Anda di halaman 1dari 18

Sejarah Kerajaan Demak

histori.id

Adalah para mubalig Wali Songo yang berjasa dalam berdirinya Kerajaan Demak. Selama
menyiarkan dan mengembangkan agama Islam, mereka berupaya memusatkannya di satu
lokasi dan Demak adalah sentral yang kemudian dipilih di pesisir utara Jawa bagian tengah. L

antas, atas dukungan Wali Songo, khususnya Sunan Ampel, Raden Patah pun ditunjuk
sebagai penyiar agama Islam di kawasan Demak. Tak hanya itu, Raden Patah juga membuka
pesantren yang berlokasi di Desa Glagah Wangi.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga Desa Glagah Wangi mengundang minat masyarakat.
Peran desa tersebut perlahan berubah dari sekadar pusat ilmu pengetahuan jadi pusat
perdagangan. Ketika keberadaannya semakin dikenal dan besar, Desa Glagah Wangi pun
berkembang menjadi Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama yang berdiri di Pulau Jawa.

Kerajaan Demak resmi berdiri beberapa saat setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, yakni
sekitar 1481 M atau 1403 tahun Saka. Majapahit sendiri kali terakhir dikuasai oleh Prabu
Brawijaya V (Kertabumi) dan Demak merupakan kadipaten di bawah naungan kerajaan
Hindu-Budha tersebut.

Letak Kerajaan Demak


ipsmudah.com

Berdasarkan studi IAIN Walisongo, Jawa Tengah, pada 1974, ada tiga wilayah yang
diprediksi menjadi letak Kerajaan Demak, antara lain:

1. Bukti kesatu menyatakan tak ada bekas Kesultanan/Kerajaan Demak. Hasil penelitian
ini mengungkapkan bila kepentingan Raden Patah selama di Demak hanya
menyiarkan agama Islam. Sementara tempat tinggalnya adalah rumah biasa alih-alih
istana megah seperti yang dikatakan banyak pihak. Masjid yang dibangun Wali Songo
pun hanya dianggap sebagai lambang kesultanan;
2. Bukti kedua menyebutkan masjid persembahan Wali Songo terletak tak jauh dari
istana. Keraton atau Kerajaan Demak diperkirakan ada di tempat yang kini jadi lokasi
Lembaga Permasyarakatan (sebelah timur Alun-alun). Disebut-sebut pihak Belanda
menghilangkan kesan keraton di tempat tadi. Anggapan tersebut didasarkan pada
penemuan nama sitihingkil (setinggi), sampangan, pungkuran,
betengan, dan jogoloyo;
3. Bukti ketiga mengungkapkan letak istana/keraton berhadapan dengan Masjid Agung
Demak; menyeberangi sungai dengan keberadaan dua pohon pinang. Banyak
masyarakat yang masih percaya bila di antara kedua pohon tersebut terdapat makam
Kiai Gunduk.

1. Raden Patah (1500-1518)

Dikenal juga sebagai Pangeran Jimbun, Raden Patah diberi gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah
saat menjadi pemimpin Kerajaan Demak. Di bawah masa pemerintahannya Masjid Agung
Demak didirikan di tengah Alun-alun Demak.
Selain itu, posisi kerajaan ini semakin penting kala Malaka jatuh ke tangan Portugis. Meski
demikian, Raden Patah tidak ingin mengambil risiko besar dan mengutus putranya Pati Unus
beserta armadanya pada 1513 untuk menyerang Portugis di Malaka. Sayangnya, serangan
tadi tidak berbuah manis karena kualitas persenjataan yang tak imbang.

2. Pati Unus (1518-1521)

Pati Unus serta-merta memegang pemerintahan Kerajaan Demak saat Raden Patah wafat
pada 1518. Kendati penyerangannya terhadap Portugis di Malaka gagal, Pati Unus tetap
dianggap sebagai panglima perang gagah nan berani, sekaligus disegani masyarakatnya.

Bahkan dia mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor. Selepas perjalanan ke Malaka, Pati
Unus merancang penyerangan selanjutnya ke Katir. Hal ini dilakukan untuk mengadakan
blokade terhadap Portugis dan kali ini strateginya berhasil membuat para pendatang tersebut
kekurangan stok makanan.

3. Sultan Trenggono (1521-1546)

Karena Pati Unus tidak memiliki keturunan, maka tampuk kekuasaan jatuh ke tangan
adiknya, Sultan Trenggono. Di bawah pemerintahannya pula Kerajaan Demak mengalami
masa kejayaan. Selain dikenal sebagai pemimpin bijaksana, Sultan Treggono mampu
memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada 1522, dia
mengirimkan tentara kerajaan di bawah pimpinan Fatahillah ke Sunda Kelapa untuk
mengusir Portugis.

Tak lama setelah itu, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta dan dikenal dengan
nama Jakarta beberapa abad kemudian.

Masa Keruntuhan Kerajaan Demak

Kekacauan di Kerajaan Demak mulai terjadi selepas wafatnya Sultan Trenggono. Sejumlah
calon raja bertikai, di antaranya putra Sultan Trenggono, Sunan Prawoto, dan Arya
Penangsang (putra Pangeran Sekar Ing Seda Lepen).

Sunan Prawoto membunuh adik tiri Sultan Trenggono, sementara itu Arya Penangsang
mendapatkan dukungan Sunan Kudus selaku gurunya untuk merebut takhta Demak. Dia juga
mengirimkan Rangkud, anak buahnya, untuk membalas dendam atas kematian sang ayah.

Ada dua versi cerita seputar pembunuhan Sunan Prawoto berdasarkan Babad Tanah Jawi.
Kesatu, dia dibunuh setelah mengakui kesalahannya pada Rangkud. Kedua, Rangkud sempat
berkelahi dengan Sunan Prawoto setelah tak sengaja menikam istri sang sunan. Tak berbeda
jauh, Arya Penangsangan juga menghabisi adipati Jepara beserta istri.

Ratu Kalinyamat, dibantu Joko Tingkir/Hadiwijaya beserta menantu Sultan Trenggono,


mengangkat senjata untuk melawan Arya Penangsang. Ketika Arya Penangsang berhasil
dihabisi, Kerajaan Demak pada akhirnya jatuh ke tangan Pajang pada 1586
Peninggalan sejarah

. Masjid Agung Demak

Peninggalan Kerajaan Demak yang paling dikenal tentu adalah Masjid Agung Demak.
Bangunan yang didirikan oleh Walisongo pada tahun 1479 ini masih berdiri kokoh hingga
saat ini meski sudah mengalami beberapa renovasi. Bangunan ini juga menjadi salah satu
bukti bahwa kerajaan Demak pada masa silam telah menjadi pusat pengajaran dan
penyebaran Islam di Jawa. Jika Anda tertarik untuk melihat keunikan arsitektur dan nilai-nilai
filosofisnya , datanglah ke masjid ini. Letaknya berada di Desa Kauman, Demak – Jawa
Tengah.

2. Pintu Bledek

Dalam bahasa Indonesia, Bledek berarti petir, oleh karena itu, pintu bledek bisa diartikan
sebagai pintu petir. Pintu ini dibuat oleh Ki Ageng Selo pada tahun 1466 dan menjadi pintu
utama dari Masjid Agung Demak. Berdasarkan cerita yang beredar, pintu ini dinamai pintu
bledek tak lain karena Ki Ageng Selo memang membuatnya dari petir yang menyambar. Saat
ini, pintu bledek sudah tak lagi digunakan sebagai pintu masjid. Pintu bledek dimuseumkan
karena sudah mulai lapuk dan tua. Ia menjadi koleksi peninggalan Kerajaan Demak dan kini
disimpan di dalam Masjid Agung Demak.

3. Soko Tatal dan Soko Guru

Soko Guru adalah tiang berdiameter mencapai 1 meter yang berfungsi sebagai penyangga
tegak kokohnya bangunan Masjid Demak. Ada 4 buah soko guru yang digunakan masjid ini,
dan berdasarkan cerita semua soko guru tersebut dibuat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Sang
Sunan mendapat tugas untuk membuat semua tiang tersebut sendiri, hanya saja saat ia baru
membuat 3 buah tiang setelah masjid siap berdiri. Sunan Kalijaga dengan sangat terpaksa
kemudian menyambungkan semua tatal atau potongan-potongan kayu sisa pembuatan 3 soko
guru dengan kekuatan spiritualnya dan mengubahnya menjadi soko tatal alias soko guru yang
terbuat dari tatal.

4. Bedug dan Kentongan

Bedug dan kentongan yang terdapat di Masjid Agung Demak juga merupakan peninggalan
Kerajaan Demak yang bersejarah dan tak boleh dilupakan. Kedua alat ini digunakan pada
masa silam sebagai alat untuk memanggil masyarakat sekitar mesjid agar segera datang
melaksanakan sholat 5 waktu setelah adzan dikumandangkan. Kentongan berbentuk
menyerupai tapal kuda memiliki filosofi bahwa jika kentongan tersebut dipukul, maka warga
sekitar harus segera datang untuk melaksanakan sholat 5 waktu secepat orang naik kuda.

5. Situs Kolam Wudlu

Situs kolam wudlu dibuat seiring berdirinya bangunan Masjid Demak. Situs ini dahulunya
digunakan sebagai tempat berwudlu para santri atau musyafir yang berkunjung ke Masjid
untuk melaksanakan sholat. Namun, saat ini situs tersebut sudah tidak digunakan lagi untuk
berwudlu dan hanya boleh dilihat sebagai benda peninggalan sejarah.
6. Maksurah Maksurah

adalah dinding berukir kaligrafi tulisan Arab yang menghiasi bangunan Masjid Demak.
Maksurah tersebut dibuat sekitar tahun 1866 Masehi, tepatnya pada saat Aryo Purbaningrat
menjabat sebagai Adipati Demak. Adapun tulisan dalam kaligrafi tersebut bermakna tentang
ke-Esa-an Alloh.

7. Dampar Kencana

Dampar kencana adalah singgasana para Sultan yang kemudian dialih fungsikan sebagai
mimbar khutbah di Masjid Agung Demak. Peninggalan Kerajaan Demak yang satu ini hingga
kini masih terawat rapi di dalam tempat penyimpanannya di Masjid Demak.

8. Piring Campa

Piring Camapa adalah piring pemberian seorang putri dari Campa yang tak lain adalah ibu
dari Raden Patah. Piring ini jumlahnya ada 65 buah. Sebagian dipasang sebagai hiasan di
dinding masjid, sedangkan sebagian lain dipasang di tempat imam.

Kerajaan Pajang terletak di Pajang, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, Pajang adalah
sebuah daerah yang subur dan sangat strategis. Secara geografis kerajaan ini, berada diantara
2 aliran sungai, yaitu sungai pepe dan dengke. Kerajaan ini didirikan pada akhir abad ke-16
M atau tepatnya pada tahun 1568 dengan Raja pertamanya, yaitu Joko Tingkir yang bergelar
Sultan Adiwijaya. Setelah berkuasa beberapa waktu, kerajaan ini akhirnya mencapai masa
puncak kejayaan pada masa raja pertama mereka, yaitu sultan Hadiwijaya.

Awal Mula Berdirinya Kerajaan Pajang


Awal mula berdirinya Kerajaan Pajang adalah ketika peperangan antara Aryo Penangsang
dan Joko Tingkir (menantu Sultan Trenggono). Peperangan itu terjadi pada tahun 1546 M,
ketika sultan Demak telah meninggal dunia. Pertempuran tersebut kemudian dimenangkan
oleh Joko Tingkir. ketika terjadi konflik antara Aria Penangsang dan Joko Tingkir
(Hadiwijaya), sebenarnya sunan Kudus kurang setuju dengan Hadiwijaya. Namun hal
tersebut kandas, ketika Joko Tingkir berhasil memindahkan pusat kerajaan Demak ke daerah
Pajang. Pengesahan Joko Tingkir atau biasa disebut dengan Hadiwijaya menjadi sultan
pertama kerajaan ini dilakukan oleh Sunan Giri. Masa pemerintahan Hadiwijaya dihabiskan
untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang kerap dilakukan oleh beberapa
bupati yang sebelumnya merupakan pendukung Arya Penangsang.

Daerah Kekuasaan Kerajaan Pajang


Pada awal berdiri Kerajaan Pajang, wilayah kekuasaannya hanya meliputi daerah Jawa
Tengah karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah jawa Timur yang
melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa
Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan itu, para adipati
sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri-negeri Jawa Timur, maka secara sah
kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan Pajang mulai melakukan ekspansi
pelebaran kekuasaan ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa Timur.

Kerajaan Pajang mempunyai hubungan yang sangat baik dengan kerajaan-kerajaan di


pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sultan Adiwijaya memperoleh dukungan dan
pengakuan atas kekuasaannya dari para penguasa daerah, seperti Kedu, Bagelen, Banyumas,
dan beberapa daerah di wilayah Jawa Timur. Bahkan untuk memperkuat posisinya,
Adiwijaya mengawinkan putrinya dengan Panembahan Lemah Duwur dari Aresbaya.
Akibatnya, pada 1580-an Kerajaan Pajang sudah mendapat pengakuan kekuasaan yang luas.
Berpindahnya kerajaan Islam dari Demak ke Pajang merupakan kemenangan Islam Kejawen
atas Islam ortodoksi.

Raja – Raja yang Memerintah Kerajaan Pajang

 Jaka Tingkir

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika
ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng
Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar.Sepulang dari mendalang, Ki
Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak
terhadap Kesultanan Demak.Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus.Setelah
kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula.Sejak itu, Mas
Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).Mas
Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru
pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan
dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.Silsilah Jaka Tingkir :

Baca Juga : Penjelasan Kerajaan Kutai Beserta Kehidupan Ekonomi, Sosial Dan
Budayanya

 Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo
kenanga (Putra Andayaningrat) + Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.

Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi
kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa
Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang
dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa
pada abad ke-18 dan 19.

Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan
Kedu (lembah Progo atas). Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578
seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-
pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya
Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi
wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan
antara Pajang dan Mataram.

Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada
tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk
peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri,
hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan,
Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa
Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya.Disebutkan pula bahwa Arosbaya
(Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan
Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.

 Arya Pangiri

Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya
Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang.

Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.Setelah
dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan
dijadikan sebagai bupati Demak.Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi
permasalahan takhta di Pajang.Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan
Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran
Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.

Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri
sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya
Penangsang). Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi,
karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung
Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin
Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan
Ngawantipura.

Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan
kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak
membenci Sutawijaya.Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran
dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang.Ia mendatangkan orang-
orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga
tersisih oleh kedatangan penduduk Demak.Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah
menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian.Sebagian lagi pindah ke Jipang
mengabdi pada Pangeran Benawa.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Banjar Beserta Wilayahnya

 Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587,
bergelar Sultan Prabuwijaya.Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka
Tingkir, raja pertama Pajang.Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat
ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.Pangeran Benawa memiliki putri bernama
Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya.Dyah Banowati bergelar
Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak
menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan
Surakarta.Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati.Ia pernah ditugasi
ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa
berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih
Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta.Putra sulung Sutawijaya yang bernama
Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad
mengajak rombongan pulang.Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan
Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa
melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian
Sultan Hadiwijaya.Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak
iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.Benawa kemudian menjadi adipati Jipang
Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri
dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.Dikisahkan,
Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram.Orang-orang
Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih.Akibatnya,
penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan
sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin.Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil
mengalahkan Pajang.Arya Pangiri dipulangkan ke Demak.Benawa menawarkan takhta
Pajang kepada Sutawijaya.Namun Sutawijaya menolaknya.Ia hanya meminta beberapa
pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi
raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.

Masa Kejayaan Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang merupakan Kerajaan Islam pertama yang letaknya berada di daerah
pedalaman Jawa.Pada saat Kerajaan Islam Pajang berdiri, kekuasaan hanya ada di sekitaran
sekitar Jawa Tengah.Hal ini terjadi karena ketika kerajaan Islam Demak mengalami
kemunduran, banyak wilayah di Jawa Timur yang mulai melepaskan diri.Namun kemudian
pada tahun 1586 M, Sultan Hadiwijaya beserta beberapa adipati yang ada di Jawa Timur
kemudian dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prepen.Nah, pada pertemuan tersebut
kemudian para adipati di Jawa Timur mengakui kedaulatan Kerajaan Pajang atas kadipaten
yang ada di Jawa Timur.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Tarumanagara Beserta Penjelasannya

Kerajaan Islam Pajang sendiri mengalami masa keemasan atau masa kejayaan kerajaan
Pajang adalah pada masa Sultan Hadiwijaya.Ada banyak pencapaian yang berhasil diraih
pada masa Sultan Hadiwijaya.Perpindahan kekuasaan Islam Demak ke Pajang sendiri seakan
menjadi sebuah simbol dari kemenangan Islam kejawen atas Islam ortodok pada masa itu.
Masa Kemunduran Kerajaan Pajang

Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.Terjadi persaingan
antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja
selanjutnya.Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap
Mataram.Kehidupan rakyat Pajang terabaikan.Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah
tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan
Sutawijaya menyerbu Pajang.Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan
Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri.Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi
raja Pajang yang ketiga.Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada
putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan
Mataram.

Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar
Panembahan Senopati Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah
kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat
kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten
Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber
catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-
abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan
kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh
Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong
tangannya.

1. Bandar Kabanaran
Sumber: kekunaan.blogspot.com

Situs ini berada di jalan Nitik RT. 04, RW. 01, kelurahan Laweyan, kecamatan
Laweyan, Surakarta. Bandar Kabanaran adalah sebuah bandar yang
berkembang saat masa kerajaan Pajang yang berlokasi di tepi sungai Jenes
yaitu anak sungai Bengawan Solo.

Posisi sungai Jenes pada situs Bandar kebenaran juga sekaligus sebagai
pembatas antara kabupaten Sukoharjo dan kota Solo. Dahulu warga sekitar
mengenal sungai ini dengan sebutan sungai Kabanaran. Saat zaman kerajaan
Pajang, sungai Kabanaran menjadi jalur utama perdagangan dan juga
transportasi yang terhubung secara langsung ke sungai Bengawan Solo.

Sejak pengelolaan Laweyang dipercayakan kepada Kyai Ageng Henis oleh raden
Patah, daerah ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya sebagai
pusat dakwah Islam Jawa bagian Selatan, akan tetapi daerah ini juga menjadi
pusat perekonomian batik pada waktu itu. Hal ini terjadi karena didukung oleh
dekatnya posisi Bandar Kabanaran dan juga karena adanya sungai Jenes.

Dahulu kala, pasar Laweyan termasuk pasar yang cukup ramai. Saat lahirnya
kerajaan Pajang, pasar ini bisa dikatakan sebagai penyokong utama
perdagangan di Laweyang. Selain itu, jarak yang dekat dengan Bandar
Kabanaran yakni hanya berjarak 100 meter menjadikan pasar Laweyan terus
berkembang pesat.

Dahulu, Laweyan juga terkenal sebagai penghasil kapas yang dapat dibuat
menjadi batik dan kain mori yang dijual ke tempat lain. Tiap harinya dari
Laweyan lewat jalur Bandar Kabanaran barang-barang tersebut diangkut oleh
perahu-perahu yang ada di Bandar Kabanaran menuju daerah Bandar Nusupan
yang kemudian diangkut lagi menggunakan perahu dengan ukuran yang lebih
besar menuju Bandar Gresik.

Terjadinya kemunduran Bandar Kabanaran disebabkan karena semakin


berkurangnya debit air sungai Jenes yang diakibatkan karena adanya
pendangkalan. Sungai yang dahulunya menjadi jalur utama semakin kecil
perannya karena berkurangnya volume air sungai tersebut.

Selain alasan diatas, dibangunnya infrastruktur jalan yakni jalan Dr. Rajiman
dan juga dibangunnya jalur kereta api oleh Nederlansch Indische Spoorweg
Maatschappij tahun 1870 hingga 1872, menjadikan pengusaha Laweyan pun
berpindah ke sarana transportasi yang tentunya lebih modern. Saat ini, Bandar
Kabanaran sudah tidak menunjukan adanya aktivitas lagi.

Saat ini kita hanya bisa melihat sebuah alur sungai yang dangkal dengan bau
yang menyengat serta warnanya yang hitam pekat. Jika di lokasi tersebut tidak
ada tulisan Bandar Kabanaran yang ditulis pada sebua papan nama, maka orang
yang melintas disana tidak akan tahu bahwa dahulunya Bandar Kabanaran
pernah menjadi pusat perdagangan yang menyokong perekonomian di Laweyan
khususnya kerajaan Pajang secara umum pada saat itu.

2. Pasar Laweyan

Sumber: wonderfulsolo.com

Laweyan merupakan kecamatan yang posisinya berada di Barat Kota Surakarta.


Daerah ini dikenal karena penduduknyayang mayoritas menjadi pedagang batik.
Nama Laweyan sendiri digunakan dalam menyebut kelompok tertentu yang
dikenal sebagai kaum yang kaya atau wong Nglawiyan. Wajar saja sebutan itu
disematkan kepada kelompok ini karena daerah tersebut merupakan tempat
tinggal pengusaha batik tulis jawa dan juga sebagai pusat perdagangan batik.

Nama Laweyan sendiri ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata
Lawiyan yang artinya ali-alih (perpindahan), yang dalam awal pengucapannya
Ngaliyan yang akhirnya menjadi kata Lawiyan. Lawiyan sendiri merupakan
tempat berpindahnya orang-orang desa Nusupan. Mereka berpindah disebabkan
untuk menghindari bencana banjir dari Bengawan Sala yang dahulunya dikenal
dengan nama Bengawan Nusupan atau Bengawan Semanggi.

Desa Nusupan pada masa kerajaan Pajang menjadi pelabuhan yang berperan
sangat penting. Akan tetapi, karena seringnya terjadi bencana banjir, berpindah
posisi ke Lawiyan. Sejak saat itu hingga saat ini Wong Nglawiyan diberi julukan
kelompok orang kaya oleh masyarakat Sala. Setelah itu, terjadi perkembangan
yang sangat pesat dari Lawiyan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
pengusaha batik yang pertama yang dikenal dengan Sarekat Dagang Islam yang
dipelopori Kyai Haji Samanhudi.

Pasar Laweyan sendiri berada tidak jauh dari Bandar Kabanaran. Pasar ini
dahulunya merupakan sentra utama kegiatan dagang di Bandar Kabanaran.
Sampai saat ini, pasar Laweyan masih digunakan masyarakat sekitar untuk
transaksi perdagangan. Walaupun demikian, tidak ada peninggalan sejarah yang
spesifik dalam menjelaskan bagaimana pembangunan pasar tersebut.

3. Masjid Laweyan
Sumber: @laweyan.solo ia Instagram

Masjid Laweyan berada di jalan Liris No. 1, dusun Belukan RT 04 RW 04, Kel.
Pajang, Kec. Pajang, SurakartaMasjid Laweyan atau juga dikenal dengan
sebutan masjid Ki Ageng Henis di daerah Solo menjadi bukti sejarah penyebaran
agama Islam di kota Solo, Jawa. Walaupun dilakukan beberapa kali perbaikan,
akan tetapi masih terlihat di sudut Masjid beberapa peninggalan berupa Pura,
yakni tempat peribadatan umat Hindu.

Berdasarkan keterangan dari ketua takmir masjid Laweyan yaitu Achmad


Sulaiman didapat informasi bahwa, pada masa pemerintahan kerajaan Pajang
kisaran tahun 1546 masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya berdiri kokoh sebuah
Pura yakni, tempat peribadatan umat Hindu di daerah Pajang.

Ringkasan Sejarah Masjid Laweyan

Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, yakni disaat masa kerajaan Pajang
sebelum berdirinya Surakarta (1745 Masehi). Kerajaan Pajang adalah cikal bakal
lahirnya kesultanan Mataram yang setelah itu pecah menjadi Kasunanan
Ngayogyakarta dan Surakarta.

Berdirinya masjid ini terjadi saat pemerintahan sultan Hadiwijaya yaitu raja
kerajaan Pajang. Masjid ini masih kokoh berdiri hingga saat ini. Selain itu, juga
terdapat peninggalan yang berusia ratusan tahun yaitu kentongan dan juga
beduk serta juga terdapat 12 tiang utama yang dibuat dari kayu Jati.
Masjid ini memiliki bentuk seperti Kelenteng Jawa. Hal ini membuat masjid satu
ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari masjid lainnya. Selain tampak
luar yang bernuansa Jawa, atap masjid ini juga mengandung arsitek Jawa
dimana bentuk atap menggunakan tajuk (bersusun). Dinding dari masjid ini
terbuat dari semen serta susunan batu bata yang tersusun rapi.

Penggunaan dinding dengan bahan batu baru dimulai sekitar tahun 1800,
dimana sebelumya dinding dari masjid ini terbuat dari kayu. Hal ini dibuktikan
dengan adanya rumah dari kuncen makam kuno yang terbuat dari kayu.

4. Kesenian Batik Laweyan

Sumber: @batik_maheswari via Instagram

Kampung batik Laweyan adalah salah satu wisata yang dikelola langsung oleh
pemerintah Solo. Hal ini dilakukan untuk menarik minat para wisatawan asing
maupun lokal untuk melihat kesenian batik. Kampung ini merupakan pusat batik
di kota Solo dan telah ada sejak masa pemerintahan kerajaan Pajang tahun
1546.

Kampung Laweyan sendiri di buat dengan konsep terpadu, yakni dengan


memanfaatkan lahan dengan luasan kurang lebih 24 Hektar yang kemudian
dibagi dalam 3 blok. Pada kampung batik ini, ada ratusan pengrajin batik yang
mendagangkan hasil batiknya yang kaya akan motif. Contoh motifnya seperti
Truntum dan Tirto Tejo yang dijual dengan harga bervariasi.

Masyarakat yang tinggal di kampung Laweyan telah menjalani profesi dibidang


kain ini dari abad ke 14. Pada saat itu pula masyarakat kampung Laweyan
dikenal sebagai penghasil kain yang berkualitas karena masih dibuat dengan
cara tradisional. Oleh sebab itu pula, nama Laweyan menjadi julukan
bagi daerah masyarakat ini karena dalam bahasa Jawa Lawe memiliki arti
benang.

Profesi menjadi pembatik yang dilakukan secara turun temurun, akhirnya daerah
ini sampai pada masa kejayaan yaitu pada awal abad ke 20. Hal ini dapat
tercapai karena seorang pebisnis yang bernama Samanhudi memperkenalkan
tekhnik membatik yang lebih modern yakni membatik dengan teknik cap.
Dengan diperkenalkan tekhnik ini maka proses membatik menjadi lebih efisien.
Industri batik di Laweyan pun berkembang dengan sangat pesat.

Akan tetapi industri batik kembali mengalami kemunduran karena hadirnya batik
printing. Batik printing tentunya memiliki harga yang lebih murah dan proses
pembuatan yang lebih cepat. Hal tersebut membuat industri batik cap terjadi
kemunduran yang luar biasa.

Related:

 7 Faktor Penyebab Runtuhnya Uni Soviet Yang Perlu Kamu Ketahui


 3 Faktor Kemunduran Kerajaan Kediri Yang Menarik Dipelajari
 Corak Kehidupan Masyarakat Praaksara Yang Menarik Untuk Dipelajari

Bangkit kembalinya Laweyan sebagai pusat batik dimulai kembali pada tahun
2004. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut para tokoh di kawasan Laweyan
berkumpul untuk membicarakan masalah masa depan industri batik di Laweyan.
Sejak saat itu kegiatan usaha di Laweyan pun semakin hari semakin membaik.
Mereka mengubah tekhnik berjualan, dimana Laweyan tidak hanya menjadi
tempat produksi tetapi juga menjadi tempat wisata.

Para tamu yang datang pun semakin tinggi tingkat kepuasannya, karena tidak
hanya dapat membeli batik mereka juga dapat melihat proses pengerjaan batik
bahkan bisa ikut terlibat dalam pembuatan batik. Penetapan Laweyan menjadi
tempat wisata pun semakin ditunjang karena adanya penetapan kawasan
Laweyan menjadi cagar budaya.

5. Makan Para Bangsawan Pajang

Sumber: www.instagram.com

Peninggalan yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya kompleks


pemakaman para bangsawan kerajaan Pajang. Di pemakaman ini terdapat 20
makam, dimana salah satunya adalah makam Ki Ageng Henis yang merupakan
salah satu perintis berdirinya kerajaan kerajaan Pajang. Makam-makam tersebut
banyak dikunjungi para wisatawan seusai menunaikan ibadah di masjid
Laweyan.

Perlu kita ketahui bersama, Ki Ageng Henis adalah anak dari Ki Ageng Selo. Ki
Ageng Selo Sendiri terkenal akan kisah kesaktiannya yang mampu menangkap
petir. Ki Ageng Selo sendiri mengabdi Sultan Hadiwijaya atau lebih familiar
dengan sebutan Joko Tingkir. Karena pengabdiaannya yang luar biasa kemudian
ia diberikan tanah perdikan di daerh Laweyan, dan hal inilah yang dikemudian
hari menjadi cikal bakal berdirinya masjid Laweyan.

6. Makam Joko Tingkir/Sultan Hadiwijaya


Sumber: @bonohandoko via Instagram

Joko Tingkir atau dikenal juga dengean sebutan Mas Karebet memiliki nama asli
Sultan Hadiwijaya. Joko Tingkir merupakan pendiri sekaligus juga raja pertama
Kerajaan Pajang yang memerintah Pajang mulai dari tahun 1549 hingga 1582 M.

Hanya sedikit saja orang yang tahu lokasi dari Makam Jaka Tingkir atau Sultan
Hadiwijaya, raja pertama sekaligus juga pendiri Kerajaan Pajang. Tidak sama
seperti halnya makam dari raja-raja Solo dan juga Yogyakarta yang diketahui
banyak orang keberadaannya serta senantiasa ramai didatangi para peziarah
yang berasal dari daerah sekitar maupun daerah luar.

Makam Jaka Tingkir jauh ada di pelosok perkampungan masyarakat. Lebih


tepatnya makam ini berada di Butuh, Gedongan, Plupuh, Dusun II, Gedongan,
Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Komplek pemakaman Jaka Tingkir
diberi nama Makam Butuh yang ditandai dengan adanya sebuah bangunan
masjid bernama Masjid Butuh.

Anda mungkin juga menyukai