Pengantar
1
Youtube: History of Sumatera. Dalam video ini ditunjukkan sejarah kerajaan-kerajaan
penting di Sumatera sejak 75.000 tahun SM.
Perdagangan itu, selain membuka cakrawala berpikir juga menjadi sarana
penyiaran agama-agama baru. Sebab, penaklukan secara otomatis
mengubah adat-istiadat lokal sesuai dengan kebudayaan penakluk.
Bukti telah berdirinya peradaban Mandailing sejak masa klasik,
ditunjukkan dengan berbagai temuan arkeologi. Misalnya temuan Schnitger
(1935) berupa Kursi Batu di Kelurahan Kotanopan, patung Sangkalon di
Hutagodang, Batu Tagor di Panyabungan Tonga, makam kuno di Desa
Singengu dan Pakantan.
Studi PV van Stein Callenfels (1920) juga menemukan keberadaan
Arca Perunggu yang menggambarkan dua perempuan menunggangi
seekor gajah, ditemukan di aliran sungai Panyabungan. Peradaban itu
berkembang pada budaya megalitik yang diperkirakan dua ribu tahun
Sebelum Masehi.
Periode Hindu-Budha Klasik di Mandailing menunjukkan bahwa
kawasan ini telah menjadi kawasan budaya yang otonom pada masanya.
Sumber emas di Sepanjang Sungai Batang Gadis, sungai terpenting yang
melewati hampir seluruh dataran rendah di Mandailing, menjadi daya tarik
bagi kerajaan-kerajaan besar. Tentang hal ini banyak dikupas arkeolog
Perancis, Daniel Perret.
Selain kerjaan Chola, Barus, Majapahit, Singosari, kawasan Mandailing
juga pernah dijajah dua kerajaan besar yang berpusat di Sumatera, yakni
Dharmasraya dan Sriwijaya. Dharmasraya meninggalkan candi
Simangambat, candi Siabu, candi Biara Panyabungan, dan situs Hutasiantar
sebagai jejak kekuasaannya pada abad 8-9 Masehi.
Bukti sejarah peninggalan masa Hindu-Budha Klasik di Mandailing
adalah temuan situs dan artefak sepanjang Sungai Batang Gadis, Sungai
Batang Angkola, dan hulu Sungai Barumun. Peradaban sekitar DAS ini
menjadi ciri masa Hindu-Budha Klasik. Karena itu ditemukan Candi
Simangambat, Candi Siabu, dan Saba Pulo di sekitar Sungai Batang
Angkola. Di sekitar DAS Batang Gadis ditemukan Candi Biara Pidoli dan
Situs Hutasiantar. Peradaban DAS Batang Angkola tersebut diungkap oleh
arkeolog Belanda, Schnitger (1935). Selain itu arkeolog Arkeolog Bosch
(1930) menemukan arca Ganesha di Pasar Siabu yang berasal dari Candi
Bonandolok.
Hal lain yang memicu tingginya peradaban dan daya tarik kawasan
Mandailing adalah kandungan emas yang terdapat sepanjang Sungai Batang
Gadis, terutama di sekitar Hutabargot. Banyak catatan yang menyebut
betapa emas dari kawasan ini di ekspor ke luar negeri melalui Dermaga
Pantai Barat Mandailing setelah berperahu menyusuri sungai Batang Gadis.
Bukti penambangan emas di kawasan ini juga ditemukan dalam catatan
Daniel Perret. Ia menyabut adanya Garabak ni Agom, tanda aktivitas
pertambangan kono di sekitar Lumpatan Harimau pada koordinat 01 58 41
LU, 99 30 13 BT.
Catatan penting lainnya adalah naskah “Pararaton” (1336 Masehi) yang
ditulis dalam aksara Jawa Pertengahan. Naskah itu menyebutkan bahwa di
Sumatera terdapat lima kerajaan penting, salah satunya adalah Kerajaan
Aru, yang telah berdiri tahun 1295 Masehi. Kawasan Mandailing diyakini di
bawah pengaruh kekuasaan kerajaan tersebut sepanjang abad 13 hingga
15 Masehi.
Dalam berbagai studi itu, Mandailing tidak pernah disebut-sebut
memiliki kaitan dengan apa yang disebut “Batak” dalam literatur modern.
Nama “Batak Tua” tetap disebut-sebut dalam “History of Sumatera” sebagai
kawasan budaya yang tidak pernah disentuh hingga tahun 1030 M.
Munculnya candi-candi di Kawasan Mandailing sejak abad ke 8 – 9
Masehi, menandakan bahwa Mandailing merupakan satu kawasan budaya
yang utuh.
Penegasan Mandailing sebagai kawasan budaya yang utuh juga
diperlihatkan melalui peta sebaran Aksara Mandailing ke kawasan Tapanuli
lainnya. Dalam peta yang dibuat oleh Uli Kozok itu ditunjukkan bahwa
aksara yang kemudian disebut-sebut sebagai “Aksara Batak” justru
berkembang dari Mandailing ke belahan sub-Tapanuli lainnya. Dalam buku
The Angkola-Mandailing Script: A Historical Perspective yang ditulis oleh Uli
Kozok, tampak bahwa aksara rumpun bahasa Tapanuli menyebar dari
Selatan (Mandailing) ke Utara. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan
Mandailing, dengan bahasa dan sistem aksara yang dimilikinya, secara logis
merupakan kebudayaan yang lebih tua dari apa rumpun budaya sub-
Tapanuli lain. Sebab, sistem aksara merupakan penanda penting sebuah
etnis yang utuh, bukan subordinasi dari etnis lainnya.
Menarik untuk dicatat bahwa ejaan "Batak" masih relatif baru. Pada abad ke 1900
orang Eropa menyebut orang Batak sebagai Batta, dan sekali-sekali, Bata. Hanya
H.N. van der Tuuk yang menggunakan ejaan "Batak" sejak tahun 1860an. Istilah
Batak baru mulai populer setelah tahun 1904.
Yang menarik untuk diamati adalah bahwa istilah Batak/Batta hanya digunakan
untuk merujuk kepada sesuatu yang bersifat "universal", seperti Batta-Mission (misi
Batak), dsb. Oleh sebab itu istilah Batak atau Batta relatif jarang digunakan dan
yang lebih sering muncul adalah sebutan yang berkaitan dengan daerah.
Referensi
Perret, Daniel. 2014. History of Padang Lawas, North Sumatra. II, Societies
of Padang Lawas : Mid-ninth-thirteenth century CE. Paris :
Association Archipel.