Bahasa merupakan sistem atau alat komunikasi yang amat penting bagi manusia
dalam perhubungan sehari-hari. Bahasa yang digunakan merupakan sistem lambang yang
mengaitkan maksud atau fikiran manusia dengan sesuatu benda yang konkrit ataupun sesuatu
yang abstrak. Bahasa merupakan suatu unsur yang dinamik, yakni sentiasa berubah-ubah
mengikut situasi dan zaman atau perkembangan semasa. Bahasa dapat dianalisis dan didekati
dengan menggunakan pelbagai pendekatan untuk mengkajinya. Salah satu pendekatan yang
dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Bidang makna atau
semantik merupakan bagian ilmu linguistik yang tidak akan sempurna jika tidak ada kajian
makna.
Bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu
individu kepada individu lain, baik itu secara lisan maupun tulisan. Pernyataan tersebut
sangat benar, satu orang pun tidak ada yang akan membantah dengan pernyataan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktivitas kita menggunakan bahasa, baik
menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh.
Sumarsono (2007:13) mengemukakan masyarakat itu terdiri dari individu-individu,
secara keseluruhan individu saling mempengaruhi dan saling bergantung, maka bahasa yang
sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu
dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individual dapat
berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa lain. Oleh karena itu, individu tetap terikat
pada aturan permainan yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Bahasa berfungsi di
tengah masyarakat dan berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturanaturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi. Manusia merupakan
makhluk sosial, melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam
masyarakat. Untuk melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi
yang berupa bahasa.
Bahasa merupakan faktor penting untuk menentukan lancar tidaknya suatu
komunikasi. Ketepatan berbahasa tidak hanya berupa ketepatan memilih kata, merangkai
kalimat dan juga ketepatan melihat situasi. Artinya seorang pemakai bahasa selalu harus tahu
bagaimana menggunakan kalimat yang baik, benar dan harus melihat dalam situasi apa dia
berbicara, kapan dia berbicara, dimana dia berbicara, dengan siapa dia berbicara dan untuk
tujuan apa dia berbicara.
Penelitian terhadap suatu bahasa memilki ranah yang luas. Untuk memperoleh
kejelasan dalam penelitian ini maka perlu diketahui bahwa penelitian ini memilih salah satu
sub disiplin struktur bahasa, yaitu semantik. Dalam cabang ilmu bahasa, semantik merupakan
ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makna yang berada di luar gramatikal bahasa
yang berbeda dengan morfologi dan sintaksis yang berada pada tataran gramatika bahasa.
Cakupan semantik sangat luas mencakup semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa,
kalimat, paragraf maupun wacana.
Semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna, baik itu makna
leksikal maupun makna gramatikal (Verhaar, 2006:13). Dijelaskan bahwa semantik sebagai
ilmu yang mempelajari tentang makna atau arti yang ada pada tatabahasa morfologi, sintaksis
maupun leksikon. Semantik dibagi dua antara lain, semantik gramatikal dan semantik
leksikal. Makna grmatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya
sebuah kata dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari
proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Sedangkan Makna leksikal
(leksical meaning, sematic meaning, external meaning) adalah makna kata yang berdiri
sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk kompleks (turunan) dan makna yang
ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat dalam kamus.
Chaer (2009:2) mengatakan bahwa kata semantik disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik
dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Jadi dengan semantik kita dapat mengetahui apa
yang dimaksud dengan makna? Bagaimanakah wujud makna? Apakah jenis makna? Apa
saja yang berhubungan dengan makna? Apakah komponen makna? Apakah makna berubah?
Mengapa makna berubah? Apakah setiap kata hanya memiliki satu makna atau lebih?
Bagaimanakah agar kita mudah memahami sebuah kata? Semuanya dapat ditelusuri melalui
disiplin ilmu yang disebut dengan semantik.
Berkaitan dengan objek dalam analisis ini, perlu dijelaskan tentang lirik lagu yang
berhubungan dengan karya sastra . Bentuk karya sastra sangat beragam, karya sastra dapat
berbentuk tulisan seperti puisi, prosa, cerpen dan novel. Kaitannya dengan bentuk, karya
sastra juga berhubungan dengan karya seni. Terkadang karya seni menginspirasi karya sastra
dan sebaliknya karya sastra melengkapi karya seni seperti drama, lagu-lagu dan teater. Sastra
dalam lirik dan drama sering memakai musik. Sastra juga bisa dijadikan tema seni lukis atau
seni musik terutama pada seni tarik suara dan musik (Wellek & Warren, 1995:160).
Penelitian ini menggunakan objek lirik lagu Gundul-gundul Pacul. Lirik lagu
termasuk dalam genre sastra karena lirik lagu adalah karya sastra utama dari puisi yang berisi
curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian. Oleh karena itu lirik sama dengan
puisi namun disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh musik dan termasuk dalam genre
sastra imajinatif.
Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada
masyarakat sebagai pendengarnya. Lirik lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara
baik dengan gaya bahasa yang menarik oleh komposer dan dibawakan dengan suara merdu
supaya dapat dinikmati oleh para pendengar dengan baik. Lirik lagu terbentuk dari bahasa
yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu dengan masyarakat penikmat lagu
sebagai wacana tulis karena disampaikan dengan media tulis pada sampul albumnya dapat
juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang dari dalam
batinnya tentang sesuatu hal baik yang sudah dilihat, didengar maupun dialami.
Lirik Lagu Gundul-gundul Pacul
Gundul Gundul Pacul cul..Gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Gundul ( botak tanpa rambut ) pacul (cangkul) cul (dari kata ucul yang berarti lepas).
Gembelengan (sombong atau angkuh)
Nyunggi nyunggi wakul..kul Gembelengan
Nyunggi (membawa sesuatu di atas kepala) wakul ( bakul) kul (penekanan dari kata bakul)
Gembelengan (sombong atau angkuh)
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul (bakul) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar (berantakan
kemana-mana di tanah)
Wakul nggelimpang Segane dadi sak latar
Wakul (bakul) nggelimpang (jatuh) segane (nasinya) dadi (jadi) sak latar (berantaan
kemana-mana di tanah)
diasosiasikan dengan keindahan kepala. Maka gundul pada lirik lagu Gundul-gundul pacul di
asosiasikan dengan kehormatan yang tanpa mahkota. Pacul atau Cangkuldiasosiasikan
dengan rakyat jelata, karena cangkul merupakan alat kerja.
Gundul pacul diasosiasikan seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang
diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan
kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pacul sendiri di kalangan masyarakat jawa mengandung makna sebagai PAPAT
KANG UCUL atau empat yang lepas. Artinya bahwa kemuliaan seseorang akan sangat
tergantung empat hal, yaitu: bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2.Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.
Gundul-gundul Pacul Cul (ucul=lepas) artinya orang yang di kepalanya sudah
kehilangan empat indera tersebut yang mengakibatkan sikap berubah
jadi gembelengan(congkak). Nyunggi-nyungi wakul kul (menjunjung amanah rakyat) selalu
sambilgembelengan (sombong hati), akhirnya wakul ngglimpang (amanah jatuh tidak bisa
dipertahankan) segane dadi sak latar (berantakan sia-sia, tak bisa bermanfaat bagi
kesejahteraan.
Makna Stilistik dalam Lirik Lagu Gundul-gundul Pacul
Makna stilistik berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan social dan
bidang kegiatan di dalam masyarakat (chaer, 2009:73). Jadi makna stilistik berhubungan
dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama kepada pembaca. Makna stilistik
lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat
tersendiri karena kata yang digunakan mengandung makna stalistika. Makna stalistika lebih
banyak ditampilkan melalui gaya bahasa.
Rangkaian kata dan kalimat dalam bait lirik lagu gundul-gundul pacul berbentuk
simile, simbolik, asosiasi (perumpamaan) dan epos yang terdapat hubungan sebab akibat.
Berupa rangakian cerita yang diawali dengan kepemimpinan yang sombong atau angkuh.
Hingga tak mampu memegang amanat rakyat yang diibaratkan dengan membawa nasi atau
membawa wakul (tempat nasi) di atas kepala namun akhirnya harus jatuh berantakan di atas
tanah.
Maksud dari cerita yang disampaikan secara ringkas dan padat tersebut membuat
lirik lagu ini sarat makna stlistika. Gaya bahasa simbolik terdapat pada katagundul sebagai
simbul kepemimpinan yang telah kehilangan kehormatan. Kata wakul dan sego digunakan
sebagai simbul amanat rakyat. Gaya bahasa asosiasi atau perumpaman terdapat pada kata
pacul yang diumpamakan sebagai sarana atau alat untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat dengan tidak melepaskan empat hal yaitu: 1) Mata digunakan untuk melihat kesulitan
rakyat, 2) Telinga digunakan untuk mendengar nasehat, 3) Hidung digunakan untuk mencium
wewangian kebaikan, dan 4) Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil. Perumpamaanperumpamaan pada uraian di atas adalah perumpamaan-perumpamaan yang memiliki muatan
stilistik.
Makna Afektif dalam Lirik Lagu Gundul-gundul Pacul
Makna afektif makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap
penggunaan bahasa. Chaer (2009:73) mengungkapkan bahwa makna afektif berkenaan
dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara
maupun terhadap objek yang dibicarakan.
Setelah mendengar lirik lagu ini dinyanyikan maka akan dirasakan makna afektif
diantaranya, ajakan pengarang kepada pendengar untuk menjadi seorang pemimpin yang baik
dan mampu melaksanakan amanat rakyat dengan benar. Pemimpin yang tidak sombong dan
angkuh sehingga kepemimpinannya tidak sia-sia. Jika seorang pemimpin memiliki sikap
sombong atau angkuh maka kepemimpinannya tidak akan berhasil seperti yang terungkap
pada kalimat tempat nasi (bakul) jatuh, nasinya jadi berantakan. Pembaca atau pedengar
secara sadar atau tidak sadar akan merasa diperingatkan untuk berusaha memperbaiki diri
dalam kepemimpinan sehari-hari, baik pemimpin untuk dirinya sendiri, orang lain, keluarga
maupun negara.
Kata-
kata yang terdapat dalam lirk lagu Gundul-Gundul Pacul lebih banyak behubungan dengan
kehidupan manusia secara pribadi dan universal. Seperti kata gundul, pacul, gembelengan
atau congkak, wakul, sego, kata-kata tersebut memberikan gambaran umum yang
berhubungan dengan kegiatan manusia secara pribadi dan secara universal dalam mencapai
kehidupan atau kepemimpinan yang lebih baik.
Sasaran penciptaan lirik lagu ini bukan ditujukan pada suatu ruang khusus, artinya
tidak hanya ditujukan sebagai kritik terhadap pejabat atau penguasa pada suatu masa,
keadaan di suatu tempat, sebagian golongan manusia, mungkin gender atau status sosial,
tetapi lebih luas, lirik lagu ini ditujukan kepada setiap pribadi, secara universal hubungan
dengan dirinya sendiri, orang lain dan terutama pertanggungjawaban kepada Tuhan atas
kepemimpinannya. Namun secara khusus sebenarnya ditujukan kepada masyarakat jawa
karena lirik lagu ini pada asalnya menggunakan bahasa Jawa.
Kata Membawa bakul tidak hanya membawa tempat nasi sebagai makna denotasi
tetapi memiliki makna konotasi sebagai sebagai berikut:
Nyunggi merupakan kata kerja yang menunjukkan membawa suatu benda di atas kepala.
Demikian tinggi perlambang pengembanan suatu amanat yang memang harus diletakkan
tinggi-tinggi melebihi kepala, bagian tubuh yang paling tinggi. Amanat merupakan tugas
kesucian yang harus dijunjung tinggi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
mengamanatkan kekuasaannya kepada para wakil dan pemimpinnya. Maka menjadi
kewajiban mereka untuk nyunggi, menjunjung tinggi amanat untuk dilaksanakan secara
bersungguh-sungguh dan penuh rasa tanggung jawab.
bakul jatuh nasinya berantakan di tanah
Kata-kata anak bakul, nasi, jatuh, dan berantakan di tanah, tidak pula sekedar
bermakna denotatif. Pemimpin yang mengkhianati amanat rakyat, ceroboh dan teledor dalam
nyunggi wakul simbol kesejahteraan itu, hanya akan menyebabkan wakul ngglimpang segone
dadi sak latar. Kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab, tidak amanah dalam
menjalankan amanat rakyat hanyalah akan menimbulkan malapetaka. Segala potensi dan
sumber daya yang semestinya dapat didayagunakan untuk mensejahterakan rakyat hanya
akan berceceran kemana-mana dan menyebabkan kemubadziran bahkan kerusakan.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang diidam-idamkan bukannya tercapai, sebaliknya segala
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi rusak.
Setiap pemimpin yang memegang amanat nyunggi bakul rakyat, akan dimintai
pertanggungjawaban kelak oleh Allah SWT. Di tangan pemimpinlah bakul sebagai konotasi
kesejahteraan rakyat itu akan tetap kokoh menampung benih kebaikan dan kemakmuran,
ataukah bakul itu akan tumpah menyengsarakan kehidupan rakyat.
Penutup
Berdasarkan analisis terhadap lagu Gundul-gundul Pacul dengan pendekatan
semantik ini dapat disimpulkan bahwa dalam lirik lagu Gundul-gundul Pacul terdapat makna
asosiatif, makna stilistik, makna kolokatif, makna afektif dan makna konotatif. Makna
asosiatif terdapat dalam kata-kata gundul, pacul, gembelengan, wakul, sego. Makna stilistik
berupa simbolik-simbolik yang juga berfungsi memperindah bunyi. Secara utuh lirik lagu ini
berupa epos simile, sebuah cerita dalam perumpamaan. Makna afektif berupa ajakan,
peringatan untuk berperilaku baik, menjalankan amanah dengan benar dan penuh tanggung
jawab. Makna konotatif hampir terdapat dalam setiap baris lirikm lagu Gundul-gundul Pacul,
kata-kata maupun kalimatnya merupakan acuan dari luar leksikalnya. Yang menceritakan
tentang ajaran hidup sebagai pimpinan yang amanah dan bertanggung jawab kepada rakyat
atau bawahan..
DAFTAR RUJUKAN
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika, Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Verhaar. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogjakarta. Gajah Mada University Pres.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
http://utamiku03.blogspot.com/2013/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
memahami sebuah kata, semuanya dapat ditelusuri melalui disiplin ilmu yang disebut dengan
semantik.
Berkaitan dengan objek dalam analsis ini perlu dijelaskan tentang lirik lagu yang berhubungan
dengan karya sastra . Bentuk karya sastra sangat beragam, karya sastra dapat berbentuk tulisan
seperti puisi, prosa, cerpen dan novel. Kaitannya dengan bentuk, karya sastra juga berhubungan
dengan karya seni kadang karya seni menginspirasi karya sastra dan sebaliknya karya sastra
melengkapi karya seni seperti drama, lagu-lagu dan teater. Sastra dalam lirik dan drama sering
memakai musik. Sastra juga bisa dijadikan tema seni lukis atau seni musik terutama pada seni tarik
suara dan musik (Wellek & Warren, 1995:160).
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan objek lirik lagu Lir-ilir. Lirik lagu termasuk dalam genre
sastra karena lirik lagu adalah karya sastra utama dari puisi yang berisi curahan perasaan pribadi,
susunan kata sebuah nyanyian (Nyoman, 2009:425). Oleh karena itu lirik sama dengan puisi namun
disajikan dengan nyanyian yang diiringi oleh musik dan termasuk dalam genre sastra imajinatif.
Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai
pendengarnya. Lirik lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara baik dengan gaya bahasa
yang menarik oleh komposer dan dibawakan dengan suara merdu supaya dapat dinikmati oleh para
pendengar dengan baik. Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara
pencipta lagu dengan masyarakat penikmat lagu sebagai wacana tulis karena disampaikan dengan
media tulis pada sampul albumnya dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Lirik lagu
merupakan ekspresi seseorang dari dalam batinnya tentang sesuatu hal baik yang sudah dilihat,
didengar maupun dialami.
Lirik Lagu Lir-ilir
Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako surak hiyo
Terjemah Lirik Lagu Lir-ilir
Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo
Makna Asosiatif dalam Lirik Lagu Lir-Ilir
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti dapat dipaparkan penjelasan mengenai makna asosiatif
dalam lirik lagu Lir-ilir. Berikut deskripsi hasil analisis makna asosiatif yang terdapat dalam lirik lagu
Lir-ilir.
Sayup-sayup bangun (tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,?
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo
Berdasarkan data di atas dapat ditemukan kata bangun (tidur) yang bermakna baru bangun dari tidur,
kata bangun memiliki asosiasi memulai suatu kegiatan, mengawali hari baru, merencanakan sesuatu
dan menciptakan sesuatu yang lebih baik. Dari beberapa asosiasi dapat ditarik kesimpulan bahwa
kata bangun memilki kiasan yang mengarah pada sebuah hal baru yang baru lahir dan mulai hidup
dan berkembang. Pada baris kedua terdapat kata pohon sebagai kelanjutan dari baris pertama kata
pohon berarti tanaman dalam hal ini tidak hidup dengan sendirinya melainkan ada proses penanaman
, jenis tanaman juga bermacam-macam dan penanam berharap tanamannya berbuah dan melihat
hasilnya , kata pohon memiliki makna kiasan dapat diasosiasiakan dengan hal baik, bermanfaat,
dapat tumbuh dan berkembang. Arti lebih dalam terhadap kata bangun (tidur) dan pohon
menunjukkan adanya sebuah usaha menanamkan kebaikan (agama) sehingga tumbuh dan
berkembang dalam masyarkat.
Baris ketiga lirik di atas melanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang pohon yang sudah
menghijau tampak indah, segar dipandang layaknya pengantin baru kata pohon dan pengantin baru
merupakan kata yang bermakna kias. Arti dari kata menghijau dan pengantin baru secara mendalam
dapat diartikan sebuah keadaan yang menyenangkan yaitu tanaman yang ditanam telah dengan baik
dan subur sehingga menimbulkan perasaan bahagia bagi penanam kebahagian sungguh
menyenangkan. Ilmu (agama) dan pelajaran tentang kebaikan telah di dapat dan menunjukkan
manfaatnya sehingga manusia menjadi lebik baik dalam bertindak dan melangkah.
Kata anak gembala dan pohon belimbing yang terdapat dalam baris keempat lirik lagu di atas juga
termasuk kata yang bermakan kias, anak gembala bermakna anak yang merawat binatang ternak,
dan pohon belimbing bermakna nama sebuah pohon yang memilki bernama buah belimbing yang
berasa asam manis segar dimakan dan bisa digunakan untuk membersihkan sesuatu yang lengket
kata majemuk tersebut memiliki makna lain selain makna sebenarnya serta memiliki maksud yang
berbeda jika diasosiasikan dengan keadaan lain. Kata anak yang bergabung dengan kata gembala
memiliki pengertian bahwa pekerjaan anak atau seseorang itu adalah menggembala, merawat,
mengatur, melayani, menjaga. Sedangkan pohon belimbing berasosiai dengan pepohonan yang
berbuah dan memilki banyak manfaat untuk kelangsungan hidup manusia. Arti kata anak gembala
dan pohon belimbing secara mendalam dapat diartikan sifat merawat, melayani , mengatur dengan
baik terus dilakukan setelah mendapatkan ilmu (agama) dan pelajran tentnag kebaikan dan berusaha
untuk tersu meningkatkan sampai puncak meskipun harus melangkah perlahan sehingga kelak
mencapai hasil yang diinginkan.
Baris kelima dalam bait di atas terdapat kata licin dan pakaian. Kata licin dapat dimaknakan sulit,
susah, karena dilanjutkan kata panjatlah bermakna menaiki sesuatu yang tinggi dan dilakukan
dengan tenaga yang besar berbeda degan kata naik atau terbang, memanjat lebih pelan, berhati-hati
dan dilakukan secara perlahan sampai pada tujuan yang diharapkan yakni buah belimbing. Arti kata
licin dan pakaian bila diartikan secara mendalam akan berhubungan dengan kalimat sebelumnya,
yakni uasaha untuk terus memperbaiki diri memang tidak mudah, banyak godaan, tetapi harus terus
ditingkatkan sampai dapat memetik hasil dari kebaikannya sehingga dapt digunakan untuk
memperbaiki kekurangan diri bahkan orang lain.
Kata pakaian bemakna kain atau sesuatu yang digunakan untuk menutupi tubuh. Dalam lagu ini kata
pakaian termasuk kata yang bermakna kias maksud dari kata pakaian bukanlah baju, kemeja, kaos,
jaket atau jenis yang lain. Arti kata pakaian jika dipahami secara mendalam akan memilki arti akhlak,
perilaku baik terhadap diri sendiri, sesama manusia dan kepada Tuhan.
Baris ketujuh dalam bait diatas tedapat kata nanti sore yang bermakna waktu menjelang malam.
Dalam lirik lagu ini kata nanti sore memiliki makna kias, waktu sore dapat diasosiaikan dengan waktu
akhir, pergantian masa, pergantian generasi, menjelang mati. Arti kata nanti sore berarti masa akhir
dari kehidupan yakni kematian menuju alam yang berbeda, dengan membawa bekal kebaikanyang
sudah dilakukan dan terus ditingkatkan.
Kata rembulan pada baris kedelapan bait diatas juga termasuk kata yang bermakna kias, rembulan
bermakna benda langit yang muncul pada malam hari dan bercahaya kekuningan karena pantulan
dari cahaya matahari. Dalam kalimat di atas kata rembulan memilki asosiasi cahaya, indah,
menerangi bumi pada malam hari.Arti kata rembulan secara mendalam dapat diartikan sebuah
anugerah karena telah mencapai waktu malam yang indah yakni kematian yang khusnul khotimah
dan diakhirat memperoleh balasan kebaikan dan berhasil menjalan kehidupan dengan baik sehingga
bergembira.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa dalam lirik lagu yang berjudul Lir-ilir menggunakan
makna kiasan dalam meyampaikan pesan dan amanat. Adapun kata yang bermakna kias dalam lirik
lagu Lir-ilir adalah kata bangun (tidur), Pohon, menghijau, pengantin baru, Anak penggembala, pohon
blimbing , licin, panjatlah, pakaian, nanti sore, rembulan.
Makna Stilistik dalam Lirik Lagu Lir-ilir
Rangkaian kata dan kalimat dalam bait lirik lagu lir-ilir berbentuk simile, perumpamaan dan epos yang
panjang. Berupa rangakian cerita perjalan suatu kegiatan dari awal bangun tidur sampai pada
kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bertingkat seperti dalam baris ke empat dan kelimat sampai
mencapai sebuah klimaks yang ditandai dengan ajakan bersorak.
Maksud dari cerita yang disampaikan secara ringkas, padat tersebut membuat lirik lagu ini sarat
makna stlistika, metafora-metafora dapat ditemukan seperti yang terdapat dalam uraian di atas pada
makna kias, sesungguhnya merupakan perumpamaan-perumpamaan, yang memiliki muatan stilistik.
Makna Afektif dalam Lirik Lagi Lir-ilir
Makna afektif makna yang muncul akibat reaksi pendengar atua pembaca terhadap penggunaan
bahasa, setelah mendengar lirik lagu ini dinyanyikan maka akan dirasakan makna afektif diantaranya,
ajakan pengarang kepada pendengar untuk memperbaiki diri dengan cara merubah sikap, perilaku
yang kurang atau tidak baik menjadi perilaku yang baik seperti yang tersirat dalam kalimat Pakaianpakaian yang koyak (buruk) disisihkan Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore. Pembaca
atau pedengar secara sadar atau tidak sadar akan merasa diperingatkan untuk berusaha
memperbaiki diri dalam kegiatan sehari-hari sampai pada akhir dari kehidupan yaitu mati yang
disebut dalam kalimat itu nanti sore.
Makna kolokatif dalam Lirik Lagu Lir-ilir
Makna kolokatif wujud dalam kata-kata yang digunakan pengarang untuk menunjukkan suatu
lingkungan yang digambarkan pengarang. Kata-kata yang terdpat dalam lirk lagu Lir-ilir lebih banyak
behunungan dengan kehidupan manusia secara pribadi dan universal. Sepeti kata pengantin,
penggembala, bersorak, panjat, jahit kata-kata tersebut memberikan gambaran umum yang
berhubungan dengan kegiatan manusia secara pribadi dan secara universal dalam mencapai
kehidupan yang lebih baik.
Sasaran penciptaan lirik lagu ini bukan ditujukan pada suatu ruang khusus, artinya tidak hanya
ditujukan sebagai kritik terhadap pejabat atau penguasa pada suatu masa, keadaan di suatu tempat,
sebagian golongan manusia, mungkin gender atau status social, tetapi lebih luas, lirik lagu ini
ditujukan kepada setiap pribadi secara universal hubungan dirinya dengan dirinya sendiri dan Tuhan.
Namun secara khusus sebenarnya dutujukan kepada masyarakat jawa karena lirik lagu ini pada
asalnya menggunkan bahasa Jawa.
Makna konotatif dalam lirik lagu Lir-ilir
Makna konotatif berupa makna yang digunakan untuk mengacu bentuk atau makna lain yang
terdapat di luar leksikalnya. Lirik lagu lir-ilir ini penuh dengan makna konotatif, hampir dalam setiap
barisnya merupakan acuan terhadap makna lain diluar leksikalnya, seperti yang dijelaskan pada
bagian awal tentanag makna asosiasi beberapa kata menjadi acuan meskipun ada kemiripan namun
terdapat perbedaan antara makna kias dan konotatif. Berikut uraian tentang makna konotatif dalam
lirik lagu Lir-ilir.
Pohon sudah mulai bersemi
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Kata dan kalimat dalam kutipan di atas tidak sekedar bermakna bahwa sebuah pohon atau sejenis
pohon sedang bersemi, tetapi hanya sebgai acuan dari masuknya sebuah ajaran pegangan hiudp
yakni ajaran agama Islam. Ajaran yang sangat baik dan mulai berkembang pesat di tanah Jawa pada
saat lirik lagu ini diciptakan sekitar abad 14.
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Kata-kata anak gembala, pohon blimbing, licin, pakaian, tidak pula sekedar bermakna denotatif. Anak
gembala bermakna secara luas seorang manusia yang memiliki kemampuan menggembala
(memimpin, memanajemen, mengatur) dirinya sendiri amupun orang lain. Hendaklah menunaikan
ajaran syariat Islam dengan sabar dan berusaha secara terus menerus seperti pada kalimat
panjatkan pohon blimbing itu. Walupun licin panjatlah.kemudian setelah mampu menjalani syariat itu
diharapkan dapat menghapus dosa-dosa, keburukan-keburukan yang telah dilakukan yang dijelaskan
dalam kutipan berikut.
untuk mencuci pakaian,
http://bangpek
-kuliahsastra.blogspot.com/2012/02/lirik-lagu-lir-ilir-sebuah-kajian.html
LANDASAN TEORI
2.1 Lagu
Manusia dizaman sekarang ini memerlukan sebuah hiburan salah satunya adalah melalui
lagu, dengan lagu manusia akan menjadi tenang menjadi frees dalam berfikir sehingga
dapat memulai aktifitas keseharian dengan baik.
Setiap lagu pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat
sebagai pendengarnya. Lagu berisi barisan kata-kata yang dirangkai secara baik dengan
gaya bahasa yang menarik oleh komposer dan dibawakan dengan suara indah penyanyi.
2.1.1 Pengertian Lagu
Lagu adalah salah satu cabang seni yang sangat dekat dengan kehidupan kita. Bahkan
sejak kita masih bayi, mugkin kita sudah dikenalkan dengan seni musik oleh ibu kita,
yaitu lewat nyanyian-nyanyian sederhana misalnya: lagu Nina Bobo, Pelangi, Pak Pos,
dan banyak lagi. Nyanyian-nyanyian itu juga menyemarakkan hidup kita hingga
memasuki masa pendidikan prasekolah maupun awal-awal sekolah. Selama pendidikan
sekolah formal maupun di lingkungan kita masing-masing, kita pun selalu dikenalkan
nyanyian-nyanyian yang makin lama makin rumit seiring dengan makin bertambahnya
tingkat pendidikan kita. Lagu yang kita kenal pun bukan lagi hanya sekedar musik vokal,
tapi lebih dari itu kita pun mengenal instrumen-instrumen lagu baik itu instrumen ritmis
maupun melodis. Dan lagu akan selalu mengiringi hidup kita hingga kita dewasa bahkan
hinggga kita kembali kepangkuan-Nya.
Lagu yang kita kenal pun tidak terbatas sebagai sarana hiburan saja melainkan juga lagu
sebagai salah satu bagian dari sebuah kebudayaan dari suatu bangsa, lagu sebagai salah
satu bagian dari ritual keagamaan, lagu sebagai sarana peluap emosi, dan sebagainya.
Lebih dari semua hal di atas, lagu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
kebudayaan. Jadi sekali lagi dapat disimpulkan bahwa manusia tidak akan lepas dari
lagu.
Kesenian, khususnya lagu, merupakan bagian dari kebudayaan. Melalui lagu, manusia
mengekspresikan perasaan, harapan, aspirasi, dan cita-cita, yang me-representasikan
pandangan hidup dan semangat zamannya. Oleh karena itu, melalui kesenian, kita juga
bisa menangkap ide-ide dan semangat yang mewarnai pergulatan zaman bersangkutan.
Indonesia sendiri adalah suatu negeri yang kaya dengan berbagai karya seni, khususnya
seni musik, yang mewakili pandangan hidup dan semangat zamannya.
2.1.2 Fungsi Lagu
Lagu secara umum sangat penting bagi kehidupan masyarakat, tanpa lagu masyarakat
tidak akan pernah merasakan suatu kenyamanan di dalam menjalankan suatu aktifitas,
berikut ini fungsi lagu antara lain sebagai berikut :
1. Media Hiburan
Masyarakat secara umum memahami lagu sebagai media hiburan. Radio, musik
rekaman, film, telivisi dan internet memberikan arah yang jelas terhadap citra lagu
sebagai media hiburan.
2. Media Pengobatan (therapy)
Beberapa tabib muslim pada abad ke-9 dan ke-10 telah menggunakan lagu sebagai
sarana penyembuh penyakit, baik jasmani maupun rohani. Seorang filusuf Al-farabi, telah
menulis risalah tentang pengobatan melalui lagu. Beethoven, tanpa disadarinya juga
membuktikan bahwa lagunya telah menjadi alat penyembuh penyakit jiwa.
3. Media Peningkatan Kecerdasan (Intelegensi)
Otak manusia terbagi menjadi otak kanan dan otak kiri. Keseimbangan dua bagian otak
tersebut dapat mempengaruhi kecerdasan manusia. Otak kiri merupakan pengendali
fungsi intelektual, sedangkan otak kanan pengendali fungsi spontanitas dan mental.
Lagu dapat dijadikan sebagai alat penyeimbangan otak kiri. Daya estetis lagu dapat
dimanfaatkan sebagai penambah intelegensi.
4. Suasana Upacara Keagamaan
Lagu keagamaan dapat mengilhami penganut suatu agama untuk selalu mengingatnya,
baik dalam upacara adat, upacara pernikahan, maupun upacara kematian.
Unsur-unsur yang Membangun Lagu
2.2.1 Unsur-unsur Intrinsik
Banyaknya para ahli sastra memberikan pendapatnya tentang adanya unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya sastra memberika gambaran kepada kita bahwa
penyikapan yang diambil oleh para ahli sastra itu berbeda-beda. Misalnya, Sudjiman
(1988:5-7) dalam bukunya memahami cerita rekaan menyebutkan adanya unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya sastra yaitu : (1) Tokoh caracterzation, (2) Alur dan plot,
(3) Latar atau setting, (5) Sudut pandang atau point of view, (6) Tehnik.
Sedangkan menurut Aminuddin, (1991 : 67-91) dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Apresiasi Karya Sastra menyebutkan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra
adalah : (1) Penokohan atau perwatakan, (2) Alur, (3) Tema, (4) Setting, (5) Titik
pandang, (6) Gaya.
Ahli sastra lain yang juga memberikan pendapatnya tentang unsur-unsur intrinsik karya
sastra yaitu Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam bukunya Apresiasi Kesusastraan,
mengemukakan unsur-unsur intrinsik tersebut meliputi : (1) Karakter, (2) Plot, (3) Tema,
(4) setting, (5) Point of view, (6) Gaya, (7) Suasana (1988 : 48-109)
Menilik pendapat-pendapat ahli sastra mengenai unsur-unsur intrinsik yang membangun
sebuah karya sastra, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya unsurunsur pokok dalam karya sastra itu adalah : (1) Tokoh, (2) Tema, (3) setting, (4) Plot, (5)
Sudut pandang.
Sedangkan unsur-unsur tambahan yang kadang-kadang tiap pendapat memberikan
definisi yang berbeda mengenai ketiga unsur tambahan yaitu : (1) gaya, (2) Tema, (3)
Suasana.
Sebenarnya masih banyak pendapat yang mengemukakan tentang unsur-unsur intrinsik
yang membangun karya sastra, tetapi apabila penulis mengutip semua pendapat itu,
maka tulisan ini hanya akan berisi pendapat-pendapat tentang unsur-unsur intrinsik saja,
padahal tujuan sebenarnya dari tulisan ini buakn semata-mata menitik beratkan pada
unsur intrinsik tetapi bahkan sebaliknya, tulisan ini akan mengangkat salah satu dari
unsur ekstrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra. Uraian tentang unsur-unsur
intrinsik akan penulis kupas di bawah ini.
2.2.1.1 Alur
Alur atau plot dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk
oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1991:83).
Ada pula yang mengatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang
membangun cerita secara utuh dan saling mengait (Syahrul, 1988:46).
Sedangkan menurut Sunardjo dan Saini (1988:48) dalam bukunya yang diberi judul
Apresiasi Kesusastraan bahwa apa yang disebut plot atau alur dalam cerita memang sulit
dicari ia tersembunyi dibalik jalannya cerita. Namun jalannya cerita bukanlah plot, jalan
cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita.
Disebutkan pula intisari plot adalah konflik.
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sastra itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa alur adalah rangkaian dalam suatu cerita tetapi bukan semata-mata
jalan cerita, melainkan manifestasi cerita.
Dalam cerita fiksi urutan tahapan peristiwa beraneka ragam tergantung dari pengarang
dalam menekankan cerita atau pengertiannya. Menurut Loban dkk, dalam prosa fiksi
tahapan alur terdiri atas (1) eksposisi/pernapasan (2) okomplikasi/mulai timbulnya konflik
(3) klimaks/konfliks memuncak (4) revelasi/perpecahan konfliks (5)
denoument/penyelesaian yang membahagiakan (happy ending), atau catastrophe
(penyelesaian yang menyedihkan, dan solution yakni penyelesaian yang masih
terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya,(3) dialog, baik dialog tokoh yang
bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (Semi, 1988:41).
2.2.1.4 Latar
Menurut Semi, yang dimaksud dengan latar atau landas tumpu adalah cerita tentang
lingkungan tempat peristiwa terjadi (1988:46).
Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Drs. Aminuddin dalam bukunya
Pengantar Apresiasi Karya Sastra yang memberikan pengertian setting adalah latar
peristiwa dalam karya sastra baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta
memiliki fungsi psikologis (1991:66).
Sedangkan menurut Drs. Syahrul Udin, yang dimaksud dengan latar adalah tempat,
waktu, peristiwa kejadian yang melatarbelakangi cerita sehingga cerita tampak hidup
dan berjalan lancar serta wajar (1988:45). Setting yang di dalam fiksi bukan hanya
sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan
terjadinya. Pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu
(Sumarjo, 1988:75-76).
Uraian mengenai latar/setting yang dikemukakan sekian banyak oleh para ahli di atas
pada hakekatnya sama yaitu menekankan pada tempat cerita atau peristiwa sebuah
cerita terjadi baik waktu, maupun kejadian-kejadian lain yang melatarbelakanginya.
2.2.1.5 Sudut Pandang
Yang dimaksud sudut pandang adalah cara pengarang memaparkan peristiwa atau
kejadian dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita (Udin, 1988:49).
Semi menyebutkan pusat pengisahan sebagai sudut pandang atau titik pandang yaitu
posisi dan penempatan diri pengarang dalam seritanya, atau dari mana ia melihat
peristiwa yang terdapat dalam cerita itu (1988:57).
Sedangkan Jakob Sumardjo dan saini K.M. dalam bukunya, Apresiasi Kesusastraan
mengemukakan pengertian point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya
sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita (1988:82).
Titik kisah ini umumnya dapat dibedakan menjadi; (1) pengisah atau pengarang sebagai
pelaku atau narrator omniscient; (2) pengarang sebagai observer; (3) pengarang sebagai
pengamat yang serba tabu segala perilaku batiniah pelaku-pelaku lainnya atau narrator
observer omniscient; (4) pengarang sebagai pelaku tambahan atau ketiga atau sebagai
orang pertama narrator the thirdperson omniscient.
2.2.1.6 Gaya
Istilah gaya berasal dari istilah Style yang berasal dari bahasa latin stilus dan
mengandung arti leksikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya
mengandung pengertian cara orang atau pengarang menyampaikan gagasan dengan
menggunakan medium bahasa yang indah dan harmonis serta mampu memuaskan
maknanya, serta suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca
(Aminuddin, 1991:72).
Menurut Atar Semi dalam bukunya Anatoni Sastra menyebutkan gaya penceritaan adalah
tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Tingkah laku berbahasa ini
merupakan suatu sarana sastra yang amat penting tanpa bahasa, tanpa gaya bahasa,
sastra tidak ada (1988:47).
Gaya adalah cara khas pengungkapan pengarang, cara bagaimana seseorang pengarang
memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerita,
itulah gaya seorang pengarang. Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu
sendiri (Sumardjo, 1988:92).
Pendapat jacob Sumardjo hampir sama yang di kemukakan oleh Udin yang
mengemukakan gaya merupakan cara pengarang mengungkapkan pribadinya lewat kata
atau kalimat yang menimbulkan efek-efek tertentu bagi pembaca (Udin, 1988:48).
2.2.2 unsur-unsur Ekstrinsik
Dalam menciptakan sebuah karya sastra tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur yang
secara utuh membangun sebuah karya sastra, tetapi dibangun unsur-unsur luar yang
turut menentukan bentuk maupun isi sebuah karya sastra.
Menurut Wellek dan waren, bahwa unsur-unsur ekstrinsik yang membangun sebuah
karya sastra adalah: (1) Biografi/ psikologi pengarang, (2) Kemasyarakatan dan
kesejarahan, (3) ideologi, filsafat, teologi, (4) Semangat zaman, atmosfer, atau iklim
intelektual (Udin, 1988:45).
Lain lagi menurut (Putu wijaya, 1985:50-51). Dalam bukunya yang berjudul Teori Sastra
yang di dalamnya disebutkan adanya unsur-unsur ekstrinsik karya sastra dalam bentuk
pertanyaan yang tersusun menjadi enam pertanyaan sebagai berikut: (1) Siapa
pegarangnya, (2) Dalam keadaan bagaimana ia mengarang, (3) Mengapa dan kapan ia
mengarang, (4) Mengapa karya itu disenangi pembaca, (5) Bagaimana isi cerita dengan
selera masyarakat, (6) adakah hubungan dengan baris, penerbit, mutu, atau kadar
sastra.
Antara dua pendapat yang penulis kemukakan dalam uraian mengenai unsur-unsur
ekstrinsik karya sastra yaitu Wellek dan Werren dan Putu Wijaya yang masing-masing
memberikan rincian unsur-unsur ekstrinsik yang turut membangun sebuah karya sastra.
Walaupun kelihatannya berbeda, karena dua pendapat itu yang pertama menampilkan
pertanyaan, yang kedua berupa pertanyaan, tetapi sebenarnya kedua pendapat itu tidak
jauh berbeda bahkan hampir sama antara yang satu dengan yang lain. Misalnya pada
biografi atau psikologis pengarang dengan siapa pengarangnya, kedua sama-sama
membahas tentang seputar keadaan pengarang dan segala segala sesuatu yang
berkenaan dengan hidup dan kehidupan pengarang.
Mengenai uraian dari masing-masing unsur ekstrinsik yang dikemukakan dari dua ahli
sastra itu akan penulis ambil dari pendapat Wellek dan Werren, hal itu karena menurut
pendapat penulis lebih ringkas dan mudah dipahami.
2.2.2.1 Sosial
2.2.2.1.1 Pengertian Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap
baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap
menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan
nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan
tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu itu
dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang.
Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran
apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata
nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena
dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada
masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam
persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam
masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk
mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga
berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan
sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai
dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan
diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan
nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga
berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya
mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
2.2.2.1.2 Jenis Sosial
dituangkan dalam tulisan yang berbentuk karya sastra. Ideologi yang dianutnya ia
jabarkan melalui tokoh-tokoh dalam cerita maupun tema yang dipilih. Filsafat dan teologi
tentang dirinya dapat lihat melalui karya yang diciptakannya.
2.2.2.4 Semangat zaman, Atmosfer, Iklim Intelektual
Penciptaan suatu karya sastra sering kali dipengaruhi oleh pandangan tentang
kesastraan pada suatu zaman yang dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan antara
karya sastra yang diciptakan oleh angkatan yang dikelompokkan dan dinamakan
Angkatan Pujangga Baru dengan karya sastra dari pengarang yang dikelompokkan dalam
angkatan 45.
Pandangan tentang kesastraan itu bukan hanya berpengaruh dalam perwujudan atau
pemilihan gagasan yang dituangkan pengarang serta pada cara menyampaikan gagasan,
tapi juga akan menentukan bagaimana bentuk karya sastra itu.
Pengertian Sosiologi dan Sosiologi Sastra
Bila ditinjau secara harfiah sosiologi dari kata Sozius, bahasa latin, yang berarti
kawan dan Logos yang berarti Ilmu menurut aturan dan sistematis. Menurut
pengertian umum sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial, ilmu
pengetahuan kemasyarakatan yang dikategorikan murni dan absah serta berusaha
memberikan pengertian-pengertian yang berkaitan dengan masyarakat.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah
tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi
berusaha mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia
berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemua itu
merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses
pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.
Ditinjau dari segi kemasyarakatan, sosiologi yaitu usaha mempertahankan sistem sosial
dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Ini terlihat pada tataran yang dibentuk
kemudian muncul sebagai lembaga hukum yang di dalamnya terdapat norma-norma
yang telah disepakati dan harus ditaati oleh masyarakat.
Secara singkat obyek sosiologi adalah masyarakat secara keseluruan, serta hubungan
antara orang-orang di dalam kelompok. Obyek dan materi itu meliputi gejala dan proses
kehidupan dalam kelompok, proses pembentukan masyarakat, dan perkembangan
masyarakat, maksudnya karya sastra berarti ciptaan, tindakan sosial masyarakat yang
dilahirkan dari hasil pikiran pengarang yang selanjutnya dikomunikasikan kepada orang
lain.
Meskipun sudah jelas, bahwa objek utama studi sastra adalah karya sastra, persoalan
yang muncul kemudian adalah karya sastra yang mana dan seperti apa yang menjadi
obyek studi sastra. Mengenai hal ini, levefere dalam Suwondo (2003:5) menyatakan
bahwa karya sastra yang dapat menjadi obyek studi sastra adalah karya yang bernilai,
artinya karya tersebut meskipun sederhana, tetapi mampu menguraikan berbagai
pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial. Selain
itu, Budi Darma (1995:59) menjelaskan bahwa karya sastra yang pantas menjadi obyek
studi sastra adalah karya sastra yang baik, dalam arti bahwa karya tersebut inspiratif,
sublim, menyodorkan pemikiran, membuka kesadaran, menambah wawasan dan
mempunyai daya gugah yang tinggi. Menurutnya, karya-karya yang demikian itu mampu
menggugah kritikus untuk menulis karangan yang lebih baik.
Satu hal yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan obyek studi sastra adalah sifat
karya sastra itu sendiri. Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatifitas manusia yang
berkaitan dengan imajinasi, intuisi, dan abstaksi kehidupan, karya sastra
mempergunakan bahasa sebagai mediumnya sehingga studi sastra dan linguistik
berkaitan erat (Culler, 1982:2) tetapi studi utama dari studi sastra bukan medium
ekspresi bahasanya, melainkan kehidupan yang sudah terabstraksikan dalam karya
sastra. Oleh karena itu, dalam studi ilmiah sastra, karya sastra sebagai studi memiliki
karakteristik tersendiri yang khas berbeda dengan obyek ilmu-ilmu lain.
Dari uraian di atas, jelas bahwa lagu dan hasil kesusastraan lainya erat hubungannya
dengan kehidupan sosial yang dipelajari dalam sosiologi. Dalam hubungan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan penjelasan yang bermanfaat terhadap
sastra. Dengan kata lain pemahaman tentang sastra belum lengkap dan sempurna, yang
masih perlu dijelaskan melalui dimensi-dimensi lain, termasuk dimensi sosial yang
terdapat dalam sosiologi.
Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, berikut ini dikemukakan beberapa pandangan
dan pendapat tentang sosiologi dan sosiologi sastra menurut para ahli dan tokoh sastra.
Menurut Soekanto (1990:16) secara singkat dikemukakan bahwa sosiologi mempelajari
masyarakat dan keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam
masyarakat. Sedangkan menurut Pitirim Sorokin (dalam Soekanto, 1990:20) bahwa
sosiologi sastra adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara gejalagejala sosial (misalnya, antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral,
hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik), hubungan timbal balik antara
gejala sosial dengan gejala non sosial, dan ciri-ciri umum semua jenis gejala sosial.
Soemardjo dan Sumardi (1964:13) mengatakan sosiologi adalah ilmu yang mempelajri
stuktur sosial yaitu keselutuhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu
kaidah-kaidah sosial (norma sosial), lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan
sosial. Sedangkan proses sosial yaitu pengaruh timbal balik antar berbagai segi
kehidupan dalam masyarakat, misalnya antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan
politik, hukum dengan agama dan sebagainya. Sedangkan Swngewood (dalam Farux,
1994:1) mendefinisikan sosiologi sebagai study ilmiah dan obyektif mengenai manusia
dalam masyarakat, study mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Selanjutnya
dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana
masyarakat itu bertahan hidup. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi
adalah telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah lembaga
masyarakat dan proses sosial (Damono, 1978:6).
Menurut Damono (1978:2) sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat,
telaah tentang lembaga masyarakat dan proses sosial. Hardjana (1994:74) berpendapat
bahwa pembahasan secara sosiologis dapat mengembangkan ruangan yang lebih jauh
lagi yakni kecenderunganuntuk menafsirkan tokoh-tokoh khayal dengan lingkungannya
sebagai identik tidak lain dan tidak bukan adalah mewakili tokoh dalam suatu kelompok
sosial tertentu dan lingkungan hidup kelompok tersebut.
Menurut Semi (1989:52) yang dimaksud dengan sosiologi sastra adalah suatu telaah
yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang kehidupan
sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh
dan berkembang sedangkan menurut Prof Awang Saleh (dalam Semi, 1989:53) bahwa
sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra bersifat afektif. Berbeda halnya dengan
pendapat Wellek dan Werren (dalam Semi,1989:53) yang menyatakat bahwa sosiologi
sastra adalah telaah sosiologis terhadap karya sastra. Telaah ini meliputi tiga klasifikasi
yaitu: (a) Sosiologi pengarang yakni mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi,
politik dan sebagainya yang menyangkut pengarang, (b) Sosiologi karya sastra, yakni
memasalahkan tentang suatu karya yang menjadi pokok sastra tersebut dan apa tujuan
atau amanat yang hendak disampaikan, (c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan
tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Ian Watt (dalam Farux, 1994:4) mengemukakan tiga pendekatan sosiologi sastra yang
berbeda, yakni: pertam konteks pengarang, yang berhubungan dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, kedua sastra
sebagai cermin masyarakat, sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
karya sastra itu ditulis, sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran
masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra, dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi
perhatian: (a) Sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat, (b)
sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejauh mana terjadi
sintesis antara kenungkinan a dan b di atas.
Secara epistimologi dapat dikatakan bahwa tidak mungkin membangun suatu sosiologi
sastra sebagai pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan yang mempunyai lingkup yang luas, beragam dan rumit yang
menyangkut tentang pengarang, hasil karya dan pembacanya (Semi, 1989:54).
Suatu masyarakat tertentu yang menghidupi seorang pengarang, dengan sendirinya
akan melahirkan jenis sastra dan jenis karya tertentu pula. Kecenderungan ini didasarkan
atas adanya suatu asumsi bahwa tata kemasyarakatan bersifat normative, maksudnya
mengandung unsur-unsur pengaruh yang mau tidak mau harus dipatuhi, sehingga
hubungan antar manusia ditentukan atau paling sedikit dipengaruhi oleh tata
kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan hidup, sikap, dan niali-nilai
termasuk kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk pengarang ditinjau dari sumber
tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku di masyarakat. Dengan sendirinya,
masyarakatnya harus merupakan faktor yang menentukan apa yang semestinya ditulis
pengarang, bagaimana menulisnya, dan untuk siapa karya sastra ditulis, serta apa dan
tujuan maksudnya (Hardjana, Andre.1985:70).
Ada anggapan bahwa sastra sebagai karya seni menggambarkan masyarakat cenderung
untuk mengalihkan fungsi sastra sebagai propaganda. Hal itu dapat berakibat segi-segi
teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang beranggapan kalau sastra tidak memperhatikan
apa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, hal itu dapat menyebabkan
sastra kehilangan fungsi sosialnya (Semi, 1988:56).
2.4 Definisi Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu berbunyi buddayah ialah
bentuk jamak dari budhi yang berarti budhi atau akal. Dengan demikian kebudayaan
dapat diartikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Dari pengertian
kata budhi itulah kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan
akal kemampuan. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata kebudayaan itu, kata itu
adalah suatu perkembangan dari majemuk budhi daya, artinya daya dari budhi,
kekuasaan dari akal (Koentjoroningrat, 1993:9). Dalam suatu kebudayaan juga
mengandung suatu sistem, nilai budaya yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yaitu yang
hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai nilai-nilai yang harus
mereka anggap amat bernilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia (Koentjoroningrat, 1994:25).
Menurut Koentjoroningrat (dalam antropologi, 1994:5) kebudayaan adalah keseluruan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Hal ini juga dipertegas oleh Parsudi, Suparlan dalam buku yang sama bahwa kebudayaan
sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makluk sosial yang digunakannya
untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya serta
menjadi landasan bagi terwujudnya perilaku (tingkah laku) manusia.
Unsur-unsur kebudayaan pasti ada dalam setiap masyarakat baik yang komplek maupun
tidak, dan ada sejumlah nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lain saling berkaitan
sehingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep
dalam kebudayaan. Juga memberikan pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan
warga masyarakat. Kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaan, adanya tiga
wujud dari kebudayaan itu adalah: (1) wujud ideal, (2) wujud kelakuan, (3) wujud fisik
dari kebudayaan (Koentjoroningrat, 1993:14).
Kebudayaan (Culture) berarti keseluruan dari hasil manusia bermasyarakat yang berisi
kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, dan adat kebiasaan misalnya didalam
kehidupan kampung. Menurut kampung umpamanya dianggap terpuji dan diharuskan
datang melayat ke rumah keluarga yang anggotanya meninggal, kecuali ada halangan.
2.5 Definisi Nilai Sosial
Sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah
sosiologis ini mempunyai tiga klasifikasi, pertama sosiologi pengarang, idiologi politik
dari pengarang. Kedua sosiologi karya sastra yang menjadi pokok telaah tentang apa
yang tersirat dalam karya sastra tersebut, dan mudah disampaikan. Ketiga sosiologi
sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat (Wellek dan Werren:1956 dalam Semi, 1989:53).
Dalam kehidupan masyarakat nilai-nilai sosial memainkan peranan penting. Kebanyakan
hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada faktor-faktor sosial, tetapi juga
pada pertimbangan-pertimbangan nilai. Dube (dalam Soleman, 1990:63). Mengatakan
bahwa nilai-nilai juga memberikan perasaan identitas masyarakat dan menentukan
seperangkat tujuan yang hendak dicapai.
Nilai sosial secara umum dapat dinyatakan sebagai keyakinan relatif kepada yang baik
dan yang buruk, yang benar dan yang salah, kepada apa yang baik dan yang buruk,
yang benar dan salah, kepada apa yang seharusnya tidak ada. Pengertian tersebut
dipertegas oleh Polka (1985:3), yang menyatakan bahwa nilai valves dimaksudkan
sebagai ukuran-ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan, keyakinan-keyakinan
yang dianut oleh orang banyak dalam lingkungan suatu kebudayaan tertentu mengenai
apa yang benar, pantas, luhur dan baik untuk dikerjakan, dilaksanakan atau
diperhatikan. Nilai sosial ini meliputi beberapa hal diantaranya nilai sosial ekonomi, sosial
budaya, sosial politik dan lain-lain.
Sosial budaya adalah kebiasaan-kebiasaan atau tradisi-tradisi yang telah mendapat
pengakuan dari kelompok masyarakat tertentu yang bersifat positif dan pengakuan itu
disepakati secara sadar untuk kelangsungan hidup secara berdampingan maupun
kegiatan sosial lainnya.
Menurut Robet K.Merton diantaranya segenap unsur-unsur sosial budaya terdapat dua
unsur penting yaitu kerangka aspirasi-aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur kegiatankegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain sosial budaya merupaka
rangkaian dari pada konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran dari warga
masyarakat.
2.6 Sistem Religi
Kienkegaard (dalam Koentjoroningrat, 1987:233) menggambarkan kehidupan religius
sebagai paradoks besar baginya untuk melonggarkan paradoks itu hanya akan
mengingkari dan menghancurkan kehidupan religius. Religius tetap sebuah teka-teki,
tidak hanya teka-teki teoritis, tetapi juga teka-teki etis. Religi menjanjikan hubungan erat
dengan alam, sesama dengan daya daerah diduniawinya dan Maha Pencipta
Filsafat kebudayaan tidak melihat masalah religi sebagai sistem teologi melainkan
mempersoalkan bentuk imajinasi dan bentuk pemikiran religius simbolnya berubah-ubah
dan prinsipnya tetap sama. Bahwa religi telah berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat baik sosial ekonomi dan lainnya tidak biasa dihilangkan dari tinjauan sosilogi.
Ternyata bukan masyarakat yang berdasar agama (Shadily, 1993:347).
Religi tidak mampu mengembangkan untuk membasmi naluri-naluri kedalam diri
manusia. Namun simpati religius berbeda dengan simpati mistis dan magis, simpati
religius memberikan tempat perasaan baru yakni individualitas. Individualitas tampak
sebagai pengingkaran atau pembatasan terhadap universilitas yang oleh religi dianggap
dalil, setiap penentuan ialah penyangkalan. Perkembangan pemikiran dapat dianut
almarhum Galang Rambu Anarki dan banyak memberi inspirasi dalam dunia musik
seorang Iwan Fals.
Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret' suasana sosial kehidupan Indonesia di akhir tahun
1970-an hingga sekarang. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat,
Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku),
atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia,
seperti Ethiopia) mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya. Iwan Fals tidak hanya
menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain.
Iwan yang juga sempat aktif di kegiatan olahraga, pernah meraih gelar Juara II Karate
Tingkat Nasional, Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989, sempat masuk pelatnas dan
melatih karate di kampusnya, STP (Sekolah Tinggi Publisistik). Iwan juga sempat menjadi
kolumnis di beberapa tabloid olah raga.
Kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput'.
Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar diseluruh
nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan sebuah yayasan pada
tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal
dengan seruan Oi. Yayasan ini mewadahi aktivitas para penggemar Iwan Fals. Hingga
sekarang kantor cabang OI dapat ditemui setiap penjuru nusantara dan beberapa bahkan
sampai ke manca negara.
Masa kecil Iwan Fals dihabiskan di Bandung, kemudian ikut saudaranya di Jeddah, Arab
Saudi selama 8 bulan. Bakat musiknya makin terasah ketika ia berusia 13 tahun, di mana
Iwan banyak menghabiskan waktunya dengan mengamen di Bandung. Bermain gitar
dilakukannya sejak masih muda bahkan ia mengamen untuk melatih kemampuannya
bergitar dan mencipta lagu. Ketika di SMP, Iwan menjadi gitaris dalama paduan suara
sekolah.
Selanjutnya, datang ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari seorang produser. Ia lalu
menjual sepeda motornya untuk biaya membuat master. Iwan rekaman album pertama
bersama rekan-rekannya, Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam
Amburadul, namun album tersebut gagal di pasaran dan Iwan kembali menjalani profesi
sebagai pengamen. Album ini sekarang menjadi buruan para kolektor serta fans fanatik
Iwan Fals.
Setelah dapat juara di festival musik country, Iwan ikut festival lagu humor. Arwah
Setiawan (almarhum), lagu-lagu humor milik Iwan sempat direkam bersama Pepeng,
Krisna, Nana Krip dan diproduksi oleh ABC Records, tapi juga gagal dan hanya
dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya, perjalanan Iwan bekerja sama
dengan Musica Studio. Sebelum ke Musica, Iwan sudah rekaman sekitar 4-5 album. Di
Musica, barulah lagu-lagu Iwan digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya,
musiknya ditangani oleh Willy Soemantri.
Iwan tetap menjalani profesinya sebagai pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi
rumah ke rumah, kadang di Pasar Kaget atau Blok M. Album Sarjana Muda ternyata
banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan berbagai tawaran untuk bernyanyi. Ia
kemudian sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Saat acara Manasuka Siaran Niaga
disiarkan di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat ditayangkan di TVRI. Ketika anak kedua Iwan,
Cikal lahir tahun 1985, kegiatan mengamen langsung dihentikan.
Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh
aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada
awal karirnya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan pada pemerintah.
Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga
perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals enggan atau lebih tepatnya tidak berani
memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas. Belakangan Iwan Fals
juga mengakui kalau pada saat itu dia sendiri juga tidak tertarik untuk memasukkan
lagu-lagu ini ke dalam album.
Rekaman lagu-lagu yang tidak dipasarkan tersebut kemudian sempat diputar di sebuah
stasiun radio yang sekarang sudah tidak mengudara lagi. Iwan Fals juga pernah
menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam beberapa konser musik, yang mengakibatkan dia
berulang kali harus berurusan dengan pihak keamanan dengan alasan lirik lagu yang
dinyanyikan dapat mengganggu stabilitas negara. Beberapa konser musiknya pada
tahun 80-an juga sempat disabotase dengan cara memadamkan aliran listrik dan pernah
juga dibubarkan secara paksa hanya karena Iwan Fals membawakan lirik lagu yang
menyindir penguasa saat itu.
Pada bulan April tahun 1984 Iwan Fals harus berurusan dengan aparat keamanan dan
sempat ditahan dan diinterogasi selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu
Demokrasi Nasi dan Pola Sederhana juga Mbak Tini pada sebuah konser di Pekanbaru.
Sejak kejadian itu, Iwan Fals dan keluarganya sering mendapatkan teror. Hanya segelintir
fans fanatik Iwan Fals yang masih menyimpan rekaman lagu-lagu ini, dan sekarang
menjadi koleksi yang sangat berharga.
Saat bergabung dengan kelompok SWAMI dan merilis album bertajuk SWAMI pada 1989,
nama Iwan semakin meroket dengan mencetak hits Bento dan Bongkar yang sangat
fenomenal. Perjalanan karir Iwan Fals terus menanjak ketika dia bergabung dengan
Kantata Takwa pada 1990 yang didukung penuh oleh pengusaha Setiawan Djodi. Konserkonser Kantata Takwa saat itu sampai sekarang dianggap sebagai konser musik yang
terbesar dan termegah sepanjang sejarah musik Indonesia. Setelah kontrak dengan
SWAMI yang menghasilkan dua album (SWAMI dan SWAMI II) berakhir, dan disela Kantata
(yang menghasilkan Kantata Takwa dan Kantata Samsara), Iwan Fals masih meluncurkan
album-album solo maupun bersama kelompok seperti album Dalbo yang dikerjakan
bersama sebagian mantan personil SWAMI.
Sejak meluncurnya album Suara Hati pada 2002, Iwan Fals telah memiliki kelompok
musisi pengiring yang tetap dan selalu menyertai dalam setiap pengerjaan album
maupun konser. Menariknya, dalam seluruh alat musik yang digunakan baik oleh Iwan
fals maupun bandnya pada setiap penampilan di depan publik tidak pernah terlihat
merek maupun logo. Seluruh identitas tersebut selalu ditutupi atau dihilangkan. Pada
panggung yang menjadi dunianya, Iwan Fals tidak pernah mengizinkan ada logo atau
tulisan sponsor terpampang untuk menjaga idealismenya yang tidak mau dianggap
menjadi wakil dari produk tertentu.
Di luar musik dan lirik, penampilan Iwan Fals juga berubah total. Saat putra pertamanya
meninggal dunia Iwan Fals mencukur habis rambut panjangnya hingga gundul. Sekarang
dia berpenampilan lebih bersahaja, rambut berpotongan rapi disisir juga kumis dan
jenggot yang dihilangkan. Dari sisi pakaian, dia lebih sering menggunakan kemeja yang
dimasukkan pada setiap kesempatan tampil di depan publik, sangat jauh berbeda
dengan penampilannya dahulu yang lebih sering memakai kaus oblong bahkan
bertelanjang dada dengan rambut panjang tidak teratur dan kumis tebal. Peranan
istrinya juga menjadi penting sejak putra pertamanya tiada. Rossana menjadi manajer
pribadi Iwan Fals yang mengatur segala jadwal kegiatan dan kontrak. Dengan adanya
Iwan Fals Manajemen (IFM), Fals lebih profesional dalam berkarir.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menyajikan data yang akan digunakan untuk menganalisis,
rumusan masalah yang terdapat dalam bab I yaitu mengenai unsur sosial ekonomi pada
analisis unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals dan unsur sosial politik pada analisis
unsur ekstrinsik kumpulan lagu Iwan Fals. Berikut ini merupakan sajian hasil analisis
terhadap 25 lagu Iwan Fals yang telah dipilih.