Anda di halaman 1dari 6

PUDARNYA TRADISI PERKAWINAN ADAT MELAYU LINGGA

Jika kita berbicara mengenai warisan Budaya Melayu di Lingga, pasti tidak akan
pernah habisnya. Karena negeri kita tercinta ini memiliki warisan budaya yang tidak terhitung
jumlahnya. Mulai dari warisan Cagar Budaya Melayu benda pada 2018, tercatat ada 4.960
koleksi yang tersimpan di Museum Linggam Cahaya. (https://www.jawapos.com/) serta
takbenda, sudah ada 25 warisan budaya yang disetujui oleh pemerintah pusat, yaitu Zapin Kote,
Air Laksamane Mengamuk, Lingga, Kue Bangkit, Kue Gelam, Kue Batang Buruk, Legenda
Gunung Daik, Gendang Berarak, Aneka Makanan Olahan Sagu Lingga, Permainan Anak-anak
Lingga, Tradisi Ketupat Lepas, Busana Perempuan Wanita Budaya Melayu Lingga, Keripik sagu
Lingga, Tradisi makan-makan di Bukit Datuk, Nasi Dagang, Kue Apam, Adat Perkawinan
Melayu Lingga, Berzanji Lingga, Kintau Lingga, Menyalo Sagu, Gubal, Bubur Asyura, Tradisi
Haul Jama’, Tradisi Maulid Nabi Muhmmad di Kabupaten Lingga, Manakib Saman Lingga pada
Sidang Penetapan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Tanjungpinang, Jumat 29 Oktober
2021(https://batam.tribunnews.com/)

Kekaguman saya terhadap Bumi “Bunde Tanah Melayu” kita ini yang bukan saja
meninggalkan berbagai warisan cagar budaya, tetapi juga warisan budaya takbenda, yang sebagian
sampai kini masih tetap lestari di tengah-tengah kehidupan masyarakat Lingga. Perkawinan Adat
Melayu Lingga merupakan bagian dari warisan budaya tak benda Kabupaten Lingga yang sampai kini
masih terus ada ditengah-tengah masyarakat Lingga. Namun, upacara perkawinan adat Melayu Lingga
juga terdapat berbagai prosesi didalamnya mulai dari prosesi tahapan pranikah atau sebelum menikah,
selanjutnya dengan tahap pernikahan dan tahap sesudah menikah.

Semakin berkembangnya zaman, kebudayaan-kebudayaan lokal di Lingga sudah


mulai terkikis dengan adanya globalisasi. Bahkan jika kita jumpai di beberapa daerah kita akan
jarang menjumpai masyarakat yang masih mempertahankan kebudayaan mereka sendiri terutama
pada saat tradisi upacara perkawinan. Dibuktikan dengan hanya beberapa daerah saja di
Kabupaten Lingga yang masih memegang adat istiadat prosesi perkawinan mulai dari tahap
pranikah atau sebelum menikah, tahap pernikahan hingga sampai tahap sesudah menikah.
Namun, sebagian besar masyarakat Kabupaten Lingga masih mempertahankan budaya upacara
perkawinan tradisional Melayu seperti berandam, berarak serah terima hantaran dan ijab kabul,
berinai pengantin, dan berarak pengantin tetapi masih banyak juga prosesi-prosesi adat lain yang sudah
mulai ditinggalkan oleh masyarakat Lingga

Upacara adat perkawinan tradisional Melayu Lingga merupakan warisan budaya kita
yang sudah ada sejak dahulu ketika Lingga masih menjadi pusat kerajaan Melayu. Warisan
tersebut wajib kita ketahui agar tidak luntur dimakan zaman yang sudah semakin modern ini.
Maka dari itu, essay saya kali ini berjudul PUDARNYA TRADISI PERKAWINAN ADAT
MELAYU LINGGA.
Kabupaten yang terkenal dengan julukan “Mother Land Malay” atau “Bunda Tanah
Melayu” ini merupakan bagian dari wilayah alam Melayu yang bersejarah dan berbudaya. Lingga
pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga ke Lingga-Riau. Sebelum raja-
raja keturunan Johor memimpin, wilayah Lingga berada di bawah pemerintahan Maharaja Lingga yang
kemudian berada di bawah naungan Kerajaan Melaka. Setelah berakhirnya kekuasaan Maharaja
Lingga yang bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Johor, wilayah Lingga di kuasai oleh penguasa
dari Jambi yang bergelar Megat.  Megat Raden Kuning anak dari Megat Mata Merah telah berhijrah
dari Jambi ke Lingga dan menetap di Daik. Daerah Lingga yang seterusnya di bawah pemerintahan
keturunan Megat Kuning berada di bawah taklukan Kerajaan Johor. Keturunan Megat Raden Kuning
yang berada di Lingga bergelar Orang Kaya Lingga.

Menurut catatan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Indonesia, pada tahun 1618
hingga 1623, Lingga pernah menjadi pusat Kerajaan Johor di bawah pemerintahan Sultan Abdullah
Mu’ayat Syah. Akibat serangan Kerajaan Aceh yang masa itu di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Mahkota Alam ke Lingga, Sultan Abdullah Mu’ayat Syah terpaksa menyingkir ke pulau Tambelan dan
mangkat di sana pada tahun 1623. Pada tahun 1787 akibat perlawanan terhadap VOC, Mahmud Riayat
Syah Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga memindahkan pusat kerajaan dari Riau ke Lingga. Sejak
itu Lingga menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Pada tahun 1830, Sultan Abdul
Rahman Syah (1812-1832) terpaksa melepaskan wilayah Johor, dan Pahang serta wilayah taklukannya
di semenanjung tanah Melayu akibat perjanjian London tahun 1824. Dengan dilepaskannya wilayah
Johor dan Pahang berdirilah Kerajaan Lingga-Riau. Tahun 1900, Lingga berakhir sebagai pusat
Kerajaan Lingga-Riau, karena Sultan Abdul Rahman Mu’azzam Syah memindahkan pusat Kerajaan
ke pulau Penyengat di Riau

Sebagai daerah yang bersejarah tentunya Lingga pernah menjadi bagian dari  pusat tamadun
Melayu. Lingga pernah menjadi bagian dari pusat pengembangan adat istiadat dan agama Islam di
wilayah Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga. Sehinga dalam Upacara adat perkawinan tradisional
Melayu Lingga memiliki rangkaian-rangkaian upacara mulai dari sebelum menikah, pada saat
menikah, hingga sesudah menikah yang dilakukan sultan-sultan pada masa pemerintahan terdahulu.

Prosesi sebelum menikah dimulai dengan Merisik. pengantin atau keluarga pengantin
yang akan menikah melakukan Merisik. Merisik adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
beberapa orang perempuan untuk pergi ker rumah orang tua si gadis. Kata ini berarti menyelidik.
Adapun hal yang diselidiki oleh utusan itu ialah sudah atau belumkah bertunang si gadis. Pada
kesempatan itu juga digunakan untuk memeperhatikan dengan teliti segala tingkah lakunya dari
dekat. Sebelum berkunjung ke rumah pihak perempuan, ibu bapak pihak lelaki memilih beberapa
orang saudara terdekat untuk menjadi wakilnya. Biasanya mereka memilih seseorang yang sudah
berumur dan dua orang saudara perempuannya. Salah seorang dari mereka ditunjuk sebagai juru
bicara dalam majelis pertemuan itu. Juru bicara ini biasanya orang yang biasa menyusun kata-
kata, terutama kata yang tersirat berbunga-bunga, tapi bermakna.
Dalam masyarakat Melayu masih memegang teguh ungkapan “Kalau hendak
meminang anaknya pinanglah ibu bapaknya terlebih dahulu”. Ungkapan ini menjelaskan bahwa
pandangan dan restu orang tua si gadis perlu diperoleh terlebih dahulu dalam membuat
keputusan besar seperti perkwinan. Setelah dilakukanya merisik jika mendapat persetujuan dari
si gadis maka dilakukanlah Meminang yang diawali dengan menunjuk orang tua yang sudah
berpengalaman dalam hal pinang meminang. Orang tua disertai oleh beberapa pasangan suami
istri atau orang tua-tua, baik laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya, rombongan yang akan
melakukan peminangan mempersiapkan sesuatu yang biasanya digunakan adalah acara
peminangan yaitu tepak sirih. Pada hari yang sudah ditetapkan dengan persetujuan dari pihak
keluarga si gadis bersedia untuk menerima tamu utusan itu. Berangkatlah rombongan tersebut ke
rumah orang tua si gadis dengan membawa sebuah tepak sirih yang berisi “Sirih Pinangan”.
Setelah disambut kedatangannya, wakil pihak lelaki mengutarakan hajat atau maksud yang
diamanahkan oleh orang tua pihak lelaki kepada orang tua si gadis. Pinangan tersebut
disampaikan dalam Bahasa yang berbunga-bunga berselang seling dengan pantun yang
mengarah kepada meminta terimanya pinangan tersebut.

Ada banyak ragam pantun yang biasa digunakan sesuai dengan kemahiran juru bicara,
antara lain pantun berikut: Niat hati hendak berenang, Takut kiranya lautan Cina. Niat hati
hendak meminang, Kalau kiranya belum berpunya. Setelah putus kata pantun, maka maka pihak
perempuan akan meminta tangguhan waktu untuk menjawab secara pasti. Apabila jodoh mereka
dianggap sepadan, maka dikirim utusan untuk memberi tahukan disebut “putus cakap” yang
artinya pinangan itu diterima. Apabila dianggap tidak sepadan pinangan ditolak dengan Bahasa
yang sopan.

Setelah pinangan diterima oleh si gadis, keluarga pihak laki-laki mengutus lagi
rombongan untuk melaksanakan pekerjaan yang dinamakan mengantar tanda, yang berarti
hubungan antar si lelaki dengan si gadis sudah sampai pda tahap pertunangan. Dalam acara
mengantar tanda ini ke dua belah pihak akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan hal-
hal seperti tempoh atau waktu pertunangan yang biasanya tidak melebihi setahun, janji yang
menetapkan denda yang dikenakan pada sepihak yang mengingkari janji, jika pihak lelaki karena
suatu sebab tidak meneruskan pertunangan, sehingga sampai memutuskan maka pihak lelaki kan
kehilangan pemberiannya, dan jika memutuskan tunangan adalah pihak perempuan, maka ia
harus mengembalikanya dua kali lipat.

Dalam menentukan tarikh atau masa perkawinan, kedua belah pihak biasanya
mengambil bulan yang sesuai berdasarkan pertimbangan adat. Adat menetapkan bahwa bulan
Maulud (Rabiul Awal), Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Sya’ban, dan Zulhijah
merupakan bulan-bulan yang paling tepat untuk melangsungkan perkawinan karena kemuliaan
yang terdapat pada bulan-bulan tersebut lalu dilanjutkan dengan mengantar belanja, merupakan
salah satu prosesi dala adat perkawinan Melayu. Acara ini maksudnya adalah untuk
menunjukkan keseriusan dan rasa tanggung jawab pihak laki-laki untuk mempersunting si gadis.
Menjelang dilangsungkanya akad nikah, acara yang disebut gantung-gantung di rumah
pengantin wanita telah dimulai persiapan menjelang upacara perkawinan yang biasanya diawali
dengan kenduri atau do’a selamat agar semua kegiatan yang akan dilaksanakan mendapat ridho
dan diberkahi oleh Allah SWT. Setelah pembacaan do’a selamat selesai, barulah akan dimulai
kerja-kerja membangun bangsal-bangsal dan menghias pelaminan atau tempat duduk pengantin
yang dibuat menyerupai singgasana raja. Periuk-periuk besar yang dinamakan “periuk bom”
disiapkan untuk memasak jamuan di bangsal-bangsal yang merupakan dapur khusus. Adapun
calon pengantin perempuan sejak masa pertunangan dijaga dengan sangat ketat, dan tambah
diperketat lagi menjelang hari besar. Calon pengantin perempuan diasingkan dari rumah untuk
dibedak langir dan bertangas, hal ini biasanya disebut “berkurung”.

Menjelang hari pernikahan, maka akan dilakukanya penjemputan, dilakukan oleh


wanita dan lelaki berumur kira-kira separuh baya yang ditugaskan oleh ibu bapak pengantin.
Penjemputan wanita akan datang menjemput kaum wanita begitupun sebaliknya. Tradisi
menjemput pada masa lalu dikenal juga dengan istilah “menyongsong”. Penjemput akan datang
ke rumah orang yang dijemput satu persatu untuk mengajak dan mengingatkan bahwa waktu
untuk datang ke majelis pernikahan telah tiba.

Satu hari sebelum akad nikah dilaksanakan, menggiling rempah telah dilakukan.
Sejak awal malam telah disediakan sekian banyak batu giling yang diletakkan di bangsal-
bangsal. Berganti-ganti orang mengupas bawang dan macam-macam rempah, menggilingnya
halus mengikuti petunjuk kepala dapur atau juru masak.

Suasana malam perkawinan kian terasa apabila si gadis dan si lelaki mulai melalui
upacara yang melayakkan diri mereka bergelar pengantin. Upacara awal yang dilalui pengantin
ialah berinai. Pada hari itu, jari-jari tangan kanan dan tangan kiri, telapak tangan serta keliling
telapak kaki pengantin perempuan diinai. Seseorang atau beberapa orang perempuan (saudara
perempuan pengantin) ditugaskan untuk meletakkan inai dibeberapa jari. Apabila inai
ditinggalkan akan kelihatan jari dan telapak tangan yang diinaikan itu berwarna merah. Inilah
keistimewaan menjadi pengantin yang kelihatan berseri-seri dan menandakan sudah bersedia
untuk memasuki gerbang perkawinaan. Sedangkan calon pengantin laki-laki diinai tidak
sebanyak perempuan. Pihak lelaki diinai cukup dijari manis saja.

Upacara dimulai dengan mendudukan calon pengantin di atas alas tempat duduk yang
berupa lipatan kain yang sebelumnya sudah dilakukan prosesi berandam atau mengandam yaitu
kegiatan menghias pengantin agar kelihatan berseri dan siap melakukan prosesi upacara
pernikahan lainnya. Sebelum acara berandam dimulai terlebih dahulu dilakukan acara tepung
tawar. Yang dilakukan oleh keluarga terdekat pengantin. Biasanya, rangkaian acara tepung
tawar dilakukan setelah pengantin melakukan ijab Kabul.
Adat istiadat perkawinan Melayu Lingga masih banyak lagi rangkaian upacaranya,
seperti betangas (pembersihan diri), berarak serah terima hantaran dan ijab Kabul, berkat,
berarak pengantin, suap-suap pengantin, makan berhadapan pengantin, mandi-mandi pengantin,
berzanji, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya jabarkan satu persatu dikarenakan
keterbatasan kesempatan dalam penulisan essay ini.

Namun globalisasi ini memang tidak bisa kita hindari sekalipun bahkan menolak juga
bukan lah pilihan yang tepat. Karena dengan menghambat gobalisasi juga dapat menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dari itu agar budaya warisan tak benda ini tetap
bertahan sangat diperlukan dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak dini kepada kita
semua sebagai generasi muda Kabupaten Lingga sehingga dapat membangun jati diri bangsa
serta memberikan pemahaman falsafah atas budaya lokal.

Perlu saya tekankan kepada generasi muda Kabupaten Lingga, khususnya teman-teman
sebaya. Essay ini saya tulis bukan untuk dilakukan saat ini, mengingat tingginya perkawinan
anak usia sekolah di Kabupaten Lingga. Tetapi, semata mata hanya agar kita sebagai generasi
muda sudah sepatutnya untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya tak benda tradisi adat
perkawinan yang kita punya agar tidak hilang begitu saja ditelan budaya barat.

Referensi :
- Penetapan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Warisan Budaya Takbenda Indonesia
“Perkawinan Adat Melayu Lingga”
- Qurniadi, Magdalena. (2013). Kebudayaan Melayu Kepulauan Riau untuk SD/MI Kelas 6.
Batam: CV. BINTANG DUNIA
- Lembaga Adat Melayu Kota Tanjungpinang. (2006). Adat Istiadat Perkawinan Tradisional
Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Lembaga Adat Melayu Kota Tanjung Pinang.
- https://www.jawapos.com/
- https://batam.tribunnews.com/

Anda mungkin juga menyukai