pue langgo)
2. Saudara dari Pue Bengge bernama Pue mbaso dikawinkan dengan Lasambili
3. Para Bangsawan Masing Masing mEnerima upeti yang sama
4. anak dari pue mbaso dan lasambili setelah besar akan berkedudukan dikerajaan dolo.

Isteri dari besusu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Dewa. Isteri dari panggona
ini keturunan dari Silalangi kemudian lahir seorang anak lakilaki bernama Lamakaraka
(Tondate Dayo).

Legenda sang “Tadulako”

Dari sekian banyak hasil peninggalan masa Megalitik di Behoa, ada sebuah patung peninggalan
purba yang menunjukkan patung manusia tegak lurus dengan langit, tingginya 2 meter. Patung
itu memiliki energi secara kultural dan filosofi bagi etnis Kaili, Kulawi, Napu, Behoa, Bada,
Mori dan Pamona di Sulawesi Tengah. Secara arkeologi dan antropologi dari peninggalan
Megalitik tersebut menjadikan penelusuran awal untuk memahami asal-usul istilah Tadulako
yang menjadi legenda. Bagi masyarakat, Tadulako melambangkan pemimpin perang yang penuh
kharisma, ksatria, perkasa, adil, dan bijaksana. Di sekitar patung Tadulako terdapat dua buah
Kalamba yang berukuran besar, satu terbuka dan satunya tertutup.
Kalamba yang terbuka berisi air hujan, sedang yang tertutup tidak diketahui isi dalamnya
karena materi batu yang sangat berat hingga tidak pernah dibuka. Sehingga semakin menambah
misteri apa yang terdapat di dalamnya, kecuali beberapa kalamba tanpa penutup di ekitar
Lembah Behoa sudah diketahui, diantaranya berupa tulang-tulang manusia yang pada tahun 2000
tulang-tulang tersebut di bawa ke Jakarta oleh tim peneliti kepurbakalaaan.
Tadulako adalah ksatria yang jasa-jasanya menyatukan suku-suku yang dulunya bertikai
kini menjalin kekerabatan. Oleh masyarakat Behoa dibuatlah Patung Megalit Tadulako di bukit
Bulili, Desa Doda Kecamatan Lore Tengah.
Tadulako secara harfiah adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin karena keberanian dan
kepahlawanan membela tanahnya.
Alkisah, di Desa Doda hidup suami istri yang cukup lama belum dianugrahi anak,
dengan doa dan takdir cinta mereka dikaruniai seorang putra. Mereka memberinya nama
Lengkatuwo. Lengka artinya purnama dan tuwo artinya hidup. Bila dipadankan dua kata tersebut
bermakna hidup sempurna. Lengkatuwo ini adalah nama lain dari Tadulako.
Waktu demi waktu berlalu Tadulako beranjak dewasa berbagai ilmu kanuragan, beladiri,
menombak dan memanah ia kuasai dengan detil. Keahliannya itu cepat tersebar ke berbagai
kampung. Suatu waktu, ia diundang untuk membantu suku Bada menghadapi serangan orang-
orang Waebonta di wilayah Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelum berangkat ke medan perang,
ibunya berpesan bila selesai tugas cepat pulang, sebab tunangannya sudah menunggu di tanah
kelahiran.
Tadulako melawan para musuhnya diakhiri dengan kemenangan demi kemenangan.
Bahkan perdamaianpun terjalin, sehingga orang Bada merasa berhutang budi padanya. Ia diminta
untuk menikahi putri raja yang jelita dan menetap di Bada. Dilema terjadi dalam diri Tadulako.
Namun ia putuskan untuk menerima pinangan itu.
Suatu hari tadulako bersama istrinya yang hamil pulang ke Behoa. Kedatangannya
dijemput dengan upacara kebesaran sebagai ksatria perang, meski demikian orangtuanya kecewa
terlebih sang kekasih yang sudah lama menunggu. Beberapa waktu kemudian, Tadulako
bertandang ke rumah kekasih lamanya yang saat itu sedang asik menumbuk padi dengan lesung.
Tiba-tiba saja,sang mantan yang murka itu menghujamkan alu ke kepala Tadulako. Tak ayal,
Tadulako yang terkenal sakti tersungkur ke tanah. Pendudukpun gempar, ahli perang yang tak
mudah ditaklukan musuh-musuhnya tewas di tangan seorang wanita.
Meskipun cerita legenda di atas berakhir tragis, kita dapat Memetik pelajaran dari sikap pantang
menyerah Tadulako dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Anda mungkin juga menyukai