Anda di halaman 1dari 5

Upacara Merariq atau selarian

Merariq adalah suatu adat unik dalam perkawinan dimana seorang laki-laki harus melarikan atau
menculik si gadis sebelum melakukan ritual pernikahan. Merariq ini umum terjadi dikalangan
masyarakat Sasak Lombok, yang mayoritas muslim. Proses merariq ini didahului oleh calon pengantin
laki-laki harus melarikan atau menculik si gadis tanpa diketahui oleh keluarga si gadis. Proses ini
kemudian dilanjutkan dengan memberitahukan kepada keluarga si gadis bahwa mereka telah menculik
si gadis. Informasi ini harus diberikan sebelum tiga hari, yang kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
di rumah pihak laki-laki. Sesudah upacara pernikahan selesai, maka pasangan baru akan mengunjungi
rumah keluarga wanita. Acara ini disebut nyongkol. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan penghormatan
pasangan baru terhadap orang tua, terutama kepada keluarga mempelai wanita. Mereka ditemani oleh
banyak rombongan dan tari-tarian serta musik. Sesudah itu pasangan ini akan kembali ke keluarga laki-
laki. Terdapat beberapa alasan mengapa merariq dilakukan. Pertama, untuk menunjukkan kesungguhan
si laki-laki terhadap si gadis. Kedua, menunjukkan keberanian, seperti seorang ksatria. Ketiga, karena
alasan sejarah. Keempat, karena alasan kompetisi. Akan tetapi sekarang ini adat merariq telah banyak
mengalami pergeseran nilai dan praktik yang disebabkan kurangnya pemahaman pelaku merariq
terhadap ketentuan adat dan ajaran agama.

Pandangan masyarakat Islam Sasak terhadap adat merariq ada dua pendapat. Pertama , pandangan
masyarakat biasa, yang mengatakan bahwa merariq tidak ada masalah selama dilakukan dengan
ketentuan adat dan ajaran agama. Kedua, pandangan kaum terdidik, mereka lebih melihat pada dampak
dari mulai proses awal sampai akhir. Sehingga sebaiknya perlu dicarikan alternatif yang lebih sederhana
dan baik untuk menghindari dampak negatif yang muncul. Terkait pandangan hukum perkawinan Islam
dapat disimpulkan bahwa terjadi kesenjangan antara praktik merariq dengan ketentuan hukum Islam ba
ik itu dari sisi normatif maupun kemaslahatannya.

Oleh karena itu menurut kajian hukum Islam adat tersebut merupakan tradisi yang kurang baik.
Akhirnya merariq dapat dipandang sebagai adat yang tidak relevan lagi keberadaannya ditengah-tengah
umat Islam Sasak yang semakin meningkat pemahaman ajaran agamanya, sehingga tradisi merariq perlu
dipertimbangkan kembali.
Upacara U’a Pua

Upacara U’a Pua merupakan sebuah tradisi masyarakat Lombok yang dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Upacara ini dilaksanakan bersamaan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang juga
dirangkai dengan penampilan atraksi Seni Budaya masyarakat Suku Mbojo (Bima) yang berlangsung
selama 7 hari. Prosesi U’a Pua diawali dengan Pawai dari Istana Bima yang diikuti oleh semua Laskar
Kesultanan, Keluarga Istana, Group Kesenian Tradisional Bima dengan dua Penari Lenggo yang
dilengkapi dengan Upacara Ua Pua. Selama proses pawai berlangsung Group Kesenian terus memainkan
Genda Mbojo, Silu dan Genda Lenggo. Ketika memasuki Istana, Penunggang Kuda menari dengan suka
ria (Jara Sara’u), Sere, Soka dan lain-lain sampai Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan yang diiringi
dengan Penari Lenggo. Pada sa’at itu diserahkan ”Sere Pua” dan Al-Qur’an kepada Sultan.

Upacara Perang Topat

Upacara Perang Topat adalah salah satu upacara yang dilakukan oleh orang Sasak. Perang Topat adalah
upacara ritual sebagai perwujudan rasa terima kasih kepada tuhan atas kemakmuran berupa tanah yang
subur serta hujan. Upacara ini biasa ditampilkan di Taman Lingsar oleh Masyarakat Hindu dan Sasak
dengan saling melemparkan Topat (Ketupat).

Upacara ini berlangsung setelah selesai “Pedande” pemujaan yaitu selama periode “Rokok Kembang
Waru” sekitar pukul 17.30. Perang Topat dilaksanakan setiap tahun pada saat purnama ke 6 menurut
Kalender Sasak atau sekitar Bulan Nopember –Desember.

Sebelum Perang Topat dimulai Kebon Odek dikeluarkan dari Kemaliq yang terdapat di Pura Lingsar
Kecamatan Narmada yang bertujuan untuk menjemput Pesajik (sesajen) kemudian dikelilingi sebanyak 3
kali di Kemaliq lalu di upacarakan. Sesudah upacara Pujawali, dilakukan acara Perang Topat.
Bau Nyale

Upacara tahunan khas Sasak antara Februari-Maret di dipesisir pantai selatan Pulau Lombok tepatnya di
Pantai Kute, Seger, A’an di Lombok Tengah dan Pantai Kaliantan, Ekas dan Jero Waru di Lombok Timur.
Dalam bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale adalah cacing laut. Bau nyale adalah aktivitas
masyarakat untuk menangkap cacing laut yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan
tradisional Sasak (pranata mangsa) atau tepat 5 hari setelah bulan purnama. Umumnya, antara bulan
Februari dan Maret setiap tahunnya.

Menurut legenda, Nyale atau cacing laut merupakan reinkarnasi dari Putri Mandalika yaitu seorang Putri
yang cantik dan berbudi luhur. Ia menceburkan dirinya ke laut karena tidak ingin mengecewakan para
pangeran yang memperebutkannya. Kemunculannya di pantai selatan Pulau Lombok hanya terjadi sekali
setahun ditandai dengan keajaiban alam sebagai suatu karunia Tuhan kepada hambanya. Bagi
masyarakat Lombok Selatan banyaknya Nyale yang muncul merupakan karunia Tuhan sebagai tanda
akan mendapatkan hasil panen yang baik.

Rebo Bontong

Rebo Bontong (Rebo: Rabu, Bontong: akhir) disebut juga Mandi Safar oleh daerah lainnya. Sebagaimana
namanya, upacara ini dilakukan hari Rabu bulan Safar dalam kalender Islam. Ritual ini berupa mandi
bersama di tempat tertentu.

Dalam pelaksanaannya, serangkaian doa dipanjatkan di hari pelaksanaan upacara. Pemuka agama,
kepala suku, dan orang yang mengikuti ritual ini mengantar sesaji Sesangi berupa ketan, telur, pisang,
dan hasil tani lainnya ke laut, sebagai simbol permintaan kepada Tuhan untuk memohon perlindungan
dari bencana.

Mandi, merupakan simbol penyucian dalam ritual upacara Rebo Bontong. Namun tradisi mandi bersama
ini tidak bisa dilakukan di sembarang tempat. Di seluruh kawasan Lombok, tradisi Rebo Bontong hanya
dilaksanakan di Sungai Jangkuk (Dasan Agung, Kota Mataram), Pantai Tanjung Menangis (Pringgabaya,
Lombok Timur), dan di Desa Kuranji (Labuapi, Lombok Barat).

Khusus di Desa Kuranji, Kecamatan Labuapi ritual ini dilakukan dengan mandi bersama di sebuah sumur
desa yang dikeramatkan. Tradisi yang sama di Mataram dilaksanakan dengan cara mandi di Sungai
(Kokoq) Jangkuk yang dimulai Rabu siang hingga sore. Setiap perayaan mandi Safar tersebut sepanjang
kali Jangkuk dibanjiri masyarakat baik tua maupun muda.

Parade Ogoh-Ogoh

Dalam menyokong hari raya nyepi yang merupakan hari penyucian Bhuana Agung (Macrocosmos) di
laksanakan upacaraTawur Kesanga yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan negative dari bhuta kala.

Upacara tawur kesanga dilaksanakan pada Tileming sasih kesanga sehari sebelum pelaksanaan hari raya
nyepi. Di kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram Upacata Tawur kasanga dirangkaikan dengan
puwai ogoj ogoh. Ogoh- Ogoh merupakan kreativitas umat Hindu yang ada di Bali dan Lombok untuk
memvisualisasikan Bhuta kala. Personifikasi Bhuta kala ini dimaksudkan guna memantapkan keyakinan
serta meningkatkan kosentrasi dalam melaksanakan Upacara Tawur Kesanga yang merupakan salah satu
bentuk Bhuta Yadya.

Pawai ogoh – ogoh mengambarkan datangnya berbagai Bhuta kala dari segala penjuru arah mata angin
ketempat pelaksanaan Upacara Tawur Kesanga guna mendapatkan lelabahan / persembahan. Setelah
Bhuta kala tersebut mendapatkan lelebahan/ persembahan mereka di kembalikanke posisisnya masing-
masing untuk kemudian di pralina/ lembur dengan menggunakan kkekuatan Agni / Api. Dengan
demikian di harapkan para Bhuta kala tersebut tidak lagi menggangu kehidupan manusia
Sumber :

https://mediaindonesia.com/nusantara/471190/mengenal-tradisi-bau-nyale-di-lombok

http://fzhsafarina.blogspot.com/2013/03/keragaman-budaya-nusa-tenggara-barat.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai