Anda di halaman 1dari 11

NAMA : Firda Tita Umami

NIM : 1710411108
Komunikasi Etnik Nusantara E

KERAGAMAN INDONESIA

Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini
dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu
kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga
heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”. Dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk itu, ada dua istilah yang penting dipahami yaitu kemajemukan
(pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan
bukan ketunggalan. Artinya, dalam “masyarakat Indonesia” dapat dijumpai berbagai
subkelompok masyarakat yang tidak bisa dikelompokkan satu dengan yang lainnya.
Sementara heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari homogenitas
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam
unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta
kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya.

Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat


dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka,
tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi
bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama,
berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, adanya berbagai kelompok masyarakat yang
beragam, sesungguhnya merupakan masyarakat yang mempunyai potensi konflik.
Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatar
belakangi sosio kultural, akan menjadi pendorong munculnya perasaan kesukuan yang
berlebihan dapat memicu nilai negatif berupa etnocentrisme yang menganggap remeh
suku dan kebudayaan lain. Hal ini akan berakibat timbul perilaku ekslusif berupa
kecenderungan memisahkan diri dari masyarakat bahkan mendominasi masyarakat
lainnya.

A. Sejarah Nusantara

Berdasarkan akar kebudayaan yang melahirkannya, istilah Nusantara berasal


dari dua kata berkebudayaan hindu, yaitu nusa dan antara yang berarti pulau lain.
Istilah ini dipersamakan dengan istilah Dwipantara yang juga memiliki arti pulau-
pulau lain. Istilah Nusantara setidaknya digunakan pada periode keemasan kerajaan
Majapahit abad ke-14 Masehi.

Bangsa Arab sendiri juga memberikan berbagai nama kepada tanah air, seperti
Jaza’ir al-jawi (Kepulauan Jawa), Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi),
Sundah (Sunda), dan semua pulau yang disebutkan tadi dikenal sebagai Kulluh Jawi
(semuanya Jawa). Bahkan sampai hari ini jamaah haji kita masih sering dipanggil
“Jawa” oleh orang Arab. Bahkan, orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Oleh karena
itu, Jawa menurut Bahasa Arab bukan hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur saja, melainkan seluruh kepulauan Nusantara.

Berdasarkan aspek ruang lingkup wilayahnya, istilah Nusantara sangat berbeda


dengan wilayah “Indonesia”. Istilah Nusantara ditekankan sebagai tempat-tempat di
luar Wilayah inti Kerajaan Majapahit (Jawa Timur dan Jawa Tengah) yang wajib
membayar pajak. Selanjutnya, istilah Nusantara sebagai negeri seberang. Jadi
Nusantara lebih identik dengan hinterland Wilayah Inti Majapahit.

Dari aspek tujuannya, Nusantara secara historis memiliki visi persatuan yang
mengarah pada pembentukan imperium Majapahit. Setidaknya terditeksi dalam teks
amukti palapa (sumpah palapa) dalam naskah pararaton tahun 1334 Masehi, bahwa
istilah Nusantara sebagai wilayah-wilayah yang perlu dikalahkan Majapahit

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia
Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia
Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische
Archipel, Indian Archipelago, I’ Archipel Indien) atau “Hindia Timur”. Pada jaman
penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai
istilah To-Indo (Hindia Timur).

Ernest Francios Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr.
Setiabudi merupakan adik dari cucu Multatuli, di tahun 1920 untuk pertama kalinya
ia mempeeknalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung kata
“India”. Nama itu adalah Nusantara, yang diambil dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit pada abad ke-19 yang ditemukan di Bali. Kemudian pada tahun
1920 diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholas Johannes
Krom.

Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian


Nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk
menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya
luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Oleh Dr. Setiabudi,
kata nusantara zaman Majapahit diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan
mengambil kata melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru
yaitu: “nusa di antara dua benua (Benua Australia dan Benua Asia) dan dua samudra
(Samudera Hindia dan Samudera Pasifik)”, sehingga Jawa pun termasuk dalam
definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat
menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini, istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air
dari Sabang sampai Merauke.

Istilah Indonesia ditemukan oleh James Richardson Logan, seorang ahli hukum
kelahiran Skotlandia pada tahun 1847. Istilah Indonesia kemudian dipergunakan
oleh Maxwell dalam bukunya yang berjudul “The Island of Indonesia” pada tahun
1862. Nama Indonesia makin terkenal berkat jasa Prof. Adolf Bastian yang menulis
buku “Indone-sien Oder die Inselndes Malaychen Archiples” pada tahun 1884.

Pada tahun 1859, Multatuli (E.F.E Douwess Dekker) memakai istilah Insulinde
pada bukunya yang berjudul “Max Havelar”, yang tidak lain adalah istilah untuk
Indonesia. Pada tahun 1913, muncul istilah Indonesische dari kalangan pelajar dan
mahasiswa kita di Negeri Belanda. Di tanah air, Dr. Sutomo mendirikan
Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond
membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga
organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.

Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan
bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang
kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Sejak tanggal 17 Agustus 1945 nama
Indonesia resmi menjadi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Persilangan Pengaruh di Nusantara

Indonesia telah berakulturasi dengan berbagai kebudayaan dalam waktu yang


lama. Letak strategis Indonesia yang berada pasa jalur 2 pusat perdagangan
internasional pada masa lampau, India dan Cina, memberi pengaruh besar
kebudayaan pribumi. Dengan terjadinya pencampuran antara dua budaya tersebut
maka mengembangkan kebudayaan asli setempat.

Pada masa kolonial, kondisi pluralitas masyarakat Indonesia ditandai dengan


campuran antara hierarki sosial dan kelas. Hierarki dan kelas ini dibentuk dari ras
dan etnisitas. Kelas paling tinggi adalah orang kulit putih, kelas kedua adalah orang
Cina dan orang Arab yang berperan sebagai mediator, dan kelas ketiga adalah
masyarakat lokal.

Kedatangan para pedagang atau koloni-koloni asing ini, dapat diartikan sebagai
sebuah proses perubahan yang tumbuh, karena didorong oleh faktro dagang
(ekonomi), kemudian menjadi kolonialisme yang pembentukan kekuasaan
Nusantara oleh system kekuasaan barat. Hal ini mempengaruhi system politik,
ekonomi, sosial, dan budaya Nusantara.

Ekspansi ekonomi yang pada awalnya menjadi tujuan utama bangsa-bangsa


eropa datang ke Nusantara, akhirnya berkembang menjadi ekspansi politik, karena
mereka menyadari bahwa perdagangan tidak akan lancer tanpa penguasaan wilayah.
Kemudian terbantuklah serikat dagang salah satunya adalah VOC. Proses ini
kemudian diikuti dengan penguasaan Nusantara oleh pemerintah Hindia Belanda.

Keberadaan pengaruh ini meninggalkan berbagai permasalahan dan dampak


yang sangat mempengaruhi berbagai kebijakan, baik politik maupun sosial-
ekonomi. Oleh karena itu, keseluruhan proses yang dijelaskan diatas berpengaruh
terhadap bentuk keragaman budaya baru Nusantara.

Contoh persilangan pengaruh di Nusantara yang pertama adalah agama, Bangsa


Indonesia pada awalnya menganut sistem kepercayaan kepada roh-roh leluhur
maupun kekuatan gaib yang diwariskan secara turun temurun. Namun, ketika para
penjajah masuk dengan membawa agama yang mereka sebarkan seperti islam,
Kristen, hindu, budha, konghuchu, dan lainnya, masyarakat Indonesia mulai
mempercayai ajaran agama tersebut. Meskipun demikian, masyarakat tidak
sepenuhnya melupakan ajaran leluhur, mereka cenderung untuk menyatukan ajaran
agama dengan tradisi yang sudah turun temurun. Seperti, upacara sedekah laut,
upacara sekaten, dan upacara yaqowiyu, merupakan bentuk-bentuk kebudayaan
yang menggabungkan unsur religi tradisional dengan agama.

Pengaruh persilangan yang kedua adalah kesenian, menurut Victor Ganap,


musik keroncong berasal dari Portugis diabad ke-16 dengan nama Fado yang
awalnya musik ini dibawa oleh budak negro dari Cape Verde, Afrika Barat ke
Portugis pada abad ke-15. Lambat laun musik ini diiringi tarian yang dinamakan
Moresco, selanjutnya tarian Moresco juga diiringi dengan irama gitar kecil yang
dinamakan Cavaquinho. Ketika sampai di Indonesia, suara yang dikeluarkan
Cavaquinho itu seperti bunyi crong-crong. Oleh karena itu, musik ini dinamakan
dengan music keroncong.

C. Keragaman Budaya

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, keanekaragaman budaya dimaknai sebagai


proses, cara atau pembuatan menjadikan banyak macam ragamnya tentang
kebudayaan yang sudah berkembang. Hal ini dimaksudkan bahwa kehidupan
bermasyarakat memiliki corak kehidupan yang beragam dengan latar belakang
kesukuan, agama, maupun ras yang berbeda-beda.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya terdiri atas


kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok dengan ciri khas kesukuan yang
memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa yang berbeda.
Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1.128 suku bangsa bermukim di
wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Keragaman budaya merupakan suatu keunggulan dan modal membangun bangsa


Indonesia yang multikultural, karena memiliki gambaran budaya yang lengkap dan
bervariasi. Sebagai contoh dalam bidang seni, Indonesia sangat berlimpah karya,
kreasi dan keunikan dari keragaman kultur masing-masing etnis baik dalam bentuk
seni sastra, seni pertunjukan, seni suara/instrumental, seni tari dan seni lainnya.
Ragam seni tari yang memiliki ciri khas kesukuan seperti tari Saman dari Aceh, tari
Rantak dari Minangkabau, Tari legong dari Bali, Tari Merak dari Jawa Barat, Tari
Yapong dari Jakarta, Tari Serimpi dari Jawa Tengah, Tari Baksa Kembang dari
Kalimantan Selatan, Tari Lenso dari Maluku sampai dari daerah Papua berupa tari
Selamat Datang, dan berbagai macam tarian dari suku suku lainnya.

Nilai-nilai budaya yang tertanam di dalam masyarakat Indonesia merupakan


sebuah kekuatan yang luar biasa dan perlu dimanfaatkan dengan baik karena budaya
Indonesia sangat bergaman dan bervariasi dibandingkan Negara lain. Hal tersebut
dipengaruhi oleh letak geografis, flora, dan fauna yang berbeda antara wilayah
bagian Barat, Tengah, dan Timur. Selanjutnya, ciri khas yang unik dari budaya asli
Indonesia sendiri mulai sistem kekerabatan, etika pergaulan, pakaian adat, rumah
adat, tari dan alat music tradisional, senjata radisional, bahasa, lagu daerah, dan
lainnya.

Keragaman budaya berpotensi memiliki beberapa kelemahan seperti, perbedaan


budaya menyebabkan kurangnya pemahaman dan komunikasi antar budaya yang
terbatas menjadi pemicu konflik dengan latar belakang keragaman etnis, agama
maupun ras. Bahkan, keragaman digunakan oleh provokator sebagai sarana
memancing persoalan. Proses hubungan antara suku-suku dan golongan yang
berbeda memiliki potensi terpendam sumber-sumber konflik.

Selain memyebabkan kurangnya pemahaman serta komunikasi antar budaya,


kergaman budaya juga bisa menjadi penghambat dan memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi dalam mengelola, mengatur dan mengurus sejumlah orang yang
memiliki perbedaan adat istiadat, nilai kehidupan yang tertanam pada setiap
kelompok masyarakat berbeda budaya dibandingkan dengan masyarakat yang
seragam budayanya. Dampak yang seringkali timbul akibat perselisihan antar suku,
dapat melemahkan ketahanan budaya nasional karena banyak terjadi
kesalahpahaman tentang apa yang dimaknai dan dianut menurut nilai-nilai budaya
yang berlaku.

Selanjutnya, sistem nilai budaya dan sikap yang hidup dalam alam pikiran
sebagian anggota masyarakat yang dianggap penting dan berharga dalam
kehidupannya. Nilai budaya berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan
manusia sehingga sifatnya abstrak, sedangkan sikap merupakan pendorong dari
individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Istilah sistem nilai budaya dan sikap,
sering disebut sikap mental. Nilai – nilai tersebut memiliki perbedaan dengan
budaya yang satu dan lainnya.

Keragaman Indonesia bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk mmepersatukan


berbagai kelompok etnik dan suku karena pengalaman di masa lalu dalam
menghadapi penjajah. Sebagai alat komunikasi dan interaksi dibutuhkan bahasa
guna perekat antar anggota masyarakat. Bahasa Indonesia menjadi peluang
membangun dan mengembangkan budaya suku-suku yang beragam dalam
kebersamaan dan persatuaan. Hal tersebut diperlukan agar terjadi komunikasi dan
interaksi yang dapat membuat anggota masyarakat Indonesia saling bekerjasama
dan memiliki pengertian yang benar terhadap unsur-unsur budaya yang berbeda.

Untuk itu diperlukan peran masyarakat dan khususnya generasi muda untuk
melestarikan kebudayaan lokal guna mewujudkan cita–cita bangsa yang luhur dan
tetap menjaga keutuhan warisan nenek moyang. Hal ini pada akhirnya akan dilihat
dan diakui oleh dunia internasional sebagai bangsa yang hidup dan tinggal di negara
kepulauan dengan budaya yang khas.

D. Keragaman Komunikasi

Indonesia adalah salah satu masyarakat paling plural dari segi etnis, bahasa,
budaya dan agama. Kepulauan Indonesia terdiri dari lebih dari 17.800 pulau yang
menunjukkan beragamnya etnis dan suku yang tinggal di negara ini. Orang
Indonesia bicara dengan lebih dari 525 bahasa dan dialek. Total populasi Indonesia
berdasar pada sensus 2010 adalah 237 juta jiwa, yang terdiri 87,18% Muslim, 6,96%
Protestan, 2,91 Katholik, 1,69 Hidu, 0,72 Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13 lain-lain
(Indiyanto 2013: 14). Hal ini menyebabkan proses komunikasi yang berlangsung di
bangsa ini sangat beragam, baik dari segi bahasa, gerak tubuh, nada bicara, dan
lainnya.

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda


budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosioekonomi)
(Mulyana, 2001:5). Sedangkan menurut Liliweri (2003:9) komunikasi antar budaya
adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu
kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda
dan menghasilkan efek tertentu. Sementara itu menurut Dodd (1991:5) bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi
yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Mulyana dan Liliweri tersebut
memberi pemahaman bahwa komunikasi antar budaya terjadi antara orang-orang
yang berbeda budaya, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial, atau
bahkan jenis kelamin.

Dalam hal komunikasi antar budaya Fisher , mengemukakan bahwa selain


memandang kedudukan komunikator dan komunikan maka terhadap faktor lain
yaitu pesan. Pesan ditujukan dalam perilaku komunikasi antar budaya bukan sekedar
pesan karena pengaruh folkways pribadi tetapi pengaruh folkways masyarakatnya.
Pesan itu sama dengan simbol budaya masyarakat yang melingkupi suatu pribadi
tertentu ketika ia berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian sikap, perilaku,
tindakan seseorang dalam komunikasi antar budaya bukan merupakan sikap,
perilaku, tindakan pribadi melainkan simbol dari masyarakatnya. Pesan dalam
komunikasi antar budaya merupakan simbol-simbol yang di dalamnya terkandung
karakteristik komunikator yang terdengar atau terlihat dalam pengalaman proses
komunikasi antar pribadi di antara mereka yang berbeda etniknya.

Di Indonesia terdapat kurang lebih 671 bahasa daerah yang digunakan pada 34
Provinsi. Beberapa bahasa daerah yang ada di Indonesia seperti, Bahasa Jawa,
Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Betawi, Bahasa Batak, Bahasa
Minangkabau, dan masih banyak lagi. Hal ini menyebabkan cara berkomunikasi
masyarakat yang tinggal pada berbagai daerah berbeda menurut nilai, adat istiadat,
dan budaya yang berlaku di daerah tersebut.

Sebagai contoh perbedaan komunikasi di berbagai daerah di Indonesia yaitu,


daerah yang kental dengan budaya jawa maka mereka cenderung menggunakan
bahasa yang halus serta nada bicara yang sopan dan lembut. Berbeda dengan
masyarakat yang tinggal di daerah dengan budaya batak yang kental, mereka akan
cenderung untuk berkomunikasi dengan nada yang tinggi atau keras dan kasar.
Perbedaan ini menyebabkan masyarakat dengan budaya jawa salah mempersepsikan
apa yang dilakukan oleh masyarakat budaya batak, begitu juga sebaliknya.

Selain verbal, perbedaan komunikasi pada kedua daerah tersbut juga dilakukan
dengan bentuk non verbal yang terdapat dalam Jurnal Komunikasi, Volume 1,
Nomor 5, Juli 2012, Pola Komunikasi Antarbudaya Batak dan Jawa di Yogyakarta.
Perbedaan tersebut antara lain cara menyapa orang lain, simbol-simbol kematian
yaitu bendera kematian dan dalam menentukan arah. Saat menyapa orang lain
di Yogyakarta sudah terbiasa menyapa dengan tersenyum dan menundukkan
kepala atau badan saat berjumpa orang lain, walaupun orang tersebut tidak
dikenal, tetapi kalau di daerahnya tidak perlu melakukan hal tersebut. Simbol-
simbol kematian pun berbeda, bagi mahasiswa suku Batak di UPN “Veteran”
Yogyakarta didaerahnya biasa memaknai simbol bendera warna merah untuk
menandakan bahwa ada orang yang meninggal, yang dipasang di depan rumah,
sedangkan di Yogyakarta mengggunakan simbol bendera warna putih. Dalam
memaknai arah di Yogyakarta menggunakan arah mata angin (utara, selatan,
timur, barat), sedangkan mahasiswa suku Batak di UPN “Veteran” Yogyakarta
terbiasa menentukan arah saat berpergian ke suatu tempat dengan menggunakan
arah lurus, belok kiri ataupun belok kanan, sehingga sering mangalami kesulitan
saat akan bepergian, karena masih bingung dalam menentukan arah.

Dalam berkomunikasi antarbudaya biasanya menimbulkan suatu masalah


komunikasi, yang disebabkan oleh kebudayaan yang berbeda. Setiap individu
yang berasal dari kelompok-kelompok yang berbeda, masing-masing dari mereka
memiliki budaya yang berbeda pula. Budaya yang dimiliki oleh individu berasal
dari kelompoknya. Setiap kelompok memiliki perbedaan mengenai bahasa,
persepsi, simbol non verbal, makanan bahkan cara individu berinteraksi.
Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang biasanya menimbulkan masalah-masalah
komunikasi antar-budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Bagus Nugroho, Puji Lestari, Ida Wiendijarti. 2012. Pola Komunikasi Antarbudaya
Batak dan Jawa di Yogyakarta. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 5.

Collins, James T. 2014. Keragaman Bahasa dan Kesepakatan Masyarakat Pluralitas


dan Komunikasi. Jurnal Dialektika Volume 1, Nomor 2.

Herkantiningsih, Naniek. 2014. Pengaruh Kolonial di Nusantara. KALPATARU,


Majalah Arkeologi, Volume 23, Nomor 1.

Lestari, Gina. 2015. Bhinneka Tunggal Ika : Khasanah Multikultural Indonesia Di


Tengah Kehidupan Sara. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume
28, Nomor 1.

Mahfud, Mokhamad. 2013. Komunikasi Indonesia (Studi Komunikasi Nusantara


Perspektif Integrasi Interkoneksi). Jurnal Komunikasi PROFETIK Volume 6, Nomor 1.

Rahayu, Mustaghfiroh. 2017. Keragaman di Indonesia dan Politik Pengakuan (Suatu


Tinjauan Kritis). Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4, Nomor 2.

Weishaguna. Reposisi Istilah Review Sejarah Ruang Kepulauan. Jurnla PWK Unisba.

Widiastuti. 2013. Analisis SWOT Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Ilmiah WIDYA
Volume 1, Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai