Anda di halaman 1dari 28

A.

Sejarah dan Perkembangan Suku Sekak


1. Asal Usul
Pengetahuan atas kondisi perairan didapat dari pengalaman panjang
orang Sekak melayari Selat Bangka. Namun, tidak ada catatan pasti kapan mereka
mulai mempelajari Selat Bangka dan hidup di Babel.
EP Wieringa dalam “Carita Bangka” (Rijksuniversiteir Leiden, 1990)
disinggung asal-usul orang Sekak. Wieringa antara lain mengalihbahasakan
catatan Legenda Bangka yang disusun Haji Idris tahun 1861 dalam buku itu.
Dalam Legenda Bangka versi Haji Idris, di Pasal 26 disebutkan, orang Sekak adalah
keturunan prajurit Tuan Sarah. Tuan Sarah adalah pedagang yang ditunjuk Sultan
Johor memimpin pasukan penyerbu bajak laut di Bangka pada awal abad ke-17.
Setelah bajak laut diusir, sebagian besar pasukan itu kembali ke Johor. Sebagian
lagi tinggal di Bangka, dan menjadi cikal bakal orang Sekak. Namun, Batman,
tokoh adat Sekak, menyebut nenek moyang mereka berasal dari Lingga. Daerah
yang kini menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau itu disebut
Batman sebagai tanah kelahiran nenek buyutnya. “Nenek buyut merantau ke
Belitung,” ujarnya. Pendapat itu juga didasari ada lagu tradisi Sekak berjudul
“Campak Daik”. Sejak berabad lampau, Daik adalah ibu kota Kesultanan Lingga.
Sekarang, Daik menjadi ibu kota Kabupaten Lingga yang wilayah lautnya
berbatasan dengan Bangka Belitung. “Nenek moyang kami orang laut dari
Kepulauan Riau,” ujar Batman.
Lioba Lenhart dalam Konstruktion, Oszilation und Wandel Etnicher Der
Orang Suku Laut (Shaker, 2002), memasukkan orang Sekak sebagai subsuku orang
laut. Lenhart menyebut suku Laut di Natuna, Anambas, Tanjung Pinang, dan
Lingga, disebut orang laut. Sementara suku Laut di sekitar Bengkalis, Riau,
disebut orang kuala. Bahkan, suku Laut paling timur adalah orang Sekak tersebar
di Bangka dan Belitung.
Di Bangka, orang Sekak tercatat tinggal di Kuto Panji, Jebu Laut, Kudinpar,
Lepar, dan Pongok. Di Belitung, orang Sekak tinggal di Juru Seberang, Kampung
Baru, dan Gantung.

2. Korban Kebijakan
Sesepuh orang Sekak, Wak Jem (74), menyebutkan, tidak banyak yang
bisa disebut orang Sekak asli. Orang Sekak asli adalah mereka yang lahir dari ayah
dan ibu Sekak. Sejak kebijakan tinggal di darat diberlakukan pemerintah pada
pertengahan decade 1980-an, orang Sekak menikah dengan orang dari suku-suku
lain.
Batman, misalnya, menikah dengan orang Melayu Bangka. Sumardi,
keponakan Batman, menikah dengan orang Melayu Belitung. “Hasil penelitian
saya menunjukkan hanya ada 120 keluarga Sekak di seluruh Babel. Saya juga
menemukan hanya 50 orang yang sudah berusia di atas 50 tahun dapat berbicara
bahasa Sekak. Sisanya berbicara dengan bahasa Melayu Bangka atau Belitung,”
ujar Iwabuchi.
Hasil penelitiannya juga menemukan jumlah orang Sekak terus merosot.
Orang-orang Sekak banyak tak punya anak. Tidak diketahui pasti mengapa hal itu
terjadi. “Harus ada riset lebih jauh setidaknya oleh antropolog biologi,” ujarnya.
Diduga hal itu dipicu pernikahan dengan kerabat dekat. Karena jumlahnya
semakin merosot dan ada tuntutan harus membentuk keluarga asli, orang Sekak
menikah dengan kerabat-kerabat dekat. Dalam banyak studi disebutkan
pernikahan seperti ini bisa menghasilkan keturunan yang tidak sempurna. “Ini
hanya dugaan, dan tidak didukung bukti ilmiah,” ujarnya.
Hal yang jelas, Akifumi menemukan fakta jumlah orang Sekak terus
merosot. Ia tidak yakin akan bisa meriset kehidupan orang Sekak jika
melakukannya 10 tahun mendatang. “Tidak banyak lagi orang tahu soal adat
istiadat orang Sekak. Pemuda-pemuda Sekak bahkan tidak bisa berbicara bahasa
Sekak,” tuturnya.
Saat ini, hanya Wak Jem yang benar-benar paham adat istiadat Sekak. Ia
tahu detail rincian ritual orang Sekak, mantra-mantra yang dibutuhkan, serta
masih fasih berbahasa Sekak. Sementara, Batman hanya tahu lagu-lagu
tradisional Sekak. Ia memang berusaha mempertahankan kebudayaan Sekak
dengan membuat lagu-lagu baru dalam bahasa Sekak. “Saya membuat 28 lagu
baru,” tuturnya.

3. Keracunan Identitas
Persoalan orang Sekak bukan hanya penurunan tajam populasi. Mereka
juga menghadapi kerancuan identitas. Sebagian menyebut dirinya sebagai orang
Sawang. Sebagian lagi bertahan dengan sebutan orang Sekak. Sebutan Sekak
diakui berkonotasi negatif. Ada yang berpendapat sebutan itu pelesetan dari kata
Pekak atau tunarungu. Karena terlalu banyak menyelam, pendengaran orang
Sekak terganggu.
Lalu pada dekade 1960-an, Sobron Aidit membuat catatan soal orang
Sekak. Adik DN Aidit itu menyebut mereka sebagai orang Sawang. Sebutan itu
bertahan sampai beberapa puluh tahun kemudian. Batman termasuk salah
seorang yang lebih suka disebut Sawang dibandingkan Sekak. Sementara, Wak
Jem yang terhitung sebagai paman Batman lebih suka menyebut diri sebagai
orang Sekak. Demikian pula Menan, kepala suku Sekak di kampung Juru
Seberang. Sementara anaknya, Naskah, lebih sering memperkenalkan diri sebagai
orang Sawang. “Saya tidak menemukan rujukan ilmiah yang menyebut orang
Sawang. Kalau buku tentang orang Sekak, ada walau tidak banyak. Kata Sawang
tidak bermakna lebih baik dari Sekak. Sebab, Sawang lazim berarti kotoran hitam
di dinding rumah,” tutur Iwabuchi.
Orang Sekak juga makin kehilangan identitas sebagai orang laut.
Kehilangan itu menjadi kian meningkat sejak adanya kebijakan pemerintah yang
mewajibkan masyarakat tinggal di darat. Sebelum kebijakan itu dikeluarkan
pemerintah, orang Sekak tinggal di perahu yang disebut kolek. Perahu yang rata-
rata selebar 2 meter dan panjang 10 meter itu adalah rumah bagi keluarga orang
Sekak. “Sebelum tinggal di parak (rumah panggung) seperti sekarang, saya tinggal
di kolek. Rasanya sudah lebih dari 20 tahun saya tidak pernah melihat kolek,” ujar
Wak Jem.
Dengan kolek, mereka hanya sesekali ke darat. Biasanya untuk mencari air
tawar jika lama tidak hujan. Untuk makanan, mereka bisa menyantap apa saja
yang didapat dari laut.
Setelah kebijakan tinggal di darat, orang Sekak perlahan mengganti kolek
dengan perahu bermesin. Dengan perahu mesin, waktu berada di laut lebih
singkat. Tak ada lagi orang Sekak yang melaut selama berbulan-bulan. “Ayah
melaut sepekan sampai 10 hari, lalu pulang,” ujar Naskah.
Mereka tidak lagi melaut secara subsisten atau hanya mencari kebutuhan
satu hari. Orang Sekak sudah hidup seperti orang darat yang menginginkan
sepeda motor baru, televisi baru, dan rumah lebih besar.
Saat hasil melaut tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka
pun gampang banting setir untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, sebagian
orang Sekak juga telah bekerja di tambang timah ilegal. Pekerjaan yang
bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Sekak yang bersahabat dengan
alam. Padahal, falsafah itu yang dipegang teguh orang Sekak selama ratusan
tahun, sejak nenek moyang mereka.

*) KOMPAS edisi Sabtu, 2 Juni 2012 hal. 24

(http://budiartoekokusumo.blogspot.co.id/2012/06/suku-sekak-yang-terancam-
punah.html)

B. Kebudayaan

1. Buang Jong
(https://www.viva.co.id/gaya-hidup/travel/940296-buang-jong-ritual-suku-anak-dalam-sebelum-melaut)

Link : https://www.youtube.com/watch?v=-qmoWIzq_z8

Suku Laut ini mempunyai adat Tradisional yaitu “BUANG JUNG”


(membuang perahu yang ukuran mini) ke laut. Sebagai ungkapan terima kasih
kepada penguasa laut, agar mereka terhindar dari marabahaya dan
mengharapkan keselamatan tahun depan. Jung (perahu) tersebut diarak ke
tengah laut, setelah sampai ke tempat yang telah ditentukan Jung tersebut,
dengan upacara adat dan kemudian perahu di lepas sampai tenggelam barulah
mereka pulang ke pantai. Setelah sampai di pantai, mereka mengadakan upacara
bersimburan akhir dari acara “BUANG JUNG”, dan acara ini hanya sebagai tradisi,
dalam acara ini terciptalah tarian “Gajah Menunggang” yang menggambarkan
bagaimana keadaan perahu-perahu yang di bawa gelombang laksana seseorang
menunggang gajah.1

Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga, Kabupaten Bangka


Selatan Haris Setiawan menyebut, bahwa Buang Jong merupakan ritual
tradisional masyarakat suku Sekak atau anak dalam sebelum melaut. "Mereka
punya kebiasaan sebelum melaut melakukan ritual ini. Ritual ini ditandai dengan
melepaskan kapal sebagai simbol atau kepercayaan mereka," katanya saat
diwawancarai VIVA.co.id, Kamis, 27 Juli 2017. Dijelaskannya, setelah melakukan
ritual tersebut para nelayan mengharapkan hasil tangkapan ikan akan berlimpah.
Masyarakat setempat selama satu minggu tidak diperbolehkan untuk melakukan
aktivitas apa pun di laut. "Pelaksanaan biasanya dilakukan pada bulan Juni.
Ritual ini dilaksanakan selama satu minggu," ungkapnya.2

2. Tarian Gajah Menunggang

1
https://nianovianti2194.wordpress.com/2015/03/16/tari-tradisi-gajah-manunggang-tiara-selatan-bangka-
selatan/

2
https://www.viva.co.id/gaya-hidup/travel/940296-buang-jong-ritual-suku-anak-dalam-sebelum-melaut
Link : https://www.youtube.com/watch?v=asQ66XQLq28

Tarian Gajah Menunggang berasal dari suku Laut (Suku Sekak) yang
bermukim di pesisir Pantai Pulau Lepar Kabupaten Bangka Selatan. Tarian ini
merupakan gambaran bagaimana keadaan perahu-perahu yang dibawa
gelombang laksana menunggang gajah. Secara filosofis Tari Gajah Menunggang
memiliki makna yang mendalam pada tradisi Orang Sekak, antara lain: 3

1) Menggambarkan rasa kegembiraan mereka dalam melaksanakan sesuatu


yang berat dengan harapan akan dapat terselesai apabila dikerjakan dengan
bersama-sama, walaupun dalam mengarungi lautan sekalipun
2) Menggambarkan bagaimana perahu mereka melawan gelombang
3) Menggambarkan bagaimana cara mereka merubah haluan dalam keadaan
yang diperlukan
4) Menggambarkan rasa gembira setelah selesai upacara dan mereka merasa
bahagia

C. Rencana Fokus Area (Kecamatan Lepar Pongok)

3
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2016/11/09/tari-gajah-menunggang-warisan-budaya-takbenda-
indonesia-2016/
1. Pulau Lepar
Pulau Lepar adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai tenggara Pulau
Bangka. Secara administrasi pemerintahan, pulau ini merupakan bagian dari
Kabupaten Bangka Selatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan
merupakan pulau terbesar ketiga di provinsi tersebut setelah Pulau Bangka dan
Belitung, dengan luas 169 km2. Pualu Lepar terletak di Selat Gaspar yang
memisahkan kedua pulau tersebut. Pulau ini membentang dari timur ke barat
sekitar 22 km dan 17 km dari utara ke selatan, dengan kota-kotanya Tanjunglabu,
Tanjungsangkar, dan Penutuk yang menjadi pusat populasi utama. Pulau ini
diadministrasikan sebagai Kecamatan Lepar Pongok sendiri, yang dulunya
mencakup Pulau Pongok—sebuah pulau berdekatan yang berukuran sedang—
sampai tahun 2012 ketika dimekarkan sebagai kecamatan sendiri dengan nama
Kecamatan Kepulauan Pongok.

Link Youtube :

https://www.youtube.com/watch?v=T9yVU5rNX1Q

https://www.youtube.com/watch?v=ABkLkkZGV8s

https://www.youtube.com/watch?v=4e7c4zN1laI

https://www.youtube.com/watch?v=aW1Yk0dKEwU&t=69s
2. Pulau Pongok

Pulau Pongok, kadang dikenal sebagai Pulau Liat, adalah sebuah pulau yang
merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Pongok di Kabupaten Bangka
Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pulau ini mencakup lebih dari 95%
luas kecamatan dan sebagian besar penduduknya, dengan luas 48,3 km2. Pulau
ini merupakan pulau ke-5 terbesar di provinsi tersebut, jauh lebih kecil daripada
Pulau Bangka dan Belitung di samping Pulau Lepar dan Mendanau.

Pulau yang lebih kecil, Pulau Celagen, di lepas pantai barat pulau tersebut,
memiliki sisa populasi kecamatan. Sebelum pemekarannya pada tahun 2012,
pulau ini merupakan bagian dari Kecamatan Lepar Pongok.

3. Desa Kumbung dan Tanjung Sangkar


Fokus Lokasi lebih spesifik (Desa
Kumbung dan Tanjung Sangkar) ,
sementara

( Alasan memilih lokasi ini daripada daerah lainnya karena masih banyak terdapat kombinasi
antara masyarakat yang tinggal dekat pesisir dan di darat, sedangkan di daerah lain kebanyak sudah
banyak tinggal di darat. Di daerah ini masih banyak terdapat keturunan suku Sekak, sedangkan di
tempat lain kebanyakan hanya pendatang. Selain itu, Suku Sekak disini belum begitu banyak
terekspose oleh media, sangat berbeda suku sawang yang ada di Belitung.)

Tanjung Sangkar dan Kumbung adalah sebuah desa yang terletak di


kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan. Desa yang berada di kepulauan
ini memiliki banyak keanekaragaman didalamnya, hampir mayoritas mata
pencaharian masyarakat dikedua desa ini adalah nelayan dan juga bertani. Karena
kondisi geografisnya yang berhubungan langsung dengan laut, maka mata
pencaharian utamanya adalah nelayan dan juga segala macam kebutuhan penunjang
kehidupan disana didatangkan melalui jalur laut, sehingga faktor utama yang sangat
mereka antisipasi adalah apabila terjadi badai laut yang berkepanjangan karena
tentu saja ini akan menghambat akses kebutuhan tersebut.

Kendati berada pada kondisi geografis yang berhubungan langsung dengan


laut, tidak sedikit juga masyarakat yang ada disana dengan mata pencaharian sebagai
penambang dan juga berkebun. Tercatat ada beberapa tambang tradisional yang
masih tetap aktif digunakan dan ada juga perkebunan sawit, cengkeh dan juga lada
yang dijadikan sebagai aktivitas harian masyarakat disana. Hasil pertambangan dan
juga perkebunan ini nantinya akan mereka jual ke kota untuk selanjutnya disalurkan
lagi kepada yang lebih tinggi, dan mereka mendapatkan upah sesuai dengan tarif
umum harga barang tersebut.
Tanjung Sangkar dan Kumbung merupakan dua desa yang saling
berdampingan, hanya butuh beberapa menit untuk dapat sampai ke kumbung melalu
desa Tanjung Sangkar. Akan tetapi menurut data yang ada Kumbung adalah desa
tertua yang ada di kecamatan Lepar dan Tanjung Sangkar adalah desa termudanya.
Dalam kehidupan masyarakat kumbung masih sangat kental dengan adat istiadat
yang tetap dijunjung tinggi dan juga dilestarikan turun temurun agar anak cucu
mereka tetap mengetahui hal tersebut. Salah satu budaya yang masih dilestarikan
adalah acara adat “Buang Jung” atau sebuah tradisi pembuangan kapal ke laut
sebagai wujud rasa syukur dari masyarakat terhadap hasil laut yang selama ini telah
diberikan kepada mereka, dan juga sebagai upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal
yang tentu saja tidak diinginkan kepada para nelayan pergi kelaut. Tradisi yang
hampir dilaksanakan satu tahun sekali ini selalu saja mendapat dukungan positif baik
dari masyarakatnya, pemuka adat, dan juga unsur-unsur lainnya.

Selain dari segi budaya, mayoritas keseharian ibu rumah tangga disana adalah
mengupas kepiting hasil tangkapan untuk selanjutnya dijual kepasaran. Hal seperti ini
sangat gampang untuk kita temui pada setiap siang dan juga sore hari hampir
disepanjang jalan, dan juga tidak sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai
pembuat kerupuk dari telur kepiting dan juga ikan. hal ini tentu saja dapat dijadikan
sebagai penunjang usaha lokal di desa tersebut, akan tetapi masih kurangnya
perhatian dari pemerintah terhadap wirausaha berbasis lokal menyebabkan
pemasarannya belum begitu maksimal, sehingga perlu adanya pemahaman terlebih
dahulu yang diberikan kepada masyarakat terhadap wirausaha berbasis lokal
tersebut.

D. Calon Narasumber

1. Abriandika Pratama – Peniliti Suku Sekak

Alumni pendidikan Strata 1 dibidang Teknologi Pertanian Universitas Bangka


Belitung (UBB) pada tahun 2010. Selama kuliah di UBB, aktif berkecimpung dalam
organisasi kemahasiswaan, misalnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UBB
periode 2007-2009, serta beberapa organisasi sosial lingkungan seperti Bangka
Goes Green yang kemudian mengantarkannya untuk turut memberikan
kontribusi di Kophi Babel, sembari menjadi seorang konsultan bidang Pengelolaan
Dana CSR dan Lingkungan di beberapa perusahaan. November 2011, Menjadi
Asisten Riset Prof. Dr. Akifumi Iwabuchi, D.Phil (Oxon), merupakan seorang Rektor
di Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT), juga perwakilan
ICOMOS-ICUCH National Delegate for Japan, Director of the Japan Society for
Nautical Research, Director of the (ARIUA) Asian Research Institute of
Underwater Archaeology, dan salah satu anggota UNESCO. Selama hampir dua
tahun, mereka meneliti Suku Sekak (Sekak Tribe) yang bertempat di Kepulauan
Bangka Belitung.

(Link salah satu tulisannya tentang Suku Sekak :


https://babelmendunia.com/2015/09/16/pengalaman-riset-bersama-profesor-
jepang-oleh-abriandika-pratama/)

2. Drs. Akhmad Elvian - Sejarawan

Lahir di Pangkalpinang, tanggal 14 Oktober 1965 merupakan anak kedua dari


delapan bersaudara. Semula namanya adalah Akhmad Yani, diambil dari nama
Jenderal Ahmad Yani yang gugur pada peristiwa G30S PKI. Akan tetapi nama
tersebut kemudian diganti menjadi nama Akhmad Elvian. Sebagian besar orang
mengenalnya sebagai mantan Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
Olahraga Kota Pangkalpinang, tidak jarang pula orang mengenalnya sebagai
penulis buku-buku sejarah dan budaya Kota Pangkalpinang maupun sejarah dan
tradisi yang ada di Pulau Bangka.

(selengkapnya : http://visitbangkabelitung.com/content/drs-akhmad-elvian)

3. Pak Batman – Ketua Adat Suku Sekak daerah Lepar

4. Ibu Bunga – Keturunan Asli

Menurut salah satu sumber, Ibu Bunga merupakan salah satu keturunan suku
sekak asli, sebelumnya ketua adat dari suku sekak di daerah lepar adalah ayah ibu
bunga, tetapi karena ayahnya meninggal, sehingga digantikan oleh pak batman.

5. Kepala Desa

6. Kepala dinas kebudayaan Kabupaten Bangka Selatan/Provinsi Bangka Belitung

7. Beberapa Warga Campuran Suku Sekak dan Warga Pendatang

8. Dll

E. Referensi Lainnya : Buku “Kulek Terakhir”


1. Acara bedah buku

Acara bedah buku diselenggarakan di Perpustakaan Pemerintah Daerah


Beltim, dengan narasumber penulis Buku "Kulek Terakhir" Wahyu Qurniawan, di
moderatori Muklis dan juga tokoh masyarakat dan ketua adat Suku Sawang.
Senin, (18/9/2017).

Penulis menceritakan proses penulisan sampai tertarik untuk mengangkat


masyarakat adat suku Sawang ini. "Ini merupakan inisiasi Lembaga Penelitian
masyarakat (LPM) dari Air Mata Air, lembaga yang mendampingi suku Sawang
Gantong, saya dikontak dari mereka untuk menulis sebuah buku tentang suku
Sawang" ungkap Wahyu, Senin (18/9/2017).

Tujuan menulis buku ini dijelaskannya karena melihat adanya stigma-


stigma negatif oleh orang diluar suku Sawang, dimana banyak yang mengatakan
suku tersebut bajak laut, namun tidak demikian kebenarannya. "Kenyataannya
orang laut (Suku Sawang) pada umumnya lebih cinta damai semisal ada konflik,
suku Sawang lebih baik menghindar," ujar Adi Guna peserta bedah buku sekaligus
pemerhati budaya dari Dinas Budaya dan Pariwisata.

(https://klikbabel.com/2017/09/18/perpustakaan-beltim-bedah-buku-kulek-
terakhir)

*Menurut beberapa sumber, Suku Sawang adalah Suku Sekak, suku sawang lebih merujuk ke suku
suku sekak yang ada di belitung, orang suku sekak lebih senang di sebut suku sawang karena
makna suku sekak selama ini bermakna negatif, yaitu tuli, dikatakan begitu karena zaman dahulu
suku Sekak sering menyelam sehingga membuat pendengaran mereka terganggu.

*Buku ini terbatas, sepertinya hanya ada di perpustakaan daerah Belitung Timur
2. Ringkasan Buku

1) Kulek Terakhir Part 1 - Sebuah Amanah Merawat Eksistensi Kehidupan Suku


Sawang Gantong

Kulek Terakhir
Sebuah Pengantar Sejarah
Suku Sawang Gatong

Oleh Wahyu Kurniawan

Cetakan Pertama, 2016

Penyunting : Mering

Perancang sampul dan isi : Wahyu Kurniawan

Penanggungjawab buku : LPMP Air Mata Air

Diterbitkan oleh

LPMP Air Mata Air

Jl. Flamboyan I. No 112

(eks. Hotel Citra 13 Padang)

RT 04/RW 02 Dusun Urisan Jaya,

Desa Padang, Kecamatan Manggar,

Kabupaten Belitung Timur,

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

a. Daftar Isi
Bab I : Para Penguasa Lautan

Bab 2 : Komplemen Kejayaan Timah

Bab 3 : Pergulatan Hidup di Darat (Kulek Terakhir)

Bab 4 : Kembali ke Pusaran Zaman

Bab 5 : Glosarium

b. Persembahan

Untuk Belitong Bangka dan masyarakat Suku Sawang yang tercerabut dari

laut-semesta rumahnya

2) Kulek Terakhir Part 2 - Penguasa Lautan dan Beragam Testimoni Tentang


Ketangguhan Suku Sawang

a. Bab 1 : Para Penguasa Lautan

Testimoni tentang ketangguhan Orang Laut di Pulau Belitung tidak


usah disangsikan lagi. Sejumlah catatan dalam buku-buku kuno buatan
Belanda menunjukkan bahwa Orang Laut dikenal sebagai pelaut
pemberani dan nelayan yang ulung. Buku Ensiklopedia Hindia-Belanda
terbitan tahun 1896 secara terang-terangan memaparkan ciri fisik dan
karakter Orang Laut di Pulau Belitung. Paparan itu pula yang membuat
citra Orang Laut semakin dikenal luas di kawasan Nusantara maupun
kalangan Eropa.

”Mereka memiliki fisik yang kuat, pelaut pemberani, nelayan yang


unggul, dan pekerja yang kuat,” Ensiklopedia Hindia-Belanda, (1896)
hlm 204.

Kekuatan fisik Orang Laut juga tak sekadar berlaku di lautan, tapi juga
di daratan. Insinyur tambang timah di Belitung Cornelis de Groot
memastikan Orang Laut layak menyandang predikat pekerja yang hebat.
Hanya saja predikat tersebut baru berlaku bila Orang Laut diberikan
kesempatan untuk mengadopsi cara kerjanya sendiri. Cara kerja itu yakni
dengan sistem borongan atau kerja lembur yang menuntut pekerjaan
berlangsung hingga larut malam.
Gambar 1.1. Cornelis De Groot Sumber: Gedenkboek Billiton, 1852-1927/Repro.

”Mereka adalah pelaut yang berani, nelayan yang sangat baik dan
pekerja yang kuat. Mereka juga pantas disebut sebagai pekerja hebat,”
De Groot, (1883) hlm 331

Penilaian De Groot patut jadi perhatian mengingat dirinya adalah


salah satu pionir perusahaan timah Belitung yang berhubungan langsung
dengan Orang Laut. Ia bahkan adalah orang Belanda pertama yang
menggunakan nama Blitong sebagai judul buku. Hal ini setidaknya
menggambarkan bahwa De Groot adalah sosok orang yang sangat
memperhatikan sisi keaslian dalam menulis kebudayaan Belitung.

Orang Laut yang begitu populer dalam sejarah juga menarik perhatian
penulis Indonesia Sutedjo Sujitno. Ia bahkan membuat paparan yang
cukup panjang tentang Orang Laut di Indonesia secara umum. Paparan itu
ditulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timah Indonesia, terbitan
tahun 1996. Disebutkan asal usul Orang Laut berkaitan erat dengan
sejarah rumpun Melayu di semenanjung Malaysia dan Nusantara. Dalam
sejarah diketahui kedatangan ras rumpun Melayu ke wilayah tersebut
berlangsung selama dua gelombang.

Kedatangan gelombang pertama terjadi sekitar 2500-1500 tahun


sebelum masehi (SM). Kala itu orang-orang dari benua Asia datang dan
menyebar ke wilayah selatan seperti semenanjung Malaysia dan
Nusantara bagian barat termasuk Sumatera dan Kepulauan Riau. Mereka
ini yang kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu. Bangsa ini
merupakan pendukung budaya Neolithicum (zaman batu baru). Menurut
Sutedjo, jejak bangsa Proto Melayu masa kini yakni Suku Talang Mamak
dan Suku Laut.
Kedatangan ras rumpun Melayu gelombang kedua berlangsung dalam
periode sekitar 300 SM. Rombongan gelombang kedua ini dikenal dengan
sebutan Deutro Melayu. Sekarang mereka menjadi mayoritas penduduk
Riau dan dikenal dengan sebutan Melayu Riau.

Di antara rombongan gelombang kedua itu, terdapat kelompok yang


dinamai Orang-Orang Perahu. Kedatangan mereka berlangsung dalam
rentang abad ke-10 sampai abad ke-19 yang dalam publikasi Barat sering
disebut lewat nama Sea Nomads, Nomadic Boat People, atau Boat People.
Secara harfiah sebutan-sebutan itu bisa diartikan Orang Perahu
Pengelana. Berdasarkan cara hidupnya, mereka juga kadang disebut
dengan istilah Sea Gippsies. Para pedagang Portugis menyebut Orang-
orang Perahu ini dengan sebutan Celates.

Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, Orang-orang Perahu itu ditulis


dengan istilah nama Orang Laut. Penyebutan Orang Laut ini merujuk pada
penamaan yang berlaku di dalam masyarakat lokal. Terdapat pandangan
umum tentang asal muasal kedatangan Orang Laut. Pandangan itu
menyebutkan bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai
besar ke pantai. Pandangan ini kemudian mengarahkan dugaan bahwa
Orang Laut pada awalnya adalah orang-orang sungai. Hal ini merujuk pada
catatan sejarah yang menyatakan bangsa-bangsa yang hidup di sekitar
Laut Cina Selatan menamakan dirinya ’Putra-putra Sungai’. Maka dapat
dilihat bahwa Orang Laut adalah sebuah komunitas yang mampu hidup
dalam tiga lingkungan yang berbeda, yakni laut, sungai, dan daratan. Fisik
yang kuat juga membuat Orang Laut begitu andal ketika masuk ke dalam
dunia bawah air.

Kemampuan hidup di tiga lingkungan sekaligus membuat Orang Laut


tampak secara alamai memiliki kemampuan bak atlet. Sebab pada
umumnya mereka adalah para perenang yang mahir dan juga unggul
sebagai penyelam. Mereka membuat perahunya dengan tangan sendiri,
kemudian melengkapi diri dengan peralatan tangkap ikan dan senjata
untuk berburu binatang.

Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, Orang Laut tak diragukan


lagi adalah ’penguasa lautan’ yang sesungguhnya. Namun kekuatan yang
dimilikinya itu tak lantas membuat Orang Laut jadi kaum yang agresif dan
menjadi kelompok penakluk bagi suku lain di sekitarnya. Sebab sudah
menjadi pendapat umum para peneliti dan penulis di seluruh dunia
bahwa Orang Laut pada hakikatnya adalah komunitas yang cinta damai.
Secara umum Orang Laut di Indonesia tersebar di berbagai daerah
seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian timur, Kalimantan,
Sulawesi, Flores. Catatan tentang sebaran Orang Laut ini dimuat dalam
buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z karya M. Junus
Melalatoa yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995.
Di berbagai kawasan perairan tersebut terdapat pula sub-kelompok Orang
Laut yang disebut Orang Bajau atau Bajo, orang Muara, dan Orang Ameng
Sewang.

Nama terakhir yakni Orang Ameng Sewang dalam buku itu disebut
sebagai nama lain dari Orang Laut di Pulau Belitung. Menurut Junus,
kelompok Orang Ameng Sewang bisa dijadikan salah satu contoh untuk
mengenali pola kehidupan sosial budaya Orang Laut secara keseluruhan.
Sebab Orang Laut Pulau Belitung dianggap sudah menghuni laut dan
pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka dan Belitung sejak berabad-abad
lamanya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa Orang Laut di pulau
Belitung adalah representasi dari komunitas Orang Laut di Indonesia.
Orang Laut juga disebut-sebut oleh para ahli sebagai sisa turunan nenek
moyang bangsa Indonesia. Karena itu mereka dinilai masuk dalam
kategori Melayu Tua (Proto Melayu) dan bahasanya juga masih berdialek
Melayu.

”Dilihat dari latar belakang asal usul mereka, para ahli


mengkategorikan Orang Laut sebagai sisa turunan nenek moyang
Bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari daratan Benua Asia
sekitar 2500-1500 Sebelum Masehi,” M. Junus, (1995) hlm 459.

Penggunaan istilah ‘Orang Ameng Sewang’ sepertinya perlu dikaji lagi.


Sebab, sejauh ini penulis tidak menemukan keterangan mengenai
penggunaan nama tersebut dalam komunitas Orang Laut di pulau
Belitung.

Satu refrensi yang bisa digunakan yakni lewat diktat terbitan Dinas
Pariwisata Kabupaten Belitung tahun 1987 yang berjudul ’Mengenal
Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung’. Diktat
tersebut ditulis oleh Asin Bahari, sesepuh Suku Laut di Pulau Belitung yang
ternama karena berhasil menduduki posisi staf di Kantor Pusat
perusahaan timah di Tanjungpandan.

Tampak jelas Asin Bahari di dalam paparannya tak sekalipun


menggunakan kata Ameng Sewang. Nama yang digunakannya yakni, kalau
tidak Suku Laut, Orang Laut, atau Sawang.
Sesepuh Suku Sawang Gatong Udin (76) mengatakan, kata Ameng
dalam Bahasa Laut memiliki arti ’orang’ dan Sawang artinya laut1. Jadi
Orang Laut bisa pula disebut Ameng Sawang. Sedangkan kata ’Sewang’
dalam Bahasa Laut memiliki arti ’uang 10 sen’.

Wawancara, Selasa 16 Agustus 2016 sore di Kampong Laut, Desa


Selingsing. Pada waktu yang sama, wawancara juga dihadiri oleh tiga
sesepuh Suku Sawang Gantong yakni Kati, Tis, Maisina.

Dalam sejumlah literatur berbahasa Belanda juga tak pernah muncul


kata ’Sewang’ sebagai nama dari komunitas Orang Laut di pulau Belitung.
Setidaknya hal itu berlaku pada literatur terbitan abad ke-19 maupun awal
abad ke-20 masehi.

Secara umum, asal usul Orang Laut di pulau Belitung belum diketahui
secara pasti. Generasi tua seperti Asin Bahari bahkan hanya bisa membuat
dugaan berdasarkan tradisi yang tampak pada Orang Laut di pulau
Belitung.

”Sepanjang sejarah yang telah berjalan selama ini, belum ada yang
dapat memastikan, dari mana sebenarnya asal usul orang-orang Suku Laut
ini namun berdasarkan kenyataan yang melekat pada mereka mungkin
sekali dahulunya berasal dari Kepulauan Sulu di Mindanau Filipina
Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan adat istiadat serta tata
cara hidup bentuk rupa yang mirip dengan suku bangsa yang mendiami
pulau-pulau di lautan teduh tersebut,” Asin Bahari, 1987.

Dugaan Asin, Orang Laut keluar dari Kepulauan Sulu karena mengikuti
instingnya sebagai suku pengembara di lautan. Jalur perpindahan mereka
menelusuri teluk dan tanjung dari Brunei ke Kalimantan Utara kemudian
terus menyebrang ke Semenanjung Malaysia.

Dari semenanjung Malaysia kemudian menyebar lagi ke pulau-pulau di


Kepulauan Riau terus ke selatan sampai menuju Bangka dan Belitung.
Dugaan Asin ini juga merujuk pada cerita yang mengatakan bahwa nenek
moyang Orang Laut Belitung datang dari Johor Malaysia. Cerita itu dibalut
dengan kisah perjuangan heroik melawan bangsa Eropa.

”Pada waktu Bangsa Portugis menyerang tanah Melayu, orang-


orang laut turut berperang sebagai angkatan laut kerajaan Melayu
pada saat itu. Mereka dipimpin oleh seorang Panglima kerajaan,
melawan angkatan laut Portugis di perairan Malaya,” Asin Bahari,
1987.

Namun mereka menderita kekalahan sehingga terpisah dari para


pimpinannya. Akibatnya orang-orang laut tercerai berai di lautan luas dan
akhirnya menetap di pulau-pulau sekitar Malaysia dan Riau. Oleh Orang
Laut di Belitung, mereka disebut dengan istilah Orang Lingga.

Pada sisi lain, terdapat pula cerita dengan versi yang berbeda. Namun
kisahnya sama-sama berlatar kerajaan Melayu. Dikisahkan pada suatu
ketika seorang Panglima Tanah Melayu telah membunuh rajanya.
Panglima tersebut dendam lantaran istrinya dipenggal oleh sang raja.
Setelah membunuh raja, sang Panglima kemudian membawa Orang Laut
menyingkir dari daratan. Panglima tersebut menjadikan Orang Laut
sebagai laskarnya dan menyebrang ke arah selatan.

Dalam pelariannya itu, sang Panglima dan Orang Laut terpisah karena
dihantam angin ribut. Sebagian mereka terdampar di sekitar Kepulauan
Riau, Pulau Bangka, dan Belitung. Sejak itu Pulau Belitung dihuni oleh dua
komunitas sosial yakni Orang Laut dan Orang Darat. Orang Laut bertahan
hidup sebagai nelayan. Sedang Orang Darat yang oleh Belanda disebut
dengan istilah Billitonezen memenuhi kebutuhan hidup secara berladang.

Gambar 1.2. Keterangan foto ini hanya ditulis ’Mendayung dengan kaki’. Namun ada
kemungkinan 2 nelayan dalam foto ini adalah Orang Laut karena perahu yang digunakan mereka
mirip Kulek, perahu khas Suku Sawang yang biasa juga disebut Prauwok. Sumber: Gedenkboek
Billiton, 1927.

3) Kulek Terakhir Part 3 - Suku Sawang Gantong Sempat Dicap Sebagai


Kelompok Bajak Laut
*Lanjutan Bab I Para Penguasa Lautan

Lewat paparan sebelumnya, Orang Laut masih dikenal sebagai


kelompok yang baik dan unggul secara fisik maupun kemampuan melaut.
Namun kita juga tidak bisa menutupi sejumlah catatan lain yang mencap
Orang Laut dengan citra negatif.

Gambar 1.3. Keterangan asli foto ini hanya ditulis ’Para Nelayan’. Lokasi foto ini diketahui
berada di daerah Tanjung Binga. Karena itu kemungkinan nelayan yang dimaksud berasal dari
para nelayan Melayu Belitong. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.

Dalam buku Sejarah Timah Indonesia disebutkan bahwa banyak dari


Orang Laut yang menjadi perampok. Hal itu terjadi karena pengaruh dari
orang-orang daratan yang tinggal di desa-desa. Pengaruh orang-orang daratan
kemudian mengubah Orang Laut menjadi pembuat perahu perang yang lebih
besar. Kapal itulah yang digunakan untuk menyerang kapal-kapal barang.

Secara ekonomi Orang Laut akhirnya beradaptasi dan sangat


bergantung pada kelompok-kelompok penguasa yang lebih kuat. Orang Laut
seperti masuk perangkap dan diperalat untuk menjadi bajak laut.
Pemanfaatan itu tak lepas karena Orang Laut adalah para pendayung yang
kuat dan dianggap sebagai prajurit perang yang tangguh.

Sifat-sifat Orang Laut itu telah menarik perhatian para penguasa-


penguasa untuk mempekerjakan mereka sebagai orang upahan guna
melakukan pembajakan di laut. Pada waktu itu perairan Riau dikuasai oleh
penguasa-penguasa Johor, Bintan, serta Lingga. Para penguasa ini kemudian
mengorganisir Orang Laut dalam berbagai aksi perompakan di laut.

Hubungan antara penguasa Melayu dan Orang Laut kemudian disebut


sebagai penyebab munculnya bajak laut di perairan pantai timur Sumatera,
perairan Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, dan Belitung. Perampokan kala itu
sudah berkembang seperti corak kehidupan.

Pionir perusahaan timah Belanda John Francis Loudon dalam bukunya


yang diterbitkan tahun 1883 juga memberikan sesi khusus untuk Orang Laut
di Belitung. Salah satu perhatiannya yakni latar masa lalu Orang Laut.

Loudon mengaku mendengar sendiri penuturan Orang Laut Belitung


tentang aksi perompakan yang sudah mereka lakukan. Penuturan itu ia
peroleh sewaktu dalam perjalanan laut menyusuri bagian selatan Pulau
Belitung. Cerita ini memberikan pandangan lain bahwa ternyata yang menjadi
sasaran bukan hanya kapal-kapal Eropa, tapi juga Cina. Dalam cerita itu Orang
Laut mengaku pernah merompak sebuah wangkang asal Cina yang terdampar
di Pulau Embasar. Sayang tak disebutkan alasan Orang Laut merompak
wangkang tersebut. Akhirnya kutipan Loudon menimbulkan kesan bahwa aksi
Orang Laut itu murni sebagai sebuah tindakan kriminal. Bahkan kutipan itu
membuat citra Orang Laut tampak seperti sosok bajak laut yang sadis.

”Sepanjang perjalanan ini para Sekah menceritakan berbagai cerita


mengenai pembajakan laut pada masa lalu. Mereka menunjuk arah
tidak jauh dari Pulau Embasar, selatan dari Pulau Belitung, ada tempat
dalam dan penuh penuh pasir di mana sebuah Wangkang Cina
terdampar beberapa tahun yang lalu yang oleh mereka dengan Sekah-
sekah lain dirampok dan lalu satu per satu awaknya dibunuh. Menurut
mereka air laut sekitar kapalnya merah karena darah,” John Francis
Loudon. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan
Budaya Mukti (Tanjungpandan, 2015), hlm. 54.

Reputasi buruk Orang Laut sebagai bajak laut sudah dikenal oleh
Belanda sejak lama, jauh sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung, 28 Juni
1851. Hal ini tergambar dalam buku karya seorang dosen sejarah kolonial
dari Universitas Amsterdam, Belanda DR. F.W. Stapel yang diterbitkan tahun
1938.

Dalam buku Stapel disebutkan seiring munculnya pemberontakan di


Palembang dan Bangka kurun tahun 1818-1820, perhatian Belanda terhadap
Belitung bisa dikatakan hilang. Yang Belanda ketahui pada masa itu Belitung
adalah ’sarang Lanun’ karena kelompok perompak Lanun berkerjasama
dengan Orang Laut untuk melakukan aksi teror. Aksi tersebut bahkan sudah
dianggap sudah begitu nekat karena berani mendarat hingga ke Pulau Bangka
pada tahun 1820 untuk merampas timah-timah simpanan Pemerintah
Belanda di Batu Rusa.
Melihat kejadian tersebut, Pemerintah Hindia- Belanda mau tidak mau
harus kembali memberikan perhatiannya pada Pulau Belitung. Tugas
pendudukan Pulau Belitung itu kemudian diserahkan kepada Mayor De Kock
dan dilaksanakan pada tahun 1821 berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal
Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1

”Maka sebaiknya dilakukan dengan cara yang lain ialah mendekati


mereka (penduduk Belitung) dengan cara yang halus dan supaya juga
diminta bantuan kerjasama dengan orang-orang Siekapas (orang2
Sekah) yang tinggal di pantai2, supaya mereka meninggalkan
pekerjaan2 dengan cara merampas dan merompak,” Willem Stapel
(1938) hlm. 46-49, terjemahan Abu Hasan (1983) hlm. 12-14. Buku ini
merupakan salah satu refrensi penting dalam mengenali jejak Orang
Laut sebelum masa Loudon tiba di Pulau Belitung.

Dalam Resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1


Pemerintah memandang penting untuk tidak lagi menggunakan cara
kekerasan dalam menduduki Pulau Belitung karena cara itu dipandang tidak
memberikan hasil. Namun cara halus yang dimaksud tidak diterapkan
secara baik sehingga Belanda gagal mengambil hati Orang Laut. Kondisi ini
membuat Belanda akhirnya melakukan pendekatan militer yakni mengirim
prajurit sebanyak satu batalion pada tahun 1822.

Menurut J. F Loudon, pada tahun 1822 ini, hubungan Orang Laut dan
Lanun terputus, yang semula berteman kemudian jadi bermusuhan. Meski
begitu, Pemerintah Hindia-Belanda tetap menyakini bahwa Orang Laut masih
terlibat dalam sejumlah aksi perompakan hingga ke laut Jawa, baik secara
mandiri maupun di bawah pengaruh penguasa pribumi.

Pada tahap ini perlu kembali kita melihat modus perompakan yang
dilakukan dari masa ke masa di perairan Sumatera hingga Belitung. Karena
secara umum, aksi tersebut ikut menyeret nama Orang Laut sebagai garda
terdepan.

Bagi penulis, hal ini juga menyangkut soal sudut pandang. Berbagai
sumber yang tersedia hingga saat ini sebagian besar adalah warisan era
kolonial dan ditulis oleh para penulis-penulis Belanda.

Pada era kolonial, pemerintahan Belanda sangat mungkin mengangap


semua pergerakan yang mengganggu aktivitas mereka sebagai sebuah aksi
kriminal. Namun bagaimana bila aksi tersebut dilihat dari sudut pandang
bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk pula oleh para punggawa Orang Laut.
Apa yang menjadi buah pikiran Sutedjo Sujitno dalam catatan akhir di
bukunya Sejarah Timah Indonesia bisa menjadi bahan rujukan. Palembang,
Bangka, dan Belitung sejak berabad-abad dikenal sebagai sarang Bajak Laut
yang menguasai perairan Sumatera hingga Laut Cina Selatan. Tumbuhnya
kelompok-kelompok Bajak Laut disebabkan karena faktor alam yang memang
memungkinkan. Ribuan pulau kecil dan perairan dangkal membuat kawasan-
kawasan pantai menjadi rentan terhadap kejahatan. Namun pada
perkembangan selanjutnya pada awal abad ke-17, terdapat perubahan motif
dari aksi para kelompok bajak laut tersebut. Ketika itu para pedagang Eropa
datang ke Nusantara dengan semangat kolonialisme dan sistem monopoli
dalam perdagangannya.

Kedatangan pedagang Eropa menjadi pemicu munculnya semangat


anti-kolonialisme di seputaran pantai Sumatera hingga Laut Cina Selatan.
Orang Laut yang berada dalam pengaruh kerajaan-kerajaan Nusantara ikut
ambil bagian dalam semangat pergerakan anti-kolonialisme tersebut. Jadi bisa
dikatakan, pembajakan yang dilakukan tidak sepenuhnya bermotif kriminal,
tapi lebih kepada sebuah pergerakan perjuangan untuk mengusir pedagang
Eropa dari bumi Nusantara. Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, Sutedjo
menyodorkan gagasan bawah pergerakan itu sangat mungkin menjadi bentuk
perlawanan pertama bangsa Nusantara melawan penjajahan asing.

Gagasan ini setidaknya memberikan kita peluang untuk menduga


bahwa aksi Orang Laut dalam peristiwa pembajakan itu mungkin saja sebagai
bentuk perjuangan. Asumsi sederhana mengenai dugaan itu yakni belum
adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa untuk mengikuti aksi
pembajakan kapal-kapal pedagang Eropa.

Orang Laut disebut hanya terpengaruh oleh masyarakat yang lebih


maju, yang merujuk pada komunitas kerajaan-kerjaan di Nusantara. Tidak ada
kalimat yang menyatakan masyarakat yang lebih maju memaksa Orang Laut
untuk melakukan pembajakan. Terpengaruhnya Orang Laut masih bisa kita
artikan secara luas. Bisa saja mereka terpengaruh karena kurangnya
wawasan. Namun bukan tidak mungkin pula mereka terpengaruh karena
dorongan secara mandiri dari dalam hati. Dorongan itu mungkin juga muncul
karena Orang Laut merasa ikut terancam oleh dominasi pedagang Eropa dan
bisa pula karena solidaritas antar masyarakat Nusantara. Solidaritas Orang
Laut juga bukannya tanpa alasan. Sebab dari cerita turun temurun Orang Laut
menyakini bahwa mereka adalah bagian dari komunitas besar di
semenanjung Malaysia dan Kepulauan Riau.

”Ada cerita yang mengatakan, bahwa sebelum menyebar di perairan


Kepulauan Riau, Bangka, dan Belitung, orang laut itu adalah penduduk
pantai sepanjang Semenanjung Tanah Melayu, terutama menurut
cerita nenek mereka datang dari Johor Malaysia,” Asin Bahari

Lihat juga headline Pos Belitung, Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu.
Minggu 12 Januari 2014. Orang Juru yang hidup berdampingan dengan Orang
Laut di Desa Juru Seberang juga mengaku nenek moyang mereka dari Johor.
Bahasa mereka berbeda dari Orang Laut tapi sepintas terdengar mirip. Karena
kemiripan bahasa itu Orang Juru seringkali dianggap sama seperti Orang Laut.

Sekilas Tentang Lanun

John F. Loudon mengatakan, sebelum tahun 1822 Orang Laut di


Belitung memiliki hubungan erat dengan bangsa Lanun. Dalam sejarah,
bangsa Lanun dicitrakan sebagai kelompok bajak laut yang ganas dan
menguasai perairan timur Sumatera hingga barat Pulau Kalimantan.

Seperti halnya Orang Laut, kita juga harus memberi ruang pada sudut
pandang lain berkenaan dengan aksi bangsa Lanun. Sebab terdapat sejumlah
catatan lain yang menunjukkan bahwa aksi bangsa Lanun merupakan sebuah
aksi heroik melawan kolonialisme pedagang-pedagang Eropa.

Dampier berkesempatan tinggal bersama bajak laut Lanun pada kurun


tahun 1686-16875. Menurutnya, dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Lanun
tidak menunjukkan kecendrungan watak bajak laut. Bangsa Lanun malah
dinilai sebagai komunitas yang cinta damai dan hidup tentram. Sutedjo
Sujitno, Sejarah Timah Indonesia (Jakarta,1996), hlm. 116.

Lalu apa yang menyebabkan mereka berubah menjadi kelompok bajak


laut yang ganas? Jawabannya ternyata adalah rasa anti pati mereka terhadap
sikap ketamakan orang Eropa yang datang berdagang di Asia Tenggara.
Sebelum pedagang Eropa datang, bangsa di kawasan Asia Tenggara
berdagang dengan Cina dalam suasana tentram dan saling menghargai serta
saling menguntungkan. Demikian juga yang terjadi ketika perdagangan
berlangsung dengan orang-orang dari India.

Kemudian datang kelompok pedagang asal Portugis dan disusul


Belanda dengan pola mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola itu
dilaksanakan lewat cara memaksakan hak monopoli dan menekan para
penguasa di semenanjung Malaysia untuk menerima harga yang mereka
tentukan sendiri. Melihat keadaan itu, bangsa Lanun mencari jalan keluar dari
tekanan dan kesewenang-wenangan pedagang Eropa. Sebab, bangsa Lanun
pada dasarnya adalah bangsa yang memiliki harga diri yang tinggi. Mereka
mengenal benar apa arti kemerdekaan dan kedaulatan.

Bangsa Lanun yang dicap sebagai bajak laut itu berasal dari Filipina,
tepatnya dari teluk Lano di Pulau Mindanau. Sampai tahun 2015, masyarakat
Belitung setidaknya hanya mengenal istilah Lanun. Demikian juga halnya
dalam buku Sejarah Timah Indonesia. Literatur barat menyebut mereka
Illanun. Padahal, semua istilah itu sejatinya adalah Iranun.

Datu Jamaluddin Datu Moksan, MA dari Bidang Sejarah Maritim


Universitas Malaysia, Sabah membuat tulisan singkat mengenai asal muasal
penamaan Lanun dan cap bajak laut terhadap bangsa Lanun. Menurutnya,
nama Lanun muncul seiring isu bajak laut dan perdagangan budak yang tulis
oleh para sarjana dan pegawai Eropa. Isu itu ditulis berdasarkan sudut
pandang dek kapal perang Barat, bukan dari sudut pandang orang Timur.
Latar tulisannya tentu juga diambil dari perseteruan bangsa Spanyol dengan
Iranun di Fillipina maupun hasil ekspedisi bangsa Belanda dan Inggris.

Isu berat sebelah dan cendrung memihak bangsa Eropa itu kemudian
dimanfaatkan oleh Sir Stamford Raffles dan James Brooke untuk
mempengaruhi bangsa Melayu. Keduanya melancarkan propaganda yang
menyebutkan bahwa aksi perlawanan Lanun sebagai tindakan keji dan
pemenuhan tenaga buruh oleh bangsa Lanun sebagai perdagangan budak.
Anne Reber (1966) mendapati tulisan Sir Stamford Raffles sebagian besar
harus bertanggungjawab karena telah menghasilkan ’decay theory’ yang
menyebabkan gambaran sangat buruk tehadap citra orang Iranun.

”Tindakan ini telah menyebabkan Iranun dipanggil Lanun atau Pirate


dalam sejarah Asia Tenggara pada abad ke 18. Propaganda Raffles dan
Brooke telah berjaya menggambarkan dunia alam Melayu bahawa
Iranun sebagai musuh nombor satu di laut Nusantara,” Datu
Jamaluddin

Pada tahun 2015, tiga orang keturunan Lanun berkunjung ke Belitung


dan menjelaskan nama mereka yang sebenarnya. Tiga orang asal Sabah
Malaysia itu yakni Hakim Adat OKK Haji Masrin HJ. Hassin beserta anaknya
Iskandar, dan seorang wartawan senior Abd. Naddin HJ. Shaiddin. Mereka
mengatakan, Lanun yang dimaksud dalam sejumlah literatur dan cerita turun-
temurun di Belitung sebenarnya adalah Iranun. Sedangkan bangsa barat
mengenal mereka dengan nama Illanun.

Pada tahun 2016, tiga orang keturunan Lanun itu kembali ke Belitung
dalam jumlahnya yang lebih banyak yakni sekitar 33 orang, termasuk tiga
orang perwakilan dari Fillipina. Mereka datang untuk menjalin silaturahmi
dengan keturunan Lanun yang tersisa sekaligus mengklarifikasi sejarah
mereka yang sebenarnya.

Gambr 1.4 Keturunan Iranun dari Sabah dan Filipina berfoto bersama Bupati
Belitung Sahani Saleh, 25 April 2016 di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber:
Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.

Jumlah warga keturunan Iranun di Pulau Belitung pada tahun 2016


diperkirakan sebanyak 2000 jiwa. Bahkan akhirnya terungkap Bupati Belitung
Sahani Saleh (Sanem) dan istri Wakil Bupati Belitung Gunawati Erwandi A.
Rani adalah bagian dari keturunan mereka. Pengakuan Sanem dan Erwandi
itu dimuat di belitung.tribunnews.com pada 25 April 2016 dan 13 Juli 2016.

Profesor Ali P.Laguindab, Ph.d dari Universitas Negeri Mindanao,


Fillipina juga hadir dalam kunjungan silaturahmi Iranun ke Belitung. Dalam
presentasinya ia mengatakan, bangsa Iranun setidaknya sudah sudah
memeluk Islam sejak abad ke-14. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendirian
madrasah dan masjid di Simunul, Tawitawi, Sulu pada tahun 1380.

Pada masa-masa mendatang perlu dibuat satu kajian khusus tentang


kaitan Iranun dan Belitung. Sebab refrensi mengenai kaitan tersebut masih
sangat terbatas. Penting sekali menggali kaitan ini karena sejumlah tempat di
Belitung memiliki kisah berlatarkan Lanun. Sebaran kisahnya juga merata,
mulai dari daerah pesisir sampai ke pedalaman Pulau Belitung.
Gambar 1.5. Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d. Sumber: Dokumentasi Wahyu
Kurniawan, 2016.

“Since the coming of the Spaniards in the 1600 to the present the Iranun in
the Philippines has sustained five long centuries of continuous wars against
the enemies of Islam, against colonialism, against oppression and for self-
determination in preservation of our homeland for Islam and our posterity,”
Profesor Ali P. Laguindab

Kedatangan keturunan Lanun ke Belitung dengan semangat


kekeluargaan harus menjadi bahan renungan. Bagi penulis, peristiwa ini bisa
jadi adalah sebuah pengulangan sejarah yang mempertegas kisah di masa
lampau yang mengatakan betapa dekatnya bangsa Lanun dan Pulau Belitung.

Gambar 1.6. Kapal Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.
Gambar 1.7. Kelinangan. Ini adalah kesenian bangsa Iranun yang ditampilkan di Hotel Grand
Hatika Tanjungpandan, Belitung. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.

Kesatria Iranun/Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.

Sumber Rangkuman : http://belitung.tribunnews.com

Anda mungkin juga menyukai