Anda di halaman 1dari 2

LEGENDA PUTRI MANDALIKA DAN TRADISI “BAU NYALE”

DI PULAU LOMBOK

Putri Mandalika yang lebih di kenal dengan sebutan Mandalike. Ia merupakan seorang putri
yang berasal dari salah satu kerajaan di Pulau Lombok, yang bernama Kerajaan Tonjang Beru. Raja
Kerajaan Tonjang Beru adalah seorang raja yang memerintahkan wilayah dengan adil dan
makmur. Putri Mandalika dikenal sebagai sosok wanita yang paling cantik, kecantikannya terkenal
hingga ke pelosok negeri. Putri Mandalika tidak hanya cantik melainkan tutur katanya lembut dan
bahasanya yang sopan. Sehingga banyak pangeran yang ingin melamarnya. Namun sang raja
menyerahkan keputusan pada sang putri.
Demi tanggung jawabnya, sang putri bertapa untuk meminta petunjuk. Setelah bertapa,
sang putri mengundang seluruh pangeran yang ingin melamarnya untuk berkumpul pada tanggal
20 bulan 10 pada penanggalan Sasak. Kemudian para pangeran diminta berkumpul di Pantai Seger,
yang saat ini kita kenal dengan sebutan Pantai Kuta, Lombok, pagi buta sebelum adzan Subuh
berkumandang.
Pada hari yang telah ditentukan para pangeran berkumpul. Saat matahari berada di ufuk
timur, putri bersama raja dan ratu beserta pengawal datang menemui mereka. Penampilan sang
putri membuat pangeran semakin terpikat, karena melihat kecantikan sang putri menggunakan
bahan sutra.
Kemudian, Putri Mandalika naik ke atas Bukit Seger ditemani pengawal. Dari atas bukit tersebut,
sang putri menyampaikan pesan kepada semua yang hadir di Pantai Seger. Ia berencana menerima
semua pinangan pelamar.
Sang putri mengambil keputusan tersebut supaya ketentraman dan kedamaian pulau tidak
rusak karena persaingan. Sebab, jika ia menerima pinangan dari salah satu orang saja maka
perselisihan akan terjadi. Pengumuman tersebut membuat perserta terheran-heran. Setelah
menyatakan keputusannya tersebut sang putri menjatuhkan diri ke laut dan hanyut ditelan ombak.
Melihat kejadian itu, para pangeran berusaha mencari keberadaan sang putri, namun sang putri
tidak ditemukan.
Setelah kejadian itu, muncul binatang-binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak.
Binatang tersebut menyerupai cacing yang amat panjang. Masyarakat setempat menyebutnya
nyale. Perbuatan sang putri sangat dikenang masyarakat Lombok. Oleh karena itu dibuat
Upacara Nyale atau Bau Nyale, upacara dilakukan pada Februari hingga Maret, setiap tahun.
Dalam pelaksanaan Festival Bau Nyale, masyarakat Suku Sasak (Majelis Sasak Lombok)
menggunakan perhitungan Rowot. Penanggalan Kalender Rowot telah menjadi penentu puncak Bau
Nyale sejak dari dulu. Penanggalan Rowot ini dilatarbelakangi dengan kisah Putri Mandalika. Dalam
kisah tersebut, Putri yang terjun ke laut malah diangkat ke langit menjadi rasi bintang Rowot.
Perhitungan Rowot pada Suku Sasak, yaitu sistem penanggalan yang memperhitungkan pergerakan
bulan, bintang (Pleades), dan matahari.
Bau Nyale terdiri dari dua kata, yaitu Bau yang artinya menangkap dan Nyale adalah cacing
laut sejenis filumannelida. Tradisi Bau Nyale adalah tradisi turun temurun masyarakat Lombok
Tengah yang telah berusia ratusan tahun. Berdasarkan Babad Lombok yang dipercayai masyarakat
setempat, tradisi ini telah dilakukan kurang lebih sejak sebelum abad ke-16. Dalam perhitungan
tradisional Sasak, tradisi berlangsung setiap tanggal 20 bulan 10 atau sekitar Februari yang
bertempat di Pantai Seger, Kuta Lombok Tengah.
Proses Bau Nyale diawali dengan sangkep atau pertemuan para tokoh untuk menentukan hari
baik (tanggal 20 bulan 10 kalender Sasak). Penentuan tanggal untuk mengetahui waktu nyale keluar.
Proses berikutnya dilanjutkan dengan mepaosan, yaitu pembacaan lontar yang dilakukan tokoh adat
sehari sebelum pelaksanaan tradisi. Mepaosan dilakukan di bangunan tradisional tiang empat yang
disebut Bale Saka Pat. Pembacaan lontar dilakukan dengan tembang pupuh atau nyanyian
tradisional, dengan urutan pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumandang, dan Pupuh
Ginada.
Proses tradisi Bau Nyale menggunakan berbagai perlengkapan, yaitu daun sirih, kapur, dua
buah gunungan yang berisi jajan tradisional khas Sasak, kembang setaman dengan sembilan jenis
bunga, serta buah-buahan tradisional. Upacara digelar pada dinihari sebelum masyarakat turun ke
laut untuk menangkap nyale. Upacara dilakukan para tokoh adat. Upacara dinamakan Nede Rahayu
Ayuning Jagad. Prosesi dilakukan dengan cara para tetua adat berkumpul dalam posisi melingkar dan
di tengah-tengahnya diletakkan jajanan gunungan.

Anda mungkin juga menyukai