Anda di halaman 1dari 7

Upacara Adat: Labuhan Merapi

Oleh
Harumingga Ogustaria/18211141023
Sastra Inggris/A
Dibuat untuk memenuhi tugas Bahasa Jawa
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang multikultural,
selain terdiri atas berbagai suku bangsa dengan aneka ragam adat dan kebudayaan.
Salah satu unsur kebudayaan yang berbeda adalah sistem religi. Pada umumnya,
masyarakat Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya religi, indikatornya
adalah banyaknya wisata kultural berbagai upacara yang diselenggarakan pada
setiap tahun oleh masyarakat, misalnya upacara Labuhan.
Tradisi upacara Labuhan memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat
lereng Merapi karena menurut kepercayaan yang mereka anut, jika ritual Labuhan
tidak dilakukan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya
bencana erupsi yang menelan banyak korban. Dari Pengalaman yang terjadi pada
masyarakat tersebut, maka masyarakat mempercayai bahwa Merapi merupakan
salah satu sumber kehidupan yang diberikan oleh sang penguasa alam untuk
masyarakat lereng Merapi yang harus dijaga, dihormati, dan disyukuri.

Kraton Yogyakarta melaksanakan upacara Labuhan setiap tahunnya. Kata


“labuh” artinya mirip kata “larung” yang bermakna membuang sesuatu ke dalam
air baik sungai atau laut. Secara sederhana upacara ini sendiri bisa diartikan
sebagai aktivitas memberi sesaji / persembahan kepada roh halus yang berkuasa di
suatu tempat.  Tujuannya untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, kraton serta
rakyat Yogyakarta. Sedangkan cara pemberian sesaji tergantung dari lokasi
upacara Labuhan itu sendiri. Semisal, upacara Labuhan di Pantai Parangkusumo.
Di pantai itu, pelaksanaan upacara labuhan dilakukan dengan cara melemparkan
sesaji ke laut. Berbeda halnya saat upacara ini dilaksanakan di gunung Merapi.
Benda-benda sesaji hanya diletakkan di lereng gunung di sisi tengah atau dalam
bahasa Jawa-nya disebut Kendit. Di gunung Lawu, upacara ini dilakukan di desa
Dlepih. Caranya dengan meletakkan semua sesaji di atas “sela gilang” atau meja
yang terbuat dari batu.
Awalnya, kerabat Kraton Yogyakarta yang melakukan upacara Labuhan
ini, sehari setelah Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadi Sultan
Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Lalu, seiring berjalannya waktu, upacara
ini dilakukan terus menerus setiap tahun memperingati upacara penobatan seorang
Sultan. Tempat dilaksanakannya pun hanya ada tiga yaitu di pantai
Parangkusumo, gunung Merapi serta gunung Lawu.  Namun, sedikit berbeda saat
menginjak perayaan sewindu ( delapan tahun  berdasarkan penanggalan Jawa).
Selain ketiga tempat tersebut, ditambah satu lokasi lagi di desa Dlepih, kecamatan
Tirtomoyo, kabupaten Wonogiri. Alasan pemilihan keempat tempat itu karena
pertimbangan historis. Dulunya, raja-raja Mataram, terutama Panembahan
Senopati bertapa dan terkoneksi dengan “roh halus” di sana. Lalu, muncul
kepercayaan setiap raja yang berkuasa berkewajiban merawat relasi tersebut lewat
sesaji.  Anggapan yang berkembang “roh-roh” tersebut berperan dalam pendirian
kerajaan Mataram, semisal Ratu Kidul yang berkuasa di laut selatan atau Nyai
Widononggo di Dlepih, Wonongiri dan sebagainya.
Namun, saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX berkuasa terjadi perubahan.
Jika sebelumnya dilakukan satu hari sesudah ulang tahun penobatan, maka diubah
satu hari setelah hari ulang tahun beliau menurut penanggalan Jawa yaitu 25
Bakdo Mulud. Alasan pergeseran itu karena beliau tidak mau memperingati hari
penobatannya sebagai raja yang saat itu dilakukan imperialis Belanda.

Upacara Labuhan Merapi


Persiapan upacara Labuhan dilakukan tiga hari sebelum tanggal
pelaksanaan. Sedangkan rangkaian upacara itu sendiri terdiri atas empat tahap
yaitu : pembuatan jladren (adonan) kue apam, pembuatan apam, upacara
peringatan ulang tahun Sri Sultan HB di kraton Yogyakarta, serta upacara
Labuhan. Para puteri keraton membuat adonan kue apam itu. Prosesi ini disebut
ngebluk. Apamnya terdiri atas dua jenis yaitu apam biasa dan apam Mustoko.
Apam biasa dibuat sebanyak 240 buah lalu ditata di atas wadah bernama Nyiru.
Sedangkan, apam Mustoko dicetak sebanyak 40 buah.
Apam Mustoko unik. Apam ini memiliki garis tengah sepanjang 20 cm
atau satu jengkal tangan laki-laki dewasa. Tebalnya sekitar 5 cm. Akibat ukuran
yang panjang dan besar ini, bagian dalamnya sering masih mentah. Lebih menarik
lagi karena para puteri kraton pembuatnya harus sudah tua dan masih perawan.
Saat membuatnya, para puteri kraton ini mengenakan pakaian adat Jawa
yang terdiri atas kain panjang dan kemben / kain penutup dada yang disebut
“ubed.” Permaisuri Sri Sultan mengambil jladren pertama kali sebelum proses
pembuatan apam ini dilanjutkan. Kondisi berbeda terjadi saat Sri Sultan HB IX
dimana beliau tidak memiliki permaisuri. Tugas pengambilan jladren itu lalu
dilimpahkan kepada kerabat kraton yang paling tua silsilahnya, diteruskan puteri-
puteri yang lain,
Diluar pembuatan apam, Widya Budaya, bagian dari keraton yang
bertanggung-jawab mengurus upacara dan menyimpan naskah-naskah kuno
bertugas menyiapkan benda-benda Labuhan dan membagikan benda-benda itu
menjadi tiga bagian pada tahun biasa dan empat bagian pada tahun Dal lalu
diletakkan di Parang Kusumo, gunung Merapi, gunung Lawu, serta desa Dlepih di
Wonogiri. Widya Budaya berperan mengumpulkan benda-benda, bunga sesaji
dari pusaka keraton yang “disucikan” tiap Jumat dan Selasa Kliwon dengan cara
dikuntugi (diberi menyan). Bunga-bunga yang sudah layu dikumpulkan di tempat
tertentu sampai hari Labuhan tiba. Para puteri kraton yang tertinggi derajatnya
bertugas mengumpulkan bunga-bunga itu dan beberapa perlengkapan lainnya
seperti potongan kuku dan rambut Sri Sultan. Setelah siap, puteri kraton tersebut
lalu menyerahkan kepada keparak yang tertinggi pangkatnya atau disebut juga
Lurah Keparak untuk diletakkan di bangsal Proboyekso, atau bangsal tempat
menyimpan benda-benda pusaka. Semua benda dan properti Labuhan termasuk
apam diletakkan di atas “ancak” – wadah yang dibuat dari bagian dalam bambu,
dianyam dan berfungsi sebagai baki – lalu ditutup mori dan di tiap ancak diberi
nama. Selain itu ada emas, perak serta tembaga sebesar lidi dan setinggi ukuran
badan Sri Sultan. Ketiganya tidak dilabuh, namun dipotong menjadi bagian kecil-
kecil, lalu dibagikan kepada para pangeran serta bupati.

Prosesi Labuhan Merapi


Prosesinya para abdi dalem menyerahkan benda-benda Labuhan kepada
bupati Sleman dan stafnya lalu diteruskan kepada juru kunci gunung Merapi di
Cangkringan.

Lokasi labuhan di gunung Merapi ini di bagian kendhit, lereng tengah 


gunung Merapi di sisi selatan. Para abdi dalem menempatkan benda-benda
Labuhan di dalam peti. Sebelumnya, juru kunci mengambil peti lama yang
digunakan upacara Labuhan sebelumnya yang sudah kosong, lalu diganti peti baru
yang berisi benda-benda labuhan. Sesudahnya, juru kunci menyerahkan benda-
benda itu kepada para danyang sambil diberi kalimat pengantar seperti halnya saat
upacara labuhan di pantai Parangkusumo.
Adapun benda-benda labuhan yang dibawa antara lain:
1. Sinjang limar
2. Sinjang cangkring
3. Sinjang bangun tulak
4. Sinjang gadhung
5. Destar (kain penutup kepala)
6. Peningset (ikat pinggang) udaraga
7. Peningset jingga
8. Kambil watangan
9. Kampung poleng
10. Ses (rokok) wangen
11. Sela (kemenyan), ratus dan koyoh
12. Yatra (uang) tindih Rp. 8,33
Setelah selesai mendoakan barang-barang labuhan dalam bahasa Arab, maka
selesailah upacara labuhan di gunung Merapi itu.
Kesimpulan
Labuhan yang didasari oleh pandangan hidup yang terwujud dalam etika
keseharian bagaimana masyarakat jawa berbuat, sehingga dari aktivitas tersebut
tercipta sebuah keselarasan dengan alam dan lingkungan. Banyaknya pengaruh
budaya modern yang masuk pada zaman sekarang, diharapkan tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat Kinahrejo dan sekitar merapi perlu terus di pupuk dan
dikembangkan lagi karena budaya seperti Labuhan Merapi ini merupakan aset
kekayaan budaya yang harus terus dilestarikan. Upacara adat tersebut merupakan
wujud rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Labuhan Merapi juga
bertujuan untuk memohon perlindungan dan keselamatan untuk seluruh warga
masyarakat Yogyakarta. Tradisi Labuhan Merapi tersebut harus dapat lestari di
tengah tantangan modernisasi. Maka dari itu, generasi muda harus bisa
melestarikan dan mengembangkan tradisi budaya tersebut.

Sumber:
- Gambar: newsdetik.com/labuhan-merapi
- http://ksdae.menlhk.go.id/info/3344/upacara-labuhan-merapi-di-taman-nasional
gunung-merapi.html
- https://www.gudeg.net/direktori/1832/upacara-labuhan-parangkusumo-dan
gunung-merapi-yogya.html
- https://media.neliti.com/media/publications/23797-ID-memaknai-tradisi-upacara
labuhan-dan-pengaruhnya-terhadap-masyarakat-parangtriti.pdf

Anda mungkin juga menyukai