LANDASAN TEORI
3
4
ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo
disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma
atau Tarumanegara.
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-
negara atau Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-
tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum
(indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau sejenisnya.
Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu
Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan
Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal,
Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi,
Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah prasasti yang
ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni
prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan
prasasti Tugu. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak
memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di
pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu
Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah
Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini
dipindahkan ke Museum Pusat (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah),
dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau
Museum Fatahillah.
Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti
baginda. Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang
begitu saja dan kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah.
Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu
bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa
Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada
669 M ke negeri Cina.
5
letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan
terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah
dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu
mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut
seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna
membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah
mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan
terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun 1732.
Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit,
yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi
penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada
zaman itu belum diketahui).
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang
dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke
tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak
bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak
peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.
Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota
dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu
meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke
selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang.
Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak
mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini
menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena
itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het
graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam
kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang
batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan.
‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah
11
dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah
sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang
dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal
pembentukan Nieuw Batavia(Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini
sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota
akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah
tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam
memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia
yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC hanya bertahan hingga 1799, setelah itu pemerintahan
Nederlansche Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan
Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada
pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat.
Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan
Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta
begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta. Pada
periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan
tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh
sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat
pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat
Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik
Indonesia.