Anda di halaman 1dari 7

Nama : Fininta Sasronida Sinaga

Npm : 2001020052

MK : Kajian Pragmatik

1. Konteks yang bersifat internal atau yang disebut juga sebagai konteks linguistik atau
konteks intralinguistik lazimnya mencakup aspek tekanan, aspek durasi, dan aspek
intonasi. Sebagai contoh dalam bahasa Jawa, penuturan bentuk ‘lama’ dan ‘lamaaaa’
memiliki makna pragmatik yang tidak sama. Bentuk ‘monggo’ atau bentuk ‘mboten’
yang diucapkan dengan tekanan dan durasi yang tidak sama untuk masing-masing kata
di atas, akan menunjukkan maksud yang berbeda-bida pula. Akan tetapi, beberapa
pakar tidak mengakui hal ini. Artinya, tidak sedikit pakar yang menolak mengakui
bahwa dimensi-dimensi maksud juga dipengaruhi oleh aspek-aspek linguistik dalam
sebuah bahasa. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini? Apa justifikasi atau alasan
Anda? Jelaskan!
Jawab:
• Menurut pandangan saya tentang hal tersebut adalah bahwasannya hal itu benar
adanya, karena bahasa dapat dipahami sebagai interaksi bunyi dan makna. Dimana
bahasa berkaitan dengan sifat sebenarnya daei bunyi ujar dan bukan bunyi ujar serta
bagaimana mereka diproduksi dan dirasakan, makna bahasa itu sendiri jika dilihat
dari sisi lain berkiatan dengan bagaimana bahasa menggunakan logika dan referensi
atau interpretasi dunia nyata untuk menyampaikan, memproses, dan menetapkan
makna serta untuk mengelola dan menyelesaikan ambiguitas dari contoh penekanan
bahasa diatas terlihat bahwa makna itu sendiri dapat disimpulkan dari konteks lalu
terdapat sistem aturan yang mengikat atau mengatur komunikasi antara anggota
suatu masyarakat tutur tertentu. Dengan contoh penekanan kata diatas dapat saya
pahami bahwa tata bahasa dipengaruhi oleh tata suara dan makna. Jika dilihat dari
segmental atau tuturan yang terjadi dan suprasegmental atau bunyi tuturan terjadi
penginterpretasian bunyi tuturan terlihat dari artikulasi tinggi rendahnya nada pada
pengujaran tuturan tersebut.
2. Konteks yang bersifat eksternal atau yang disebut dengan konteks eksternal atau
konteks ekstralinguistik, lazimnya dimaknai sebagai konteks luar kebahasaan yang
menyertai hadirnya sebuah tuturan. Konteks tersebut dapat bersifat sosial, dapat bersifat
sosietal, dapat bersifat kultural, dan dapat pula bersifat situasional. Secara konseptual,
cobalah masing-masing dijelaskan! Sertakan pula contoh untuk memperjelas paparan
Anda tentang berbagai jenis konteks yang bersifat eksternal tersebut!
Jawab:
• Konteks bersifat sosial adalah konteks yang bersifat kemasyarakatan dan konteks
ini dilihat dari hubungan sosial yang terjadi secara homogen dan horijontal. Dalam
konteks ini terlihat jelas bahagaimana bahasa itu menjelaskan maksud dari si
penutur. Contohnya; kata ”sekul” dalam bahasa Jawa digunakan jika tingkatan
sosialnya berada pada tingkatan tinggi dan menenga dan kata ”sega”digunakan jika
tingkatan sosialnya berada pada tingkatan rendah. ”penggunaan kata aku dan saya,
pada kata aku lazim digunakan untuk yang seumuran atau antar teman tapi kalau
kata saya lazim digunakan pada saat berkomunikasi dengan orang yang sudah diatas
kita usianya ”. Contoh lainnya ialah ”Pak Yohan adalah kepala sekolah di SMA N.1
Palipi, kemudian dirinya dipindah tugaskan untuk menjadi kepala sekolah di SMA
N.1 Onanrunggu”. Hal ini yang terjadi pak Yohan disebut dengan konteks sosial
secara horizontal dimana status sosialnya masih sederajat.
• Konteks bersifat sosietal adalah konteks yang bersifat perspektif sosiolinguistik
dimana konteks ini dilihat dari bagaimana hubungan aspek-aspek sosial itu terjadi
secara vertikal atau dilihat dari kesetaraan/kompleksitas yang terdapat dalam
komponen sosial, misalnya dokter dengan pasiennya, mahasiswa dengan dosen.
Contoh lainnnya adalah seorang karyawan yang menjadi manager dimana terjadi
pergeseran derajat sosial.
• Konteks bersifat kultural adalah konteks yang memandang dimensi
kemasyarakatan dilihat dari etika dan estetika. Konteks ini sebenarnya tidak lepas
dari tata krama, sopan santun, adat istiadat yang harus dihargai dan dihormati dalam
kehidupan bersama. Contohnya; Si gotil manis (orang pelit), Si gaor dodak (suka
berkelahi), Na marsangkot bulung (orang miskin), Na juang di langit (orang/tokoh
terkenal)
• Konteks Situasional adalah konteks yang bertujuan untuk membangun relasi
dilihat dari apakah bersifat akrab, intim, dekat. Contohnya: ”dalam satu waktu ada
seorang teman menunjukkan ekspresi yang menunjukkan kesedihan maka saya
harus menunjukkan tingkah atau ekspresi yang menunjukkan bahwa saya
memahami masalah yang dialaminya”.

3. Konteks yang bersifat sosietal selama ini tidak banyak diperikan dalam berbagai
paparan materi tentang konteks dalam buku-buku pragmatik. Jelaskan apa hal-hak
pokok yang menjadi pembeda antara konteks sosial dan konteks sosietal! Beri contoh
seperlunya untuk memperjelas konsep sosial-sosietal konteks yang relatif baru ini!
Jawab:
Konteks sosial dan konteks sosietal dalam pragmatik. konteks sosial dimaknai sebagai konteks
sosial yang berdimensi vertikal. Maksudnya adalah bahwa relasi sosial itu bertautan dengan
status sosial dan jenjang sosial. Seorang pakar menyebut, bahwa ‘Societal context is essentially
the way an event or situation is perceived based on the cultural norms that surround that
situation.’ Pandangan ini tidak terlampau jelas menunjukkan bahwa konteks sosial itu
berdimensi status dan jenjang sosial. Rahardi (2019) pernah menyebut bahwa yang dimaksud
konteks sosietal adalah konteks sosial yang berdimensi kekuasaan dan kekuatan. Di dalamnya
konteks sosietal itu tidak terdapat dimensi solidaritas atau dimensi kesejawatan. Maka jika hal
tersebut dikaitkan dengan pandangan Sebeok, dalam Power and Solidarity, konteks sosial itu
bertautan dengan hal-ihwal ‘solidarity’, sedangkan konteks sosietal itu bertautan dengan
perihal ‘power’. Pertuturan yang terjadi antara pimpinan dengan bawahan dalam sebuah
instansi, misalnya saja, tentu menjadi contoh yang jelas untuk hal ini. Dalam pertututuran itu,
sudah tentu pertimbangan status sosial, jarang sosial, jenjang sosial, sangat diminan terjadi.
Orang akan dengan serta-merta dikatakan sebagai orang yang tidak tahu tata krama, tidak tahu
sopan santun, kalau tidak benar-benar cermat dalam memperhitungkan konteks sosietal dalam
bertutur sapa. Masyarakat yang cenderung masih bercorak feodalistis, mungkin karena nuansa-
nuansa feodalisme di masa lalu masih kentara berpengaruh, sudah barang masih
memperhitungkan dimensi ‘power’ and ‘solidarity’ yang demikian itu secara amat kuat.
Contohnya: ”penggunaan kata aku dan saya, pada kata aku lazim digunakan untuk yang
seumuran atau antar teman tapi kalau kata saya lazim digunakan pada saat berkomunikasi
dengan orang yang sudah diatas kita usianya ” ( pada konteks sosial dan sosietal).

4. Konteks kultural sangat ditentukan oleh dimensi-dimensi kultur atau kebudayaan,


misalnya saja dimensi etika, estetika, hati nurani, dan yang semacamnya. Selain
ditentukan oleh aspek-aspek latar belakang yang demikian itu, konteks kultural juga
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kedaerahan, kesukuan, etnisitas, yang lazimnya
sangat kental dalam perbincangan ihwal masyarakat dan kebudayaan. Carilah konsep-
konsep tentang konteks kultural dari berbagai referensi! Selanjutnya, tabulasikanlah
definisi-defenisi konteks dari berbagai referensi tersebut! Di manakah posisi yang
sangat jelas kelihatan, bagaimana sebuah konteks dapat disebut sebagai konteks
kultural!

Jawab:
Seorang pakar menyebut bahwa konteks kultural itu merupakan bagian dari konteks sosial,
tetapi dalam perspektif penulis, konteks kultural tersebut hadir secara mandiri dan
menunjuk pada entitas yang kuat sebagai pembangun maksud penutur. Dalam
perbincangan konteks kultural, terdapat juga konsep konteks kultural yang bersifat
interkultural dan bersifat lintaskultural. Konteks kultural dikatakan berdimensi
interkultural kalau interaksi kultur yang terjadi terwadahi dalam sebuah sistem yang sama.
Relasi kultur Jawa dan kultur Sunda, misalnya saja, dapatlah disebut sebagai konteks
interkultural (intercultural context). Akan tetapi, relasi kultural antara bahasa Jawa dengan
bahasa Inggris atau bahasa Belanda, misalnya saja, menunjuk pada konteks lintaskultural
(cross-cultural context). Jadi harus sangat dipertimbangkan dalam menemukan maksud
penutur, bagaimana relasi antarentitas di dalam wadah konteks kultural yang bermacam-
macam itu. Relasi antara seseorang yang berasal dari negara asing dengan Anda sebagai
penutur bahasa Batak, misalnya saja, harus memperhatikan dimensi-dimensi lintas budaya.
Sebaliknya kalau perbicangan yang terjadi adalah antara orang-orang yang ada dalam satu
wadah budaya, katakan saja budaya Sunda, perhatian yang terlampau berlebih bisa jadi
sedikit bisa dikurangi. Manakala ada sesama orang Sunda yang sedang berbicara, maka
akan jauh lebih mudah diintepretasi maksud tuturannya dibandingkan dengan orang Jawa
dan orang Australia yang kebetulan bertemu dan berbicara untuk sama-sama memahami
maksud. Manifestasi kearifan-kearifan lokal dalam sebuah budaya juga perlu diperhatikan,
artifak-artefak budaya dari sebuah masyarakat juga merupakan sesuatu yang harus
diperhatikan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dalam konteks interkultural (antar
budaya dalam satu wadah budaya yang lebih besar) dan intrakultural (dalam wadah budaya
yang sama) seperti disebutkan di depan.
Contohnya:
1. Ambu: Aroma (Jawa), Ibu (Sunda) 2. Angel: Lama (Sunda), Susah (Jawa) 3. Angkat:
Pergi (Sunda), Membawa barang dari posisinya (Indonesia) 4. Atos: Keras (Jawa),
Sudah (Sunda) 5. Awak: Saya (Melayu), Badan (Jawa, Sunda) 6. Budal: Pergi (Jawa),
Bubar/ buyar (Sunda) 7. Bujur: Pantat (Sunda), Terima kasih (Batak Karo) 8. Cokot:
Gigit (Jawa),Ambil (Sunda) 9. Comel: Suka menyebarkan rahasia orang (Sunda), Lucu
dan menggemaskan (Melayu) 10. Dahar: Makan dalam artian halus (Jawa), Makan
dalam artian kasar (Sunda) 11. Gedang: Pisang (Jawa), Kates/pepaya (Sunda) 12.
Geulis (dengan pengucapan sama dengan Gelis): Cantik (Sunda), Cepat/lekas (Jawa)
13. Getek: Geli (Sunda), Perahu rakit (Jawa) 14. Jangan: Sayur (Jawa), Seruan larangan
(Indonesia) 15. Kasep: Ganteng (Sunda), Basi/telanjur (Jawa) 16. Kates: Pepaya
(Jawa), Gedang/pisang (Sunda) 17. Kenek: Kena; menyentuh, mendapatkan,
menyenggol, menabrak (Jawa), Kondektur/asisten sopir (Indonesia) 18. Kita: Kamu
(Bugis, dalam arti yang sopan), Kami/kata ganti orang pertama jamak (Indonesia) 19.
Lawang: Pintu (Jawa), Gila (Palembang) 20. Mandi: Manjur (Jawa), Aktivitas bersih
diri (Indonesia) 21. Mangga: Jenis buah (Indonesia), Mempersilakan (Sunda) 22. Mari:
Sembuh/selesai (Jawa), Seruan ajakan (Indonesia) 23. Mbok: Mbak/kakak perempuan
(Bali), Ibu/nenek (Jawa) 24. Onde-onde: Kue yang dibuat dari tepung pulut yang
dibulatkan, diisi gula merah dan diguling-gulingkan pada kelapa parut (Bugis),
Penganan (kue) yang bentuknya seperti bola, terbuat dari tepung ketan atau singkong
yang diberi isi gula merah, kelapa atau kacang hijau, kulitnya dilapisi wijen (Jawa) 25.
Rek: Mau/akan (Sunda), Panggilan untuk segerombolan orang (Jawa, terutama Jawa
Timur) 26. Sampean: Kamu (Jawa), Kaki (Sunda) 27. Sangu: Bekal (Jawa), Nasi
(Sunda) 28. Tulang: Paman (Batak), Rangka atau bagian rangka tubuh manusia atau
binatang (Indonesia, istilah biologi) 29. Urang: Udang (Jawa), Aku (Sunda). Dari kata
atau diksi diatas menandakan bahwa di Indonesia terdapat banyak sekali kata atau
istilah yang sama tapi makna nya berbeda, jika kita tidak memhami makna dari kata
tersebut maka dalam sebuah masyarakat yang menganut paham kedaerahan dan
kesukuan atau masyarakat kultural akan terjadi keambiguitas dalam memahami makna
sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi secara pragmatik.
5. Konteks situasional yang dikembangkan oleh Leech, sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi Malinowski, demikian pula dengan konsep dari Roman
Jakobson tentang konteks situasi. Dalam hemat Anda, bagaimanakah ketiga pakar
tersebut berbicara ihwal konteks situasi dalam versinya masing-masing? Jelaskan
apakah konsepsi yang satu memang tertaut dengan konsepsi yang lainnya? Berilah
justifikasi dan bukti-bukti secukupnya!
Jawab:
Konteks situasi yang dikembangkan atau dikemukakan oleh Malinowski, menurut beliau
konteks situasi itu untuk menghasilkan kerja etnografi yang lengkap, dimana konteksnya
haruslah disertakan. Selanjutnya istilah konteks situasi yang dikembangkan oleh pakar
etnografi lainnya Roman Jakobson, dan Leech. Menurut mereka bahwa pemanfaatan bahasa
sebagai perkembangan interaksi tidak dilepas dari konteks. Searah dengan yang dilakukan
Malinowski yang menerima konsep ”phatic communion” dan termasuk suatu konteks dalam
penerjemahan bahasa, atau intinya dalam pemaknaan bahasa, Roman Jacobson juga demikian,
ia memaparkan fungsi fatis yaitu untuk mempertahakam suatu interaksi yang tidak dapat
dipisahkan dari konteks situasinya. Dalam salah satu buku Geoffrey N.Leech yang sangat
ternama, Principles of Pragmatics memaparkan dalam salah satu bagian buku tersebut perihal
konteks situasi. Leech memerinci konteks situasi, yang disebutnya sebagai konteks situasi tutur
ke dalam sebuah komponen yang telah dipaparkan secara terperinci pada bagian lain buku ini.
Akan tetapi dalam pencermatan penulis yang telah dilakukan selama ini, dan juga sesuai
dengan penggelutan bidang pragmatik yang telah dilakukan oleh penulis sampai dengan saat
ini, konteks situasi sesungguhnya telah dicanangkan pula ketika konteks sosial diperinci aspek-
aspeknya. Hymes, misalnya saja, telah memberikan dimensi ‘setting’ sebagai salah satu aspek
dalam ungkapan memonik yaitu memudahkan seseorang untuk mengingat informasi yang
didapat dalam situasi konteks belajar mengajar dengan mengasosiasi kata-kata atau gagasan
dengan gambar atau dengan kegiatan menarik lainnnya. Yang ternyata bukan saja menunjuk
pada latar yang bersifat tempat, tetapi juga menunjuk pada latar yang bersifat waktu. Jadi,
dapat dikatakan konsepsi ketiga pakar tersebut saling bertaut atau berkaitan.
Misalnya Dalam bahasa Jawa, konsep ‘waktu’ memiliki implikasi makna yang berbeda.
Maksudnya ‘waktu’ yang bukan saja bermakna ‘waktu’ dari pagi sampai dengan sore, dan yang
semacamnya, tetapi ‘waktu’ dalam pengertian ‘suasana’. Maka uangkapan dalam bahasa Jawa
‘ora ngerti wektu’ artinya, bukan saja ‘tidak mengerti waktu’, tetapi ‘tidak memahami
suasana’. Orang yang tidak memahami suasana artinya orang yang tidak memahami situasi
bathin seseorang ketika dia sedang berbicara atau bertutur sapa. Berbicara yang melepaskan
suasana akan berakibat fatal dalam pertuturan, karena di apasti akan banyak berbenturan.
Benturan-benturan dalam berkomunikasi itulah yang lazimnya menyebabkan lahirnya
kesalahpahaman.

Anda mungkin juga menyukai