Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Filsafat Pendidikan

Filsafat dan pendidikan sebenarnya adalah dua istilah yang mempunyai makna sendiri. Akan
tetapi ketika digabungkan akan menjadi sebuah tema yang baru dan khusus.Filsafat
pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ilmu filsafat secara umum. Filsafat pendidikan
memandang kegiatan pendidikan sebagai objek yang dikaji. Ada banyak defisini mengenai
filsafat pendidikan tetapi akhirnya semua mengatakan dan mengajukan soal kaidah-kaidah
berpikir filsafat dalam rangka menyelesaikan permasalahan pendidikan. Upaya ini kemudian
menghasilan teori dan metode pendidikan untuk menentukan gerak semua aktivitas
pendidikan.

Manfaat Filsafat Pendidikan

Pendidikan dapat dibedakan menjadi dua wilayah yaitu humanisme dan akademik. Sisi


humanisme mengembangkan manusia dari segi ketrampilan dan praktik hidup. Sementara
aspek akademik menekankan nilai kognitif dan ilmu murni. Keduanya merupakan aspek
penting yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Filsafat pendidikan berperan untuk terus
menganalisa dan mengkritisi aspek akademik dan humanis demi sebuah pendidikan yang
utuh dan seimbang. Filsafat pendidikan akan terus melakukan peninjauan terhadap proses
pendidikan demi perkembangan pendidikan yang mencetak manusia handal.

Objek Kajian Filsafat Pendidikan


Realitas-realitas pendidikan yang menjadi objek kajian filsafat pendidikan antara lain:

1. Hakikat manusia ideal sebagai acuan pokok bagi pengembangan dan penyempunaan.
2. Pendidikan dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu landasan berpikir dan memengaruhi
tatanan hidup suatu masyarakat.
3. Tujuan pendidikan sebagai arah pengembangan model pendidikan.
4. Relasi antara pendidik dan peserta didik sebagai subjek dan subjek.
5. Pemamahaman dan pelaksanaan kurikulum dalam pendidikan.
6. Metode dan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
7. Hubungan antara lembaga pendidikan dengan tatanan masyarakat dan organisasi serta
situasi sosial sekitar.
8. Nilai dan pengetahuan sebagai aspek penting dalam pengajaran.
9. Kaitan antara pendidikan dengan kelas sosial dan kenaikan taraf hidup masyarakat.
10. Aliran-aliran filsafat yang dapat memberikan solusi atas masalah pendidikan.
Pada dasarnya filsafat pendidikan membicarakan tiga masalah pokok. Pertama, apakah
sebenarnya pendidikan itu. Kedua, apakah tujuan pendidikan yang sejati. Ketiga, dengan
metode atau cara apakah tujuan pendidikan dapat tercapai.

https://travelingyuk.com/barata-kahedupa/19627/

Barata kaledupa sebagai falsafah hidup masyarakat kaledupa

A.   PENGERTIAN BARATA

Pengertian “barata” tidak ditemukan dalam perbendaharaan Bahasa Buton (Wolio).


Istilah ini mungkin diambil dari bahasa lain, namun hingga kini belum diketahui darimana
asalnya. Selama ini istilah barata diartikan secara konotatif yaitu suatu istilah yang menunjuk
kepada salah satu bagian wilayah atau basis pertahanan keamanan dalam Kesultanan Buton.
Dalam buku Dokumenta yang diterbitkan oleh DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara (1977)
dinyatakan bahwa “barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang beridiri sendiri
dalam lingkungan Kesultanan Buton, teridiri dari Kerajaan Muna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan
Kulisusu, dan Kerajaan Kaledupa, yang masing-masing mempunyai dan mengatur
pemerintahannya sendiri (Anonim, 1977 : 198). La Ode Zaenu menjelaskan bahwa “barata
artinya diberikan kekuasaan otonom untuk langsung bertindak apabila ada musuh yang
mengganggu Buton, bertanggungjawab atas keamanan daerah masing-masing (1985: 36).
Selanjutnya ia menyatakan pula bahwa barata berarti pula susah (berkabung), yabarata
yolipu artinya negara berkabung. Berkabung bukan berarti ada kematian akan tetapi
berkabung disini menghadapi huruhara besar sebagai keadaan Buton saat itu (1985: 36).
Walaupun agak berbeda redaksinya, arti kedua pernyataan di atas sebenarnya mempunyai
maksud yang sama, yaitu barata adalah suatu basis pertahanan keamanan yang dibentuk
terutama untuk mengantisipasi segala macam ancaman dan gangguan terhadap integritas
wilayah dan kedaulatan Kesultanan Buton. Istilah yabarata yolipu itu boleh jadi timbul pada
waktu Buton mendapat serangan dari luar sehingga ketika itu dianggap berkabung.
                Secara filosofis fungsi barata sebagai basis pertahanan keamanan diumpamakan
seperti perahu yang masing-masing sisi diberi cadik (semacam kayu atau balok
keseimbangan) agar perahu tadi tidak mudah goyang dan terombang-ambing dari gejolak
ombak dan arus laut. Cadik yang dipasang di sisi perahu itulah yang dinamakan barata.
Makna filosofis ini diungkapkan oleh Abdul Mulku Zahari bahwa Buton ini diumpamakan
sebuah perahu yang bersayap kiri kanannya. Pada tiap sayap terdapat ikatan untuk
mengukuhkan kayu atau bambu yang menjadi sayap perahu itu. Pada setiap sayap terdapat
dua ikatan dan inilah yang dinamakan barata yaitu Muna, Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
Salah satu tidak ada maka tentu perahu itu miring, malah mungkin bisa tenggelam (Amasa,
1992 : 13). Keempat barata itu dinamakan Barata Patapalena artinya Barata yang empat.
Antara Buton dan daerah barata tersebut saling bantu membantu dalam segala hal demi
kepentingan bersama, terutama dalam bidang pertahanan dan keamanan.

http://programstudipendidikansejarah.blogspot.co.id/2011/07/terbentuknya-barata-
kulisusu.html

Asal usul penamaan Tukang Besi menurut cerita rakyat adalah berkaitan dengan
perkembangan politik di Maluku, ketika terjadi perlawanan dari para penduduk yang
dipimpin oleh Raja Hitu terhadap VOC. Dalam perlawanan tersebut ia tertangkap dan
dibuang bersama ratusan pengikutnya ke gugusan kepulauan sebelah tenggara pulau Buton.
Sejak kedatangan tawanan VOC tersebut, maka dikenallah nama kepulauan itu sebagai
"Tukang Besi" yang berasal dari pemimpin perlawanan Raja Toluka Besi. (Susanto Zuhdi :
Sejarah Buton yang Terabaikan, hal. 61-62) 

WAKATOBI yang saya ketahui adalah singkatan dari empat pulau besar yang ada di gugus
kepulauan tersebut disamping pulau-pulau kecil lainnya, yaitu pulau Wanci/Wangi-wangi,
pulau Kaledupa, pulau Tomia dan pulau Binongko. Yang saya maksudkan sebagai kampung
halaman atau lebih tepatnya asal kedua orang tua saya adalah pulau kaledupa. Karena saya
lahir dan besar bukan di daerah tersebut akhirnya pernah disebut dengan kaledupa impor.

Pulau kaledupa merupakan ujung tombak pertahanan di bagian timur wilayah Kesultanan
Buton, dan salah satu pemegang struktur pemerintahan penting dalam sistem Kesultanan
Buton, dimana Kaledupa merupakan salah satu barata dari empat barata yang ada di
kesultanan buton. 

Barata adalah sebuah daerah otonom dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton. Dalam
bahasa Wolio, barata berarti tenaga atau kekuatan dan juga berarti ikatan pasak. Ada empat
barata dalam kesultanan buton, barata Tiworo, barata Muna, barata Kulensusu, dan barata
Kaledupa. 

Pada umumnya keempat barata itu masuk ke dalam wilayah Kesultanan Buton melalui
penaklukan kecuali Kulisusu. Keempat Barata itu berkewajiban melindungi kerajaan dari
serangan musuh yang datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga
serangan musuh dari arah timur, sementara itu, Tiworo dan Muna menjaga keamanan
kerajaan dari arah barat. Betapa pentingnya posisi barata dalam sistem pertahanan Kesultanan
Buton. 

Lariangi bagi masyarakat Pulau Kaledupa bagai menu wajib dalam jamuan makan malam.
Mementaskan lariangi sudah menjadi kebiasaan setiap kali ada hajatan. ”Ada 16 kelurahan di
Kecamatan Kaledupa dan setiap kelurahan punya satu kelompok tari lariangi,” jelas Camat
Kaledupa Mukhsin.

Diiringi alat musik kendang, gong, dan bonang, para penari memainkan kipas, melirik,
merendahkan tubuh, seperti pasang kuda-kuda, sambil terus melantunkan syair. Lagu
pertama, ”Iya Malahu”, menceritakan satu cerita di Keraton Buton pada masa silam, tentang
kapal-kapal yang masuk ke Kaledupa. Lagu kedua, ”Ritanjo”, tentang puji-pujian untuk
Pulau Hoga. ”Mari kita sama-sama pelihara isi Pulau Hoga, terumbu kerangnya jangan
dibom. Laut itu warisan dunia dari Barata Kaledupa,” begitu isi liriknya.

”Pada zaman dulu, bisa semalaman tarian ini dipentaskan untuk raja. Lagunya bisa sampai
30-an. Isinya macam-macam, ada sejarah, petuah, keindahan alam, perang, permainan, kisah
cinta, dan lain-lain. Kalau sekarang, biasanya pentas dua lagu sudah cukup,” tutur Maswar.

Tari persembahan

Lariangi merupakan tradisi lisan yang sudah ada sejak abad ke-17 di Kesultanan Buton,
tepatnya di Kaledupa. Sumber lain menyebutkan, tari ini sudah ada sejak abad ke-14 ketika
Raja Wakaaka dinobatkan sebagai raja pertama di Kaledupa. Tarian yang telah ditetapkan
menjadi Warisan Budaya Nasional pada 2013 ini mulanya adalah tari persembahan untuk
menghibur raja yang sedang letih.

Lariangi diwariskan turun-temurun hingga kini. Gerakan menari diajarkan secara lisan dari
generasi ke generasi, juga lagunya. Bupati Wakatobi Hugua yakin, tarian ini bisa menjadi
warisan dunia tak benda mengingat banyaknya simbol-simbol bermakna di setiap detail
riasan dan pakaian, juga pesan-pesan kebaikan dalam syair-syairnya.

Simbol-simbol itu antara lain hiasan yang disebut panto yang diletakkan di kepala,
menandakan derajat kebangsawanan. Lalu ada bunga konde sebagai lambang pagar beton
keraton, kalung dengan bentuk matahari dan bulan sebagai sumber cahaya, dan hiasan naga
sebagai lambang penjaga benteng keraton.

”Karena tarian ini berasal dan tumbuh di kepulauan, juga gaya menariknya yang lemah
gemulai, saya menyebutnya tarian di atas gelombang,” kata Sekretaris Kabupaten Buton
Sudjiton. Kini lariangi makin menyesuaikan dengan zaman. Penonton boleh masuk ke dalam
barisan penari dan ikut melenggak-lenggok kendati dengan gerakan asal-asalan ikut menari
dan setelah itu nyawer, meletakkan uang ke dalam piring yang telah disediakan.

Banyak tradisi di Wakatobi yang sarat dengan nilai. Pasikamba, misalnya, satu prosesi doa
agar beruntung dalam mencari ikan. Pasikamba mengajari nelayan untuk akrab dengan alam,
membaca alam. Lalu ada issu, tradisi mengatur waktu untuk berlayar.

Beragam tradisi itu dilingkupi satu semangat gau satoto, yakni sebuah ideologi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Gau satoto dimaknai sebagai penyatuan kata dan perbuatan,
dijabarkan ke dalam lima prinsip nilai, yakni tara (tangguh), turu (sabar), toro (teguh), taba
(berani), dan toto (jujur). Ideologi ini mengontrol laku orang Wakatobi (Hadara, Ali, Gau
Satoto: Kearifan Lokal Orang Wakatobi, 2014).

Simbol dan kearifan lokal warga di mana pun, mungkin dianggap sebagai mitos. Namun,
mitos itu memiliki tujuan kreatif yang mampu melindungi suatu kawasan yang seharusnya
dilindungi oleh masyarakat adat. (Susanto, Hary: 1987). Dengan demikian, tradisi-tradisi
lisan tersebut berperan penting dalam menjaga lingkungannya.

(Susi Ivvaty/Kompas.com)

Anda mungkin juga menyukai