Anda di halaman 1dari 2

Tradisi Lomban di Jepara

Perahu nelayan bergerak menuju laut, itu bukan hal baru. Namun hari itu agak berbeda, Puluhan kapal
nelayan beriringan menuju tengah laut, bahkan lebih ramai daripada hari biasa. Mereka bukan hendak
mencari ikan. Mereka mengarak perahu kecil berisi kepala kerbau dan hasil bumi. Perahu ini dibawa ke
tengah laut untuk dilarung. Hari itu masih dalam suasana Lebaran. Tepat sepekan dari hari pertama
perayaan Idul Fitri.

Tradisi Lomban atau Syawalan/Lebaran Ketupat ialah pesta para nelayan di Jepara yang dilaksanakan
pada hari kedelapan atau hari yang sama dengan hari Lebaran. Seluruh pengunjung bakal memadati
Pantai Kartini sebagai salah satu tempat yang dipakai untuk kegiatan Lomban. Tradisi ini ungkapan
syukur masyarakat atas limpahan rezeki. Tak jauh beda, Lomban tahun ini pun digelar seperti tahun
sebelumnya.

Sebenarnya sejak kapan tradisi Lomban bermula? Gambaran tentang tradisi Lomban di Jepara dapat
ditelusuri dari sebuah artikel berjudul Het pada Loemban Feest Te Japara yang berarti Kegiatan Pada
Lomban di Jepara. Artikel itu dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indi (TNI) atau Jurnal Hindia
Belanda yang terbit pada 1868.

"Pesta Lomban Jepara tidak pernah terdengar di tempat lain. Artinya bahwa pada 1868, Lomban di
Jepara adalah satu-satunya pesta Lomban di pesisir pantai," jelas sejarawan Universitas Diponegoro Dr
Alamsyah.

Lebih lanjut dalam artikel berjudul Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara: Studi Komparasi Akhir Abad
Ke-19 dan Tahun 2013, Alamsyah mengungkap istilah Lomban mengandung makna saling melempar
atau berenang. Istilah lokal juga menyebutkan ketika anak-anak saling bersenang-senang saat mandi,
mereka akan saling menyiram air atau yang disebut dengan istilah lumbanan.

Kala itu terdapat beberapa persiapan sebelum perayaan. Persiapan itu dilakukan beberapa hari sebelum
pesta Lomban. Perahu-perahu dihiasi dengan indah. Pada lunas depan, belakang, dan tiang perahu
dihiasi dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat. Lalu
digantungkan dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang dengan berbagai warna.
Umumnya bendera atau panji ini berwarna hijau.

Beberapa orang menempatkan sebuah boneka seperti manusia di lunas depan perahu. Boneka ini
disebut kedawangan, yang terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung, yang juga digunakan bagi
sangkar burung. Selain itu, berbagai perahu di Jepara dihiasi dengan boreh. Boreh ialah sejenis adonan
cat yang berwarna kuning.

Pada kegiatan Lomban ini masyarakat memasak ketupat yang dikemas secara khusus. Selain ketupat
juga ada telur itik, kolang-kaling atau buah pohon aren yang berwarna hijau dan bulat. Seluruh
keranjang dipenuhi ketupat diangkut dengan perahu. Tiga komoditas itu digunakan dalam prosesi saling
melempar.
Telur yang membusuk digunakan untuk saling lempar dan menyebarkan bau tidak sedap. Begitu pula
kolang-kaling yang digunakan dapat menyebabkan gatal-gatal di kulit atau rasa terbakar karena terkena
sentuhan getah. Itu yang terjadi pada 1868.

Selain itu kaum wanita harus menyiapkan makanan yang diperlukan. Makanan yang disiapkan
kebanyakan terdiri atas lauk-pauk dan serbat. Oleh para petinggi atau kepala desa, sejumlah besar
ketupat disampaikan sebagai hadiah bagi pesta kepada bupati. Pada hari pelaksanaan pesta, warga
sudah bangun, mandi, dan berbusana apik sejak fajar. Mereka meyakini itu sebagai tanda
keberuntungan.

Sejarawan Alamsyah juga mencatat sebuah buku berjudul Jawa: Geographisch, Ethnologisch,
Historisch (1882) yang menjelaskan perayaan syawalan juga terjadi di tempat lain, tetapi terbatas pada
selametan atau sesaji ketupat.

Bila pada 1868 dan 1882 kegiatan Syawalan atau Lomban di Jepara sudah berlangsung meriah, lebih dua
abad perayaan digelar, Lomban juga tetap meriah. Pada 1868 dan 1882 kegiatan Syawalan
atau Lomban hanya terdapat di Jepara, kini kegiatan serupa juga dilaksanakan di daerah lain, seperti
Rembang, Demak, dan pesisir pantai Jawa.

Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang tradisi Lomban sudah melekat di masyarakat. Tradisi
syawalan atau Lomban punya sebutan lain seperti Bada Kupat.

Rangkaian proses Lomban termasuk pelarungan adalah kearifan lokal dan sudah menjadi wisata budaya.
Selain itu, ada rangkaian acara ibadah untuk berdoa kepada Tuhan. Larung kepala kerbau menjadi
langkah untuk memberi sedekah, baik kepada sesama maupun kepada makhluk lain. Daging kerbau yang
disembelih dibagikan kepada masyarakat serta kepala kerbau dilarung sebagai sedekah makhluk yang
ada di laut.

Larungan dalam tradisi Lomban tidak hilang meskipun telah melintasi ruang dan waktu. Masyarakat
berkukuh mempertahankan tradisi itu meskipun terdapat beberapa penyesuaian.

Menurut Alamsyah, perbedaan yang mendasar ialah ketika berlaku akulturasi budaya dan agama. Ketika
dulu suasana kebatinan untuk kebudayaan jawa masih kental, tidak ditemukan detail tentang prosesi
yang menggunakan simbol-simbol ataupun bacaan Islam. Namun, saat ini, nilai-nilai agama telah
merasuk dan mewarnai tradisi tersebut.

"Jadi perubahan dari yang kental kejawen menjadi sarat keislaman," pungkasnya.

Itulah Lomban, ketika tradisi tidak diberangus habis, malah justru disesuaikan dan dilestarikan sehingga
menjadi satu khazanah budaya yang mampu melintas zaman. Generasi sekarang masih bisa melihat dan
mengalami tradisi sama seperti generasi masa lampau, begitu pun generasi masa depan, asal tradisi
tidak dipandang sebagai sampah ketika tidak sesuai dengan semangat zaman.

Anda mungkin juga menyukai