Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Berdasarkan data BPS pada tahun
2016 jumlah penduduk NTB yang beragama Islam sebanyak 96,80%, penduduk
yang beragama Kristen sebesar 0,26%, penduduk beragama Katolik 0,18%,
penduduk beragama Hindu 2,44%, dan penduduk yang beragama Buddha sebesar
0,32%. Masyarakat NTB khususnya yang berada di Pulau Lombok terkenal
dengan kekentalan ilmu agama dan kesehariannya dan mendapat julukan Pulau
Seribu Masjid.Julukan itu pada dasarnya mengacu pada jumlah masjid yang
sangat banyak di Lombok. Diketahui bahwa jumlah masjid yang ada di Lombok
pada tahun 2017 yaitu 5.224 masjid. Akan tetapi makna tersebut tidak hanya
pada sebatas jumlah masjid saja melainkan juga karena masyarakat Lombok
dikenal sebagai masyarakat yang sangat mengedepankan nilai agama. (BPS NTB,
2017). Ganti dengan 2018,kekentalan ilmu agama diganti dengan religius.

Lanjut ke islami dulu.

Sejarah tradisi

Tradisi merupakan salah satu komponen dari kebudayaan yang dimiliki oleh
setiap masyarakat. Tradisi adalah warisan budaya dari nenek moyang yang
menjadikebiasaan yang telah ada sejak zaman dahulu. Masyarakat Indonesia di
berbagai wilayah memiliki tradisi dan budaya yang khas dan di lakukan secara
turun-temurun. Dengan keberagaman suku, budaya dan tradisi lokal yang dimiliki
sangat kaya akan nilai-nilai luhur dan beragam tradisi yang tidak ternilai
harganya. Salah satu tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini yaitu tradisi
kawin lari, Setiap suku memiliki tradisinya masing-masing khususnya dalam
pernikahan terutama pada suku bali dan suku sasak, yang dimana kedua suku ini
sama-sama memiliki tradisi kawin lari. Pada masyarakat bali, kawin lari disebut
ngerorod dan pada masyarakat sasak disebut dengan istilah merariq.

Salah satu kabupaten yang ada di Pulau Lombok yang masih melakukan tradisi
kawin lari yaitu Kabupaten Lombok Utara. Kabupaten Lombok Utara adalah
sebuah kabupaten yang terletak di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Indonesia. Kabupaten ini terkenal dengan pantai-pantai indahnya, seperti Pantai
Senggigi dan pantai sira indah. Selain itu, Lombok Utara juga memiliki kekayaan
budaya dan tradisi yang menarik, serta merupakan pintu gerbang untuk
menjelajahi Gunung Rinjani, salah satu gunung tertinggi di Indonesia. Kabupaten
lombok utara terdiri dari 5 kecamatan yaitu kecamatan pemenang, kecamatan
tanjung, kecamatan gangga, kecamatan kayangan dan kecamatan bayan. Di
Lombok Utara sendiri tradisi kawin lari ini sudah dilakukan sejak turun temurun
dan sudah akrab dengan msyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Kawin lari
dipercaya dapat memperkuat silaturrahmi antar masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain sehingga tradisi kawin lari masih berjalan hingga saat ini
dan sudah menjadi budaya masyarakat Lombok Utara. Bagaimana di Lombok
utara ada tradisi ngerorod.

Salah satu Desa di Lombok Utara yang masih menjalankan tradisi kawin lari
yaitu Desa Tanjung yang terletak di Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok
Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini sebagian besar penduduknya
bersuku Sasak, namun tidak sedikit pula dari penduduk Desa Tanjung bersuku
Bali karena Pada zaman penjajahan Belanda Desa Tanjung merupakan wilayah
yang sistim pemerintahannya memakai sistem perbekel, yang istilah perbekel ini
sama dengan istilah Kepala Desa di era pemerintahan sekarang ini. Perbekel yang
ada di Tanjung mengayomi umat Hindu dan Budha di wilayah Tanjung, Gondang
dan Pemenang. Adapun Perbekelnya yang pertama (I) adalah I Gusti Made Oka
dan umat muslimnya dipimpin oleh sistem Pemusungan Tanjung sampai Sokong
yang dipimpin oleh Raden Durangsa dan Datu Nyakrawa. Sistem pemerintahan
ini berakhir sampai dengan tahun 60-an.
Salah satu kebudayaan terkenal pada masyarakat Lombok atau masyarakat
suku Sasak adalah kebudayaan kawin lari (Merariq). Kebudayaan merariq
merupakan salah satu contoh kebudayaan yang populer pada prosesi pernikahan
masyarakat suku Sasak yang mana ketika seorang pria ingin meminang seorang
perempuan dia akan terlebih dahulu membawanya secara sembunyi-sembunyi dan
biasa dilakukan malam hari. Merariq merupakan bagian dari rangkaian proses
pernikahan pada etnik Sasak. Kawin lari "Merarik" dipercaya akan mengangkat
harkat martabat kaum laki-laki yang dapat melarikan pujaan hati mereka. Kawin
lari merupakan tradisi turun temurun yang sudah membudidaya di kalangan Suku
Sasak. Selain itu kawin lari berbeda dengan kawin culik, kalau kawin culik
pengantin wanita di paksa menikah dengan laki-laki yang dia tidak cintai hanya
pengantin laki-laki saja yang memiliki rasa cinta sedangkan kawin lari dilakukan
oleh dua insan yang saling mencintai tanpa ada paksaan di antara satu dengan
yang lain. Budaya kawin lari "Merariq" kurang di kenal oleh masyarakat luar
pulau Lombok.

Kawin lari "Merariq" telah disepakati oleh Suku Sasak sebagai salah satu
budaya yang ditinggalkan oleh para leluhur mereka dan harus dibudidayakan,
sehingga tidak dapat di musnahkan. Sebagaimana telah dikisahkan oleh seorang
warga Suku Sasak bahwasanya asal mula terjadinya kawin lari "Merariq" pada
zaman dahulu kala ada seorang raja yang memiliki putri yang sangat cantik dan
semua laki-laki ingin melamarnya, dengan demikian sang raja berusaha berfikir
bagaimana caranya supaya tidak terjadi perselisihan jadi sang raja mengurung
anaknya di istana dengan menggunakan penjagaan yang sangat ketat, kemudian
sang raja mengumumkan kepada seluruh laki-laki itu barang siapa yang dapat
menculik putri saya maka saya akan nikahkan dia. Maka terjadilah adat kawin lari
di Suku Sasak. Bicara tentang kawin lari "Merariq" merupakan sebuah proses
awal yang dilakukan oleh sepasang kaum hawa dan adam untuk menuju sebuah
pernikahan yang akan membawa mereka menuju sebuah kebahagiaan. Akan tetapi
sebelum proses pernikahan terjadi kedua tokoh masyarakat atau yang sering
disebut dengan kepala kadus yang laki-laki datang ke rumah mempelai wanita
untuk memberitahukan bahwa calon pengantin perempuan ada di tempat calon
pengantin laki-laki dan kemudian terjadilah sebuah musyawarah antara pihak laki-
laki dan wanita dalam segi pembayaran calon pengantin wanita. Setelah itu calon
pengantin harus segera dinikahkan karena peristiwa tersebut telah diketahui oleh
seluruh masyarakat yang ada di kampung atau sering dikenal dengan sebutan
Nyelabar. Kemudian kedua pihak keluarga menjalani adat selabar, mesejati, dan
mbait wali sebagai proses permintaan izin pernikahan dari keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan. Di sedikit kan merariqnya. Jelaskan
merariqnya sedikit dan di suku bali juga ada tradisi demikian. Baru masuk ke
ngerorod.

Tradisi merariq merupakan kebudayaan yang dianggap cukup ekstrim.


Pasalnya seorang pria yang ingin meminang seorang perempuan harus menculik
terlebih dahulu perempuan yang ingin dinikahi dan kemudian dibawa ke rumah
keluarga seorang pria. Hal tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia
dikarenakan merariq tidak lepas dari kata penculikan, sementara penculikan
identik dengan tindakan yang negatif seperti kekerasan terhadap seseorang dan
adanya tindakan merendahkan derajat serta martabat kemanusiaan. Dari beberapa
alasan-alasan yang ada tersebut tradisi merariq juga dianggap bertentangan
dengan UU No. 23 Tahun 2004 yang mana inti yang tercantum dalam UU No. 23
Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa
aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Kaitannya dengan merariq adalah
merariq dianggap sebagai tindakan yang kriminal dan mengandung kekerasan
maka dari itu perlu dihapuskan. Selain itu juga erat kaitannya dengan UU No. 21
Tahun 2007 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
intinya mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan-tindakan dalam proses,
cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik
perdagangan orang. Budaya kawin lari "merariq" memiliki pro dan kontrak
Meskipun demikian setelah lama berlangsung budaya kawin lari "Merariq" di
Suku Sasak tidak semua setuju akan budaya itu karena menurut para ulama atau
Tuan Guru berpendapat bahwa kawin lari merupakan tradisi orang Hindu Bali dan
menganjurkan membuat tradisi kawin lari. Akan tetapi Suku Sasak percaya kalau
itu adalah budaya asli Suku Sasak yang harus ditradisikan dan tidak boleh
dipunahkan.

Begitu pula pentingnya arti perkawinan di mata masyarakat Suku Bali


umumnya beragama Hindu, maka orang-orang tua dahulu memberlakukannya
dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan dan pertimbangan. Hal ini dapat
dirasakan dengan ketelitian orang tua mengenai calon mempelai kedua belah
pihak. Terutama yang menyangkut masalah bobot, bebet, dan bibit. Yakni
mengani kualitas calon mempelai, sislsilah atau keturunan dan kelahiran
(perwatakan) yang akan menjurus masalah pertemuan sang mempelai. Kedua
mempelai harus ada kecocokan, sehingga dapat mengambil keputusan untuk
menikah, semua langkah tersebut tentunya menjurus kepada keinginan
melestarikan kehidupan berkeluarga yang harmonis, (Narwada, 1995: 5).
Terjadinya kawin lari bersama (ngerorod), dimana pihak laki-laki sudah
mempersiapkan segala sesuatunya bagi keperluan pelaksanaan kawin lari, yakni
dengan mempersipkan tempat persembunyian, disamping mempersiapkan dua
orang untuk menjadi utusan yang akan melaporkan kejadiannya kawin lari,
rangkat (ngerorod) kepada pihak keluarga perempuan. Para utusan sebelum mulai
menjalankan tugasnya harus mengetahui kronologisnya yang jelas atas kejadian
atau pristiwa terjadinya kawin lari bersama dan penganten wanita suadh ebrada di
tempat persembunyian. Menuruut dresta kedua calon penganten yang sudah
berada di tempat persembunyian tidak diperkenankan untuk mengabil pekerjaan
apapun selama tiga hari, sebab mulai saat kumpul sudah dinyatakan sebel, Lontar
Sesana Agama Siwatman (dalam Narwada, 1995:7). Dan sang utusanpun tidak
diperkenkan menerima suguhan apapun dari si penerima pejati meskipun acara
resmi sudah berjalan lancar, saling kenal, mengingat adanya rasa benci yang
terpendam, sehingga pada suguhan terdapat racun, agar tidak dimakan. Usahakan
memunculkan di bab dua secara rinci, posisi wanita di marginalkan.

Terjadinya Kawin lari (ngerorod) antara lain; pertama, pihak laki-laki


(berdasarkan sejarah) merasa Kesatrya dan satya (berani, teguh, dan setia pada
prinsip) bahkan diperlukan dibela Dengan darah; kedua, dilihat dari pihak
perempuan (dahulu) adanya sebuah pendapat Merasa terhina kalu anaknya
diminta atau dipinang; ketiga, disamping tentu adanya Keterkaitan dengan palaku
yang tidak terlepas dari istilah bebet, bobot, dan bibit; Keempat, dari segi
postitifnya perkawinan ngerorod jarang ngambul, ngambek, dan Jarang cerai,
(Narwada, 1995:6). Mereka-mereka yang melakukan kawin lari itu atas
Kesepakan berdua karena sudah berdasarkan cinta-sama cinta.Terjadinya kawin
lari bersama (ngerorod), dimana pihak laki-laki sudah Mempersiapkan segala
sesuatunya bagi keperluan pelaksanaan kawin lari, yakni Dengan mempersipkan
tempat persembunyian, disamping mempersiapkan dua orang Untuk menjadi
utusan yang akan melaporkan kejadiannya kawin lari, rangkat (ngerorod) kepada
pihak keluarga perempuan. Para utusan sebelum mulai Menjalankan tugasnya
harus mengetahui kronologisnya yang jelas atas kejadian atau Pristiwa terjadinya
kawin lari bersama dan penganten wanita suadh ebrada di tempat Persembunyian.
Menuruut dresta kedua calon penganten yang sudah berada di tempat
Persembunyian tidak diperkenankan untuk mengabil pekerjaan apapun selama
tiga Hari, sebab mulai saat kumpul sudah dinyatakan sebel, Lontar Sesana Agama
Siwatman (dalam Narwada, 1995:7). Dan sang utusanpun tidak diperkenkan
Menerima suguhan apapun dari si penerima pejati meskipun acara resmi sudah
Berjalan lancar, saling kenal, mengingat adanya rasa benci yang terpendam,
sehingga Pada suguhan terdapat racun, agar tidak dimakan.

Masing-masing suku memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda terhadap


kawin lari tersebut, akan tetapi pada realitanya banyak problematika yang terjadi
di masyarakat terhadap tradisi tersebut karena bertentangan dengan agama dan
undang-undang yang berlaku, namun banyak faktor yang menjadi pendorong
tradisi masih berlangsung hingga saat ini, seperti; Syarat dan pembiayaan yang
tidak dapat dipenuhi; Perempuan belum diizinkan berumah tangga; Laki-laki atau
perempuan telah dijodohkan; Keluarga perempuan menolak lamaran pihak laki-
laki dan; Perempuan telah hamil diluar nikah. Inilah beberapa faktor yang umum
terjadi serta menjadi pendorong masyarakat untuk masih melakukan tradisi kawin
lari.

Pernikahan biasanya lebih mudah dilakukan oleh mempelai yang memiliki


kesamaan suku, agama, dan status sosial. Namun, tak sedikit pula pernikahan
yang dilakukan oleh mempelai dengan perbedaan latar belakang, salah satunya
yaitu perbedaan suku. Suku sasak biasanya beragama islam, dan suku bali
biasanya beragama Hindu. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
pernikahan. Sulitnya mendapat restu orang tua akibat perbedaan tersebut
mendorong masyarakat Desa Tanjung masih melakukan tradisi kawin lari. Kawin
lari ini juga dilakukan apabila sang mempelai wanita hamil diluar nikah.
Seseorang akan malu jika kehamilannya diketahui oleh masyarakat sekitar dimana
dia belum memiliki suami. Untuk mencegah hal itu, pasangan akan memilih
melakukan kawin lari. Perbedaan latar belakang dan fenomena tersebut tentu
menimbulkan problematika diantara keluarga kedua belah pihak yang
mengharuskan mempelai untuk melakukan kawin lari.

Pihak wanita tentu menjadi pihak yang dirugikan pada fenomena ini yang
dimana pihak wanita tentu mengikuti pihak laki-laki baik dari budaya, agama,
komunikasi dan perbedaan nilai keluarga. Perempuan yang menikahi seseorang
dari suku yang berbeda dapat menghadapi penolakan atau perlakuan diskriminatif
dari masyarakat atau bahkan keluarga mereka sendiri. Perempuan dalam
pernikahan beda suku mungkin merasa terisolasi karena perbedaan bahasa atau
norma sosial, yang dapat memengaruhi hubungan mereka dengan masyarakat dan
keluarga suami. Sehingga pihak wanita menjadi obyek marginalisasi sebagai salah
satu dari bentuk diskriminasi terhadap pihak wanita. Wanita yang memilih
menikah dengan laki-laki yang berbeda suku biasanya akan putus hubungan
dengan keluarganya sendiri, karena perbedaan tradisi, nilai, dan agama yang
menyebabkan pihak wanita tidak di akui lagi keberadaannya di keluarganya
sendiri. Minimal 4 maksimal 5 latar belakang, terangkan prosesi secara umumnya
dan secara kawin lari. Fokus ngerorod
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut : bagaimana bentuk2 marginalisasi pasca tradisi kawin lari
ngerorod?

Sebelum, sesaat dan pasca.

Dinamika perempuan pasca tradisi ngerorod (studi kasus desa tanjung).

Teori marginalisasi perempuan

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Relevan


DAFTAR PUSTAKA

Nuasa, I. K. (2020). Implementasi Kawin Lari Antar Suku Bali Di Desa Babakan
Gerung Lombok Barat. Jurnal Hukum Agama Hindu Widya Kerta, 3(2), 115-133.

Muhsinin, M., Arjani, N. L., & Wiasti, N. M. Tradisi Kawin Lari (Merariq) pada
Suku Bangsa Sasak di Desa Wanasaba, Lombok Timur.

Murni, M., Muslimin, A., & Suardi, S. (2019). Penerimaan Masyarakat Tehadap Perilaku
Kawin Lari (Study Kasus Kelurahan Malakaji Kecamatan Tompobulu Kabupaten
Gowa). Equilibrium: Jurnal Pendidikan, 7(2), 257-263.

Roslan, S., & Sarpin, E. H. Fenomena Kawin Lari (Pofileigho) pada Masyarakat Muna di
Kelurahan Tampo Kecamatan Napabalano Kabupaten Muna (Doctoral dissertation,
Haluoleo University).
Sudarmawan, S. (2009). PELAKSANAAN KAWIN LARI SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK
MENEROBOS KETIDAKSETUJUAN ORANG TUA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG NOMOR: 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Di Kecamatan
Dompu Kabupaten Dompu NTB) (Doctoral dissertation, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro).

Suta, I. W. B., Budiartha, I. N. P., & Sukadana, I. K. (2021). Keabsahan perkawinan


ngerorod (kawin lari) di Desa Kelusa, Kabupaten Gianyar. Jurnal Interpretasi
Hukum, 2(1), 184-188.

Anda mungkin juga menyukai