Anda di halaman 1dari 2

MEMAHAMI FILOSOFI SEMBOYAN “BHINNEKA TUNGGAL IKA” DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERAGAMAN, KEBANGGAAN DAN


KEBANGSAAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Andika Wahyu Noor Pratama


Provinsi Bengkulu

Bhinneka Tunggal Ika, mungkin istilah ini sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga
kita. Di sekolah, di televisi, di radio dan di media-media lainnya. Istilah yang berasal dari
Bahasa Sansekerta ini jelas terpampang pada lambang Negara Indonesia. Ya, Bhinneka
Tunggal Ika adalah semboyan Bangsa Indonesia yang kurang lebih berarti kesatuan dalam
keberagaman atau unity in diversity. Semboyan ini pertama kali ditemukan pada Kitab
Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad XIV. Bukan tanpa alasan memilih
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bagi Bangsa Indonesia. Kita semua tahu bahwa
Indonesia memiliki berbagai macam keberagaman mulai dari suku, agama, bahasa dan
banyak kebudayaan menjadikan Indonesia unik dan dapat hidup dengan berdampingan. Ini
dapat dilihat dari para pendiri Bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama islam yang
tampaknya cukup toleran untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut yang notabene nya
adalah seorang sastrawan Buddha (Ma’arif A. Syafii, 2011). Bangsa indonesia sudah
berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan
warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainnya. Perbedaan tersebut
dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa
yang besar. Sejarah pun mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai
suku, semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang
dengan mengambil perannya masing-masing. Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita
untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri Bangsa
Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan
serta cita-cita untuk membangun bangsa sejatinya tercerminkan dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan sebuah realitas sosial masyarakat, sedangkan ke-
tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Sebuah wahana yang dicetuskan sebagai
“napak tilas” perjuangan untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul
keberagaman dalam sebuah negara yang berdaulat dan merdeka, yaitu Indonesia.
Berbicara mengenai Bhinneka Tunggal Ika, ada banyak hal yang dapat kita kupas,
baik dari segi sejarahnya ataupun makna yang terkandung didalamnya. Saya sendiri
membaginya dalam tiga keunikan antara lain:
1. Nusantara dikenal sebagai tanah toleransi sejak ratusan tahun yang lalu
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa konon adalah sebuah bentuk penghormatan
dan apresiasi Mpu Tantular yang beragama Buddha terhadap Kerajaan Majapahit yang saat
itu (abad ke 14) adalah mayoritas beragama Hindu Siwa namun sangat menghargai penganut
agama lain. Kata-kata berbeda tetapi satu jua merupakan sebuah ungkapan bagaimana agama-
agama yang berbeda seperti Siwa dan Buddha dapat bersatu untuk kesejahteraan Majapahit.
Ditanah Nusantara, perbedaan merupakan suatu keindahan yang menyatukan, karena semua
perbedaan (agama) itu berujung pada kebenaran yang tidak berbeda (Tan Hana Dharma
Mangrwa).
2. Nusantara adalah tanah para Priyayi
Nilai-nilai asing (termasuk agama) tidak serta merta diterima begitu saja tetapi dipelajari,
dicerna dan diimplikasikasikan. Perpaduan berbagai ajaran dan filosofi agama dan budaya
dunia diracik sedemikian rupa sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Agama Siwa dan Buddha
yang pada akhirnya menjadi agama resmi Majapahit jika dibandingkan dengan agama aslinya
di India jelas mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Agama Hindu Bali (yang
berkembang sebagai warisan agama Siwa-Buddha Majapahit) jelas berbeda dengan
pelaksanaan Hindu di India. Memahami sejarah dan Konteks Bhinneka Tunggal Ika akan
membuat sudut pandang kita terhadap “perbedaan” menjadi sebagai suatu kekayaan, bukan
sebagai “kesalahan” yang perlu diluruskan. Sehingga kita perlu memahami perbedaan
sebagai suatu yang indah dan dapat menyatukan kita dalam berbagai aspek.
3. Para pendiri Bangsa Indonesia memahami karakter Nusantara melalui Bhinneka
Tunggal Ika
Founding Fathers Indonesia mengorek berbagai pustaka baik dari luar maupun dalam negeri.
Muhammad Yamin sejarawan dari Sumatera Barat, Bung Karno tokoh nasionalis dari Jawa
dan tokoh Bali Ida Bagus Sugriwayang pertama kali mendiskusikan penggunaan Bhinneka
Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945. Dan
akhirnya resmi menjadi semboyan pada lambang negara Republik Indonesia pada tahun 1950
sebagai hasil rancangan Sultan Hamid II berkolaborasi dengan Muhammad Yamin dan
dibantu oleh Ki Hajar Dewantarajuga sentuhan cantik dari seniman Basuki Reksobhowo.
Founding Fathers Indonesia telah mempelajari berbagai hal dari penjuru dunia, namun sangat
amat menghormati sejarah Nusantara sebagai inspirasi terbesar. Makna Bhinneka Tunggal
Ika diperluas bukan hanya keberagaman terhadap agama, tapi suku, bahasa dan semua
keberagaman di Indonesia. Bagi Indonesia, keberagaman adalah pusaka warisan kekayaan.
Lantas, sebagai cikal bakal penerus bangsa, apakah kita sudah benar-benar memahami
filosofi Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa indonesia? Atau justru malah
mengabaikannya? Ada banyak yang menggemakan Bhinneka Tunggal Ika di persada Bumi
Nusantara ini. Ada banyak pula yang mengaku begitu Pancasilais, merasa begitu
menghormati nilai-nilai Pancasila, padahal tanpa mereka sadari mereka telah menodai nilai
dan makna dari Pancasila itu sendiri. Bhinneka Tunggal Ika menjadi posisi sebagai semboyan
Bangsa Indonesia yang berarti harus kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengingat begitu beragamnya Bangsa Indonesia, maka wajar saja semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dipilih untuk “mewakili” keberagaman dan keunikan bangsa Indonesia. Kita
juga harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika telah terancam keberadaannya di negerinya sendiri ternyata bukanlah
hanya isapan jempol belaka. Posisinya bisa saja bergeser kapanpun hanya untuk memenuhi
hajat hidup sekelompok elit. Kita sebagai rakyat Indonesia yang netral harus menajamkan
pikiran dan peka, terlebih lagi generasi muda haruslah pandai dalam menyikapi fenomena
yang marak terjadi belakangan ini. Jangan sampai sedikit saja kita lengah, nilai-nilai moral
Bangsa Indonesia ternodai. Kita harus teguh memegang pendirian berdasarkan nilai Pancasila
dan berpatokan pada Bhinneka Tunggal Ika, bahu-membahu dan berjuang untuk membangun
bangsa yang bermartabat mulia demi menggapai cita-cita para leluhur pendiri Bangsa
Indonesia yang besar ini, karena generasi kitalah yang menentukan akan jadi apa dan seperti
apa Bangsa Indonesia nanti di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai