Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas
berkat penyertaan dan kasih karunianya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah kami tentang bangunan bersejarah –
Museum Fatahillah, Musium Gajah, dan Musium Monas dengan baik
meskipun dalam bentuk yang sederhana.

Dalam menyelesaikan tugas mata Pelajaran Kawasan Bersejarah ini


mulai dari penyusunan makalah, kami banyak mengalami hambatan dan
kesulitan. Tetapi semuanya dapat kami selesaikan dengan baik berkat
tuntunan Tuhan dan kerja sama yang baik dalam kelompok kami.

Oleh karena itu penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada


Ibu Guru yang telah menugaskan kepada kami untuk memaparkan materi
mengenai bangunan bersejarah sehingga melalui makalah ini kami
anggota kelompok mendapatkan ilmu.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………. 1.

BAB I ………………………………………………………………………. 3.

PENDAHULUAN

BAB II ………………………………………………………………………. 4.

TINJAUAN PUSTAKA
MUSEUM FATAHILLA ....................................…… 4.

MUSEUM ARCA/GAJAH ……………………………... 15.

MUSEUM MONAS ………….……..…..………………………. 22.

BAB III ……………………………………………………………………… 26.

PENUTUP

KESIMPULAN ………………………………………………………… 26.

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Museum adalah suatu tempat yang menyimpan benda-benda
bersejarah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran dan
pariwisata. Menurut KBBI edisi IV, “Museum adalah gedung yang
digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang
patutmendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan
ilmu, dan juga tempat menyimpan barang kuno”. Pemanfaatan museum
bagi masyarakat masih kurang, kemungkinan dikarenakan pemahaman
masyarakat tentang Museum sendiri masih kurang. Pemahaman
masyarakat tentang Museum sebagai tempat penyimpanan benda-benda
kuno dan menyeramkan, mungkin menjadi suatu alasan kurangnya
apresiasi masyarakat terhadap fungsi Museum. Ketika ditelaah lebih
dalam, maka museum cukup signifikan dalam pengembangan wawasan
dan pengetahuan.

3
BAB ll
MUSEUM FATAHILLAH

2.1 Latar Belakang Berdirinya Museum Fatahillah


Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal
sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai
pelabuhan dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina
pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah
wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara. Hal ini juga terdapat
di dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan
kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525,
528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah
orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.

Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau


Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat
nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk
mewarnai kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di
Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan
Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.

Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah


kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat
di ketahui dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan
Jakarta, yakni prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan
prasasti Tugu. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan
keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu
Tarumanegara.

Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa
Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok,
Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat (Kini Museum
Nasional/ Museum Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum
Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.

Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda.


Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan
ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun
sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang
aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat setelah Tarumanegara mengirimkan
utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri Cina.

4
Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar.
Namun, tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari
permukaan bumi. Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh
kerajaan Sriwijaya (yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam
prasasti Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung. Pada
tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal ini
tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka 608 atau tahun 686
M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa Bhumijawa tidak mau tunduk kepada
kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya
untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.

Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti
Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau negeri yang
letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu
adalah kerajaan Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara
diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan
Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka
kemudian bernama Sunda Kalapa yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini
didasarkan atas keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni
1960.

Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh


keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan
rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario,
Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah
Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi
daripada lada India atau Malabar...” Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul
pada abad ke-14 dan pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang
terkenal ketika itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana
Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros,
juga menambahkan, bahwa penduduk yang bermukim di Sunda Kalapa ketika itu
kurang lebih 10.000 jiwa.

Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah
penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang
lokal dan internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain
pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa

Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya


paling strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal
abad ke-16. Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin
kerjasama perdagangan dan pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21

5
Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong). Sementara
itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul Kesultanan Banten
serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula Kesultanan Demak dan Kesultanan
Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang
ramai itu.

Akhirnya, pada 22 Juni 1527, Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu
di bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil
merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu
dari Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda
Kalapa yang baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti
kemenangan sempurna, atau kemenangan yang gilang gemilang.

Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis


bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang
berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya
Maulana Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi
wilayah vasal dari kesultanan Banten.
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-
orang Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil
menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke
hutan Jati hingga wafat dan dikubur di sana.

JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan
mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan
dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai
Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan
kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di
(dalam dan di luar benteng) Batavia.

Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini
terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20,
JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”. Namun, terlepas
dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan
Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang
pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua

Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum
Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat
kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712.
Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham
Van Riebeeck (1653-1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai
Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada
tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.

6
Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus
masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan,
tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya
sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat
menyeramkan, karena banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya
hukuman. Di samping itu juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau
Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota
Praja.

Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah
bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah
pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini
menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II.
Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di
samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.

Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara
(Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat
baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota
Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus
dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan
1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.

Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah


Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi
parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat
kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya
ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta
barang-barang berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.

Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan
Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini
sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya.
belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh
kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad
ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala,
lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai
Museum Bahari.

Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er


Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum
Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa
dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun

7
1632, di atas tanah timbunan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di
Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini
air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar. Tentang Kali Besar ini,
hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga
dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok,
kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di bangun sekitar tahun
1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal. Pada abad ke-18 ini
pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari
Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa
yang muncul di benua tropis.

Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis.
Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu
diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699,
yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan
persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah.
Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang
menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah
dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut,
sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur sekurang-
kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.

Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka


daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan
yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah
Selatan kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar
pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu
bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera
(pada zaman itu belum diketahui).

Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang


doktermenganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan
membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak.
Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu
saja. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan
sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah
mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah
Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang
miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian,
di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion.
Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het graf
der Hollander (kuburan orang Belanda).

Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga

8
kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk
membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini
terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah
di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang
menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John
Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent
Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang,
waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi
kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada
permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali
yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan
wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota.
Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin parah
selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa bumi hebat yang
berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan
terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa
mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di
Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan
buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman
Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan
Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada
1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali di
timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk.
Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus
sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis manapun.
Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek”.
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa
158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di
seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang
sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw
Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah
tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam
mengelola lingkungan. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada
kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu
manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.

VOC hanya bertahan hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche


Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah
penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan
Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah
menghiasi kawasan ini. Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan
Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun

9
Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta. Pada periode ini banyak
bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah satunya
Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang. Untung saja Jepang
berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda
di Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota
dari Republik Indonesia.

2.2 Sejarah Museum Fatahillah


Staadhuis itulah nama semula gedung Museum Sejarah Jakarta yang berada
dijalan Taman Fatahillah Nomor 1 Jakarta Barat. Luas areal seluruhnya 13.588 m2,
dan bangunan yang berada diatasnya tersebut, dilindungi oleh Pemerintah Pusat
maupu Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Keputusan Mendikbud
No.28/M/1988 dan keputusan Gubernur DKI Jakarta No.475 tahun 1993).
Pada masa pemerintahan VOC di Batavia, Museum Sejarah Jakarta mulanya
digunakan sebagai gedung Balaikota (Stadhuis). Pada tanggal 27 April 1626,
Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627) membangun gedung balaikota
baru yang kemudian direnovasi pada tanggal 25 Januari 1707 di masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan baru selesai pada tanggal 10 Juli 1710 di masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck.

Selain sebagai Balaikota, gedung ini juga berfungsi sebagai Pengadilan,


KantorCatatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu, dan Dewan Kotapraja
(College van Scheppen). Pada tahun 1925-1942 gedung ini juga dimanfaatkan
sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai
untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Tahun 1952 digunakan pula
sebagai Markas Komando Militer Kota (KMK) I yang kemudian menjadi Kodim
0503 Jakarta Barat. Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada
Pemda DKI Jakarta dan kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun 1974.

Museum Sejarah Jakarta yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta
Barat ini adalah sebuah lembaga museum yang memiliki sejarah yang cukup
panjang. Pada tahun 1919, dalam rangka 300 tahun berdirinya kota Batavia, warga
kota Batavia khususnya Belanda mulai tertarik dengan sejarah kota Batavia. Pada
tahun 1930 didirikanlah sebuah yayasan yang bernama Oud Batavia (Batavia
Lama) yang bertujuan untuk mengumpulkan segala ihwal tentang sejarah kota
Batavia. Tahun 1936, Museum Oud Batavia diresmikan oleh Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), dandibuka untuk umum pada
tahun 1939.

Museum Oud Batavia ini merupakan lembaga swasta di bawah naungan


Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan
Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) yang didirikan pada tahun 1778 dan
turut berperan dalam mendirikan Museum Nasional. Koleksi-koleksinya
kebanyakan merupakan peninggalan-peninggalan masyarakat Belanda yang

10
bermukim di Batavia sejak awal abad XVI, seperti mebel, perabot rumah tanngga,
senjata, keramik, peta, serta buku-buku.

Pada masa kemerdekaan, Museum Oud Batavia berubah nama menjadi


Museum Djakarta Lama dibawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia)
dan pada tahun 1968 diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Setelah Museum
Sejarah Jakarta diresmikan pada tanggal 30 Maret 1974, maka seluruh koleksi dari
Museum Djakarta Lama dipindahkan ke Museum Sejarah Jakarta dan ditambah
dengan koleksi dari Museum Nasional.

Sedari tahun 1999 Museum Sejarah Jakarta digagas bukan sekedar sebagai
tempat untuk merawat dan memamerkan benda yang berasal dari masa penjajahan,
tetapi harus bisa menjadi tempat bagi seluruh khalayak untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah kota Jakarta, serta dapat dinikmati
sebagai tempat rekreasi. Museum ini berupaya menyediakan berbagai informasi
mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga
masa kini dalam bentuk yang lebih kreatif, serta menyelenggarakan kegiatan yang
rekreatif dan menarik guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
warisan budaya.

Pada awalnya sejarah museum fatahillah merupakan bangunan kolonial


Belanda yang dipergunakan sebagai balai kota. Peresmian gedung dilakukan pada
tanggal 27 April 1626, oleh Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier (1623-1627)
dan membangun gedung balai kota baru yang kemudian direnovasi pada tanggal 25
Januari 1707, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan baru
selesai pada tanggal 10 Juli 1710 di masa pemerintahan lain, yaitu pada Gubernur
Jenderal Abraham van Riebeeck.
Gedung yang dipergunakan sebagai Balaikota ini, juga memiliki fungsi
sebagai Pengadilan, Kantor Catatan Sipil, tempat warga beribadah di hari Minggu,
dan Dewan Kotapraja (College van Scheppen). Kemudian sekitar tahun 1925-1942,
gedung tersebut juga digunakan untuk mengatur sistem Pemerintahan pada
Provinsi Jawa Barat. Kemudian tahun 1942-1945, difungsikan sebagai kantor
tempat pengumpulan logistik Dai Nippon.
Kemudian sekitar tahun 1919 untuk memperingati berdirinya batavia ke 300 tahun,
warga kota Batavia khususnya para orang Belanda mulai tertarik untuk membuat
sejarah tentang kota Batavia. Lalu pada tahun 1930, didirikanlah yayasan yang
bernama Oud Batavia (Batavia Lama) yang bertujuan untuk mengumpulkan segala
hal tentang sejarah kota Batavia.
Tahun 1936, Museum Oud Batavia diresmikan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer (1936-1942), dan dibuka untuk umum pada tahun 1939..
Setelah itu pada tahun 1968 gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta dan
kemudian dijadikan sebagai Museum pada tahun 1974. Pada sejarah museum
fatahillah berdasarkan pembentukannya hingga bisa kita kunjungi sampai sekarang
ini, menyimpan sisa penjajahan di dalamnya. Terbentuk menjadi dua lantai dengan

11
ruang bawah tanah ini, berisikan banyak peninggalan bersejarah yaitu :

• Lantai bawah : Berisikan peninggalan VOC seperti patung, keramik-keramik


barang kerajinan seperti prasasti, gerabah, dan penemuan batuan yang
ditemukan para arkeolog. Terdapat pula peninggalan kerajinan asli Betawi
(Batavia) seperti dapur khas Betawi tempo dulu
• Lantai dua : Terdapat perabotan peninggalan para bangsa Belanda mulai dari
tempat tidur dan lukisan-lukisan, lengkap dengan jendela besar yang
menghadap alun-alun. Konon, jendela besar inilah yang digunakan untuk
melihat hukuman mati para tahanan yang dilakukan di tengah alun-alun.
• Ruang bawah tanah : Yang tidak kalah penting pada bangunan ini adalah,
penjara bawah tanah para tahanan yang melawan pemerintahan Belanda.
Terdiri dari 5 ruangan sempit dan pengap dengan bandul besi, sebagai
belenggu kaki para tahanan.
.

12
2.3 Lampiran Foto

Museum Fatahillah tempo dulu dan sekarang

Isi Dari Museum Fatahillah

MUSEUM
ARCA/GAJAH

13
3.1 Latar Belakang Museum Arca/Gajah
Museum Gedong Arca (Museum Arkeologi) secara resmi dibuka pada tanggal 14
September 1974 oleh Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Sebelumnya Gedong Arca berfungsi sebagai balai penyelamatan untuk menyimpan
tinggalan arkeologi (cagar budaya), yang berhasil dilestarikan sejak tahun 1950 oleh
Dinas Purbakala Bali. Dibukanya Gedong Arca sebagai museum bermula dari
gagasan Prof. DR. R.P. Soeyono dan Drs. Soekarto K. Atmojo mantan Kepala Dinas
Purbakala dengan tujuan menginformasikan kepada masyarakat tentang warisan
budaya Bali dimasa lalu yang berhasil dilestarikan sejak tahun 1950 oleh Dinas
Purbakala sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (BPCB Bali), melalui pameran tetap
di Museum Gedung Arca/Museum Arkeologi. Museum Gedong Arca di bangun di
atas tanah seluas 5.165 m2 dengan pembagian halaman mengikuti pola pembangunan
pura di Bali yang pada umumnya terdiri dari tiga bagian: halaman luar (jaba sisi),
halaman tengah (madya mandala), dan halaman dalam (utama mandala). Di halaman
luar (jaba sisi) terdapat sebuah wantilan (ruang terbuka) yang difungsikan untuk
memberikan informasi kepada pengunjung sebelum melihat koleksi. Di halaman
tengah (madya mandala), terdapat empat buah ruang koleksi untuk memamerkan
koleksi secara tetap. Di Halaman dalam (utama mandala) terdapat 7 (tujuh) balai
pelindung (bangunan terbuka) tempat memamerkan sarkofagus koleksi unggulan
Museum Gedung Arca. Di depan Padmasana (tempat suci hindu) terdapat sebuah
balai pelindung (bangunan terbuka) di pamerkan beberapa buah arca yang dietmukan
disekitar Desa Bedulu. Koleksi-koleksi yang dipamerkan berasal dari periode
prasejarah hingga sejarah semua koleksi adalah hasil pelestarian yang dilaksanakan di
wilayah Provinsi Bali sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala.

14
Keberadaan Museum oleh sebagian masyarakat kita masih dianggap hanya sebagai
tempat menyimpan benda-benda kuno yang selalu dipenuhi oleh debu serta
suasananya menyeramkan. Pandangan tersebut jelas keliru, karena Museum hadir
untuk masyarakat sebagai tempat untuk melihat informasi dan koleksi mengenai
peristiwa yang terjadi dimasa lalu. Definisi museum menurut Peraturan Pemerintah
No. 66 Tahun 2015 Museum adalah “lembaga yang berfungsi melindungi,
mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada
masyarakat”. Dalam PP tersebut juga dijelaskan yang dimaksud dengan koleksi
museum adalah “Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur
Cagar Budaya dan/atau Bukan Cagar Budaya yang merupakan bukti material hasil
budaya dan/atau material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi, dan/atau
pariwisata”. Dengan demikian Museum memiliki peran penting dalam melestarikan
kebudayaan nasional yang menjadi jati diri bangsa. Sedangkan menurut Intenasional
Council of Museum (ICOM) menurut hasil Musyawarah Umum ke 11 International
Council of Museums (ICOM) tanggal 14 Juni 1974, Museum mempunyai pengertian,
“A museum is a non-profit making, permanent institution in the service of society
and of its development, and open to the public, which acquires, conserves, researches,
communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, material
evidence of people and their environment”(Hudson,1977:1).

Fungsi Museum yang mulia tersebut dapat tercapai jika masyarakat sudi meluangkan
waktu untuk berkunjung ke Museum dan menikmati benda koleksi pameran serta
mencoba untuk memahami nilai yang terkandung dalam benda koleksi pameran
tersebut. Melalui kunjungan ke Museum yang rutin dilakukan masyarakat, maka di
Museum akan terjadi suatu transformasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi
terdahulu ke generasi sekarang. Tetapi sayang, masih banyak orang, terutama generasi
muda, yang enggan menginjakkan kakinya ke Museum karena dianggap tidak prestis
dan tidak sesuai dengan tuntunan jaman. Mereka merasa lebih gengsi datang ke mall
atau tempat keramaian lainnya dibanding datang ke Museum, sehingga tidak heran
jika banyak Museum, mengalami krisis pengunjung. Akibatnya, fungsi Museum
sebagai transformator nilai warisan budaya bangsa kepada generasi berikutnya tidak
dapat dicapai.

Sebagai suatu lembaga yang menyajikan berbagai hasil karya dan cipta serta karsa
manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat untuk dijadikan
sebagai sumber belajar. Melalui benda yang dipamerkannya, pengunjung dapat belajar
tentang nilai dan perhatian serta kehidupan generasi pendahulu sebagai bekal di masa
kini dan gambaran untuk kehidupan di masa mendatang.

3.2 Koleksi Museum gedong Arca

15
Koleksi museum merupakan unsur terpenting dari sebuah museum, koleksi
merupakan roh/jiwa dari museum itu sendiri dan kehidupan museum sangat
tergantung dari kwalitas dan kwantitas jenis koleksi museum. Jenis koleksi di
Museum Gedung Arca/Museum Arkeologi adalah benda-benda purbakala/tinggalan
arkeologi (benda cagar budaya). Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya menyebutkan benda cagar budaya adalah “benda alam dan/atau benda
buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat
dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia”.

R uang
Penyimpanan
Koleksi Museum

Koleksi yang
dipamerkan
di Museum
Gedung Arca telah
disebutkan
di atas merupakan hasil-hasil pelestarian yang telah dilaksanakan di wilayah Bali
sejak tahun 1950 oleh Dinas Purbakala, yang berasal dari masa prasejarah hingga
sejarah. Dari koleksi-koleksi yang dipamerkan siswa (pengunjung) yang berkunjung
ke Museum Gedung Arca dari tidak tahu akan menjadi tahu tentang kehidupan
manusia di masa lalu. Masa lalu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk
diketahui dan dipahami agar apa yang terjadi di masa lalu bisa dijadikan pelajaran
dalam menapaki hari ini dan melangkah menuju masa depan. Demikian seperti
uangkapan “we learn history for lening the present and building the future"
Koleksi Masa Prasejarah

16
Ruang koleksi prasejarah dipamerkan koleksi dari masa prasejarah yaitu :

Al at Batu masa
Paleolitik Koleksi Museum Gedong Arca

Masa Paleolithikun (jaman batu tua) koleksi terdiri dari alat-alat dari batu
sebagai bukti awal hunian manusia di Bali pada masa prasejarah. Alat-alat dari batu
ini, yang lazim dikenal dengan sebutan kapak genggam, kapak perimbas yang
ditemukan oleh R.P. Soeyono di Desa Sembiran Singaraja dan di Tepian Bagian
Timur serta Tenggara Danau Batur, Kintamani (Soeyono, dkk.1977: 96; Sutaba,
1080:10 dalam Sejarah Bali dari Masa Prasejarah Hingga Modern), merupakan
tinggalan arkeologi yang berasal dari masa berburu dan meramu makanan tingkat
sederhana (masa paleolithik) alat-alat pada masa ini bentuknya tidak beraturan,
permukaannya masih kasar, belum mengenal teknik mengasah, pembuatan alat-alat
hanya dengan teknik pemangkasan yang sederhana. Diperkirakan manusia pendukung
alat-alat batu ini masih sangat sederhana (tergantung pada alam disekitarnya) dengan
sistem mata pencaharian berburu dan meramu. Mereka hidup berkeliaran atau
mengembara dan belum bertempat tinggal tetap, sepenuhnya sangat tergantung dari
kesediaan alam untuk memenuhi kebutuhannya

17
Koleksi Masa Mesolitik

Masa Mesolithikum (jaman batu pertengahan) kehidupan manusia Bali tampaknya


berlangsung terus hal ini ditunjukkan dengan adanya temuan alat-alat dari tulang,
kerang sisa-sisa makanan (kyokenmoddinger) dan alat-alat dari batu dalam ukuran
kecil yang lazim dikenal dengan nama mikrolith hasil dari penelitian yang
dilaksanakan di Goa Selonding Pecatu Badung oleh R.P. Soeyono pada tahun 1961
yang sekarang menjadi koleksi Museum Gedong Arca. Mata pencaharian atau
kehidupan masyarakat pada masa ini masih berburu dan meramu makanan tingkat
lanjut, merupakan tahapan yang lebih maju karena manusia pada masa ini sudah
mampu memilih tempat tinggal tetap dalam jangka waktu yang lama dengan pilihan
lokasi tempat hunian yaitu kawasan karst (kapur) karena memiliki banyak gua dan
ceruk yang dapat dijadikan tempat tinggal disesuaikan dengan jumlah anggota
kelompoknya.

18
 Di Halaman Tengah (Sarkofagus)

Sarkofagus Koleksi Museum


Gedong Arca

19
Dipamerkan koleksi dari masa perundagian merupakan koleksi unggulan
(masterpiece) di museum Gedong Arca berupa sarkofagus. Di halaman ini
dipamerkan sekitar 33 buah sarkopagus yang terdiri dari wadah dan tutup yang
ditempatkan pada 7 buah balai pelindung (bangunan terbuka). Sarkofagus adalah
keranda batu di Bali berfungsi sebagai wadah kubur. Disini siswa (pengunjung)
mendapat pembelajaran bahwa pada masa ini terjadi revolusi besar-besaran di bidang
kebudayaan pada masa ini mulai timbul kepercayaan terhadap leluhur (orang-orang
yang dihormati). Berbagai jenis bentuk dan wadah kubur (sarkofagus) di temukan
pada akhir masa prasejarah di Bali. Berdasarkan sisa-sisa manusia yang ditemukan
pada beberapa situs prasejarah yang berasal dari masa perundagian atau awal jaman
logam di Bali yang umurnya sekitar 2000 tahun yang lalu dapat diketahui bahwa pada
masa akhir prasejarah di Bali pemujaan kepada roh leluhur sangat menonjol dengan
adanya sistem penguburan dengan wadah (sarkofagus) atau tanpa wadah serta bekal
kuburnya mencerminkan adanya sistem kepercayaan dan organisasi sosial (Ardika,
2002: 40-42). Sarkofagus (wadah kubur) ditemukan hampir tersebar dibeberapa situs
prasejarah yang berasal dari masa perundagian atau awal logam baik didaerah pesisir
maupun di pedalaman (Ardika,dkk,2013 : 9). Masa perundagian merupakan suatu
tingkat perkembangan yang sangat penting di Indonesia, bahkan merupakan suatu
revolusi kebudayaan di masa lalu, yaitu tingkat yang membentuk dasar
perkembangan-perkembangan selanjutnya dengan menerima pengaruh berbagai unsur
kebudayaan. Perkembangan ini memantulkan pula suatu kehidupan yang memerlukan
tenaga-tenaga khusus /undagi. (Soeyono, 2008 : 5). Penguburan dengan sarkofagus
memberi
petunjuk adanya
perawatan
terhadap anggota
masyarakat
yang meninggal
(upacara kematian).
Upacara-
upacara tersebut
sekaligus
bertujuan
untuk

memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada arwah orang-orang yang meninggal.


Sistem penguburan ini hanya dapat dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu
(misalnya golongan pemuka masyarakat). Karena penguburan dengan sarkofagus
memerlukan tenaga dan banyak waktu maka penguburan dengan sarkopafus hanya
dapat dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu saja. Orang percaya bahwa roh
orang yang meninggal akan kembali ke dunia arwah, oleh karena itu sarkopagus
mempunyai orientasi kearah puncak gunung yang dipandang sebagai tempat
bersemayamnya para leluhur. Beberapa sarkofagus dipahatkan hiasan topeng dalam

20
sikap melawak, mengeluarkan lidah, mulut menganga, mata besar, dan sebagainya
berfungsi untuk keindhan (estetika), dan juga bernilai magis untuk menolak bala.

21
MUSEUM MONAS

4.1 Latar Belakang Museum Monas


Monumen Nasional yang terletak di Lapangan Monas Jakarta Pusat. Dibangun
pada dekade 1920-an, Tugu peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar.
Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R.M.Soedarsono, mulai dibangun 17
Agustus 1961. Pembangunan Tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan
perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi 1945, agar terbangkitnya inspirasi
dan semangat patriotisme generasi dan generasi mendatang.
Pembangunan Monumen Nasional terdiri tiga tahap. Tahap pertama kurun 1991-
1964 Dimulai dengan dimulainya secara resmi pembangunan Monumen Nasional
dengan Soekarno secara seremonial menancapkan pasak beton pertama, total 284
pasak beton yang digunakan sebagai pondasi pembangunan. Sebanyak 360 pasak
bumi di tanamkan untuk pondasi museum sejarah nasional, keseluruhan pemasangan
pondasi selesai pada bulan Maret 1962. Dinding museum didasar bangunan selesai
pada bulan Oktober. Pembangun obelisk kemudian dimulai, dan selesai pada bulan
Agustus 1963.
Pembangunan tahap kedua berlangsung pada kurun 1966-1968 akibat terjadinya
gerakan 30 September 1965 (G.30.S/PKI) dan upaya kudeta. Tahap ini sempat
tertunda. Tahap akhir berlangsung pada tahun 1969-1976 dengan menambahkan
diorama pada museum sejarah, meskipun pembangunan telah selesai. Namun masalah
masih saja terjadi antara lain kebocoran air yang menggenangi museum . Monumen
secara resmi dibuka untuk umum dan diresmikan pada tanggal 12 Juli 1945 oleh
Presiden RI Soekarno.

Manfaat Bagi Pengunjung


1. Menghayati sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, melalui sajian visual dari adegan
diorama diruang Monumen Nasional.
2. Memelihara kelestarian taman Medan Merdeka dan jalur Monas yang berfungsi
sebagai unsur penunjang terhadap keagungan Monas

22
3. Meningkatkan penanganan kebersihan dan keasrian taman Medan Merdeka
sebagain paru-paru Ibu Kota Jakarta
4. Pemanfaatan taman sebagai tempat rekreasi, kegitan senam kesegaran jasmani,
kesenian, kebudayaan, dan kegiatan nasional

Fasilitas monument nasional


Monumen Nasional memiliki ruangan-ruangan yang didalamnya terdapat beberapa
ruangan yaitu ruang museum sejarah nasional,ruang kemerdekaan,pelataran puncak
dan lidah api kemerdekaan
Gambaran mengenai ruangan-ruangan tersebut adalah sebagai berikut :

Ruang Museum Sejarah Nasional


Dibagian dasar monument pada kedalaman 3meter dibawahpermukaan tanah,
terdapat museum sejarah nasional Indonesia. Ruang besar museum sejarah perjuangan
nasional dengan ukuran luas 80 x 80 meter ,dapat menampung pengunjung sekitar
500 orang. Ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 48 diorama pada keempat
sisinya dan 3 diorama ditengah sehingga menjadi total 51 diorama. Diorama ini
menampilkan sejarah Indonesia sejak masa prasejarah hingga masa orde baru.
Diorama ini dimulai dari sudut timur laut bergerak searah jarum jam menelusuri
perjalanan sejarah Indonesia,mulai masa prasejarah ,masa kemaharajaan kuno seperti
sriwijaya dan majapahit sisusun masa penjajahan eropa yang disusul perlawananan
para pahlawan nasional prakemerdekaan melawan VOC dan pemerintah hindia
belanda. Diorama berlangsung terus hingga masa pergerakan nasional Indonesia awal
abad ke-20 penduduk jepang,perang kemerdekaan dan masa revormasi hingga masa
order baru pada masa pemerintahan Suharto.

Ruang kemerdekaan
Dibagian cawan monumen terdapat ruang kemerdekaan berbentuk
amphitheater.ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar dari pintu sisi utara
dan selatan.ruangan ini menyimpan symbol kenegaraan dan kemerdekaan republic
Indonesia diantaranya naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disimpan
dalam kotak kaa di dalam gerbang berlapis emas,lambing Negara Indonesia peta
kepulauan Negara kesatuan republic Indonesia berlapis emas dan bendera merah putih
dan dinding yang bertulis naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Didalam ruang
kemerdekaan monument nasional ini di gunakaan sebagai ruang tenang untuk
mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan
perjuangan bangsa Indonesia.naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia
disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini
terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga wijaya kusuma
yang melambangkan kesucian.pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah
ruangan dan berlapis marmer hitam.pintu ini dikenal dengan nama gerbang
kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan
lagu”padamu negeri” diikuti kemudian oleh rekaman suara soekarno tengah
membacakan naskah proklamasi pada tanggal 17 agustus 1945.pada sisi selatan

23
terdapat patung garuda pancasila ,lambang Negara Indonesia terbuat dari perunggu
seberat 3,5 ton dan berlapis emas.pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi
berhuruf perunggu,seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan
dikibarkan pada tanggal 17 agustus 1945.akan tetapi karena kondisinya sudah
semakin tua dan rapuh,bendera suci ini tidak dipamerkan.sisi utara dinding marmer
hitam ini menampilkan kepulauan nusantara berlapis emas.melambangkan lokasi
Negara kesatuan republic Indonesia.semua itu sangat indah

Pelataran puncak dan api kemerdekaan


Pelataran setinggi 115 meter tempat pengunjung dapat menikmati panorama
Jakarta dari ketinggian sebuah elevator (lift) pada pintu sisi selatan akan membawa
pengunjung menuju pelataran puncak berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115
meter dari permukaan tanah.lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut pelataran
puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang,serta terdapat teropong untuk melihat
panorama Jakarta lebih dekat.pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat
yang terbuat dari besi.dari pelataran puncak tugu monas,pengunjung dapat menikmati
pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta.bila kondisi cuaca cerah tanpa asap
kabut,diarah selatan terlihat dari kejauhan gunung salak di wilayah kabupaten
bogor,jawa barat,arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau
kecil.dipuncak monument nasional terdapat cawang yang menompang nyala LAMPU
perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kilogram. Lidah api
atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian
yang disatukan.lidah api ini sebagai symbol semangat perjuangan rakyat Indonesia
yang ingin meraih kemerdekaan.Awalnya nyala api perunggu ini di lapisilembaran
emas seberar 35 kilogram,akan untuk menyambut Indonesia pada taun 1995,
lembaran emas ini dilapisi ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran
emas. Puncak tugu berupa”api nan tak kunjung padam “yang bermakna agar
bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang
dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa. Pelatran cawan memberikan
pemandangan bagi para pengunjung dari ketinggian 17 meter permukaan tanah.
Pelataran cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak,
atau melalui tangga mencapai dasar cawan. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17
meter sedangkan rentang tinggi antara ruang museum sejarah kedasar cawan adalah 8
m ( 3 m dibawah tanah ditambah 5 m tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran
cawan yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 m, semuanya merupakan
pelestarian angka keramat proklamasi kemerdekaan RI (17-08-1945). Sebanyak 28 kg
dari 38 kg emas pada obor monas tersebut merupakan sumbangan dari Teuku
Markam, seorang pengusaha Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di
Indonesia.

Taman Monas
Di taman ini Anda dapat bermain bersama kawanan Rusia yang sengaja
didatangkan dari Istana Bogor untuk meramaikan taman ini. Selain itu Anda juga
dapat berolah raga di taman ini bersama teman ataupun keluarga. Taman monas juga

24
dilengkapi dengan kolam air mancur menari, ini sangat menarik untuk ditonton. Pada
malam hari air mancur akan bergerak dengan liukan yang indah
sesuai alunan lagu yang dimainkan. Selain itu ada juga pertunjukan laser berwarna –
warni pada air mancur ini. Bagi Anda yang ingin menjaga kesehatan, selain
berolahraga ditaman monas Andapun dapat melakukan pijat refleksi secara gratis. Di
taman ini disediakan batu-batu yang cukup tajam untuk Anda pijak sambil dipijat
refleksi. Ditaman ini juga disediakan beberapa lapangan futsal dan basket yang dapat
digunakan siapapun. Jika Anda lelah berjalan kaki di taman seluas 80 hektar ini, Anda
dapat menggunakan kereta wisata. Taman ini bebas dikunjungi siapa saja dan terbuka
secara gratis untuk umum.

Wisata Monas
Untuk mengunjungi monas ada banyak jenis transportasi yang dapat Anda
gunakan, jika Anda pengguna kereta Api, Anda dapat menggunakan KRL Jabodetabek
jenis express yang berhenti di Setasiun Gambir. Andapun dapat menggunakan fasilitas
transportasi Bus Trans Jakarta. Jika Anda menggunakan kendaraan pribadi, tersedia
lapangan parker khusus IRTI, atau Anda dapat memarkir kendaraan Anda di stasiun
Gambir.Untuk dapat masuk ke bangunan Monas , Anda dapat melalui pintu masuk
disekitar patung Pangeran Diponegoro lalu Anda akan melalui loorong bawah tanah
untuk masuk ke Monas. Andapun dapat melalui pintu masuk di pelataran monas
bagian utara. Jam buka monas adalah jam 09.00 pagi hingga jam 16.00 sore. Monas
dapat menjadi salah satu pilihan Anda untuk berwisata bersama keluarga dan tempat
mendidik anak – anak untuk lebih mengenal sejarah Indonesia. Andapun dapat
menikmati udara segar dari rindangnya pepohonan di Monas. Dan jangan lupa untuk
menjaga kebersihan Taman Monas agar tetap indah untuk dinikamti siapapun.

25
BAB lll
PENUTUP

Kesimpulan
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika
orang-orang Belanda di bawah bendera VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil
menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke
hutan Jati hingga wafat dan dikubur di sana. JP. Coen dengan bebasnya
menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta
menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu
kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang
Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah sakit,
berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan di luar benteng)
Batavia. Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum
Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat
kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712.
Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham
Van Riebeeck (1653-1713). Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai
Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada
tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berkujung ke Museum siswa


memperoleh banyak manfaat terutama berkaitan dengan peningkatan kemampuan
memahami makna yang terkandung di balik suatu benda koleksi pameran Museum.
Menambah pengetahuan serta wawasan siswa,terutama berkaitan dengan sejarah
melalui benda koleksi pameran di Museum, menumbuhkan daya kritis dan kreatifitas
siswa,terutamadalam membuktikan fakta dan teori yang terdapat dalam buku
pelajaran atau yang dijelaskan oleh guru di depan kelas. Menghilangkan kejenuhan
dan kebosanan siswa dalam belajar karena belajar tidak hanya dilakukan di dalam
ruang kelas, melainkan juga di Museum, melalui kegiatan pengamatan terhadap
koleksi Museum yang dipamerkan

26
Daftar Pusaka

https://id-id.facebook com/notes/wisata-kota-tua-jakarta/sejarah-perkembangan-kota-tua-
jakarta/162059553809933
http://www.indonesiakaya com/kanal/detail/museum-fatahillah-belajar-sejarah-jakarta-di-pusat-
batavia-lama
http://bernadus-eric.blogspot.com/2012/05/konservasi-arsitektur.html
http://museumsejarahjakarta.org/
http://idtesis.com/potensi-museum-fatahillah-sebagai-wisata-sejarah-di-jakarta/
https;//lambungmangkurat.wrdpress.com/2008/12/01
iwan1772.blogspot.co.id/2009/01Kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/2017/03/08
10“Monumen Nasional ( Monas )”. 2013.
Jakarta Local Government website : Museumsin JakartaJakarta : Monumen
Nasional(Monas)related:www.memobee com/sejarah-emas-di-tugu-monas-2768-
eij.html sejarah monas.Katili,Ekki huseinHaji. 1997. Monumen Nasional Monumen
Keagungan bangsaIndonesia. Jakarta : kantor pengelola Monas

27

Anda mungkin juga menyukai