Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Letak Geografis Kota Tua


Kota Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan
Tamansari Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di
dua wilayah kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua
sebagai cikal bakal Jakarta, tentunya menyimpan banyak cerita di balik
megahnya bangunan (tua) cagar budaya peninggalan masa lalu dari zaman
kolonial Belanda.
Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar
Ikan, Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan
dengan jalan Jembatan Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan
dengan Kali Krukut dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.
Kota Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota rebutan yang
menjadi simbol kejayaan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Tak
heran jika mulai dari Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda Pajajaran,
Kesultanan Banten Jayakarta, Verenigde Oost-indische
Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik Indonesia
melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya
menjadi kota nomor satu di negara ini.

2.2 Latar Belakang Sejarah


Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini
dikenal sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai
bangsa di dunia sebagai pelabuhan dagang internasional termegah di Asia
Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina pada abad ke-5 M menceritakan
bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan
yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara. Hal ini juga terdapat di
dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-
utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-

3
4

ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo
disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma
atau Tarumanegara.
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-
negara atau Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-
tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum
(indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau sejenisnya.
Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu
Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan
Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal,
Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi,
Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah prasasti yang
ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni
prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan
prasasti Tugu. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak
memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di
pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu
Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah
Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini
dipindahkan ke Museum Pusat (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah),
dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau
Museum Fatahillah.
Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti
baginda. Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang
begitu saja dan kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah.
Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu
bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa
Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada
669 M ke negeri Cina.
5

Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu


kekuasaan luar. Namun, tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan
lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan
Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya (yang pusatnya di
Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti Keduken Bukit, Kota
Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya
ke Bhumijawa. Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang
berangka tahun saka 608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini
diceritakan pulabahwa Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan
Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya
untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.
Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di
dalam prasasti Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa.
Kerajaan atau negeri yang letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan
kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan Tarumanegara. Maka
sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang dan dihancurkan
oleh kerajaan Sriwijaya.
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal
sebagai pelabuhan Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan
Sunda –Pajajaran, maka kemudian bernama Sunda Kalapa yang terletak di
muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas keterangan di dalam
prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.
Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat
oleh keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang
menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis,
dalam karyanya Itinerario, Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan
utama di pulau ini (Jawa) adalah Sunda Kelapa. Di tempat ini didapati
sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau
Malabar...”
6

Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14


dan pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang
terkenal ketika itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang
pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar
100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang
bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.
Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam
pelabuhan penting di bawah penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang
ramai dikunjungi pedagang-pedagang lokal dan internasional terutama dari
negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan Banten,
Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang
letaknya paling strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan
semakin terkenal di awal abad ke-16. Dimana ketika itu orang-orang
Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan dan pertahanan
dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan
ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah
muncul Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula
Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat
berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya, pada 22 Juni 1527, Kesultanan Demak, Cirebon dan
Banten bersatu di bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa
yang secara cepat berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa.
Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan Trenggono –
penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru
direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan
sempurna, atau kemenangan yang gilang gemilang.
Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang
secara hierarkis bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung
7

Jati wafat pada 1568, putranya Maulana Hasanudin menjadi Sultan


berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari kesultanan
Banten.
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang
berakhir ketika orang-orang Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan
Pieterszoon Coen berhasil menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran
Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga wafat dan dikubur
di sana.
JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh
isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah
penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan
perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang
Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan
rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di
(dalam dan di luar benteng) Batavia.
Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang
pendiri Batavia ini terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh
sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa
“namanya selalu berbau darah”. Namun, terlepas dari semua itu, pada
ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan Banteng),
dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang
pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua.
Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi
Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua
yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu
diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah
diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-1713).
Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari
Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun
1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.
8

Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain


mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan,
catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga
dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian,
Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena
banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di
samping itu juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi
atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang
ketua Dewan Kota Praja.
Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa
bersejarah bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada
Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-
1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini menjadi kantor
pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah
Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di
samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai
Markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur,
gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum
Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan
sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit.
Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan
1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.
Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di
bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok
diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau
benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi
pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara
untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga
yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.
9

Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut,


didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia.
Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara
Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai
berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809,
dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17).
Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti
pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang
digunakan sebagai Museum Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer
Er Scheepswerf(Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah
tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi
masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi
di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di
tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali
Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali
Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah
elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang
dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok, kusen dan papan
dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di bangun sekitar tahun 1730
oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal. Pada abad ke-
18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het
Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya
demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun
drastis. Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat,
bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam
tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada
gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-
porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai
10

letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan
terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah
dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu
mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut
seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna
membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah
mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan
terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun 1732.
Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit,
yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi
penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada
zaman itu belum diketahui).
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang
dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke
tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak
bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak
peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.
Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota
dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu
meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke
selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang.
Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak
mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini
menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena
itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het
graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam
kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang
batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan.
‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah
11

mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah


dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan
rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John
Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands
and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat
garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-
kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat
dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang
dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi
mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah
malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota.
Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini
makin parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan
gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699.
Gempa tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal
sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak
lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia bahkan tanggul-
tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu baru
dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman
Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung
dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut
diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang
ditegakkan kembali. Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai
dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang
dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus
sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis
manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah
mempunyai reputasi jelek”.
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche
Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota
12

dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah
sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang
dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal
pembentukan Nieuw Batavia(Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini
sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota
akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah
tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam
memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia
yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC hanya bertahan hingga 1799, setelah itu pemerintahan
Nederlansche Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan
Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada
pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat.
Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan
Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta
begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta. Pada
periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan
tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh
sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat
pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat
Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai