Anda di halaman 1dari 2

Estafet Peradaban dari Majapahit ke Demak

Dalam sejarah kapal perang, HWS Warior milik angkatan laut Inggris yang dibuat pada tahun 1860 merupakan kapal
perang pertama di dunia yang berbahan besi (logam). Padahal, menurut catatan pelaut Portugis bernama Tomi pires dan
Kapten perang Portugis yang ditugaskan untuk menyerang malaka, Fernão Pires de Andrade pada tahun 1511, Adipati
Unus dari Jepara bersama pasukan demak yang ingin membebaskan Malaka dari cengkraman portugis digambarkan
menaiki kapal perang mirip kura-kura, ketika kapal tersebut ditembaki dengan meriam Es Vera ukuran besar, kapal kura-
kura itu tak bergeming. Tomi pires dalam catatannya menyebutkan bahwa kapal tersebut adalah kapal yg terbuat dari
logam tiga lapis. Setelah penyerbuan di Malaka yg berujung kekalahan, kapal tersebut didamparkan di tepi laut Jepara
sebagai simbol monumen perlawanan atas portugis. Catatan Tomi pires inilah yang kita kenal dengan “Suma Oriental”.
Dari fakta sejarah tersebut, kita bisa melihat kecanggihan teknologi kapal perang yang dimiliki armada Demak kala itu,
sekaligus mengungkap fakta bahwa kapal perang berbahan besi pertama di dunia bukanlah milik armada angkatan laut
Inggris, melainkan jauh 300 tahun sebelum itu, kapal perang milik Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus) dari Jepara di
bawah Kesultanan Demak, sudah mampu menciptakan kapal perang berbahan logam tiga lapis yang digambarkan mirip
kura-kura tersebut. 
Pramoedya Ananta Toer dalam novel sejarahnya berjudul “Arus Balik’, menggambarkan bagaimana masyarakat Tuban
ketika itu berdecak kagum dengan ratusan kapal (Jung) perang berukuran besar yang bergerak ke Demak. Dikisahkan
Pram, Adipati Tuban ketika itu memerintahkan agar pasukannya berjalan dulu ke Jepara untuk bergabung di bawah
komando Adipati Unus.
Pada masa keemasannya, Kesultanan Demak tidak hanya memimpin teknologi militer mutakhir dengan kapal perang dan
meriamya, melainkan dari aspek perdagangan global pasca jatuhnya Malaka, Demak seperti yang dituliskan M.C.
Ricklefs dalam ‘Sejarah Indonesia Modern”, pasca takluknya Kesultanan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511,
Kesultanan Demak segera bangkit menggantikan Malaka. Dalam waktu singkat, Demak menjadi pusat perdagangan,
otoritas politik, dan sekaligus pusat pendidikan Islam paling maju. Situasi ini secara otomatis mengangkat pamor
Kesultanan Demak sebagai pusat episentrum peradaban di Nusantara.
Kita mungkin bertanya bagaimana mungkin Kesultanan Demak yang masih tergolong kesultanan berusia belia tersebut,
dalam waktu singkat dapat menguasai imperium peradaban dunia. Hal ini bisa kita pahami dengan melihat jalur genealogi
kerajaan tersebut. Kesultanan Demak sebenarnya sama sekali bukanlah kesultanan baru, melainkan adalah kelanjutan
dari Kerajaan Majapahit. 
Menurut Agus Sunyoto, salah satu aspek yang membuat Kesultanan Demak langsung mendapat legitimasi sebagai
pewaris kekuasaan Majapahit di tanah Jawa adalah karena sistem politik dan hukum yang ditegakkan di negara tersebut,
tetap menganut asas kebiasaan yang dikenal di Majapahit. Sehingga rakyat khususnya yang bermukim jauh dari ibu kota
Majapahit dan dekat dengan Demak, lebih memilih tunduk pada kesultanan Islam pertama di Pulau Jawa ini, karena
mereka jauh lebih mudah beradaptasi, meskipun Kesultanan Demak secara prinsip adalah identitas politik Islam pertama
di tanah Jawa.  
Selain sistem hukum dan politik yang menganut asas kebiasaan Majapahit dari segi nasab atau genetika menurut Carita
Purwaka Caruban Nagari, Raden Patah pendiri Kesultanan Demak merupakan putra dari Prabu Brawijaya V, Raja
Majapahit dari selir asal Champa bernama Retno Siu Ban Ci. Sekalipun dalam sejarah, Raden Patah dikenal sebagai
pendiri Kesultanan Demak Bintara bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayyidin
Pranatagama, menurut sumber yang lain, Raden Patah juga menggunakan gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah, namun
peran pentingnya dalam pengembangan dakwah Islam tercatat dalam berbagai historiografi lokal, terutama dalam
hubungan penyusunan hukum positif, tradisi keagamaan, sastra, dan seni budaya.
Pada tahun 1479, yakni setahun setelah Majapahit diserang Girindrawardhana, Raden patah selaku Adipati Demak
Bintara dicatat selain meresmikan berdirinya Masjid Agung Demak juga memaklumkan berlakunya Kitab Undang-Undang
Salokantara, yang merupakan salah satu bagian dari kompendium hukum pra Majapahit selain kitab Undang-Undang
Hukum Kutara Manawa Dharmasastra bagi penduduk Demak Bintara. Bahkan, tidak lama kemudian, Raden Patah
memaklumkan Kitab Undang-undang hukum baru yang disebut Angger Surya Ngalam.
Dengan diterapkannya Kitab Undang-Undang Hukum Angger Surya Ngalam yang secara esensi tidak jauh berbeda
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawa Dharmasastra, seperti apabila mencuri maka akan dijatuhi
hukuman potong tangan, berzina akan dihukum bunuh, mencuri dengan membunuh akan dijatuhi hukuman penggal, dan
masih banyak lagi, maka penegakan hukum yang terkenal tegas dan adil di era majapahit, pada akhirnya juga dianut dan
dipatuhi oleh masyarakat Demak untuk memelihara ketertiban masyarakat. 
Dari gambaran di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban tinggi yang dicapai Kesultanan Demak hingga mampu
menjadi pusat peradaban episentrum di Nusantara pada masa jayanya baik berdasar dari genealogi genetika, sistem
hukum, politik, perdagangan, dan teknologi militer merupakan estafet peradaban dari masa kejayaan Majapahit.  

Anda mungkin juga menyukai