Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH HARAJAON LUAT MARANCAR (KAWASAN KONSERVASI CAGAR

ALAM DOLOK SIBUALBUALI DAN SUAKA ALAM LUBUK RAYA) DI SEKITAR


HUTAN BATANG TORU

March 7, 2010 Batang Toru Forest, Indonesia

1. Sekilas Keterangan Tentang Marga Siregar Bauni

Marga secara defenisi identik dengan nama suatu wilayah atau distrik dari
seorang penguasa suatu kaum atau kelompok (clan district) pada suatu
wilayah tertentu atau juga identik dengan nama Pimpinan/Penguasa kaum
di suatu wilayah tertentu. Dengan demikian marga bermakna tempat dan
wilayah asal keturunan. Siapa marganya dan dari mana ?

Raja Siregar mempunyai 4 orang putra bernama Silo, Dongoran, Silai, dan
Siagian yang bermula mereka berasal dari Huta Muara – Pinggir Danau
Toba sebelah barat Kota Balige. Dari Muara mereka hijrah ke Pangaribuan
dan selanjutnya ke Sibatang Kayu untuk mencari pemukiman baru. Di
Sibatang Kayu Silo, Dongoran dan Silai kecuali Siagian berbagi tujuan
untuk mencari dan mendirikan (Harajaon) yaitu masing-masing ke :

Raja Silo bersama turunannya yaitu Sormin dan Bauni hijrah, ke jurusan
Selatan Sibatang Kayu, yaitu Aek Puli
Raja Dongaran bersama turunannya yaitu Salak, Pahu dan Sigurda hijrah
ke jurusan Timur Sibatang Kayu, yaitu Aek Siguti (Sipirok)
Raja Silai bersama turunannya yaitu Ritonga hijrah ke jurusan utara
Sibatang Kayu yaitu ke Sipiongot – Padang Lawas/Padang Bolak.

Raja Tinamboran yang merupakan keturunan atau generasi ke-10 dari Raja
Silo atau generasi ke-11 dari raja Siregar atau generasi ke-15 dari Raja
Batak berusaha mencari lobu atau daerah yang baru untuk mendirikan dan
membangun kerajaannya di alur sungai (Aek) Marancar. Beliau berhasil
menemukan tempat yang diidamkannya yaitu di sebelah kanan alur sungai
Marancar yang disebut Huta Marancar I (lama) tempat Raja Tinamborab
bersama istri dan ke-4 putranya yaitu Sutan Tinggi Barani, Sutan Nalobi,
Sutan Raja Lela dan Sutan Naga Oloan serta pengikutnya berdomisili.
Pembangunan Huta Marancar I selain dibantu oleh kahanggi-kahangginya
satu keturunan dan juga oleh anakborunya marga Sitompul serta hula-hula
(kawan sekampung) dari Huta Maronggak yaitu marga Hutabarat dan
marga Hasibuan.

Raja Tinamboran Siregar Silo sebagai Pemimpin/Penguasa atau Raja di


kawasan Marancar I pada zamannya terkenal piawi (capable and suitable),
terampil (skiled), arif dan bijaksana serta pandai menarik bicara (vocal)
sehingga beliau dijuluki oleh masyarakat banyak dan raja-raja tetangga
atau jiran sebagai Na Baun (Bauni).disamping itu, beliau juga terkenal
penggemar penyantap daging binatang buruan. Stock daging untuk
cadangan konsumsinya banyak tersimpan di kediamannya yang kadangkala
berbau (sedap/tidak sedap) sehingga beliau juga dijuluki Na Bau Mi
(Baumi).

Kedua versi cerita tentang Bauni atau Baumi telah berkembang turun-
temurun dan argumentasinya sama kuat - sama benar namun tidak
menjadi persoalan bagi turunannya, pilih mana yang suka.

Dengan menyebut nama Tinamboran secara lengkap yaitu Raja


Tinamboran Siregar – Silo – Bauni/Baumi orang terutama di daerah
Tapanuli sudah dapat menebak bahwa beliau adalah Raja dari Marancar
keturunan Siregar – Silo.

Penulis sebagai salah satu keturunan (pomparan) Raja Tinamboran lebih


senang menulis kata Bauni di depan kata Siregar, atau selengkapnya
Siregar Bauni untuk seterusnya kedepan sebagai identitas (ikon) Marga
Siregar yang berasal dari Marancar atau Par Marancar.

2. Lokasi Luat (Wilayah) Harajaon Marancar

Untuk mudah mengetahui lokasi Harajaon Marancar terutama bagi orang


awam atau orang-orang yang jarang berkunjung ke Marancar, sebagai
petunjuk dapat dikemukakan bahwa Harajaon Marancar dipandang dari
sudut keulayatannya berlokasi di sekitar alur sungai Batang Toru mulai dari
Utara (Huta Aek Godang sampai ke kuala/muaranya di pantai barat
Sumatera – Selatan Teluk Tapian Nauli (Sibolga)) seirama dengan lintasan
atau tapak tilas hijrahnya marga Siregar beberapa abad yang lalu mulai
dari Muara-Pangaribuan-Sipirok-Marancar I & II sampai Batu Mundom.

Batas-batas Harajaon Marancar secara adat (luat) ditentukan oleh :

a. Jumlah dan lokasi huta-huta yang dibangun oleh raja dan keluarga
atau saudara raja, kahanggi dan anakborunya

b. Perjanjian batas dengan Harajaon lainnya seperti Perjanjian Monis


yaitu Perjanjian Batas antara Harajaon Marancar dengan Harajaon
Hutimbaru (Batang angkola).

Batas Harajaon Marancar Yang dianut sekarang adalah Batas Harajaon


berdasarkan data Kepala Kuria Marancar terakhir yaitu Sutan Barumun II
seperti tertera di bawah ini :

Sebelah Timur : Adian Rindang sampai ke Dolok Sibual-buali

Sebelah Barat : Sigalaga, Sangkunur, Batu Mundon (Pantai Barat


Sumatera – Selatan Teluk Tapian Nauli/Sibolga)

Sebelah Utara : Hulu Aek Batang Angkola sampai ke Sibulan


Bulan

Sebelah Selatan : Hulu Batang Angkola, Dolok Lubuk Raya, Sisoma


Jae,

Sidahanon.

RIWAYAT RAJA TINAMBORAN


1. Raja Tinamboran – Raja Pamusuk

Penemuan dan Penetapan lokasi Marancar I yang terletak di sisi kanan Aek
(sungai) Marancar sebagai awal berpijak (base camp) berdirinya Harajaon
Marancar pimpinan Raja Tinamboran Siregar-Silo terlaksana melalui suatu
proses perjuangan yang panjang dimulai dari hijrahnya Raja Tinamboran
bersama seluruh pengikutnya berturut-turut dari Sibatang Kayu ke Aek Puli
kemudian belanjut ke Aek Sah serta Batu Manonggak dan berakhir di
Marancar I.

Siapakah Raja Tinamboran, beliau adalah keturunan Raja Siregar-Silo. Bila


ditelusuri dari awal atau dari Raja Batak (Si Raja Batak), Raja Tinamboran
merupakan geberasi ke-11 dari Raja Siregar dengan Rincian yaitu
Rajabatak (1), Raja Guru Tatea Bulan (2), Raja Saribu Raja (3), Raja
Lontung (4), Beliau mempunyai 7 putra yaitu Situmorang, Sinaga
Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonangdan Siregar serta seorang
puteri bernama Boru Menak – Raja Siregar (5), Raja Silo (6), Raja
Tuanihorbo (7), Raja Naubaunon (8), Raja Ompu Junjungan (9), Raja
Pintor (10) Raja Datuk Onggang Sabungan (11), Raja Patuan Syah (12),
Raja Hundul (13), Raja Daulat Sumorong (14), dan Raja Tinamboran (15).
Raja Tinamboran mempunyai 4 orang anak, yaitu Sutan Tinggi Barani,
Sutan Nalobi, Sutan Raja Lela dan Sutan Naga Oloan.

2. Raja Sutan Tinggi Barani – Raja Pamusuk


Pendiri Huta atau kampung/desa Marancar I adalah putra-putra Raja
Tinamboran turunan Siregar-Silo Bauni atau lebih populernya disebut
Siregar Bauni yaitu Sutan Tinggi Barani, Sutan Nalobi, Sutan Raja Lela dan
Sutan Naga Oloan dibantu oleh kahanggi-kahangginya satu keturunan dan
anakborunya marga Sitompul serta hula-hula (kawan sekampung) dari
huta Batu Manonggak yaitu marga Hutabarat dan marga Hasibuan.

3. Raja Baginda Mangalopi – Raja Panusunan Marancar I

Setelah Raja Sutan Barani mangkat, kedudukannya digantikan oleh


putranya yaitu Baginda Mangalopi, beliau mempunyai saudara perempuan
bernama Parloyang Bosi. Baginda Mangalopi beserta rakyatnya kembali
hijrah ke daerah Simandulo, dan ternyata di daerah ini sudah berdiri dua
Harajaon, yaitu mompang dan Sabungan-Julu yang masing-masing
dipimpin oleh raja bermarga Harahap. Saudara-saudaranya yang lain yaitu
adombang hijrah ke Sipangko, Ja Naga hijrah ke Marasaidi di Marancar dan
Ja Lela hijrah ke Padang Bolak.

Setelah bermukim beberapa lama di daerah Simandulo, Raja Baginda


Mangalopi mengawini putri raja dari Mumpong dan dari Sambungan – Julu,
sedang sebelumnya beliau telah beristerikan dua orang yang berasal dari
keluarga hula-hula yaitu marga Hutabarat dan marga Hasibuan.

Rincian urutan istri raja Baginda Mangalopi.

Istri I : Boru Hutabarat, Puteri Hula-hula


Istri II : Boru Hasibuan, Puteri Hula-hula

Istri III : Boru Harahap, Puteri Raja Mompang

Istri IV : Boru Harahap, Puteri Raja Sabungan Julu

Dengan beristrikan kedua putri raja tersebut, Baginda Raja Mangalopi


beserta rakyatnya kembali hijrah ke daerah Marancar dan mendirikan huta
yang baru, yaitu Marancar II berlokasi di sisi kiri Aek Marancar yang
merupakan cikal bakal pengembangan huta-huta atau kampung di Luat
Marancar.

Pada era kepemimpinan Raja Sutan Tinggi Barani dan Raja Baginda
Mangalopi selain Huta Marancar I dan II ada beberapa huta yang dibangun
oleh Kahanggi Raja dan Anakborunya yaitu sebagai berikut :

Nama Huta
Pembangun/Pendiri

1. Marancar I Raja Tinamboran

2. Marancar II Baginda
Mangalopi

3. Dapdap Natonor dan Sugi Sutan Nalobi,


saudara raja

4. Sialang dan Tambiski Sutan Naga Oloan,


saudara raja

5. Sibulu Tolang Sutan Raja Lela,


saudara raja
6. Batara, Sipultak, Siombuson Marga Harahap,
anakborunya berasal

dari Angkola
Julu

7. Sigordang Marga Rambe,


anakborunya berasal

dari Tano
Rambe Sipiongot-Padang

Lawas

8. Aek Nabara, Batu Satail, Sitandiang Marga Hutasuhut,


anakboru berasal

dari Huta
Layan-Angkola Julu

Dengan berdirinya huta-huta tersebut secara otomatis Raja Baginda


Mangalopi menjadi Raja Panusunan I di Luat Marancar, karena setiap huta
ada Raja Pamusuknya.

Raja Baginda Mangalopi Siregar mempunyai empat orang putra dan satu
orang putri dan empat istri (opat parompuon), yaitu :

Ja Pinaho, dari istri I Marga Hutabarat (Puteri Huluhala)


Ja Pinantuan dan Boru Situmindang, dari istri II Marga Hasibuan (Puteri
Huluhala)
Raja Lobi, dari istri III Marga Harahap Mompang (Puteri Raja)
Ja Liang, dari istri IV Marga Harahap Sabungan Julu (Puteri Raja)
4. Raja Lobi – Raja Panusunan Marancar II

Sewaktu Raja Baginda Mangalopi mangkat, yang menggantikan


kedudukannya adalah Raja Lobi putra dari istri III, sedang saudara
perempuan Raja Lobi yang bernama Situmindang adik dari Ja Pinantun
kawin dengan putra raja dari Huristak-Padang Lawas. Pesta perkawinan
(Pabuat Boru) di Marancar dilaksanakan selama tiga bulan dan waktu putri
Situmindang berangkat menuju rumah mertuanya turut serta putra
neneknya Sutan Raja Lela, sang putra ini mempersunting putri raja dari
huta Raja Tinggi di Sosa Padang Lawas yang kemudian mereka mendirikan
kampung atau huta baru bernama Simarancar.

Pada era kepemimpinan Raja Lobi dua kali terjadi peperangan, masing-
masing dengan Hutaimbaru di Siloung dan dengan pasukan Tuanku Rao
dari Bonjol (Perang Agama) di Marancar.

I. Perang Siloung, terjadi sebagai dampak perang Hutalayan, yatiu


perang antara Hutaimbaru (Harahap) yang dipimpin oleh Parmata Sapiak
dan Parisang-isang Horbangondibantu oleh pasukan Raja Sipirok bersama
marga Siagian dan Ritonga melawan marga Hutasuhutdari tiga parompuon.
Akibat perang tersebut marga Hutasuhut di Hutalayan terbagi tiga, yaitu :
sebagian lari atau dibawa ke Sipirok, sebagiab lagi pindah ke Sibangkua-
Jae dan Simaninggir-Sitinjak dan sebagian lagi pindah ke Marancar yang
dipimpin oleh Mangaraja Soimbangon Hutasuhut. Mangaraja ini kemudian
mempersunting saudara perempuan Raja Baginda Mangalopi yang
bernama Parloyang Bosi. Selanjutnya kepada mereka diberikan lahan
untuk membangun huta baru yang berlokasi di Aek Nabara bernama Huta
Ulos Na So Ra Buruk. Huta ini semakin lama semakin berkembang
sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi Hutaimbaru atas kemungkinan
serangan dari Marga Hutasuhut, mengingat lokasi baru tersebut tidak
begitu jauh letaknya dari lokasi Hutaimbaru.
Kekhawatiran atas ancaman serangan balasan dari marga Hutasuhut
diantisipasi oleh Raja Hutaimbaru dengan memerintahkan anakborunya
turunan Parmata Sapiak untuk membangun huta di Siloung dekat
perbatasan Marancar. Melihat gelagat yang kurang bersahabat ini Raja Lobi
memerintahkan kepada pasukannya membangun satu kubu atau benteng
yang disebut Parinduhan sebelah atas Siloung.

Pada satu malam Huta Siloung diserang pasukan Raja Lobi melalui
Parinduhan yang mengakibatkan pasukan Hutaimbaru mundur ke Aek
Batang Angkola. Di loakasi ini oleh Raja Hutaimbaru diminta supaya
diadakan perjanjian perdamaian dengan sumpah (Pejanjian Monis) yaitu
menanam monis (menir beras) yang maknanya apabila monis tersebut
tumbuh baru perjanjian tersebut dapat dirubah. Kesepakatan dalam
perjanjian tersebut adalah menyangkut :

1. Perubahan batas kedua Harajaon, yaitu mulai dari gunung yang terletak
antara Aek Batang Angkola dengan Aek Simajambu lurus kearah Dolok
Lubuk Raya kesebelah utara, dan dari sana lurus menuju selatan kearah
Aek Tombajaha dan Aek Batang Toru sampai kualanya di laut.

2. Huta Siloung dibangun kembali oleh Harajaon Marancar bersama


anakborunya turunan Mangaraja Soimbangon Hutasuhut dan mereka
diminta untuk bermukim di sana.

Keistimewaan Raja Lobi antara lain sebagai berikut :

1. Postur tubuh tinggi besar

2. Perkasa dan berani


3. Semua rayat harus bekerja mulai pukul 08.00 s.d 17.00

4. Sehari-hari memakai pedang dan inspeksi ke lahan pertanian antar


Huta

5. Mempunyai dua bayang-bayang

6. Negeri Marancar makmur dan sejahtera

7. Suka mengadakan pesta, kadangkala ada pesta lamanya 1 tahun

8. Raja –raja Torbing banyak mengirim sumbangan (longit) antara lain


dari Harajaon :

- Tapian Na Uli

- Sobu Sait Ni Huta

- Sipirok

- Pargarutan

- Huristak

- Aek Badak

- Angkola Julu

9. Mempunyai Gudang Garam di :

- Bongal, antara Lumut dengan Jago-jago (Pengurus Manusun


Dagang)

- Kuala Aek Batang Toru (Pengurus : Mancayo Mudo)

- Marancar-Maheam, dekat penyebrangan Aek Batang Toru yaitu


Sipangarambangan
10. Rakyat mulai mengenal peralatan besi

11. Menetapkan batas Luhak/Luat Marancar

- Utara, berbatasan dengan Sipirok dan Dolok Adian Rindang sampai


Puncak Dolok Sibual-buali kemudian Aek Puli

- Selatan, berbatasan sesuai Perjanjian Monis dengan Huta Imbaru

- Timur, berbatasan antara Simandulo menuju arah Aek Batang


Ayumi sampai Dolok Sibual-buali

- Barat, berbatasan dengan Tapian Nauli sampai Sobu sait Ni Huta.

12. Pemimpin yang tegas dan adil

II. Perang Agama, Utusan Tuanku Rao dari Bonjol datang dari
Angkola-Julu sebanyak 7 orang menghadap Raja Lobi untuk
memberitahukan tentang Agama Islam dan memohon agar rakyat negeri
Marancar menganut Agama tersebut. Raja Lobi berpesan kepada utusan
Tuanku Rao agar agama baru tersebut dimufakatkan dulu dengan semua
Raja Ni Huta seluruh Marancar, barudiambil suatu keputusan. Namun
besoknya 5 orang dari 7 orang utusan sudah meninggal akibat tikaman dan
tergeletak di luar Huta Marancar II sedang 2 orang lagi sempat
menyelamatkn diri. Menurut cerita, penikam kelima orang utusan tersebut
dilakukan oleh anakboru Marga Hutasuhut dengan alasan kurang hormat
kepada Raja Lobi. Dampak penikaman tersebut menimbulkan perang
sehingga Raja Lobi memerintahkan rakyatnya mengungsi ke pulau Batu
Mundom dan Roncang Batu (Pantai Barat Sumatera Utara, Selatan Teluk
Sibolga) dan gunung-gunung sekitarnya. Pasukan Tuanku Rao terus
mengejar namun tidak berhasil menyebrang ke daerah pengungsian
tersebut. Pasukan Tuanku Rao (Islam) menyerang Marancar pada tanggal
12 Ramadhan 1231 H (Buku Tuanku Rao halaman 176) setara tahun 1810,
dari dua jurusan yaitu dari Sipenggeng dan Sabungan masing-masing
dengan kekuatan 1000 unit kavaleri (pasukan berkuda) terlatih.
Mengingat kondisi Raja Lobi sudah tua dan sakit-sakitan serta mengingat
pula kondisi dan situasi daerah pertahanan Pulau Batu Mundom dan
Roncang Batu sangat sulit, maka atas usuk keempat puteranya serta
seorang puteri yaitu : Kali Batoel, Ja Enda, Ja Imbang, Daulat Sumorong
serta Siti Rombi agar diadakan perdamaian dengan Tuanku Rao. Butir-butir
perdamaian aalah sebagai berikut :

1. Rakyat Luat Marancar memeluk Agama Islam

2. Pasukan Tuanku Rao segera keluar dari Luat Marancar.

5. Kali Batoel – Raja Panusunan Marancar III/Kepala Kuria Marancar I

Dalam era kepemimpinan Raja Kali Botoel terjadi peristiwa-peristiwa


penting, antara lain :

Rakyat harajaon Marancar memeluk agama Islam


Perjanjian dengan militer Belanda di Pagaran Ri Jae
Belanda memasuki Luat Harajaon Marancar
Kali Botoel tetap berfungsi sebagai Raja Panusunan Luat Marancar III
sekaligus Kepala Kuria Marancar I (menurut Sutan Barumun II, SK
Pengangkatan Kali Botoel sebagai Kepala Kuria hilang namun pemerintah
Belanda mengakuinya sebagai Raja Panusunan/Kepala Kuria).
Raja Kali Botoel mempunyai empat orang putera yaitu Sutan Barumun I,
Sutan Bangun, Ja Gadombang dan Mangaraja Dunia.

6. Raja Daulat Sumorong – Raja Panusunan Marancar IV/Kepala Kuria


Marancar II
Sewaktu Raja Kali Botoel wafat, kedudukannya digantikan oleh putranya
bernama Sutan Barumun I, namun karena masih muda dan belum menikah
sementara sebagai Raja Paunusunan IV/Kepala Kuria Marancar II dijabat
oleh adik Kali Botoel, yaitu Raja Daulat Sumorong yang berdomisili di Aek
Toras. Raja Daulat Sumorong berada dalam kondisi kurang sehat
(rheumatik) sehingga untuk urusan yang penting seperti pelaksanaan rodi
dalam rangka membangun jembatan gantung dan rotan di atas Aek Batang
Toru, Aek Parsariran, jalan, dan lain-lain diangkatnya salah satu
kahangginya garis keturunan Sutan Raja Lela sebagai Tungkot (deputy)
yang bernama Ja Sialang dan tinggal di huta Parjelohan di hilir Aek Toras.
Pada suatu saat huta tersebut terserang penyakit epidemik sehingga
seluruh warganya dipindahkan ke huta Huraba.

7. Sutan Barumun I – Raja Panusunan Marancar V/Kepala Kuria Marancar


III

Raja Daulat Sumorang wafat, kedudukannya digantikan oleh Sutan


Barumun I sebagai Raja Panusunan V/Kepala Kuria Marancar III. Semasa
pemerintahan Sutan Barumun I, Ja Sialang meninggal dan kedudukannya
digantikan oleh Ja Rendo yang bermukim di Huraba.

Pada suatu waktu kepala Kuria Marancar Sutan Barumun I mendapat


undangan dari Kepala Kuria Batunadua Patuan Soripada I untuk
membicarakan usulan goverment mengenai pemindahan Patuan Natigor
mora Patuan Soripada I dari Huta Siijuk-Padang Lawas ke laut Marancar
mengingat keamanan Patuan Natigor kurangterjamin karena beliau
melaksanakan kesalahan adat yaitu melakukan kawin sumbang. Setelah
bermukim selama tiga bulan di Huta arancar III oleh Kerapatan Negeri
beliau diusulkan pindah dan membangun huta baru di Sianggunan.
Selanjutnya atas kebijaksanaan Kepala Kuria Marancar IIIdan sejalan
dengan saran Kepala Kuria Batunadua diusulkan kepada Gouverment agar
Patuan Natigor diangkat menjadi Kepala Kuria di Sianggunan, demikian
pula halnya kepada Ja Rendo sesuai dengan permintaannya untuk
diusulkjan menjadi Kepala Kuria di Huraba sebagai balasan atas jasa-
jasanya sebagai tungkot atau deputi sekaligus menabalkan nama huta
Huraba dan nama baru kepada beliau yaitu Sutan Diatjeh.

8. Patuan Kumala Pontas Soaduon-Raja Panusunan Marancar VI/Kepala


Kuria Marancar IV

Menggantikan kedudukan Sutan Barumun I yang mangkat kemudian beliau


menjabat Raja Panusuanan VI/Kepala Kuria Marancar IV

Pada era kepemimpinannya baru ditetapkan batas-batas antara Harajaon


Marancar dengan Harajaon Huraba serta Harajaon Sianggunan. Namun
kedua kekuriaan tersebut tidak bertahan lama hanya sampai pada tingkat
anak. Kepala Kuria Sianggunan terakhir dipimpin oleh anak Patuan Natigor
yang bernama Ja Sinomba sedang Kepala Kuria Huraba terakhir dipimpin
oleh anak Sutan Diatjeh benama Baginda Panangaran.

Berdasarkan SK Assistant Resident van Padangsidempuan tanggal 25


september 1907 no. 873 dan SK Controleur van Angkola en Sipirok tanggal
30 september 1907 no. 887 Kuria Sianggunan dilebur kedalam Kuria
Marancar, sedang berdasarkan SK Resident van Tapanoeli tanggal 29
desember 1920 no. 921 Kuria Huraba kembali bergabung ke dalam Kuria
Marancar.
9. Sutan Barumun II Raja Panusunan Marancar VII/Kepala Kuria Marancar
V

Sutan Barumun II menjabat sebagai Raja Panusunan VII/Kepala Kuria


Marancar V menggantikan Patoean Koemala Pontas Soadoeon samapai
berakhirnya perang dunia ke-II.

Pada era kepemimpinannya jelang Perang Dunia ke-II beliau masih sempat
menulis buku Riwayat Ringkas Kakoeriaan Marantjar (Pagaran Ri 1940)
yang menjadi acuan sampai sekarang. Disamping itu, beliaulah yang
membangun Mesjid Raya di Huta Sipenggeng (1937).

Perang Dunia ke-II (1939-1945) memaksa pemerintah Belanda hengkang


dai Indonesia, menyusul lahirnya Proklamasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berdampak
bubarnya sistem pemerintahan ala Koeria namun fungsi dan peranan Raja
Panusunan sebagai ketua masyarakat adat tetap berlaku dan diakui
pemerindah NKRI demikian pula halnya terhadap Raja-Raja Pamusuk dari
tiap Huta.

10. Patoean Hoemala Soadoeon (Martondang Siregar) – Raja Panusunan


VIII

Dengan mangkatnya Sutan Barumun II maka peranan dan fungsi Raja


Panusunan secara otomatis dipegang oleh putera tertua yaitu Martondang
Siregar Bauni gelar Hadji Patoean Hoemala Soadoon.
Raja Panoesoenan Patoean Hoemala Soadoeon dalam era
kepemimpinannya sebagai ketua Masyarakat Adat Luat Marancar tidak
dapat berbuat banyak mengingat situasi negara kurang stabil baik karena
pengaruh partai-partai politik, keamanan, ekonomi maupun pengaruh
gejolak sosial (Chaos).

Patoean Hoemala Soedoeon membangun sekolah menengah pertama


(SMP) yang pertama di Batang Toru tahun 1955, yang kemudian menjelma
menjadi SMP Negeri I.

Kemudian beliau hijrah ke Medan (1956) dan sebagai pengganti sementara


sebagai Raja Panusunan diserahkannya kepada Apaktuonya Soetan Dilaoet
sebagai Raja Panusunan ke IX sampai dengan tahun 1963. Patoen
Hoemala Soedoeon meninggal di Medan.

11. Soetan Dilaoet – Raja Panusunan IX

Soetan Dilaoet sebagai Raja Panusunan Luat Marancar IX dalam fungsi dan
peranannya sebagai pimpinan lembaga adat Luat Marancar tidak dapat
berbuat banyak, sama halnya dengan Patoean Hoemala Soadoeon karena
masyarakat Luat Marancar langsung atau tidak langsung terpengaruh atas
pemberontakan PRRI-Permesta (1957-1958) yang terbagi antara pro dan
kontra PRRI-Permesta sehingga menimbulkan kesenjangan sesama
masyarakat.

12. Tuongku Raja Lela – Raja Panusunan X


Sekembalinya Hasan Basjri Siregar gelar Tuongku Raja Lela putra keempat
Sutan Barumun II dari Pematang Siantar kemudian menetap di Huta
Sipenggeng (1963) sedang putra kedua yaitu Basaroellah Siregar Bauni
gelar Baginda Moelia Soa doeon berdomisili di Medan dan Putera ketiga
yaitu Chairoeddin Siregar Bauni berdomisili di Jakarta maka Soetan Dilaoet
meyerahkan jabatan yang dipegangnya selama ini kepada Tuongku Raja
Lela yang menjadi Raja Panusunan Raja Panusunan X

Tuongku Raja Lela wafat tangal 21 Desember 2005 di {ematang Siantar


dan dimakamkan di pekuburan keluarga Raja-Raja Marancar di Huta
Marancar Godang.

13. Drs. Zulfikar Siregar Bauni gelar Baginda Bauni Hamonangan-Raja


Panusunan XI

Melalui Musyawarah adat Luat Harajaon Marancar diputuskan dan


ditetapkan Drs. Haji Zulfikar Siregar Bauni gelar Baginda Bauni
Hamonangan bin Haji Muhammad Jacob Siregar Bauni Gelar Sutan Naga
bin Raja Panusunan Luat Marancar VI/Kepala Kuria IV Patoean Koemala
Pontas Soadoeon menggantikan (mengambil) peranan dan fungsi Raja
Panusunan/Luat Harajaon arancar.

Baginda Bauni Hamonangan mulai berperan dan berfungsi sebagai Raja


Panusunan terhitung mulai tanggal 8 April 2006/17 Rabbiul Awal 1427 H.
Dalam menjalankan tugas tersebut diatas sehari-hari dibantu oleh unsur-
unsur Kahanggi, Orangkaya Luat, Orangkaya Bagas Godang, Bayobayo
Nagodang, Anakboru, Hatobangon, Cerdik Pandai dan Alim Ulama.

Dikutip dari : Catatan Drs. Zulfikar Siregar Bauni Gelar Baginda Bauni
Hamonangan - Raja Panusunan XI

Ketik Ulang : Ahmad Afandi Nasution.


https://dev.rare.org/pt-br/node/3055#.XgXky1UzbIU

Anda mungkin juga menyukai