Anda di halaman 1dari 17

Kawasan Bersejarah

Museum Fatahillah Jakarta

Oleh:
Ibnu Sina Mubarok
Kelas : V
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Museum Fatahillah merupakan aset wisata sejarah di Jakarta. Museum Fatahillah atau
orang lebih mengenal dengan sebutan Museum Sejarah Jakarta terletak di Jalan Taman
Fatahillah no 2, Jakarta Utara Telepon : (62 21) 6901483. Nama Museum Fatahillah diambil
dari nama taman dihalaman Museum Fatahillah. Museum ini menyimpan banyak hal untuk
diceritakan dari masa lalu. Mulai dari perjalanan sejarah Jakarta, hasil penggalian arkeologi
di kawasan Jakarta, mebel antik dari abad ke-18, keramik, gerabah, hingga batu prasasti.
Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan
kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa
keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) semula terletak di perempatan
Harmoni dan meriam Si Jagur dianggap mempunyai kekuatan magis. Museum Fatahillah
juga sudah dilengkapi beberapa fasilitas sehingga cocok sekali untuk dikunjungi wisatawan
domestik maupun mancanegara (Modul Museum Fatahillah, 2008: 15).
Daya tarik Museum fatahillah yaitu mempunyai keistimewaan koleksi
keanekaragaman benda-benda bersejarah, seperti benda-benda arkeologi masa Hindu,
Buddha, hingga Islam, benda-benda budaya peninggalan masyarakat Betawi, aneka mebel
antik mulai abad ke-18 bergaya Cina, Eropa, dan Indonesia, gerabah, keramik, dan prasasti.
Koleksi benda-benda tersebut dipamerkan diberbagai ruang Museum Fatahillah Jakarta,
seperti Ruang Prasejarah, Ruang Jakarta Masa Kini, Ruang Prasasti, Ruang Joen Pieter Zoon
Coen. Bagi pengunjung untuk menikmati koleksi museum akan dimudahkan oleh tata pamer
Museum Sejarah Jakarta. Tata pamer tersebut dirancang berdasarkan kronologi sejarah, yakni
dengan cara menampilkan sejarah Jakarta dalam bentuk display. Koleksi-koleksi tersebut
ditunjang secara grafis oleh foto-foto, gambar-gambar dan sketsa, peta, dan label penjelasan
agar mudah dipahami berdasarkan latar belakang sejarahnya. Selain itu, museum ini juga
memamerkan benda-benda bersejarah lainnya seperti uang logam zaman VOC, aneka
timbangan atau dacinan, meriam Jagur dianggap mempunyai kekuatan magis, serta bendera
dari zaman Fatahillah. Selain itu, pengunjung juga melihat lukisan-lukisan karya Raden
Saleh, peta-peta kuno, dan sebuah foto Gubernur VOC bernama J.P. Coen (Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman, 2006: 25).
Potensi Museum Fatahillah yaitu sebagai obyek wisata adalah sisi perkembangan
Kota Jakarta kuno hingga modern ini. Di kawasan ini terlihat adanya sungai sebagai poros
kota, benteng, kawasan Pecinan, perdagangan, pusat pemerintahan, dan permukiman.
Membawa wisatawan mengembara mengenang dan melihat bagaimana Jakarta berkembang
tentu amat menarik.

Page 2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja latar belakang berdirinya museum Fatahillah Jakarta?


2. Bagaimana sejarah museum Fatahillah Jakarta?
3. Apa saja yang mengatur tentang bangunan tersebut?
4. Bagaimana tindakan konservasi yang akan dan yang sudah dilakukan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya museum Fatahillah Jakarta


2. Untuk mengetahui sejarah museum Fatahilah Jakarta
3. Untuk mengetahui peraturan daerah DKI Jakarta yang mengatur tentang museum
Fatahillah
4. Untuk mengetahui tindakan konservasi yang akan dan yang sudah dilakukan untuk
museum Fatahillah

Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang Berdirinya Museum Fatahillah


Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal sebagai
Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai pelabuhan
dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina pada abad ke-5 M
menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan yang
disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara. Hal ini juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang
yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-
orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina.
To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau
Tarumanegara.
 
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma
berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni
bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau
sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu Citarum.
Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan Tarumanegara itu memang terletak
di aliran Citarum.
 
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah
kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di
ketahui dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni
prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan prasasti Tugu. Prasasti
yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan keterangan dan petunjuk mengenai
kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.
 
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu,
Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat (Kini Museum Nasional/ Museum
Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum
Fatahillah.
 
Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama
beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan ini mengalami
masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti
prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa
Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri
Cina.
 
Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun,
tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada
dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya (yang

Page 4
pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti Keduken Bukit, Kota Kapur
dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung. Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan
ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang
berangka tahun saka 608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa
Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya
mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.
 
Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota
Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau  negeri yang letaknya di
Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan
Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang dan dihancurkan
oleh kerajaan Sriwijaya.
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa.
Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian
bernama Sunda Kalapa yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas
keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.
 
Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan
seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia
perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario, Lincshoten
mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah Sunda Calapa. Di
tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau
Malabar...” Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat
pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika itu adalah Sri
Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan
Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang
bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.
 
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah
penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang lokal dan
internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan
Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.
 
Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling
strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal abad ke-16.
Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan dan
pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam
prasasti Padrao (baca: Padrong). Sementara itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan
Sunda telah muncul Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula
Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap
Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.

Akhirnya, pada 22 Juni 1527, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di
bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut dan
menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan
Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru

Page 5
direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna, atau
kemenangan yang gilang gemilang.
 
Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis
bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang
berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana
Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari
kesultanan Banten. 
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang
Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil menaklukan
Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga
wafat dan dikubur di sana.
 
JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan
mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan
dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang
dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah
sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan di luar benteng)
Batavia.
 
Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini
terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van
Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”. Namun, terlepas dari semua itu,
pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan Banteng), dibangun
patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang pada masa Jepang patung
tersebut dilebur menjadi logam tua. 

Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah
Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan
pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun
sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-1713).
Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari Balai Kota
pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan
selama beberapa tahun saja.
 
Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus masalah
pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan, tempat hukuman
mati, dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”.
Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena banyak
para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu juga Balai Kota
digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh
seorang ketua Dewan Kota Praja.
 
Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah bahwa Sir
John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan
sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini menjadi kantor

Page 6
pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah Kota Praja Batavia
pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah
DKI Jakarta sekarang.
 
Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim
0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak
1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota Batavia awal
direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit.
Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan 1629 kota Batavia
dikurung tentara Mataram.
 
Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur
Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan
lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat
tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga
kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan dibalik tembok
kuatnya.
 
Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion
Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini sekarang masih
ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang tembok kota,
yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809,
dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai
untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang
penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
 
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf
(Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada
waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan
kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di
tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini
menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali Krukut sajalah yang mengalir
melalui Kali Besar. Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit
Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko
Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di
bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal. Pada
abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari
Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang
muncul di benua tropis.
 
Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis. Willard A.
Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa
bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan
kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-
porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan
gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh

Page 7
lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat
dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut
seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
 
Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah
baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada secara
besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun
1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang
diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali
menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui).
 
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter
menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan
kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad
ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja. Hampir tidak dapat
dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang
kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah
ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak
demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di
pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah
utara Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru
sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
 
Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung
lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru
di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang
susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka
orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya
untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The
Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang, waktu
mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini
didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut.
Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi
mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa
oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam
yang mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh
serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa
tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran
airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali
di Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk
itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun
1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus
1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan
Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi
tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur

Page 8
yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat
daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah
mempunyai reputasi jelek”.
 
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang
meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah
Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang
dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup. Tragedi ini menjadi akhir
kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di
tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang
sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah tragedi
ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang
serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.
 
VOC hanya bertahan hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie
(Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan
langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini
berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda atas Batavia
dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi
Pelabuhan Jakarta. Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan
dengan tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang.
Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945,
Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai
ibukota dari Republik Indonesia.

2.2 Sejarah Museum Fatahillah

Staadhuis itulah nama semula gedung Museum Sejarah Jakarta yang berada dijalan
Taman Fatahillah Nomor 1 Jakarta Barat. Luas areal seluruhnya 13.588 m2, dan bangunan
yang berada diatasnya tersebut, dilindungi oleh Pemerintah Pusat maupu Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (Keputusan Mendikbud No.28/M/1988 dan keputusan Gubernur DKI
Jakarta No.475 tahun 1993).

Pada masa pemerintahan VOC di Batavia, Museum Sejarah Jakarta mulanya


digunakan sebagai gedung Balaikota (Stadhuis). Pada tanggal 27 April 1626, Gubernur
Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) membangun gedung balaikota baru yang kemudian
direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van
Hoorn dan baru selesai pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Abraham van Riebeeck.

Selain sebagai Balaikota, gedung ini juga berfungsi sebagai Pengadilan, Kantor
Catatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja (College van
Scheppen). Pada tahun 1925-1942 gedung ini juga dimanfaatkan sebagai Kantor
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor
pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 digunakan pula sebagai Markas Komando

Page 9
Militer Kota (KMK) I yang kemudian menjadi Kodim 0503 Jakarta Barat. Setelah itu pada
tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan
sebagai Museum pada tahun 1974.

Museum Sejarah Jakarta yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat
ini adalah sebuah lembaga museum yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Pada tahun
1919, dalam rangka 300 tahun berdirinya kota Batavia, warga kota Batavia khususnya
Belanda mulai tertarik dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1930 didirikanlah sebuah
yayasan yang bernama Oud Batavia (Batavia Lama) yang bertujuan untuk mengumpulkan
segala ihwal tentang sejarah kota Batavia. Tahun 1936, Museum Oud Batavia diresmikan
oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), dandibuka
untuk umum pada tahun 1939.

Museum Oud Batavia ini merupakan lembaga swasta di bawah naungan Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Batavia untuk Seni dan
Ilmu Pengetahuan) yang didirikan pada tahun 1778 dan turut berperan dalam mendirikan
Museum Nasional. Koleksi-koleksinya kebanyakan merupakan peninggalan-peninggalan
masyarakat Belanda yang bermukim di Batavia sejak awal abad XVI, seperti mebel,
perabot rumah tanngga, senjata, keramik, peta, serta buku-buku.

Pada masa kemerdekaan, Museum Oud Batavia berubah nama menjadi Museum
Djakarta Lama dibawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan pada tahun
1968 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Setelah Museum Sejarah Jakarta diresmikan
pada tanggal 30 Maret 1974, maka seluruh koleksi dari Museum Djakarta Lama
dipindahkan ke Museum Sejarah Jakarta dan ditambah dengan koleksi dari Museum
Nasional.

Sedari tahun 1999 Museum Sejarah Jakarta digagas bukan sekedar sebagai tempat
untuk merawat dan memamerkan benda yang berasal dari masa penjajahan, tetapi harus
bisa menjadi tempat bagi seluruh khalayak untuk menambah pengetahuan dan pengalaman
tentang sejarah kota Jakarta, serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Museum ini
berupaya menyediakan berbagai informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota
Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih kreatif, serta
menyelenggarakan kegiatan yang rekreatif dan menarik guna meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya warisan budaya.

Pada awalnya sejarah museum fatahillah merupakan bangunan kolonial Belanda yang
dipergunakan sebagai balai kota. Peresmian gedung dilakukan pada tanggal 27 April 1626,
oleh Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) dan membangun gedung balai
kota baru yang kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707, pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan baru selesai pada tanggal 10 Juli
1710 di masa pemerintahan lain, yaitu pada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck.
Gedung yang dipergunakan sebagai Balaikota ini, juga memiliki fungsi sebagai
Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu, dan Dewan
Kotapraja (College van Scheppen). Kemudian sekitar tahun 1925-1942, gedung tersebut

Page 10
juga digunakan untuk mengatur sistem Pemerintahan pada Provinsi Jawa Barat. Kemudian
tahun 1942-1945, difungsikan sebagai kantor tempat pengumpulan logistik Dai Nippon.
Kemudian sekitar tahun 1919 untuk memperingati berdirinya batavia ke 300 tahun, warga
kota Batavia khususnya para orang Belanda mulai tertarik untuk membuat sejarah tentang
kota Batavia. Lalu pada tahun 1930, didirikanlah yayasan yang bernama Oud Batavia
(Batavia Lama) yang bertujuan untuk mengumpulkan segala hal tentang sejarah kota
Batavia.
Tahun 1936, Museum Oud Batavia diresmikan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), dan dibuka untuk umum pada tahun 1939.. Setelah
itu pada tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan kemudian
dijadikan sebagai Museum pada tahun 1974. Pada sejarah museum fatahillah berdasarkan
pembentukannya hingga bisa kita kunjungi sampai sekarang ini, menyimpan sisa
penjajahan di dalamnya. Terbentuk menjadi dua lantai dengan ruang bawah tanah ini,
berisikan banyak peninggalan bersejarah yaitu :

• Lantai bawah : Berisikan peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik barang


kerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang ditemukan para
arkeolog. Terdapat pula peninggalan kerajinan asli Betawi (Batavia) seperti dapur
khas Betawi tempo dulu
• Lantai dua : Terdapat perabotan peninggalan para bangsa Belanda mulai dari tempat
tidur dan lukisan-lukisan, lengkap dengan jendela besar yang menghadap alun-alun.
Konon, jendela besar inilah yang digunakan untuk melihat hukuman mati para
tahanan yang dilakukan di tengah alun-alun.
• Ruang bawah tanah : Yang tidak kalah penting pada bangunan ini adalah, penjara
bawah tanah para tahanan yang melawan pemerintahan Belanda. Terdiri dari 5
ruangan sempit dan pengap dengan bandul besi, sebagai belenggu kaki para tahanan.

2.3 Peraturan Daerah


Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian
daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua.
Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa
peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa
zaman yang berbeda.
 
Untuk melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta melindungi bangunan-bangunan
tersebut berdasarkan Undang-Undang Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931,
(Staatsblad Tahun 1931 No. 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21
Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934, No. 515). Upaya ini tak lepas dari peran dan ide sang
Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977) tatkala dirinya banyak
berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy Menteri Panglima Angkatan Laut
sebelum menjadi gubernur.
 
Ali Sadikin segera merealisasikan ide dan gagasannya itu dengan berlandaskan pada
Undang-Undang di atas ke dalam SK Gubernur No.Cb. 11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972

Page 11
yang pada intinya berisi penetapan tentang pemugaran bangunan, penetapan daerah khusus
yang dilindungi karena bernilai sejarah dan arsitektur.
 
Upaya ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk
menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-Undang
No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun kemudian direalisasikan
oleh Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang
isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi
sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.
 
Dalam UU no 5 tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya
adalah : (dalam Bab 1 pasal 1) yaitu : (1)  Benda buatan manusia, bergerak atau tidak
bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang
berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili
masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; (2) Benda alam yang dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Adapun ” situs” adalah lokasi atau lingkungan yang mengandung atau diduga
mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi
pengamanannya. Dalam bab 1 pasal 2 menyebutkan sebagai berikut bahwa perlindungan
benda cagar budaya dan situs (lingkungannya) untuk bertujuan melestarikan dan
memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan  bahwa : (10 Semua benda cagar budaya dikuasai
oleh Negara, (2) Penguasaan benda cagar budaya meliputi benda cagar budaya yang terdapat
di wilayah hukum RI. Hal ini menjelaskan bahwa benda cagar budaya tidak bisa dikatakan
sebagai barang pribadi.
Dalam Bab 8 Pasal 26 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja merusak benda
cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil,
mengubah bentuk dan atau warna, memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa ijin
dari pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 tahun dan atau
denda setinggi-tingginya 100 juta.
Pasal 27 menyebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar
budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara menggali,
penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lain tanpa ijin pemerintah dapat
dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda setingginya 50 juta.
 
Asep Kambali, pemerhati Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat
lebih dari 216 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No.
475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat mengkhawatirkan. Hal ini
menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum memiliki perhatian dan kepedulian terhadap

Page 12
potensi kotanya sendiri. Ini juga disinyalir sebagai rendahnya kesadaran sejarah dan budaya
warga kota metropolitan tersebut.

Dalam Perda DKI Jakarta pasal 1 no 47 “Kawasan cagar budaya adalah kawasan atau
kelompok bangunan yang memiliki nilai sejarah, budaya dan nilai lainnya yang dianggap
penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
dokumentasi dan pariwisata.” Dalam Pasal 71 menyebutkan :
Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f, sebagai
berikut:
a. kawasan pemugaran bangunan dan objek bersejarah; dan
b. kawasan warisan budaya.
(2) Lokasi kawasan pemugaran bangunan dan objek bersejarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, ditetapkan sebagai berikut:
a. kawasan Kota Tua;
b. kawasan Menteng;
c. Rumah Si Pitung;
d. kawasan Kebayoran Baru; dan
e. kawasan pemugaran bangunan dan objek bersejarah lainnya.
(3) Kepada pemilik tanah dan bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan pemugaran
dan/atau objek bersejarah dapat diberikan kompensasi berupa insentif tanpa mengubah status
kepemilikan.
(4) Lokasi kawasan warisan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
Kawasan Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan.
(5) Pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut:
a. melestarikan budaya, hasil budaya atau peninggalan sejarah bernilai tinggi dan
khusus untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, dan sejarah;
b. memugar hasil budaya atau peninggalan sejarah bernilai tinggi untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, pendidikan kebudayaan, dan sejarah;
c. melarang kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai fungsi kawasan cagar
budaya; dan
d. mengemas bangunan dan objek bersejarah untuk dapat
mendukung kegiatan pariwisata.
(6) Setiap kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
diwajibkan memiliki Rencana Pelestarian, Pemugaran, dan Pengendalian Ruang Kawasan
Cagar Budaya.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Pelestarian, Pemugaran, dan Pengendalian
Ruang Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan
Gubernur.

2.4 Tindakan Konservasi

Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939. Pada masa
kemerdekaan museum ini berubah menjadi ”Museum Djakarta Lama” di bawah naungan LKI
(Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ”Museum Djakarta
Lama” diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu -Ali
Sadikin- kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30
Maret 1974. Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak
tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat,

Page 13
memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat
bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan
bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati
sebagai tempat rekreasi.

Kerusakan Bangunan

Kerusakan bangunan ini berdasarkan hasil observasi adalah sebagai berikut:

 Kerusakan Fisik

Kerusakan ini disebabkan oleh faktor alam seperti air hujan, angin dan panasnya matahari.
kerusakan yang disebabkan oleh faktor ini sehingga mengakibatkan tampak rapuh dan kusam.
Selain itu komponen bahan bangunan dari kayu seperti pintu kayu, jendela, dan sebagainya
juga rusak akibat faktor ini.

 Kerusakan Mekanis

Kerusakan ini disebabkan faktor konstruksi dan struktur bangunan itu sendiri maupun faktor
dari luar.

Saat ini, bangunan bersejarah Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan
Museum Fatahillah yang mendapat perhatian lebih. Perhatian lebih ini diwujudkan dengan
melakukan renovasi dan konservasi tehadap museum yang terletak di Jakarta Barat ini. Tahap
konservasi dan renovasi sudah berjalan sejak tanggal 14 Oktober 2014 lalu, dan untuk
sementara ditutup bagi pengunjung.

Kepala Museum Fatahillah, Enny Prihatini mengatakan biaya untuk kegiatan


konservasi dan renovasi museum mencapai Rp 20 miliar. Diperkirakan proses konservasi dan
renovasi museum ini akan rampung pada bulan Januari 2015.

Museum Sejarah Jakarta ditutup sementara untuk menjalani konservasi dan baru
dibuka kembali tanggal 5 Februari 2015. Secara sekilas tampak tidak ada yang berubah,
namun ketika Anda masuk ke dalam maka Anda akan melihat bedanya.

Gedung bekas kantor VOC yang diresmikan menjadi museum di tahun 1974 ini
mungkin adalah satu-satunya museum yang akan meminta Anda untuk membuka alas kaki
Anda dan menggunakan sandal yang telah disediakan. Semua ini dilakukan untuk
memelihara gedung museum yang sudah tua.

Tindakan Konservasi yang dililih adalah preservasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan


konsilidasi. Dimana kegiatan tersebut sudah dilaksanakan oleh pemerintah pada bulan
Oktober 2014 – Januari 2015. Tindakan-tindakan yang demikian sebenarnya sudah
meralisasikan pada 10 Januari 1972 oleh Ali Sadikin (selaku Gubernur DKI Jakarta kala itu).
Namun kegiatan tersebut terhambat 20 tahun karena dinilai perlu untuk menetapkan
pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun
1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun kemudian direalisasikan oleh Pemda
DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya

Page 14
menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi sebagai
bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.

Kegiatan Konservasi yang harus dilakukan adalah kegiatan yang sama dengan
kegiatan yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Misalnya dengan cara menggunakan cat anti
rayap agar benda-benda yang terbuat dari kayu tidak lapuk dan dimakan rayap. Dan juga
pemeritah yang selaku pemilik bangunan harus lebih memerhatikan bangunan bukan hanya
melakukan konservasi di luar bangunan tetapi di dalam juga. Mengadakan sosialisasi
terhadap pedagang-pedagang kaki lima yang memakai lapak disana untuk berjualan agar
membersihkan sampah-sampah yang ditimbulkan dari usahanya. Dan juga sosialisasi dengan
masyarakat dengan maksud melarang masyarakat untuk buang air kecil sembarangan di
pinggir bangunan, dilarang mencoret dinding bangunan, dan dilarang untuk membuang
sampah di areal bangunan. Pemerintah juga harus mengadakan tempat sampah yang ekstra.

Page 15
2.5 Lampiran Foto

Museum Fatahillah tempo dulu dan sekarang

Isi dari Museum


Fatahillah

Pedagang Kaki Lima yang berjualan di daerah Kota Tua

Page 16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-
orang Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil menaklukan
Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga
wafat dan dikubur di sana. JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan
seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya,
Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan
sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan
kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan
di luar benteng) Batavia. Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi
Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat
kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua
tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-
1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari Balai Kota
pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan
selama beberapa tahun saja.

Peraturan Daerah yang diberlakukan untuk menjaga dan melesdarikan banguna Museum
Fatahillah Jakarta adalah UU no 5, Perda DKI Jakarta pasal 1 no 47, dan Dalam Pasal 71
menyebutkan :
Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf f, sebagai
berikut:
a. kawasan pemugaran bangunan dan objek bersejarah; dan
b. kawasan warisan budaya.
(2) Lokasi kawasan pemugaran bangunan dan objek bersejarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, ditetapkan sebagai berikut:
a. kawasan Kota Tua;

Tindakan Konservasi yang dipilih adalah preservasi, rekonstruksi, dan revitalisasi. Misalnya
dengan cara menggunakan cat anti rayap agar benda-benda yang terbuat dari kayu tidak lapuk
dan dimakan rayap. Dan juga pemeritah yang selaku pemilik bangunan harus lebih
memerhatikan bangunan bukan hanya melakukan konservasi di luar bangunan tetapi di dalam
juga. Mengadakan sosialisasi terhadap pedagang-pedagang kaki lima yang memakai lapak
disana untuk berjualan agar membersihkan sampah-sampah yang ditimbulkan dari usahanya.
Dan juga sosialisasi dengan masyarakat dengan maksud melarang masyarakat untuk buang
air kecil sembarangan di pinggir bangunan, dilarang mencoret dinding bangunan, dan
dilarang untuk membuang sampah di areal bangunan. Pemerintah juga harus mengadakan
tempat sampah yang ekstra.

Page 17

Anda mungkin juga menyukai