2. Korban Kebijakan
Sesepuh orang Sekak, Wak Jem (74), menyebutkan, tidak banyak yang
bisa disebut orang Sekak asli. Orang Sekak asli adalah mereka yang lahir dari ayah
dan ibu Sekak. Sejak kebijakan tinggal di darat diberlakukan pemerintah pada
pertengahan decade 1980-an, orang Sekak menikah dengan orang dari suku-suku
lain.
Batman, misalnya, menikah dengan orang Melayu Bangka. Sumardi,
keponakan Batman, menikah dengan orang Melayu Belitung. “Hasil penelitian
saya menunjukkan hanya ada 120 keluarga Sekak di seluruh Babel. Saya juga
menemukan hanya 50 orang yang sudah berusia di atas 50 tahun dapat berbicara
bahasa Sekak. Sisanya berbicara dengan bahasa Melayu Bangka atau Belitung,”
ujar Iwabuchi.
Hasil penelitiannya juga menemukan jumlah orang Sekak terus merosot.
Orang-orang Sekak banyak tak punya anak. Tidak diketahui pasti mengapa hal itu
terjadi. “Harus ada riset lebih jauh setidaknya oleh antropolog biologi,” ujarnya.
Diduga hal itu dipicu pernikahan dengan kerabat dekat. Karena jumlahnya
semakin merosot dan ada tuntutan harus membentuk keluarga asli, orang Sekak
menikah dengan kerabat-kerabat dekat. Dalam banyak studi disebutkan
pernikahan seperti ini bisa menghasilkan keturunan yang tidak sempurna. “Ini
hanya dugaan, dan tidak didukung bukti ilmiah,” ujarnya.
Hal yang jelas, Akifumi menemukan fakta jumlah orang Sekak terus
merosot. Ia tidak yakin akan bisa meriset kehidupan orang Sekak jika
melakukannya 10 tahun mendatang. “Tidak banyak lagi orang tahu soal adat
istiadat orang Sekak. Pemuda-pemuda Sekak bahkan tidak bisa berbicara bahasa
Sekak,” tuturnya.
Saat ini, hanya Wak Jem yang benar-benar paham adat istiadat Sekak. Ia
tahu detail rincian ritual orang Sekak, mantra-mantra yang dibutuhkan, serta
masih fasih berbahasa Sekak. Sementara, Batman hanya tahu lagu-lagu
tradisional Sekak. Ia memang berusaha mempertahankan kebudayaan Sekak
dengan membuat lagu-lagu baru dalam bahasa Sekak. “Saya membuat 28 lagu
baru,” tuturnya.
3. Keracunan Identitas
Persoalan orang Sekak bukan hanya penurunan tajam populasi. Mereka
juga menghadapi kerancuan identitas. Sebagian menyebut dirinya sebagai orang
Sawang. Sebagian lagi bertahan dengan sebutan orang Sekak. Sebutan Sekak
diakui berkonotasi negatif. Ada yang berpendapat sebutan itu pelesetan dari kata
Pekak atau tunarungu. Karena terlalu banyak menyelam, pendengaran orang
Sekak terganggu.
Lalu pada dekade 1960-an, Sobron Aidit membuat catatan soal orang
Sekak. Adik DN Aidit itu menyebut mereka sebagai orang Sawang. Sebutan itu
bertahan sampai beberapa puluh tahun kemudian. Batman termasuk salah
seorang yang lebih suka disebut Sawang dibandingkan Sekak. Sementara, Wak
Jem yang terhitung sebagai paman Batman lebih suka menyebut diri sebagai
orang Sekak. Demikian pula Menan, kepala suku Sekak di kampung Juru
Seberang. Sementara anaknya, Naskah, lebih sering memperkenalkan diri sebagai
orang Sawang. “Saya tidak menemukan rujukan ilmiah yang menyebut orang
Sawang. Kalau buku tentang orang Sekak, ada walau tidak banyak. Kata Sawang
tidak bermakna lebih baik dari Sekak. Sebab, Sawang lazim berarti kotoran hitam
di dinding rumah,” tutur Iwabuchi.
Orang Sekak juga makin kehilangan identitas sebagai orang laut.
Kehilangan itu menjadi kian meningkat sejak adanya kebijakan pemerintah yang
mewajibkan masyarakat tinggal di darat. Sebelum kebijakan itu dikeluarkan
pemerintah, orang Sekak tinggal di perahu yang disebut kolek. Perahu yang rata-
rata selebar 2 meter dan panjang 10 meter itu adalah rumah bagi keluarga orang
Sekak. “Sebelum tinggal di parak (rumah panggung) seperti sekarang, saya tinggal
di kolek. Rasanya sudah lebih dari 20 tahun saya tidak pernah melihat kolek,” ujar
Wak Jem.
Dengan kolek, mereka hanya sesekali ke darat. Biasanya untuk mencari air
tawar jika lama tidak hujan. Untuk makanan, mereka bisa menyantap apa saja
yang didapat dari laut.
Setelah kebijakan tinggal di darat, orang Sekak perlahan mengganti kolek
dengan perahu bermesin. Dengan perahu mesin, waktu berada di laut lebih
singkat. Tak ada lagi orang Sekak yang melaut selama berbulan-bulan. “Ayah
melaut sepekan sampai 10 hari, lalu pulang,” ujar Naskah.
Mereka tidak lagi melaut secara subsisten atau hanya mencari kebutuhan
satu hari. Orang Sekak sudah hidup seperti orang darat yang menginginkan
sepeda motor baru, televisi baru, dan rumah lebih besar.
Saat hasil melaut tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka
pun gampang banting setir untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, sebagian
orang Sekak juga telah bekerja di tambang timah ilegal. Pekerjaan yang
bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Sekak yang bersahabat dengan
alam. Padahal, falsafah itu yang dipegang teguh orang Sekak selama ratusan
tahun, sejak nenek moyang mereka.
(http://budiartoekokusumo.blogspot.co.id/2012/06/suku-sekak-yang-terancam-
punah.html)
B. Kebudayaan
1. Buang Jong
(https://www.viva.co.id/gaya-hidup/travel/940296-buang-jong-ritual-suku-anak-dalam-sebelum-melaut)
Link : https://www.youtube.com/watch?v=-qmoWIzq_z8
1
https://nianovianti2194.wordpress.com/2015/03/16/tari-tradisi-gajah-manunggang-tiara-selatan-bangka-
selatan/
2
https://www.viva.co.id/gaya-hidup/travel/940296-buang-jong-ritual-suku-anak-dalam-sebelum-melaut
Link : https://www.youtube.com/watch?v=asQ66XQLq28
Tarian Gajah Menunggang berasal dari suku Laut (Suku Sekak) yang
bermukim di pesisir Pantai Pulau Lepar Kabupaten Bangka Selatan. Tarian ini
merupakan gambaran bagaimana keadaan perahu-perahu yang dibawa
gelombang laksana menunggang gajah. Secara filosofis Tari Gajah Menunggang
memiliki makna yang mendalam pada tradisi Orang Sekak, antara lain: 3
3
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/2016/11/09/tari-gajah-menunggang-warisan-budaya-takbenda-
indonesia-2016/
1. Pulau Lepar
Pulau Lepar adalah sebuah pulau yang terletak di lepas pantai tenggara Pulau
Bangka. Secara administrasi pemerintahan, pulau ini merupakan bagian dari
Kabupaten Bangka Selatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan
merupakan pulau terbesar ketiga di provinsi tersebut setelah Pulau Bangka dan
Belitung, dengan luas 169 km2. Pualu Lepar terletak di Selat Gaspar yang
memisahkan kedua pulau tersebut. Pulau ini membentang dari timur ke barat
sekitar 22 km dan 17 km dari utara ke selatan, dengan kota-kotanya Tanjunglabu,
Tanjungsangkar, dan Penutuk yang menjadi pusat populasi utama. Pulau ini
diadministrasikan sebagai Kecamatan Lepar Pongok sendiri, yang dulunya
mencakup Pulau Pongok—sebuah pulau berdekatan yang berukuran sedang—
sampai tahun 2012 ketika dimekarkan sebagai kecamatan sendiri dengan nama
Kecamatan Kepulauan Pongok.
Link Youtube :
https://www.youtube.com/watch?v=T9yVU5rNX1Q
https://www.youtube.com/watch?v=ABkLkkZGV8s
https://www.youtube.com/watch?v=4e7c4zN1laI
https://www.youtube.com/watch?v=aW1Yk0dKEwU&t=69s
2. Pulau Pongok
Pulau Pongok, kadang dikenal sebagai Pulau Liat, adalah sebuah pulau yang
merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Pongok di Kabupaten Bangka
Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pulau ini mencakup lebih dari 95%
luas kecamatan dan sebagian besar penduduknya, dengan luas 48,3 km2. Pulau
ini merupakan pulau ke-5 terbesar di provinsi tersebut, jauh lebih kecil daripada
Pulau Bangka dan Belitung di samping Pulau Lepar dan Mendanau.
Pulau yang lebih kecil, Pulau Celagen, di lepas pantai barat pulau tersebut,
memiliki sisa populasi kecamatan. Sebelum pemekarannya pada tahun 2012,
pulau ini merupakan bagian dari Kecamatan Lepar Pongok.
( Alasan memilih lokasi ini daripada daerah lainnya karena masih banyak terdapat kombinasi
antara masyarakat yang tinggal dekat pesisir dan di darat, sedangkan di daerah lain kebanyak sudah
banyak tinggal di darat. Di daerah ini masih banyak terdapat keturunan suku Sekak, sedangkan di
tempat lain kebanyakan hanya pendatang. Selain itu, Suku Sekak disini belum begitu banyak
terekspose oleh media, sangat berbeda suku sawang yang ada di Belitung.)
Selain dari segi budaya, mayoritas keseharian ibu rumah tangga disana adalah
mengupas kepiting hasil tangkapan untuk selanjutnya dijual kepasaran. Hal seperti ini
sangat gampang untuk kita temui pada setiap siang dan juga sore hari hampir
disepanjang jalan, dan juga tidak sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai
pembuat kerupuk dari telur kepiting dan juga ikan. hal ini tentu saja dapat dijadikan
sebagai penunjang usaha lokal di desa tersebut, akan tetapi masih kurangnya
perhatian dari pemerintah terhadap wirausaha berbasis lokal menyebabkan
pemasarannya belum begitu maksimal, sehingga perlu adanya pemahaman terlebih
dahulu yang diberikan kepada masyarakat terhadap wirausaha berbasis lokal
tersebut.
D. Calon Narasumber
(selengkapnya : http://visitbangkabelitung.com/content/drs-akhmad-elvian)
Menurut salah satu sumber, Ibu Bunga merupakan salah satu keturunan suku
sekak asli, sebelumnya ketua adat dari suku sekak di daerah lepar adalah ayah ibu
bunga, tetapi karena ayahnya meninggal, sehingga digantikan oleh pak batman.
5. Kepala Desa
8. Dll
(https://klikbabel.com/2017/09/18/perpustakaan-beltim-bedah-buku-kulek-
terakhir)
*Menurut beberapa sumber, Suku Sawang adalah Suku Sekak, suku sawang lebih merujuk ke suku
suku sekak yang ada di belitung, orang suku sekak lebih senang di sebut suku sawang karena
makna suku sekak selama ini bermakna negatif, yaitu tuli, dikatakan begitu karena zaman dahulu
suku Sekak sering menyelam sehingga membuat pendengaran mereka terganggu.
*Buku ini terbatas, sepertinya hanya ada di perpustakaan daerah Belitung Timur
2. Ringkasan Buku
Kulek Terakhir
Sebuah Pengantar Sejarah
Suku Sawang Gatong
Penyunting : Mering
Diterbitkan oleh
a. Daftar Isi
Bab I : Para Penguasa Lautan
Bab 5 : Glosarium
b. Persembahan
Untuk Belitong Bangka dan masyarakat Suku Sawang yang tercerabut dari
laut-semesta rumahnya
Kekuatan fisik Orang Laut juga tak sekadar berlaku di lautan, tapi juga
di daratan. Insinyur tambang timah di Belitung Cornelis de Groot
memastikan Orang Laut layak menyandang predikat pekerja yang hebat.
Hanya saja predikat tersebut baru berlaku bila Orang Laut diberikan
kesempatan untuk mengadopsi cara kerjanya sendiri. Cara kerja itu yakni
dengan sistem borongan atau kerja lembur yang menuntut pekerjaan
berlangsung hingga larut malam.
Gambar 1.1. Cornelis De Groot Sumber: Gedenkboek Billiton, 1852-1927/Repro.
”Mereka adalah pelaut yang berani, nelayan yang sangat baik dan
pekerja yang kuat. Mereka juga pantas disebut sebagai pekerja hebat,”
De Groot, (1883) hlm 331
Orang Laut yang begitu populer dalam sejarah juga menarik perhatian
penulis Indonesia Sutedjo Sujitno. Ia bahkan membuat paparan yang
cukup panjang tentang Orang Laut di Indonesia secara umum. Paparan itu
ditulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timah Indonesia, terbitan
tahun 1996. Disebutkan asal usul Orang Laut berkaitan erat dengan
sejarah rumpun Melayu di semenanjung Malaysia dan Nusantara. Dalam
sejarah diketahui kedatangan ras rumpun Melayu ke wilayah tersebut
berlangsung selama dua gelombang.
Nama terakhir yakni Orang Ameng Sewang dalam buku itu disebut
sebagai nama lain dari Orang Laut di Pulau Belitung. Menurut Junus,
kelompok Orang Ameng Sewang bisa dijadikan salah satu contoh untuk
mengenali pola kehidupan sosial budaya Orang Laut secara keseluruhan.
Sebab Orang Laut Pulau Belitung dianggap sudah menghuni laut dan
pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka dan Belitung sejak berabad-abad
lamanya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa Orang Laut di pulau
Belitung adalah representasi dari komunitas Orang Laut di Indonesia.
Orang Laut juga disebut-sebut oleh para ahli sebagai sisa turunan nenek
moyang bangsa Indonesia. Karena itu mereka dinilai masuk dalam
kategori Melayu Tua (Proto Melayu) dan bahasanya juga masih berdialek
Melayu.
Satu refrensi yang bisa digunakan yakni lewat diktat terbitan Dinas
Pariwisata Kabupaten Belitung tahun 1987 yang berjudul ’Mengenal
Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung’. Diktat
tersebut ditulis oleh Asin Bahari, sesepuh Suku Laut di Pulau Belitung yang
ternama karena berhasil menduduki posisi staf di Kantor Pusat
perusahaan timah di Tanjungpandan.
Secara umum, asal usul Orang Laut di pulau Belitung belum diketahui
secara pasti. Generasi tua seperti Asin Bahari bahkan hanya bisa membuat
dugaan berdasarkan tradisi yang tampak pada Orang Laut di pulau
Belitung.
”Sepanjang sejarah yang telah berjalan selama ini, belum ada yang
dapat memastikan, dari mana sebenarnya asal usul orang-orang Suku Laut
ini namun berdasarkan kenyataan yang melekat pada mereka mungkin
sekali dahulunya berasal dari Kepulauan Sulu di Mindanau Filipina
Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan adat istiadat serta tata
cara hidup bentuk rupa yang mirip dengan suku bangsa yang mendiami
pulau-pulau di lautan teduh tersebut,” Asin Bahari, 1987.
Dugaan Asin, Orang Laut keluar dari Kepulauan Sulu karena mengikuti
instingnya sebagai suku pengembara di lautan. Jalur perpindahan mereka
menelusuri teluk dan tanjung dari Brunei ke Kalimantan Utara kemudian
terus menyebrang ke Semenanjung Malaysia.
Pada sisi lain, terdapat pula cerita dengan versi yang berbeda. Namun
kisahnya sama-sama berlatar kerajaan Melayu. Dikisahkan pada suatu
ketika seorang Panglima Tanah Melayu telah membunuh rajanya.
Panglima tersebut dendam lantaran istrinya dipenggal oleh sang raja.
Setelah membunuh raja, sang Panglima kemudian membawa Orang Laut
menyingkir dari daratan. Panglima tersebut menjadikan Orang Laut
sebagai laskarnya dan menyebrang ke arah selatan.
Dalam pelariannya itu, sang Panglima dan Orang Laut terpisah karena
dihantam angin ribut. Sebagian mereka terdampar di sekitar Kepulauan
Riau, Pulau Bangka, dan Belitung. Sejak itu Pulau Belitung dihuni oleh dua
komunitas sosial yakni Orang Laut dan Orang Darat. Orang Laut bertahan
hidup sebagai nelayan. Sedang Orang Darat yang oleh Belanda disebut
dengan istilah Billitonezen memenuhi kebutuhan hidup secara berladang.
Gambar 1.2. Keterangan foto ini hanya ditulis ’Mendayung dengan kaki’. Namun ada
kemungkinan 2 nelayan dalam foto ini adalah Orang Laut karena perahu yang digunakan mereka
mirip Kulek, perahu khas Suku Sawang yang biasa juga disebut Prauwok. Sumber: Gedenkboek
Billiton, 1927.
Gambar 1.3. Keterangan asli foto ini hanya ditulis ’Para Nelayan’. Lokasi foto ini diketahui
berada di daerah Tanjung Binga. Karena itu kemungkinan nelayan yang dimaksud berasal dari
para nelayan Melayu Belitong. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Reputasi buruk Orang Laut sebagai bajak laut sudah dikenal oleh
Belanda sejak lama, jauh sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung, 28 Juni
1851. Hal ini tergambar dalam buku karya seorang dosen sejarah kolonial
dari Universitas Amsterdam, Belanda DR. F.W. Stapel yang diterbitkan tahun
1938.
Menurut J. F Loudon, pada tahun 1822 ini, hubungan Orang Laut dan
Lanun terputus, yang semula berteman kemudian jadi bermusuhan. Meski
begitu, Pemerintah Hindia-Belanda tetap menyakini bahwa Orang Laut masih
terlibat dalam sejumlah aksi perompakan hingga ke laut Jawa, baik secara
mandiri maupun di bawah pengaruh penguasa pribumi.
Pada tahap ini perlu kembali kita melihat modus perompakan yang
dilakukan dari masa ke masa di perairan Sumatera hingga Belitung. Karena
secara umum, aksi tersebut ikut menyeret nama Orang Laut sebagai garda
terdepan.
Bagi penulis, hal ini juga menyangkut soal sudut pandang. Berbagai
sumber yang tersedia hingga saat ini sebagian besar adalah warisan era
kolonial dan ditulis oleh para penulis-penulis Belanda.
Lihat juga headline Pos Belitung, Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu.
Minggu 12 Januari 2014. Orang Juru yang hidup berdampingan dengan Orang
Laut di Desa Juru Seberang juga mengaku nenek moyang mereka dari Johor.
Bahasa mereka berbeda dari Orang Laut tapi sepintas terdengar mirip. Karena
kemiripan bahasa itu Orang Juru seringkali dianggap sama seperti Orang Laut.
Seperti halnya Orang Laut, kita juga harus memberi ruang pada sudut
pandang lain berkenaan dengan aksi bangsa Lanun. Sebab terdapat sejumlah
catatan lain yang menunjukkan bahwa aksi bangsa Lanun merupakan sebuah
aksi heroik melawan kolonialisme pedagang-pedagang Eropa.
Bangsa Lanun yang dicap sebagai bajak laut itu berasal dari Filipina,
tepatnya dari teluk Lano di Pulau Mindanau. Sampai tahun 2015, masyarakat
Belitung setidaknya hanya mengenal istilah Lanun. Demikian juga halnya
dalam buku Sejarah Timah Indonesia. Literatur barat menyebut mereka
Illanun. Padahal, semua istilah itu sejatinya adalah Iranun.
Isu berat sebelah dan cendrung memihak bangsa Eropa itu kemudian
dimanfaatkan oleh Sir Stamford Raffles dan James Brooke untuk
mempengaruhi bangsa Melayu. Keduanya melancarkan propaganda yang
menyebutkan bahwa aksi perlawanan Lanun sebagai tindakan keji dan
pemenuhan tenaga buruh oleh bangsa Lanun sebagai perdagangan budak.
Anne Reber (1966) mendapati tulisan Sir Stamford Raffles sebagian besar
harus bertanggungjawab karena telah menghasilkan ’decay theory’ yang
menyebabkan gambaran sangat buruk tehadap citra orang Iranun.
Pada tahun 2016, tiga orang keturunan Lanun itu kembali ke Belitung
dalam jumlahnya yang lebih banyak yakni sekitar 33 orang, termasuk tiga
orang perwakilan dari Fillipina. Mereka datang untuk menjalin silaturahmi
dengan keturunan Lanun yang tersisa sekaligus mengklarifikasi sejarah
mereka yang sebenarnya.
Gambr 1.4 Keturunan Iranun dari Sabah dan Filipina berfoto bersama Bupati
Belitung Sahani Saleh, 25 April 2016 di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber:
Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
“Since the coming of the Spaniards in the 1600 to the present the Iranun in
the Philippines has sustained five long centuries of continuous wars against
the enemies of Islam, against colonialism, against oppression and for self-
determination in preservation of our homeland for Islam and our posterity,”
Profesor Ali P. Laguindab
Gambar 1.6. Kapal Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.
Gambar 1.7. Kelinangan. Ini adalah kesenian bangsa Iranun yang ditampilkan di Hotel Grand
Hatika Tanjungpandan, Belitung. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.