Marga secara defenisi identik dengan nama suatu wilayah atau distrik dari
seorang penguasa suatu kaum atau kelompok (clan district) pada suatu
wilayah tertentu atau juga identik dengan nama Pimpinan/Penguasa kaum
di suatu wilayah tertentu. Dengan demikian marga bermakna tempat dan
wilayah asal keturunan. Siapa marganya dan dari mana ?
Raja Siregar mempunyai 4 orang putra bernama Silo, Dongoran, Silai, dan
Siagian yang bermula mereka berasal dari Huta Muara – Pinggir Danau
Toba sebelah barat Kota Balige. Dari Muara mereka hijrah ke Pangaribuan
dan selanjutnya ke Sibatang Kayu untuk mencari pemukiman baru. Di
Sibatang Kayu Silo, Dongoran dan Silai kecuali Siagian berbagi tujuan
untuk mencari dan mendirikan (Harajaon) yaitu masing-masing ke :
Raja Silo bersama turunannya yaitu Sormin dan Bauni hijrah, ke jurusan
Selatan Sibatang Kayu, yaitu Aek Puli
Raja Dongaran bersama turunannya yaitu Salak, Pahu dan Sigurda hijrah
ke jurusan Timur Sibatang Kayu, yaitu Aek Siguti (Sipirok)
Raja Silai bersama turunannya yaitu Ritonga hijrah ke jurusan utara
Sibatang Kayu yaitu ke Sipiongot – Padang Lawas/Padang Bolak.
Raja Tinamboran yang merupakan keturunan atau generasi ke-10 dari Raja
Silo atau generasi ke-11 dari raja Siregar atau generasi ke-15 dari Raja
Batak berusaha mencari lobu atau daerah yang baru untuk mendirikan dan
membangun kerajaannya di alur sungai (Aek) Marancar. Beliau berhasil
menemukan tempat yang diidamkannya yaitu di sebelah kanan alur sungai
Marancar yang disebut Huta Marancar I (lama) tempat Raja Tinamborab
bersama istri dan ke-4 putranya yaitu Sutan Tinggi Barani, Sutan Nalobi,
Sutan Raja Lela dan Sutan Naga Oloan serta pengikutnya berdomisili.
Pembangunan Huta Marancar I selain dibantu oleh kahanggi-kahangginya
satu keturunan dan juga oleh anakborunya marga Sitompul serta hula-hula
(kawan sekampung) dari Huta Maronggak yaitu marga Hutabarat dan
marga Hasibuan.
Kedua versi cerita tentang Bauni atau Baumi telah berkembang turun-
temurun dan argumentasinya sama kuat - sama benar namun tidak
menjadi persoalan bagi turunannya, pilih mana yang suka.
a. Jumlah dan lokasi huta-huta yang dibangun oleh raja dan keluarga
atau saudara raja, kahanggi dan anakborunya
Sidahanon.
Penemuan dan Penetapan lokasi Marancar I yang terletak di sisi kanan Aek
(sungai) Marancar sebagai awal berpijak (base camp) berdirinya Harajaon
Marancar pimpinan Raja Tinamboran Siregar-Silo terlaksana melalui suatu
proses perjuangan yang panjang dimulai dari hijrahnya Raja Tinamboran
bersama seluruh pengikutnya berturut-turut dari Sibatang Kayu ke Aek Puli
kemudian belanjut ke Aek Sah serta Batu Manonggak dan berakhir di
Marancar I.
Pada era kepemimpinan Raja Sutan Tinggi Barani dan Raja Baginda
Mangalopi selain Huta Marancar I dan II ada beberapa huta yang dibangun
oleh Kahanggi Raja dan Anakborunya yaitu sebagai berikut :
Nama Huta
Pembangun/Pendiri
2. Marancar II Baginda
Mangalopi
dari Angkola
Julu
dari Tano
Rambe Sipiongot-Padang
Lawas
dari Huta
Layan-Angkola Julu
Raja Baginda Mangalopi Siregar mempunyai empat orang putra dan satu
orang putri dan empat istri (opat parompuon), yaitu :
Pada era kepemimpinan Raja Lobi dua kali terjadi peperangan, masing-
masing dengan Hutaimbaru di Siloung dan dengan pasukan Tuanku Rao
dari Bonjol (Perang Agama) di Marancar.
Pada satu malam Huta Siloung diserang pasukan Raja Lobi melalui
Parinduhan yang mengakibatkan pasukan Hutaimbaru mundur ke Aek
Batang Angkola. Di loakasi ini oleh Raja Hutaimbaru diminta supaya
diadakan perjanjian perdamaian dengan sumpah (Pejanjian Monis) yaitu
menanam monis (menir beras) yang maknanya apabila monis tersebut
tumbuh baru perjanjian tersebut dapat dirubah. Kesepakatan dalam
perjanjian tersebut adalah menyangkut :
1. Perubahan batas kedua Harajaon, yaitu mulai dari gunung yang terletak
antara Aek Batang Angkola dengan Aek Simajambu lurus kearah Dolok
Lubuk Raya kesebelah utara, dan dari sana lurus menuju selatan kearah
Aek Tombajaha dan Aek Batang Toru sampai kualanya di laut.
- Tapian Na Uli
- Sipirok
- Pargarutan
- Huristak
- Aek Badak
- Angkola Julu
II. Perang Agama, Utusan Tuanku Rao dari Bonjol datang dari
Angkola-Julu sebanyak 7 orang menghadap Raja Lobi untuk
memberitahukan tentang Agama Islam dan memohon agar rakyat negeri
Marancar menganut Agama tersebut. Raja Lobi berpesan kepada utusan
Tuanku Rao agar agama baru tersebut dimufakatkan dulu dengan semua
Raja Ni Huta seluruh Marancar, barudiambil suatu keputusan. Namun
besoknya 5 orang dari 7 orang utusan sudah meninggal akibat tikaman dan
tergeletak di luar Huta Marancar II sedang 2 orang lagi sempat
menyelamatkn diri. Menurut cerita, penikam kelima orang utusan tersebut
dilakukan oleh anakboru Marga Hutasuhut dengan alasan kurang hormat
kepada Raja Lobi. Dampak penikaman tersebut menimbulkan perang
sehingga Raja Lobi memerintahkan rakyatnya mengungsi ke pulau Batu
Mundom dan Roncang Batu (Pantai Barat Sumatera Utara, Selatan Teluk
Sibolga) dan gunung-gunung sekitarnya. Pasukan Tuanku Rao terus
mengejar namun tidak berhasil menyebrang ke daerah pengungsian
tersebut. Pasukan Tuanku Rao (Islam) menyerang Marancar pada tanggal
12 Ramadhan 1231 H (Buku Tuanku Rao halaman 176) setara tahun 1810,
dari dua jurusan yaitu dari Sipenggeng dan Sabungan masing-masing
dengan kekuatan 1000 unit kavaleri (pasukan berkuda) terlatih.
Mengingat kondisi Raja Lobi sudah tua dan sakit-sakitan serta mengingat
pula kondisi dan situasi daerah pertahanan Pulau Batu Mundom dan
Roncang Batu sangat sulit, maka atas usuk keempat puteranya serta
seorang puteri yaitu : Kali Batoel, Ja Enda, Ja Imbang, Daulat Sumorong
serta Siti Rombi agar diadakan perdamaian dengan Tuanku Rao. Butir-butir
perdamaian aalah sebagai berikut :
Pada era kepemimpinannya jelang Perang Dunia ke-II beliau masih sempat
menulis buku Riwayat Ringkas Kakoeriaan Marantjar (Pagaran Ri 1940)
yang menjadi acuan sampai sekarang. Disamping itu, beliaulah yang
membangun Mesjid Raya di Huta Sipenggeng (1937).
Soetan Dilaoet sebagai Raja Panusunan Luat Marancar IX dalam fungsi dan
peranannya sebagai pimpinan lembaga adat Luat Marancar tidak dapat
berbuat banyak, sama halnya dengan Patoean Hoemala Soadoeon karena
masyarakat Luat Marancar langsung atau tidak langsung terpengaruh atas
pemberontakan PRRI-Permesta (1957-1958) yang terbagi antara pro dan
kontra PRRI-Permesta sehingga menimbulkan kesenjangan sesama
masyarakat.
Dikutip dari : Catatan Drs. Zulfikar Siregar Bauni Gelar Baginda Bauni
Hamonangan - Raja Panusunan XI