Anda di halaman 1dari 8

Pelecehan Seksual, Depresi, dan Bunuh Diri: Kisah Pengungsi Perempuan

Iran di Yunani
Kamis, 13 Februari 2020 - 21:27 WIB
“Saya ingin bunuh diri di Iran dan di sini saya juga pernah sekali mencoba
bunuh diri"

Sebuah sudut Kamp Moria di Pulau Lesbos, Yunani, dekat dengan Turki
Terkait
Sudah Ditekan Pemerintah China, kini Warga Xinjiang Hadapi Cobaan Virus
Corona
Buku harian Pengungsi: 10 Tahun di Tahanan Imigrasi di Australia
Tahun 2019 Migran yang Menyeberang ke Eropa dari Turki Bertambah
Yunani Akan Menutup Kamp Penampungan Migran Dekat Turki
Hidayatullah.com | DI Kamp Moria, sebuah kamp pengungsi di Pulau
Lesbos, Yunani yang berdekatan dengan pantai Turki, segala sesuatunya
kacau. Di tengah itu semua, penghuni anak-anak tidak punya banyak
2

kegiatan untuk dilakukan, dan beberapa dari mereka mengais-ngais di


antara tumpukan sampah, di manapun penuh dengan kerumunan orang.
Penyakit menyebar ke mana-mana dan sampah menumpuk tinggi.

Menurut perhitungan resmi, lebih dari 20.000 pengungsi tinggal di Kamp


Moria di tenda darurat dan bangunan semi-permanen. Pengungsi lain di
luar kamp – yang tidak kami ketahui berapa jumlahnya – bertahan hidup di
tenda-tenda di hutan dan jalan. Sejumlah besar orang juga tinggal di
bangunan terbengkalai di sepanjang pulau itu.

Di tengah kekacauan ini, perempuan dan wanita dengan anaknya memiliki


kisah tersendiri untuk diceritakan.

Bagian untuk perempuan berada di sebelah kanan tepat setelah anda


memasuki Kamp Moria. Ribuan pengungsi perempuan, sendiri atau dengan
anak-anak perempuan mereka, tinggal di tempat ini, yang dirancang hanya
untuk 200 orang. Kepadatan yang ekstrem telah memaksa banyak dari
mereka tinggal di bagian laki-laki atau di bawah tenda di hutan ada di
sekitar kamp. Mereka juga bernaung di reruntuhan bangunan, dan
kebanyakan dari mereka lebih suka di Kamp Moria.

Menurut organisasi hak asasi manusia, bencana kemanusiaan telah terjadi


di kamp. Siapapun yang mengalaminya, baik pengungsi maupun
pengunjung, setuju bahwa itu terasa seperti berada di neraka dunia.

Saya melangkah masuk ke dalam bagian perempuan di tengah keributan


yang seperti tidak pernah surut. Seorang perempuan yang tinggal sendiri
menceritakan kisah pelecehan seksualnya kepada saya. Dia telah tinggal di
kamp selama setahun tanpa kejelasan dan terbangun oleh mimpi buruk
setiap malam.
3

Suatu malam, ketika dia dalam perjalanan kembali ke kamp dari kota
sendirian, beberapa pria menyerangnya dan berupaya memperkosanya.
Dia berteriak keras dan untungnya sekelompok orang mendengar itu dan
menyelamatkannya. Sekarang dia menyebut insiden tersebut sebagai
“kengerian itu” dan tidak pernah meninggalkan kamp sendirian.

Kami mulai berjalan di sekitar kamp dengan beberapa perempuan lain


sehingga mereka dapat memberitahu saya tentang lingkungan kamp yang
tercemar dan kehidupan para pengungsi lain. Namun setiap jalan yang
kami lewati, sekelompok pria akan meneriaki kami dengan hinaan seksual.
Mustahil untuk diabaikan.

Pengungsi dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sebagian besar pengungsi perempuan Iran yang tinggal di bagian


perempuan Kamp Moria, dan banyak seperti mereka yang tinggal di Athena
atau Turki atau negara lain yang menerima pengungsi, telah melarikan diri
dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) – jenis kekerasan yang tidak
dianggap kejahatan di Iran. Tidak ada hukum yang memadai di sana.

Pada kunjungan ini, saya berbicara kepada seorang perempuan yang


mengatakan dia terpaksa meninggalkan Iran karena KDRT. Perempuan lain
mengatakan bahwa keluarganya memaksa dia untuk menikahi laki-laki
yang tidak inginkan sehingga ia mengemasi barangnya dan mencapai
pulau ini tanpa sepengetahuan keluarganya.

“Saya ingin bunuh diri di Iran dan di sini saya juga pernah sekali mencoba
bunuh diri,” dia mengatakan sementara kita berjalan. “Jadi mereka
memberi saya obat penenang.” Dia merogoh tasnya dan menunjukkan
botol plastik berisi pil. Dia tidak tahu nama pil itu, namun pil itu membuat
seluruh rambut di badannya rontok. Tetap saja, saya bisa melihat
bayangan senyum di wajahnya dan dia berbicara dengan tenang.
4

Seorang perempuan yang tiba di Lesbos dengan anak laki-laki dan


perempuannya dan tinggal di salah satu tenda di luar kamp memberitahu
saya bahwa dia telah terjebak di pulau itu selama lebih dari 13 bulan.
“Suami saya terus-menerus memukuli kami,” katanya.

“Dia bahkan akan memukuli anak saya. Dia seorang pecandu obat-obatan
dan dia ingin kami memberikannya obat-obatan. Saya membawa anak-
anak dan datang ke Yunani demi masa depan mereka, namun di sinilah
kami berakhir.” Apakah dia memiliki perwalian anak-anaknya? Tanya saya.
“Membutuhkan bertahun-tahun untuk dapat bercerai,” jawabnya. “Dia
(suaminya) menolak untuk menceraikan saya jadi saya melarikan diri.”

Di tenda lain seorang perempuan Afghanistan memberitahu saya penyakit


yang dia dan anaknya derita. “Anak perempuan saya memuntahkan darah
namun dokter mengatakan dia baik-baik saja,” kisahnya. “Ginjal saya sakit
dan dokter mengatakan saya mungkin menderita batu ginjal, tetapi mereka
tidak memberi kami pengobatan apapun. Mereka hanya menyuruh kami
minum air.”

Perempuan lain yang tinggal di sebuah tenda baru saja melahirkan.


“Selama sebulan penuh, baik aku maupun bayiku belum mandi,” katanya.

Tidak ada air panas. Jika beruntung, mereka mendapat air hangat. Tetapi
seringkali terputus, dan begitu pula dengan listrik. Tempat-tempat mencuci
tangan dan toilet kotor dan hanya ada satu jalur makanan untuk lebih dari
20.000 pengungsi. Perkelahian dan bentrokan adalah hal yang biasa dan
senjata seperti pisau dan parang dapat dibeli dan dijual dengan mudah.
Obat-obatan terlarang tersedia. Semua kekerasan dan kejahatan terjadi
tepat di depan mata anak-anak, serta orang dewasa, banyak dari mereka
5

rentan. Kebakaran, perkelahian, kelaparan, kemiskinan, penantian panjang


dan masa depan yang tidak pasti telah mendorong angka upaya bunuh
diri.

Tak ada obat dan uang, Tak cukup dokter

Banyak orang di kamp menderita penyakit yang semua orang sebut


“gatal”. Bisul busuk muncul di kulit dan ketika penderita menggaruknya,
bisul akan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk alat kelamin. Tetapi tidak
ada obat, tidak ada uang dan tidak ada cukup dokter. Organisasi HAM
dalam kondisi primitif ini berupaya keras membagikan tampon, popok,
pakaian dan terkadang obat-obatan. “Satu-satunya hal yang kita inginkan
adalah dibebaskan dari neraka ini.” Dan semua orang di dalam atau di
dekat kamp merasakan hal sama.

Ada banyak juga perempuan di kamp yang tinggal bersama keluarga


mereka, tetapi ini tidak serta merta membuat kehidupan mereka jauh lebih
baik. Satu perempuan mengatakan pada saya bahwa suaminya
menghilangkan rasa frustasi tinggal di Kamp Moria dengan memukulinya.
Perempuan lain meminta bantuan untuk mendapatkan surat yang
menyatakan suaminya menderita “penyakit gugup” sehingga mereka
mungkin diizinkan meninggalkan pulau itu. Dan seorang wanita yang tiba
di Lesbos dengan satu-satunya anak perempuannya memohon kepada
saya, “Bisakah Anda mengajari saya semua yang Anda ketahui? Saya
berjanji untuk mempelajarinya dengan baik dan bekerja untuk Anda.”

Hampir semua perempuan yang terjebak di pulau ini yang menceritakan


kisah mereka dengan berlinang air mata. Mereka mulai berbicara, tetapi
tak lama kemudian dagu mereka mulai bergetar dan mata mereka berkaca-
kaca. Mereka semua berharap menemukan “malaikat penyelamat.” Seperti
pengungsi lain yang terperangkap di Yunani, mereka mengeluh tentang
para politisi. Mereka tidak mengerti mengapa mereka harus menderita
kondisi ini selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun.
6

Pada tahun 2016, Uni Eropa, Yunani, dan Turki menandatangani perjanjian
yang menetapkan bahwa pengungsi yang tiba di pulau-pulau negara
Yunani harus tetap di sana sampai permohonan suaka mereka diproses.
Jika permohonan mereka ditolak, mereka harus dikembalikan ke Turki dan,
sebagai gantinya, Uni Eropa akan memberikan suaka kepada jumlah
pengungsi yang sama yang diterima oleh Turki. Namun, Turki telah
menolak rencana tersebut dalam praktiknya dan perjanjian ini belum
dilaksanakan.

Di sisi lain, menurut polisi dan aktivis hak-hak pengungsi, jumlah


pengungsi di kedua pulau ini dan di Athena, yang semuanya berusaha
mencapai Eropa Barat, meningkat dari hari ke hari. Beberapa kehilangan
nyawa di sepanjang perjalanan mereka, beberapa hanya kehilangan arah
dan beberapa ditangkap dan harus menghabiskan beberapa bulan di
penjara dan pusat penahanan di mana, kadang-kadang, kehidupan bahkan
lebih buruk daripada di kamp.

Sekarang pemerintah Yunani yang baru telah berjanji untuk


mempersingkat waktu yang diperlukan untuk memproses permohonan
suaka, menutup Kamp Moria dan mengubahnya menjadi pusat penahanan.
Aktivis hak asasi manusia, bagaimanapun, takut bahwa ini akan merugikan
peluang pengungsi karena aplikasi suaka mereka mungkin tidak diproses
dengan pelayanan yang memadai dan, sebagai hasilnya, mereka kemudian
akan dipenjara di kamp-kamp tertutup.

Sementara itu, situasi semakin memburuk

Sementara itu, situasi di Camp Moria sekarang lebih buruk daripada


beberapa bulan yang lalu. Setiap hari ada lebih banyak pengungsi, tetapi
fasilitasnya tetap sama. Yunani sendiri harus berurusan dengan krisis
7

ekonomi – ada banyak warga Yunani tunawisma di jalanan – tetapi, sejalan


dengan perjanjian dengan Uni Eropa, Yunani sekarang harus melindungi
Eropa dari apa yang disebut “invasi” pengungsi. Merupakan tugas yang
tidak bisa dilakukan oleh wartawan, aktivis, dan pengacara Yunani.

Dalam teater kengerian ini, laporan berita dan rumor secara keseluruhan
lebih menakutkan bagi wanita daripada pria. Tidak hanya mereka terus-
menerus takut akan serangan seksual, mereka juga takut jika pemerintah
Yunani mendengar protes mereka melalui media, mereka dapat dengan
mudah dideportasi ke Turki, atau mereka akan dikirim kembali ke negara-
negara tempat mereka berasal. Akibatnya, banyak dari mereka
menghindari wartawan dan media dan percaya bahwa tidak ada yang
dapat atau akan membantu mereka. Rasanya bagi mereka seolah-olah
tembok dunia pengungsi mendorong mereka dari segala sisi, terutama di
pulau-pulau Yunani.

Terlepas dari ketakutan dan tekanan ini, pada 30 Januari, ratusan


pengungsi perempuan dari Kamp Moria pergi ke kota untuk memprotes
kondisi di mana mereka tinggal. Mereka memprotes tidak adanya obat-
obatan dan kebersihan dan meningkatnya kekerasan di kamp yang telah
merampas kedamaian mereka. Mereka mengatakan bahwa kedamaian
inilah yang membuat mereka mempertaruhkan nyawa, menyeberangi
lautan, sering dengan perahu layar kecil atau perahu. Sekarang mereka
terjebak di antara tenda, kontainer pengiriman, sampah, polusi, dan
penelantaran. Pada hari protes, dan setiap hari, apa yang mereka minta?
Keluar dari Moria./*Aida Ghajar, artikel diambil dari Iranwire

Rep: Nashirul Haq

Editor: Muhammad Abdus Syakur


Sumber :
8

https://www.hidayatullah.com/spesial/ragam/read/2020/02/13/178049/pel
ecehan-seksual-depresi-dan-bunuh-diri-kisah-pengungsi-perempuan-iran-
di-yunani.html

https://www.hidayatullah.com/spesial/ragam/read/2020/02/13/178049/pel
ecehan-seksual-depresi-dan-bunuh-diri-kisah-pengungsi-perempuan-iran-
di-yunani.html

Anda mungkin juga menyukai