Anda di halaman 1dari 3

Sepenggal Cerita tentang 

Kaledupa
ini adalah cerita tentang Pulau Kaledupa yang dibuat tahun 2007 kemarin. Beberapa
informasi barangkali sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Kapal bermesin tempel (baca: spit) yang kami berdua tumpangi bersama belasan
penumpang lainnya dari Pelabuhan Mola, Wanci akhirnya merapat di Dermaga Ambeua
setelah sekitar dua jam diombang-ambingkan perairan Wakatobi.Untunglah saat ini Bulan
November yang merupakan bulan-bulan pancaroba akhir tahun. Jadi ombak sudah tidaklah
terlalu besar seperti halnya pada saat musim timur dimana angin yang berhembus dari Laut
Banda cukup memaksa para pelautmengeluarkan semua doa-doa perlindungan yang mereka
punyai.
Setelah membayar ongkos perjalanan sebesar Rp 25.000 kami pun menjejakkan tanah di
Pulau Kaledupa yang pada masa dahulu dikenal dengan nama “andi-andina wolio.“ Kami
masing-masing langsung menaiki ojek motor setelah disepakati ongkosnya Rp 5000 sampai
di tujuan kami yaitu rumah salah seorang kerabat di Desa Lewuto. Jaraknya memang
tidaklah terlalu jauh sekitar satu kilometer. Tetapi itu adalah tarif standar untuk jarak-jarak
dekat. Dan jika jaraknya jauh, ongkos menjadi sesuatu yang perlu disepakati.Tetapi jangan
khawatir jika harga tidak cocok karena masih banyak ojek lain yang sudah menunggu. Ojek-
ojek ini memang banyak yang menunnggu penumpang setiap ada spit yang merapat. Jangan
mengharapkan untuk mendapatkan mobil atau bus angkutan karena kedua jenis angkutan
itu masih merupakan barang langka di pulau ini.
Seorang perempuan tua sedang memasak kasoami di kolong rumah saat saya mengucapkan
salam. Kasoami adalah jenis makanan tradisional yang dulunya merupakan bahan makanan
pokok masyarakat Pulau Kaledupa dan umumnya Wakatobi sebelum mereka mengenal
beras. Bahannya terbuat dari singkong yang diparut. Bentuknya cukup unik yaitu seperti
nasi tumpeng tetapi dalam ukuran kecil. Proses pembuatannya juga cukup unik. Pertama-
tama singkong yang sudah diparut di masukkan ke dalam cetakan yang terbuat dari daun
kelapa yang dibentuk menyerupai kerucut. Bahan dan cetakan ini kemudian disimpan
terbalik (bagian lancip cetakan menghadap ke bawah) di mulut periuk yang terbut dari tanah
liat dan kemudian dikukus. Jadi sebelumnya periuk telah diisi dengan air. Proses mengukus
kasoami ini biasanya berlangsung cepat sekitar 20 menit untuk satu kasoami.
Waktu melihat kami, ibu tua itu begitu kaget dan agak heran karena memang belum
mengenali kami. Akhirnya dipanggillah salah seorang anaknya yang sedang berada di atas
rumah karena ibu tersebut tidak fasih berbahasa Indonesia. Dia hanya fasih menggunakan
bahasa Wakatobi. Bahasa Wakatobi ini berbeda dengan Bahasa Wolio yang dulunya
merupakan bahasa nasional di Kesultanan Buton dimana daerah Wakatobi merupakan
bagian di dalamnya. Belum ada informasi tentang darimana bahasa Wakatobi ini berasal.
Setelah memperkenalkan diri siapa kami,menceritakan tujuan kami ke pulau ini dan alasan
kenapa sampai memilih rumah mereka sebagai tempat tinggal akhirnya kami diajak masuk
ke dalam rumah dan dipersilahkan untuk beristrahat sambil menunggu makan siang.
Setelah menyimpan tas kami di dalam rumah, saya menemui seorang anak ibu yang
menerima kami tadi yang sedang membakar ikan. Dan saya begitu kaget saat melihat ikan
yang dibakarnya adalah ikan buntal berduri (borutu: bahasa lokal) yang dikenal beracun.
Tetapi menurut para penduduk ikan tersebut tidak beracun jika dibakar dengan benar yaitu
sampai kulit kerasnya hangus menjadi arang. Malah rasanya sangatlah nikmat. Apalagi
organ dalam ikan tersebut. Selain ikan buntal itu masih ada dua ekor ikan kakap segar yang
biasanya di kota besar bisa mencapai puluhan ribu rupiah perekornya. Dari perempuan itu,
saya tahu kalau ikan-ikan tersebut diambil dari serong (bagang tancap) milik keluarga. Tak
lupa ikan-ikan itu disiapkan dengan sambalnya yang dalam bahasa lokal disebut
dengan colo-colo. Saat kami makan siang, ikut disajikan ikan masak yang dari warna daging
dan kulitnya memperlihatkan ikan-ikan tersebut adalah ikan karang. Jadilah kami bersantap
siang dengan kasoami dan lauk yang mewah.
Tak Seindah Taman Lautnya
Saat ini Pulau Kaledupa hampir telah menjadi salah satu ikon Indonesia di bidang
pariwisata. Namanya telah  menginternasional. Terkenal di berbagai Negara Eropa. Ditulis
di berbagai katalog perjalanan pariwisata. Ini tidak lain karena adanya Pulau Hoga yang
berhadapan dengan Pulau Kaledupa yang mana saat ini di sewa dan dikelola oleh salah satu
NGO internasional, Operation Wallacea sebagai dive resort karena keindahan bawah lautnya
yang luar biasa.Keindahan bawah laut itulah yang telah membawa banyak bule dari berbagai
kelompok umur menyumbangkan dollar yang mereka punya bukan hanya di Pulau Hoga
tetapi juga di Pulau Kaledupa.
Namun sayang, meski telah banyak pundi-pundi dollar yang masuk ke kas daerah,
pembangunan di Pulau Kaledupa seperti berjalan di tempat. Sarana dan prasarana umum
belum bisa dirasakan secara maksimal oleh masyarakat di dua kecamatan yang ada di pulau
ini. Walaupun di pulau ini telah ada PLN-nya, namun beberapa desa belum dialiri listrik
karena alasan jaraknya yang jauh dari sumber pembangkit. Sedangkan untuk desa-desa yang
sudah teraliri, listrik hanya hidup dari pukul 18.00 sampai pukul 06.00. Jadi sepanjang
siang masyarakat tidak bisa menyetrika, menonton,bermain komputer, berkaraoke dan
pekerjaan lainnya yang membutuhkan listrik.
Kemudian jalan raya. Jalan raya di dua kecamatan di pulau kaledupa masih menampilkan
wajah gado-gado. Ada yang masih berupa pengerasan, ada yang cukup lumayan mulus,
lumayan berlubang dan ada yang aspalnya sudah hampir hilang, menyisakan batu-batu
keras.
Selanjutnya air bersih. Disini belum ada PDAM. Jadi masyarkat mendapatkan air bersih
dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mengambilnya dari sumur di sekitar rumah, ada
yang mengambilnya dari mata air, ada yang mengambilnya melalui sistem perpipaan dan
ada yang harus menyeberang laut untuk mendapatkan air bersih. Benar-benar beragam.
Sepi Pria
Di salah satu kesempatan perjalanan survey kami, kami mengunjungi salah satu
perkampungan orang bajo. Nama kampung itu adalah Mantigola, terletak di desa
Horuo.Seperti halnya kampung bajo lain, mata pencaharian utama penduduk di kampung
ini adalah nelayan. Dan kedatangan kami kali ini bertepatan dengan “musim panen“
penduduk kampung dimana mereka sejak bulan Agustus hingga Desember berdiam di
Karang Kaledupa untuk menangkap segala hasil laut. Makanya pada bulan-bulan ini
Kampung Mantigola akan sepi pria karena kebanyakan mereka akan tinggal sementara di
Karang Kaledupa. Untuk itu mereka membawa bekal yang banyak. Terkadang mereka juga
memboyong seluruh anggota keluarga. Mereka hanya kembali ke daratan untuk menambah
pasokan air dan makanan lainnya. Dan kegiatan “panen“ hasil laut ini mengundang banyak
pedagang pengumpul yang berasal dari Wanci, Kendari, Bau-Bau bahkan para pengumpul
dari Sinjai, Sulawesi Selatan. Bisa dibayangkan betapa ramainya kampung musiman di
karang kaledupa ini. Sayang kami tak dapat ikut serta karena
sempitnya waktu kami.

Suasana  Kampung  Mantigola yang sepi pada Bulan Agustus – Desember setiap tahunnya

Jalan darat yang sedang dirintis dari Pulau Kaledupa ke Kampung Bajo Mantigola.
Pondasinya memakai batu karang yang ditumpuk (***)

https://musafirtimur.wordpress.com/2009/02/16/sepenggal-cerita-tentang-kaledupa/

Anda mungkin juga menyukai