PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Berdasarkan data BPS pada tahun
2016 jumlah penduduk NTB yang beragama Islam sebanyak 96,80%, penduduk
yang beragama Kristen sebesar 0,26%, penduduk beragama Katolik 0,18%,
penduduk beragama Hindu 2,44%, dan penduduk yang beragama Buddha sebesar
0,32%. Masyarakat NTB khususnya yang berada di Pulau Lombok terkenal
dengan kekentalan ilmu agama dan kesehariannya dan mendapat julukan Pulau
Seribu Masjid.Julukan itu pada dasarnya mengacu pada jumlah masjid yang
sangat banyak di Lombok. Diketahui bahwa jumlah masjid yang ada di Lombok
pada tahun 2017 yaitu 5.224 masjid. Akan tetapi makna tersebut tidak hanya
pada sebatas jumlah masjid saja melainkan juga karena masyarakat Lombok
dikenal sebagai masyarakat yang sangat mengedepankan nilai agama. (BPS NTB,
2017). Ganti dengan 2018,kekentalan ilmu agama diganti dengan religius.
Sejarah tradisi
Tradisi merupakan salah satu komponen dari kebudayaan yang dimiliki oleh
setiap masyarakat. Tradisi adalah warisan budaya dari nenek moyang yang
menjadikebiasaan yang telah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat Indonesia di
berbagai wilayah memiliki tradisi dan budaya yang khas dan di lakukan secara
turun-temurun. Dengan keberagaman suku, budaya dan tradisi lokal yang dimiliki
sangat kaya akan nilai-nilai luhur dan beragam tradisi yang tidak ternilai
harganya. Salah satu tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini yaitu tradisi
kawin lari, Setiap suku memiliki tradisinya masing-masing khususnya dalam
pernikahan terutama pada suku bali dan suku sasak, yang dimana kedua suku ini
sama-sama memiliki tradisi kawin lari. Pada masyarakat bali, kawin lari disebut
ngerorod dan pada masyarakat sasak disebut dengan istilah merariq.
Salah satu kabupaten yang ada di Pulau Lombok yang masih melakukan tradisi
kawin lari yaitu Kabupaten Lombok Utara. Kabupaten Lombok Utara adalah
sebuah kabupaten yang terletak di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Indonesia. Kabupaten ini terkenal dengan pantai-pantai indahnya, seperti Pantai
Senggigi dan pantai sira indah. Selain itu, Lombok Utara juga memiliki kekayaan
budaya dan tradisi yang menarik, serta merupakan pintu gerbang untuk
menjelajahi Gunung Rinjani, salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Kabupaten
lombok utara terdiri dari 5 kecamatan yaitu kecamatan pemenang, kecamatan
tanjung, kecamatan gangga, kecamatan kayangan dan kecamatan bayan. Di
Lombok Utara sendiri tradisi kawin lari ini sudah dilakukan sejak turun temurun
dan sudah akrab dengan msyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Kawin lari
dipercaya dapat memperkuat silaturrahmi antar masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain sehingga tradisi kawin lari masih berjalan hingga saat ini
dan sudah menjadi budaya masyarakat Lombok Utara. Bagaimana di Lombok
utara ada tradisi ngerorod.
Salah satu Desa di Lombok Utara yang masih menjalankan tradisi kawin lari
yaitu Desa Tanjung yang terletak di Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok
Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini sebagian besar penduduknya
bersuku Sasak, namun tidak sedikit pula dari penduduk Desa Tanjung bersuku
Bali karena Pada zaman penjajahan Belanda Desa Tanjung merupakan wilayah
yang sistim pemerintahannya memakai sistem perbekel, yang istilah perbekel ini
sama dengan istilah Kepala Desa di era pemerintahan sekarang ini. Perbekel yang
ada di Tanjung mengayomi umat Hindu dan Budha di wilayah Tanjung, Gondang
dan Pemenang. Adapun Perbekelnya yang pertama (I) adalah I Gusti Made Oka
dan umat muslimnya dipimpin oleh sistem Pemusungan Tanjung sampai Sokong
yang dipimpin oleh Raden Durangsa dan Datu Nyakrawa. Sistem pemerintahan
ini berakhir sampai dengan tahun 60-an.
Salah satu kebudayaan terkenal pada masyarakat Lombok atau masyarakat
suku Sasak adalah kebudayaan kawin lari (Merariq). Kebudayaan merariq
merupakan salah satu contoh kebudayaan yang populer pada prosesi pernikahan
masyarakat suku Sasak yang mana ketika seorang pria ingin meminang seorang
perempuan dia akan terlebih dahulu membawanya secara sembunyi-sembunyi dan
biasa dilakukan malam hari. Merariq merupakan bagian dari rangkaian proses
pernikahan pada etnik Sasak. Kawin lari "Merarik" dipercaya akan mengangkat
harkat martabat kaum laki-laki yang dapat melarikan pujaan hati mereka. Kawin
lari merupakan tradisi turun temurun yang sudah membudidaya di kalangan Suku
Sasak. Selain itu kawin lari berbeda dengan kawin culik, kalau kawin culik
pengantin wanita di paksa menikah dengan laki-laki yang dia tidak cintai hanya
pengantin laki-laki saja yang memiliki rasa cinta sedangkan kawin lari dilakukan
oleh dua insan yang saling mencintai tanpa ada paksaan di antara satu dengan
yang lain. Budaya kawin lari "Merariq" kurang di kenal oleh masyarakat luar
pulau Lombok.
Kawin lari "Merariq" telah disepakati oleh Suku Sasak sebagai salah satu
budaya yang ditinggalkan oleh para leluhur mereka dan harus dibudidayakan,
sehingga tidak dapat di musnahkan. Sebagaimana telah dikisahkan oleh seorang
warga Suku Sasak bahwasanya asal mula terjadinya kawin lari "Merariq" pada
zaman dahulu kala ada seorang raja yang memiliki putri yang sangat cantik dan
semua laki-laki ingin melamarnya, dengan demikian sang raja berusaha berfikir
bagaimana caranya supaya tidak terjadi perselisihan jadi sang raja mengurung
anaknya di istana dengan menggunakan penjagaan yang sangat ketat, kemudian
sang raja mengumumkan kepada seluruh laki-laki itu barang siapa yang dapat
menculik putri saya maka saya akan nikahkan dia. Maka terjadilah adat kawin lari
di Suku Sasak. Bicara tentang kawin lari "Merariq" merupakan sebuah proses
awal yang dilakukan oleh sepasang kaum hawa dan adam untuk menuju sebuah
pernikahan yang akan membawa mereka menuju sebuah kebahagiaan. Akan tetapi
sebelum proses pernikahan terjadi kedua tokoh masyarakat atau yang sering
disebut dengan kepala kadus yang laki-laki datang ke rumah mempelai wanita
untuk memberitahukan bahwa calon pengantin perempuan ada di tempat calon
pengantin laki-laki dan kemudian terjadilah sebuah musyawarah antara pihak laki-
laki dan wanita dalam segi pembayaran calon pengantin wanita. Setelah itu calon
pengantin harus segera dinikahkan karena peristiwa tersebut telah diketahui oleh
seluruh masyarakat yang ada di kampung atau sering dikenal dengan sebutan
Nyelabar. Kemudian kedua pihak keluarga menjalani adat selabar, mesejati, dan
mbait wali sebagai proses permintaan izin pernikahan dari keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan. Di sedikit kan merariqnya. Jelaskan
merariqnya sedikit dan di suku bali juga ada tradisi demikian. Baru masuk ke
ngerorod.
Pihak wanita tentu menjadi pihak yang dirugikan pada fenomena ini yang
dimana pihak wanita tentu mengikuti pihak laki-laki baik dari budaya, agama,
komunikasi dan perbedaan nilai keluarga. Perempuan yang menikahi seseorang
dari suku yang berbeda dapat menghadapi penolakan atau perlakuan diskriminatif
dari masyarakat atau bahkan keluarga mereka sendiri. Perempuan dalam
pernikahan beda suku mungkin merasa terisolasi karena perbedaan bahasa atau
norma sosial, yang dapat memengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat dan
keluarga suami. Sehingga pihak wanita menjadi obyek marginalisasi sebagai salah
satu dari bentuk diskriminasi terhadap pihak wanita. Wanita yang memilih
menikah dengan laki-laki yang berbeda suku biasanya akan putus hubungan
dengan keluarganya sendiri, karena perbedaan tradisi, nilai, dan agama yang
menyebabkan pihak wanita tidak di akui lagi keberadaannya di keluarganya
sendiri. Minimal 4 maksimal 5 latar belakang, terangkan prosesi secara umumnya
dan secara kawin lari. Fokus ngerorod
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut : bagaimana bentuk2 marginalisasi pasca tradisi kawin lari
ngerorod?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Nuasa, I. K. (2020). Implementasi Kawin Lari Antar Suku Bali Di Desa Babakan
Gerung Lombok Barat. Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta, 3(2), 115-133.
Muhsinin, M., Arjani, N. L., & Wiasti, N. M. Tradisi Kawin Lari (Merariq) pada
Suku Bangsa Sasak di Desa Wanasaba, Lombok Timur.
Murni, M., Muslimin, A., & Suardi, S. (2019). Penerimaan Masyarakat Tehadap Perilaku
Kawin Lari (Study Kasus Kelurahan Malakaji Kecamatan Tompobulu Kabupaten
Gowa). Equilibrium: Jurnal Pendidikan, 7(2), 257-263.
Roslan, S., & Sarpin, E. H. Fenomena Kawin Lari (Pofileigho) pada Masyarakat Muna di
Kelurahan Tampo Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna (Doctoral dissertation,
Haluoleo University).
Sudarmawan, S. (2009). PELAKSANAAN KAWIN LARI SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK
MENEROBOS KETIDAKSETUJUAN ORANG TUA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG NOMOR: 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Di Kecamatan
Dompu Kabupaten Dompu NTB) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro).