NIM : 1710411108
Komunikasi Etnik Nusantara E
KERAGAMAN INDONESIA
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini
dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu
kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga
heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”. Dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk itu, ada dua istilah yang penting dipahami yaitu kemajemukan
(pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Pluralitas sebagai kontraposisi dari
singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, dan
bukan ketunggalan. Artinya, dalam “masyarakat Indonesia” dapat dijumpai berbagai
subkelompok masyarakat yang tidak bisa dikelompokkan satu dengan yang lainnya.
Sementara heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari homogenitas
mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam
unsur-unsurnya. Artinya, masing-masing subkelompok masyarakat itu beserta
kebudayaannya bisa sungguh-sungguh berbeda satu dari yang lainnya.
A. Sejarah Nusantara
Bangsa Arab sendiri juga memberikan berbagai nama kepada tanah air, seperti
Jaza’ir al-jawi (Kepulauan Jawa), Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi),
Sundah (Sunda), dan semua pulau yang disebutkan tadi dikenal sebagai Kulluh Jawi
(semuanya Jawa). Bahkan sampai hari ini jamaah haji kita masih sering dipanggil
“Jawa” oleh orang Arab. Bahkan, orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Oleh karena
itu, Jawa menurut Bahasa Arab bukan hanya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur saja, melainkan seluruh kepulauan Nusantara.
Dari aspek tujuannya, Nusantara secara historis memiliki visi persatuan yang
mengarah pada pembentukan imperium Majapahit. Setidaknya terditeksi dalam teks
amukti palapa (sumpah palapa) dalam naskah pararaton tahun 1334 Masehi, bahwa
istilah Nusantara sebagai wilayah-wilayah yang perlu dikalahkan Majapahit
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya
terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang
luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia
Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia
Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische
Archipel, Indian Archipelago, I’ Archipel Indien) atau “Hindia Timur”. Pada jaman
penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai
istilah To-Indo (Hindia Timur).
Ernest Francios Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr.
Setiabudi merupakan adik dari cucu Multatuli, di tahun 1920 untuk pertama kalinya
ia mempeeknalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung kata
“India”. Nama itu adalah Nusantara, yang diambil dari Pararaton, naskah kuno
zaman Majapahit pada abad ke-19 yang ditemukan di Bali. Kemudian pada tahun
1920 diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholas Johannes
Krom.
Istilah Indonesia ditemukan oleh James Richardson Logan, seorang ahli hukum
kelahiran Skotlandia pada tahun 1847. Istilah Indonesia kemudian dipergunakan
oleh Maxwell dalam bukunya yang berjudul “The Island of Indonesia” pada tahun
1862. Nama Indonesia makin terkenal berkat jasa Prof. Adolf Bastian yang menulis
buku “Indone-sien Oder die Inselndes Malaychen Archiples” pada tahun 1884.
Pada tahun 1859, Multatuli (E.F.E Douwess Dekker) memakai istilah Insulinde
pada bukunya yang berjudul “Max Havelar”, yang tidak lain adalah istilah untuk
Indonesia. Pada tahun 1913, muncul istilah Indonesische dari kalangan pelajar dan
mahasiswa kita di Negeri Belanda. Di tanah air, Dr. Sutomo mendirikan
Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond
membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga
organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan
bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang
kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Sejak tanggal 17 Agustus 1945 nama
Indonesia resmi menjadi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedatangan para pedagang atau koloni-koloni asing ini, dapat diartikan sebagai
sebuah proses perubahan yang tumbuh, karena didorong oleh faktro dagang
(ekonomi), kemudian menjadi kolonialisme yang pembentukan kekuasaan
Nusantara oleh system kekuasaan barat. Hal ini mempengaruhi system politik,
ekonomi, sosial, dan budaya Nusantara.
C. Keragaman Budaya
Selanjutnya, sistem nilai budaya dan sikap yang hidup dalam alam pikiran
sebagian anggota masyarakat yang dianggap penting dan berharga dalam
kehidupannya. Nilai budaya berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan
manusia sehingga sifatnya abstrak, sedangkan sikap merupakan pendorong dari
individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Istilah sistem nilai budaya dan sikap,
sering disebut sikap mental. Nilai – nilai tersebut memiliki perbedaan dengan
budaya yang satu dan lainnya.
Untuk itu diperlukan peran masyarakat dan khususnya generasi muda untuk
melestarikan kebudayaan lokal guna mewujudkan cita–cita bangsa yang luhur dan
tetap menjaga keutuhan warisan nenek moyang. Hal ini pada akhirnya akan dilihat
dan diakui oleh dunia internasional sebagai bangsa yang hidup dan tinggal di negara
kepulauan dengan budaya yang khas.
D. Keragaman Komunikasi
Indonesia adalah salah satu masyarakat paling plural dari segi etnis, bahasa,
budaya dan agama. Kepulauan Indonesia terdiri dari lebih dari 17.800 pulau yang
menunjukkan beragamnya etnis dan suku yang tinggal di negara ini. Orang
Indonesia bicara dengan lebih dari 525 bahasa dan dialek. Total populasi Indonesia
berdasar pada sensus 2010 adalah 237 juta jiwa, yang terdiri 87,18% Muslim, 6,96%
Protestan, 2,91 Katholik, 1,69 Hidu, 0,72 Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13 lain-lain
(Indiyanto 2013: 14). Hal ini menyebabkan proses komunikasi yang berlangsung di
bangsa ini sangat beragam, baik dari segi bahasa, gerak tubuh, nada bicara, dan
lainnya.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 671 bahasa daerah yang digunakan pada 34
Provinsi. Beberapa bahasa daerah yang ada di Indonesia seperti, Bahasa Jawa,
Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Betawi, Bahasa Batak, Bahasa
Minangkabau, dan masih banyak lagi. Hal ini menyebabkan cara berkomunikasi
masyarakat yang tinggal pada berbagai daerah berbeda menurut nilai, adat istiadat,
dan budaya yang berlaku di daerah tersebut.
Selain verbal, perbedaan komunikasi pada kedua daerah tersbut juga dilakukan
dengan bentuk non verbal yang terdapat dalam Jurnal Komunikasi, Volume 1,
Nomor 5, Juli 2012, Pola Komunikasi Antarbudaya Batak dan Jawa di Yogyakarta.
Perbedaan tersebut antara lain cara menyapa orang lain, simbol-simbol kematian
yaitu bendera kematian dan dalam menentukan arah. Saat menyapa orang lain
di Yogyakarta sudah terbiasa menyapa dengan tersenyum dan menundukkan
kepala atau badan saat berjumpa orang lain, walaupun orang tersebut tidak
dikenal, tetapi kalau di daerahnya tidak perlu melakukan hal tersebut. Simbol-
simbol kematian pun berbeda, bagi mahasiswa suku Batak di UPN “Veteran”
Yogyakarta didaerahnya biasa memaknai simbol bendera warna merah untuk
menandakan bahwa ada orang yang meninggal, yang dipasang di depan rumah,
sedangkan di Yogyakarta mengggunakan simbol bendera warna putih. Dalam
memaknai arah di Yogyakarta menggunakan arah mata angin (utara, selatan,
timur, barat), sedangkan mahasiswa suku Batak di UPN “Veteran” Yogyakarta
terbiasa menentukan arah saat berpergian ke suatu tempat dengan menggunakan
arah lurus, belok kiri ataupun belok kanan, sehingga sering mangalami kesulitan
saat akan bepergian, karena masih bingung dalam menentukan arah.
Adi Bagus Nugroho, Puji Lestari, Ida Wiendijarti. 2012. Pola Komunikasi Antarbudaya
Batak dan Jawa di Yogyakarta. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 5.
Weishaguna. Reposisi Istilah Review Sejarah Ruang Kepulauan. Jurnla PWK Unisba.
Widiastuti. 2013. Analisis SWOT Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Ilmiah WIDYA
Volume 1, Nomor 1.