Anda di halaman 1dari 6

Nama : Risro Siregar

Npm : 2001020048
Dosen Pengampu : Junifer Siregar, S.Pd., M.Pd

SEJARAH SUKU BATAK

Dimulai dari peta. Titik merah itu adalah titik peradaban di mulai di Lobu Tua, Barus daerah
perdagangan.
Sekira 3.000 tahun yang lalu, peradaban Batak dimulai melalui proses perjalanan
sejarah yang panjangnya sebagai ras suku Proto Melayu (Melayu Tua) dan temannya Toraja.
Suku ini terkenal memiliki adat istiadat, tradisi, filosofi hidup dan kepercayaan yang tinggi.
Sepanjang sejarah Suku Batak Kuno (Toba Tua) di Sumatera, pernah mengandung tiga
dinasti kerajaan yang menyatukan berbagai suku yang memiliki keterkaitan dengan berbagai
suku dari India Selatan, pedalaman Myanmar (Burma) - Thailand dan Tibet, yang
sebelumnya telah mendiami kepulauan dan pulau Sumatera sejak abad sebelum masehi (+
1.500 SM).
Pemimpin di antara pemimpin (Primus Interpares) suku membentuk dinasti yang menaungi
kelompok klan, kerajaan-kerajaan suku di Tanah Batak (sampai dengan Aceh) dan
selanjutnya Raja-raja Marga-marga dan Wilayah Huta.
A. 3 Dinasti yang pernah ada di suku batak.
1. Dinasti Sori Mangaraja 
Dinasti ini dipimpin oleh raja turun temurun dengan gelar Sori Mangaraja yang
merupakan adapatasi bahasa dari gelar Sri Maharaja.
Dinasti ini berdiri hampir 300-500 tahun sejak abad ke-7 hingga abad ke-12 M. Pusat
pemerintahan dan ibu kotanya terletak di Lobu Tua, Barus dan Pansur yang menggunakan
kota pelabuhan dan pusat perdagangan.
Akhir masa dinasti ini terjadi akibat serangan oleh kerajaan Chola yang dikeluarkan dari
India dengan kerajaan Sriwijaya termasuk daerah kekuasaannya.
2. Dinasti Hatorusan.
Dinasti ini berusaha membangun kembali kota tatanan, tradisi dan kejayaan dinasti Sori
Mangaraja.

Makam Raja Uti dan Istri dan Anak.

Dinasti Hatorusan dipimpin oleh raja yang bergelar Raja Hatorusan, raja menyetujui Uti
Mutiaraja yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan, Pusuk Buhit.

Titik peradabannya berada di Pusuk Buhit yang indah dan sakral.


Wilayah kekuasaanya berada di Barus hingga perbatasan wilayah Aceh. Pada awal
abad ke-15, tampuk memerintahnya diserahkan ke dinasti Sisingamangaraja dari Negeri
Bakkara yang dikenal dengan kerajaan Bakkara yang sekarang bernama Balige.

Raja Batak yang memerintah di Balige.

Kota Balige terletak sekira 250 kilometer dari ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota Balige
adalah ibu kota kabupaten Toba Samosir yang memiliki luas 91 kilometer persegi.

3. Dinasti Raja Sisingamangaraja


Kota Balige inilah yang sepenuhnya memiliki jejak sejarah Kerajaan Batak Kuno dinasti
Bakkara.

Muara (di google moeara) dan Bakkara kekuasaan Sisingamangaraja.

Dinasti Bakkara dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja I-XII yang berdiri dari abad
ke-16 hingga abad ke-19 atau hampir 400 tahun berdiri.
Dalam sejarahnya, dinasti ini bertambah peperangan dengan Belanda selama 30 tahun.
Raja Sisingamangaraja XII meninggal dalam pertempuran di Si Onom Hudon pada tahun
1907 sekaligus menandakan berakhir dinasti dinasti Bakkara.
Di kota Balige-lah, Raja Sisingamangaraja XII dimakamkan, dibahas di jalan Soposurung
daerah Pagarbatu, Kecamatan Balige yang berjarak 2 kilometer dari pusat kota.
Makam Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII yang bergelar Ompu Pulo Batu ini dikenal sebagai rajanya Orang
Batak.
B. Asal-usul Orang Batak
Suku Batak adalah suku terbesar ke-3 di Indonesia. Suku yang terletak di Sumatra
Utara ini berjumlah sekitar 8.466.969 orang atau 3,58 persen dari total penduduk Indonesia.
Mengenai asal usul orang Batak terdapat dua pendapat yakni ada yang menyebut dari
Formosa (Taiwan) dan ada yang menyebut dari India.
Pendapat pertama yang menyebut orang Batak dari Formosa yang turun ke arah
selatan menjadi komunitas orang Toraja, Bugis, dan Makassar, setelah itu bergerak menuju
Lampung, Sumatera Selatan, kemudian menyusuri pantai Barat hingga Barus dan naik ke
pegunungan Bukit Barisan di Pusik Buhit kawasan Danau Toba.
Pendapat kedua yaitu orang Batak berasal dari India yang melakukan persebaran ke
Asia Tenggara di negeri Mung Thai, Burma kemudian turun ke tanah Genting Kera di
belahan utara Malaysia bergerak melayari semenanjung Malaka menuju ke pantai Timur
Sumatera hingga di Batubara, dengan menyusuri sungai Asahan menuju ke Danau Toba atau
dengan rute lain dari Malaka menuju pantai Barat Aceh, menuju Singkil, Barus, Sibolga,
hingga kemudian menetap di Pusuk Buhit. (Simanjuntak, 2002: 75)
Menurut Sangti (1978: 16) bahwa suku Batak, adalah salah satu suku bangsa yang termasuk
rumpun Melayu atau Indonesia tua dan mungkin juga termasuk tertua khususnya di Sumatera
dan di Indonesia umumnya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa orang Batak sudah ada sejak 800 sampai 1000
tahun yang lalu, mereka mendapatkan angka itu dari urutan marga-marga Batak yang ada,
akan tetapi Malau (1994: 17) menduga bahwa orang Batak sudah ada lebih dari 1500-2000
tahun yang lalu.
C. Pengertian Kata "Batak"
Johannes Warneck, mengatakan Batak memiliki arti “penunggang kuda yang lincah".
Herman Neubronner van der Tuuk, menyebut Batak berarti "budak yang bercap atau
bertanda". Banyak yang berpendapat bahwa munculnya istilah “Batak” adalah sebuah kata
yang berasal dari kata “Bataha” yaitu nama sebuah negeri di Burma yang dahulu kala asal
mula orang Batak sebelum bergerak ke pulau Nusantara.
Dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”, karena itu penamaan
suku bangsa dan tanah Batak tidaklah lahir di Sumatera Utara. Marga Batak Toba adalah
marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama berdiam
di kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Orang Batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis
keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara
terus menerus.
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak
yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra,
yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra
yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja.
Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si
Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.

Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru


daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan. Tiap-tiap dari mereka nantinya akan
mempunyai anak, yang otomatis juga akan menjadi raja. Akan tetapi disini tiap-tiap anaknya
masih diberi nama dengan bebas tanpa ada tuntutan marga di namanya.

Lalu pada abad ke 9 - 13 (kalau tak salah) keturunan-keturunan dari si raja batak
sudah terpecah menjadi banyak dan memiliki daerah masing-masing. Dan tak tau apa
alasannya, mungkin mengikuti sistem klan(marga) dari para pendatang dari barat yaitu
mewarisi nama dari ayah. Maka dari saat itu, sesuai dengan keinginan dari raja tersebut maka
anaknya mewarisi nama dari ayahnya yang dicantumkan di bagian belakang, misalnya
namanya Tambor lalu di bagian belakangnya diikuti nama dari ayahnya yaitu Nainggolan
sehingga nama sang anak menjadi Tambor Nainggolan. Sang anak kemudian harus
meneruskan marga tersebut dan tak boleh membuat marga yang baru tanpa persetujuan dari
adat. Akan tetapi bisa saja bila sudah mendapat pengakuan dari masyarakat akan
kehebatannya dan dipersetujui adat dan keluarga. Misalnya marga Pardede, dulu Pardede
merupakan cucu dari raja Napitupulu, akan tetapi setelah berbagai hal akhirnya semua
keturunan marga dari punguan tersebut yaitu Sonak Malela(terdiri dari Simangunsong,
Napitupulu, Marpaung, dan akhirnya Pardede) mengakui Pardede sebagai marga.

D. Tarombo
Silsilah atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga
mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi
mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar"
(nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek
moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini
diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau
marga.

E. Hubungan Antar Marga


Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak
hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Raja
Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat
tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi
secara adat.

Anda mungkin juga menyukai