Anda di halaman 1dari 4

Nyadran, Tradisi Syukuran Para Nelayan di Sidoarjo

Sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan laut sebagai penghasilan utama. Tak
hanya ikan, salah satu hasil laut yang sangat melimpah adalah kupang, yakni sejenis kerang
berukuran kecil.

Di Sidoarjo, tepatnya di Desa Balongdowo, terdapat sebuah tradisi unik dan masih lestari
hingga saat ini. Desa Balongdowo terkenal sebagai desa penghasil kupang di Sidoarjo.
Warganya kerap menggelar tradisi satu tahun sekali yang dinamakan Nyadran.

Banyak pendapat yang mengartikan kata Nyadran. Dalam Bahasa Sanskerta ‘sraddha’ berarti
keyakinan. Sedangkan dalam Bahasa Jawa ‘sadran’ berarti ruwah atau syakban. Ruwah adalah
nama salah satu bulan dalam kalender Jawa. Jadi yang dimaksud dengan Nyadran adalah
sebuah keyakinan atau tradisi yang dilakukan saat bulan Ruwah.
Nyadran merupakan upacara adat bagi para nelayan kupang Desa Balongdowo sebagai
ungkapan rasa syukur atas tangkapan hasil laut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nyadran
masuk dalam bagian dari Ruwatan atau tradisi Jawa saat memasuki bulan purnama. Para
peserta meliputi nelayan dan keluarganya.

Diperlukan banyak sesajen dan sejumlah ritual untuk memperlancar jalannya acara. Prosesi
utama Nyadran dilakukan saat malam hari, namun persiapan sudah harus dilakukan sejak pagi
hari.

Biasanya masyarakat Balongdowo melakukan gotong-royong dalam mempersiapkan acara ini.


Para nelayan akan menghias perahu yang digunakan untuk berlayar sehingga memiliki
tampilan cantik. Sementara para wanita menyiapkan makanan untuk keperluan sesaji berisikan
ayam panggang, nasi, dan pisang yang dimasukkan ke dalam tomblok. Mereka juga telah
menyiapkan satu ayam utuh yang telah mati untuk dibawa saat berlayar.

Memasuki ba'da Maghrib, masyarakat mulai berkumpul di rumah para nelayan untuk
melakukan kenduren atau makan bersama diselingi doa agar acara berjalan lancar. Saat
matahari sepenuhnya telah terbenam dan arus sungai sudah tidak terlalu besar, seluruh
peserta siap untuk berlayar. Perahu mengawali perjalanan Bandar Balongdowo dan akan
menempuh jarak sekitar 12 km melintasi rute Klurak, Kalipecabean, Kedungpeluk, dan
Kepetingan (Sawohan).
Selama berlayar, para penumpang di perahu bersorak-sorai dengan melakukan tarian,
menyanyi, dan aktivitas menyenangkan lainnya. Sebagai alat bantu penerangan, setiap perahu
sudah dilengkapi lampu lentera tradisional.

Begitu sampai di Kalipecabean, salah satu peserta diharuskan membuang ayam utuh yang
telah disiapkan tadi. Gunanya untuk berjaga-jaga agar peserta dari anak kecil tidak kesurupan.
Konon, ketika tidak dilakukan prosesi ini, seorang balita yang menjadi peserta acara Nyadran
diyakini bisa mengalami kesurupan.

Usai menempuh perjalanan panjang dan telah sampai di Kepetingan (Sawohan), biasanya
waktu sudah menunjukkan hampir subuh. Semua peserta turun dari perahu dan bergerak
menuju makam Dewi Sekardadu untuk melakukan ziarah, doa, dan sedekah agar keselamatan
dan berkah terus mengalir.

Diketahui, Dewi Sekardadu merupakan seorang dewi yang ditemukan meninggal di sekitar
lokasi Desa Balongdowo. Masyarakat meyakini, sosoknya memberi keberuntungan.
Setelah berziarah, perahu bergerak menuju Selat Madura dan membentuk formasi lingkaran di
tengah laut. Selanjutnya para nelayan dan remaja akan terjun ke laut untuk mandi dan
memperagakan cara mengambil kupang. Puas bermain air, maka selesai pula rangkaian acara
Nyadran di Desa Balongdowo.

Begitu matahari mulai naik, semua peserta Nyadran pulang menuju tempat pemberangkatan
awal. Nantinya para peserta Nyadran disambut sorak-sorai masyarakat yang sudah menantikan
kepulangan mereka dari tepian sungai.

Anda mungkin juga menyukai