Anda di halaman 1dari 9

1

ADAT PERNIKAHAN MASYAKARAT MELAYU PALEMBANG


Okta Eriya Ramadhani
2316030160
oktaeriyar@gmail.com
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

ABSTRACT

Tradisi pernikahan merupakan bagian integral dari budaya yang kaya dan beragam dari
masyarakat Melayu Palembang. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki adat dan tradisi yang mendasari budaya perkawinan masyarakat Melayu
Palembang serta perubahan dan perkembangannya dalam konteks zaman modern. Metode
penelitian yang digunakan adalah studi kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen. Temuan menunjukkan
bahwa tradisi pernikahan Melayu Palembang mengandung nilai-nilai keluarga, keagamaan,
dan sosial yang kuat, serta kaya akan simbol-simbol dan ritual khas. Namun, di era
globalisasi dan modernisasi, terjadi pergeseran dan adaptasi dalam praktik pernikahan
tradisional ini. Faktor-faktor seperti urbanisasi, pendidikan, dan pengaruh media massa
juga memengaruhi pola pernikahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini.
Dalam konteks ini, penelitian ini memberikan wawasan tentang dinamika tradisi
pernikahan masyarakat Melayu Palembang serta tantangan dan peluang dalam melestarikan
warisan budaya ini di era modern. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam pemahaman yang lebih dalam tentang keberlanjutan budaya pernikahan dan tradisi
di Palembang serta memberikan wawasan berharga bagi upaya pelestarian dan
pengembangan budaya lokal.
Kata kunci : Adat pernikahan, Melayu, Palembang

I. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk social membutuhkan pasangan untuk melanjutkan
keturunan, pada hakikatnya manusia akan melakukan suatu ikatan sakral yang disebut
dengan pernikahan berdasarkan ajaran agama dan norma adat yang berlaku didaerahnya.
Pernikahan merupakan langkah resmi bagi manusia untuk melanjutkan keturunan dan juga
dianggap sebagai perintah agama bagi seluruh umat manusia. Dalam ajaran Islam,
pernikahan memiliki nilai hukum yang jelas, menuntut pemenuhan persyaratan tertentu
yang melibatkan kedua belah pihak serta pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Hampir di
semua masyarakat dan suku bangsa di seluruh dunia, pernikahan dianggap sebagai transisi
penting dalam kehidupan manusia.
Pernikahan diatur dalam agama, hukum, dan adat secara berbeda-beda tergantung
pada masyarakat dan budaya di mana pernikahan itu terjadi. Dalam banyak agama,
2

pernikahan dianggap sebagai ikatan suci antara dua individu yang diakui oleh Tuhan atau
otoritas agama yang bersangkutan. Agama memberikan panduan dan aturan tentang
bagaimana pernikahan harus dilakukan, termasuk persyaratan, ritual, dan norma-norma
moral yang harus diikuti oleh pasangan yang menikah. Contohnya, dalam agama Islam,
pernikahan diatur oleh syariat yang meliputi persyaratan tentang kesepakatan kedua belah
pihak, wali nikah, mahar, serta proses akad nikah1. Pernikahan juga diatur oleh hukum
negara atau yurisdiksi hukum tertentu. Hukum menetapkan persyaratan legal yang harus
dipenuhi agar pernikahan diakui secara sah di mata hukum. Ini termasuk prosedur
pendaftaran pernikahan, usia minimum untuk menikah, proses perceraian, serta hak dan
kewajiban hukum bagi pasangan yang menikah. Undang-undang pernikahan biasanya
berlaku untuk semua warga negara yang tinggal di suatu negara atau yurisdiksi, terlepas
dari agama atau kepercayaan mereka. Di samping aturan agama dan hukum, pernikahan
juga diatur oleh adat istiadat atau tradisi budaya masyarakat tertentu. Adat istiadat
pernikahan mencakup berbagai praktik, ritual, dan norma yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi. Ini bisa termasuk tradisi tentang pesta pernikahan, pakaian pengantin,
upacara adat, dan tata cara dalam pernikahan. Adat istiadat pernikahan sering kali
mencerminkan nilai-nilai budaya, sosial, dan sejarah dari suatu masyarakat2.
Pengaturan pernikahan dalam agama, hukum, dan adat memainkan peran penting
dalam membentuk cara-cara di mana pernikahan dilakukan dan diakui dalam suatu
masyarakat. Kombinasi dari ketiga aspek ini membentuk kerangka yang kompleks untuk
pernikahan, yang mencerminkan nilai-nilai dan identitas dari masyarakat yang
bersangkutan.

Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi adat, budaya dan agama
memasukkan unsur ketiganya dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat tidak terkecuali
didalam pernikahan. Hampir diseluruh pelosok negeri memiliki ragam dan budayanya
tersendiri dalam melaksanakan upacara pernikahan yang sakral tersebut, salah satunya di
Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Sebagai salah satu bagian dari provinsi di Pulau
Sumatera, Palembang menyimpan banyak sekali ragam budaya, kota yang terkenal dengan
kuliner pempek ini juga terkenal dengan adat pernikahannya yang unik, seiring berjalannya

1
Ahmad Atabik & Khoridatul Mudhiiah, pernikahan dan hikmahnya perspektif hukum islam, Vol 5 No.2
Yudisia, 2014 hal 291
2
Hajra Husain & Nurlela, Tradisi Tawara Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Bantaeng, Vol 5, Journal
of Anthropology 2023
3

waktu budaya dan adat pernikahan di Palembang mengalami perubahan mengikuti dengan
perkembangan zaman. Maka dari itu tulisan ini akan membahas perspektif adat pernikahan
pada masyarakat melayu Palembang, ini berarti melihat bagaimana proses pernikahan,
termasuk persyaratan, ritual, dan norma-norma yang terkait, diatur dan dipraktikkan sesuai
dengan adat dan tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat Melayu Palembang. Hal ini
mencakup segala aspek dari persiapan hingga pelaksanaan pernikahan, serta nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi landasan dalam menjalankan institusi pernikahan dalam
komunitas Melayu Palembang.

II. PEMBAHASAN
2.1 Prosesi Adat pernikahan Masyarakat Palembang
2.1.1 Pra Pernikahan
Sejak zaman kesultanan Palembang Darussalam, prosesi adat pernikahan telah
menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Pada masa itu, kesultanan memegang
peran penting sebagai pemangku adat tertinggi. Prosesi pernikahan yang membutuhkan
waktu, tenaga, dan biaya sering kali dilakukan oleh keturunan bangsawan yang mampu
secara finansial. Namun, dengan kemunduran kesultanan Palembang akibat diasingkannya
Sultan Mahmud Badaruddin II ke Ternate dan kekuasaan Belanda atas Palembang, tradisi
adat pernikahan mengalami penurunan dan perubahan3. Banyak masyarakat yang mulai
meninggalkan praktik adat yang telah dijalankan sebelumnya.
Rangkaian prosesi adat pernikahan Palembang dimulai dari Madeek4, ialah kegiatan
menyelidiki gadis yang hendak dijadikan mantu oleh sang ibu dari laki – laki. Ibu dari
pihak laki – laki akan bertamu dan melihat anak gadis dari keluarga tersebut, menyelidiki
asal usul si gadis yang akan dinikahkan, mulai dari kebiasaannya dirumah sampai status
kehidupan pribadi si gadis apakah sudah ada yang memilki atau belum. Biasanya hal ini
dilakukan tidak satu atau dua kali, ibu mempelai laki – laki bisa melakukannya beberapa
kali hingga mendapatkan keyakinan akan latar belakang dari wanita yang akan dinikahi
anaknya. Hal ini biasanya tidak dilakukan oleh mempelai laki – laki saja, tetapi juga boleh
dilakukan oleh pihak perempuan. Kegiatan Madeek ini dilakukan dengan adat kesopanan
dan kesantuan agar tujuannya tercapai dan tidak menyinggung kedua belah pihak, biasanya

3
Syarifuddin dkk, Pergeseran Tata Cara Pelaksanaan Adat Pernikahan di Palembang 1990 – 2010, Vol 21
No 2, Mozaik Humaniora, 2021 Hal 242
4
Ibid.
4

pihak keluarga akan menggunakan bahasa – bahasa halus penuh humor untuk melakukan
penyelidikan untuk mendapatkan informasi yang dicari.
Apabila pada tahap Madeek, pihak yang melakukan penyelidikan terhadap calon
pengantin merasa cocok dan diterima dengan baik oleh masing – masing keluarga, maka
pihak laki – laki akan mengirimkan utusan seorang perempuan yang sudah cukup tua untuk
datang kerumah si gadis dengan tujuan untuk menyampaikan kehendak bahwa sang gadis
akan disenggong atau dikendakke istilahnya “diinginkan” oleh mempelai laki – laki.
Semenjak hari ini sang gadis akan dipingit dan tertutup kesempatan bagi laki – laki lain
untuk meminang.
Tahap selanjutnya dari prosesi para pernikahan adat melayu Palembang adalah
Nemuke Kato yaitu proses dimana ketika nyenggong telah selesai berdasarkan waktu yang
telah disepakati maka ibu dari mempelai laki – laki bersama dengan ibu tetua yang menjadi
wakil datang berkunjung kerumah si gadis untuk menyepakati bahwa benar si gadis lah
yang dikehendaki oleh si bujang untuk di nikahi. Jika kehendak ini di terima oleh ibu gadis
berarti si bujang dan si gadis telah menjalin ikatan pertunangan sebagai tanda biasanya ibu
si laki – laki akan memberikan tanda berupa cincin, gelang, atau kalung5. Dimana pada
proses penyerahan tanda tersebut diiringi dengan berbalas pantun dari masing – masing
pihak.
Setelah melalui tahap Nemuke Kato kedua belah pihak akan menentukan
kesepakatan tentang jumlah mahar atau mas kawin serta hal – hal keperluan lain yang
dibutuhkan untuk melangsungkan prosesi pernikahan, kegiatan ini disebut dengan
Berasan/Mutuke Kato. Saat Mutuske kato biasanya akan ditentukan hari yang dipilih untuk
pernikahan, uang belanja yang akan diserahkan kepada keluarga perempuan. Bersamaan
akan dilakukannya mufakat dan pembentukan panitia yang diikuti oleh tetua adat kampung,
RT, RW dan para warga sekitar yang akan dilibatkan dalam acara pernikahan tersebut.
Tahapan terakhir pada para pernikahan adat melayu Palembang adalah nganterke
belanjo6. Prosesi ini biasanya dilakukan beberapa waktu sebelum acara Munggah, baik itu
satu bulan, setengah bulan, bahkan beberapa hari sebelumnya. Kegiatan ini mayoritas
dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan kaum pria biasanya hanya mengiringi. Uang
belanja, yang dikenal sebagai duit belanjo, disimpan dalam ponjen berwarna kuning dengan

5
Henny Rosa Putri & Aman, Pergerseran adat perkawinan masyarakat meranjat, Ogan Ilir Sumatera Selatan,
Vol 24 No 02 Jurnal Antropologi : isu – isu social budaya, 2022 hal 139
6
Dwi Anggi Wulandari & Marzuki, Undang – undang Simbur Cahaya dalam mengatur hukum perkawinan di
kesultanan Palembang, Vol 22 No 2 Jurnal Antropologi: isu -isu Sosial Budaya, 2020 hal 187
5

atribut pengiring berbentuk manggis. Hantaran dari pihak calon mempelai pria juga
dilengkapi dengan nampan-nampan yang minimalnya berjumlah 12 buah, berisi berbagai
keperluan untuk pesta seperti terigu, gula, buah kaleng, kue-kue, dan jajanan. Selain itu,
juga disertakan 'enjukan' atau permintaan yang telah disepakati saat proses lamaran, sebagai
syarat adat pelaksanaan perkawinan. Tahapan pra nikah ini menunjukkan adanya tata krama
adat yang luhur dan sesuai dengan norma-norma keislaman. Terdapat nilai-nilai
kebersamaan, musyawarah, saling menghargai, dan kesungguhan dalam menjalin rumah
tangga yang baik sesuai dengan adat, tetapi tetap tidak terlepas dari tuntunan agama.

2.2 Puncak Acara pernikahan


Mendekati hari H pernikahan mempelai pengantin laki – laki dan perempuan akan
melaksanakan beberapa prosesi seperti Majang, Betangas, Bebedak dan Bepacar dimana
masing – masing dari kegiatan ini adalah mendekorasi rumah pengantin, kamar pengantin,
ruang tengah dan pelataran rumah7, lalu selanjutnya mempelai wanita dan laki – laki akan
melakukan Betangas atau diuapi sama seperti sauna menggunakan rempah – rempah
sehingga kulit pengantin bersih, wangi dan tidak mudah berkeringat hal ini dilakukan 4 atau
5 hari sebelum hari pernikahan. Selanjutnya adalah bebedak yaitu proses menggunakan
bedak yang dibuat dari veras dan ramuan – ramuan tradicional lainnya, dan terakhir adalah
menggunakan inai (pewarna kuku alami) atau bepacar.
Setelah melewati berbagai proses kegiatan sampailah dihari yang ditunggu – tunggu
yaitu akad nikah. Biasanya akad nikah dilakukan di rumah pengantin laki – laki, pada adat
Melayu Palembang apabila akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita maka
diistilahkan dengan kawin tumpang8 dan keluarga akan merasa terhina, tapi saat ini istilah
kawin tumpang sudah tidak dilaksanakan seperti dulu artinya tidak masalah apabila
perkawinan dilakukan dirumah mempelai laki – laki maupun perempuan. Biasanya akad
nikah akan dilakukan pada hari jumat dan setelah akad selesai mempelai laki laki dan
perempuan belum boleh melakukan hubungan suami istri ataupun tinggal bersama karena
mereka harus menyelesaikan rangkaian adat lainnya terlebih dahulu.
Setelah akad nikah dilangsungkan pada malam hari, dilaksanakanlah upacara
ngarak pasar. Pada saat ngarak pasar, rombongan keluarga mempelai laki-laki, terdiri dari
kedua orang tuanya, serta sanak keluarga dan kerabat dekat, berkunjung ke rumah orang tua
7
Ahmad Fahmi, Konstruksi Hukum Adat Pernikahan Masyarakat Melayu Palembang Berdasarkan Syariat
Islam, Vol 15 No 1 Jurnal Studi Islam, 2019 Hal 29-31
8
Ibid
6

mempelai perempuan. Upacara ngarak pasar ini dilakukan dengan mengarak rombongan
yang diiringi puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW (Syarafat Anam). Tujuan dari
ngarak penganten ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa si bujang
dan sigadis sudah berstatus sebagai pasangan yang sah, sehingga tahapan ini tidak lepas
dari nilai-nilai kebudayaan Islam. Rombongan membawa nampan yang beralaskan kain
sutra, di atasnya diletakkan sebilah keris pusaka nenek moyang. Dalam banyak suku
bangsa, keris dianggap sebagai benda upacara yang digunakan dalam berbagai ritual
keagamaan. Nampan tempat keris diletakkan ditaburi dengan bunga harum dan berwarna-
warni. Rombongan diarak menuju rumah mempelai wanita sambil diiringi oleh musik
gambus, mandolin, dan alat musik lainnya.
Setelah akad nikah dan ngarak pasar upacara yang ditunggu – tunggu adalah
munggah yang berarti naik, maknanya para pengantin akan naik keatas pelaminan menjadi
sepasang pengantin yanng memakai baju adat Palembang. Sebelumnya pengantin pria akan
di arak menuju rumah mempelai wanita dimana munggah diselenggarakan. Kedatangan di
rumah pengantin wanita diikuti dengan serangkaian upacara adat yang khas dalam tradisi
pernikahan masyarakat Palembang. Ibunda pengantin wanita membungkus punggung
pengantin pria dengan selembar kain songket motif lepus dan membimbingnya ke kamar
pengantin, yang disebut acara gendong anak mantu. Saat tiba di depan pintu kamar,
dilakukan upacara ketok pintu yang didampingi oleh utusan yang tua, dikenal sebagai tuggu
jero. Ketika pintu terbuka, pengantin pria membuka kain yang menutupi wajah istrinya,
yang disebut acara buka langse. Setelah itu, orangtua pengantin wanita memberikan
makanan tradisional, seperti nasi ketan kunyit dan ayam panggang, dalam upacara suapan.
Kemudian, dilakukan upacara cacap-cacapan, di mana orangtua pengantin pria mencacap
ubun-ubun kedua pengantin dengan air kembang setaman sebagai simbol pemberian nafkah
terakhir. Selanjutnya, pengantin wanita memberikan sirih pada suaminya dalam upacara
sirih panyapo, sebagai lambang kesediaan mereka untuk saling memberi dan menerima
dalam hidup berkeluarga. Terakhir, topi pengantin pria ditimbang dalam upacara timbang
adat, sebagai simbol kesetaraan dalam menjalani kehidupan perkawinan. Upacara munggah
menjadi puncak dari serangkaian tahapan adat dalam proses pernikahan masyarakat
Palembang, di mana kedua mempelai disandingkan dan dinobatkan sebagai raja dan ratu
sehari, yang diselenggarakan di rumah kediaman pengantin wanita. Penting untuk dicatat
bahwa setelah akad nikah, disunnahkan bagi pasangan untuk mengadakan Walimatul 'Urs,
7

sesuai dengan anjuran Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi SAW: "Adakanlah
walimatul 'urs, meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing."

2.3 Pasca Pernikahan


Setelah seluruh rangkaian acara pernikahan dari sebelum hingga hari pelaksanaan
pernikahan, kegiatan ditutup dengan prosesi Beratip. Beratip atau Ratip Samman
merupakan acara penutup dari seluruh rangkaian kegiatan prosesi yang telah dilakukan.
Dalam acara ini para laki – laki dewasa akan membacakan kalimat – kalimat tauhid, ayat
suci al-quran, dan zikir zikir yang bersumber dari ajaran tariqat Sammaniya9. Acara Ratib
Samman ini wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan berkah yang
telah diberikan sehingga rangkaian acara prosesi pernikahan berjalan dengan lancar.

III. PENUTUP
3.1 kesimpulan
Tradisi pernikahan masyarakat Melayu Palembang merupakan warisan budaya yang
kaya dan beragam, yang mencerminkan keindahan tata cara dan prosesi yang dijalankan
berdasarkan adat Palembang. Melalui serangkaian tahapan mulai dari persiapan hingga
pelaksanaan upacara, dan acara penutupan terlihat betapa kuatnya pengaruh adat dan
norma-norma keislaman dalam menyelenggarakan pernikahan. Prosesi yang melibatkan
berbagai upacara, seperti Madeek, Nemuke Kato, Betangas, Ngarak Pasar, Munggah, sirih
panyapo, dan timbang adat, menjadi bukti nyata akan kekayaan tradisi dan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi dalam pernikahan masyarakat Palembang. Pelaksanaan tata cara adat
pernikahan masyarakat Melayu Palembang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang
besar, melibatkan banyak orang dari keluarga, kerabat, hingga tetangga. Kedudukan sosial
dan kemampuan ekonomi seseorang dalam masyarakat sangat memengaruhi pelaksanaan
tata cara adat perkawinan. Saat ini, kelompok ekonomi menengah ke bawah seringkali tidak
mampu melaksanakan perkawinan secara lengkap, sementara golongan yang lebih mampu
seringkali memilih untuk menyederhanakan tata cara adat pernikahan demi efisiensi dan
kesederhanaan.

3.2 Saran

9
Eni Murdiati, Candra Darmawan, & Dahlia, Analisis Nila – nilai Dakwah dalam Tradisi Pernikahan 7 Hari
Desa Pedamaran Kabupaten Ogan Komering llir (OKI), Vol 2 No 1 Jurnal Yonetim 2019 Hal 57 - 78
8

Meskipun terjadi perubahan dan adaptasi dalam konteks zaman modern, namun
penting untuk menjaga dan memperkuat keberlanjutan tradisi pernikahan ini sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Melayu Palembang. Dengan
demikian, penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang keindahan dan
keunikannya, serta menekankan pentingnya pelestarian dan pengembangan warisan budaya
ini untuk generasi mendatang

DAFTAR PUSTAKA

Atabik, A., & Mudhiah, K. (2014). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif hukum islam.
Yudisia, 291.

Choiriyah. (2024, 03 12). Tahapan proses adat pernikahan Palembang. (O. E. Ramadhani,
Interviewer)

Cole, S. (2007). Tourism, Culture, and Development Hopes, Dreams and Realities in East
Indonesia. Clevedon UK: Cromwell Press.

Fahmi, A. (2019). Konstruksi hukum adat pernikahan masyarakat melayu Palembang


Berdasarkan Syariat Islam. Jurnal Studi Islam, 29 - 31.

Faisyal, & Priyatna, Y. (2024). Tradisi Tabuik, warisan islam dan budaya local Pariaman.
Jurnal Oratio Directa, 1017.

Husain, H., & Nurlela. (2023). Tradisi Tawara Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat
Bantaeng. Journal of Anthropology.

Irwanto, Y. (2024, 02 19). Proses pernikahan adat Masyarakat Melayu Palembang. (O. E.
Ramadhani, Interviewer)

Japarudin, & Syaputra, E. (2023). Analasis kaitan Syekh Burhanuddin dan Kadar Ali
dengan tradisi tabut: bulan Muharam di Bengkulu - Pariaman. Jurnal Penelitian
Pendidikan Indonesia, 243.

Marliza, E. (2024, 02 18). Tata cara adat pernikahan orang Palembang. (A. PuspitaSari,
Interviewer)
9

Murdiati, E., Darmawan, C., & Dahlia. (2019). Analisis nilai - nilai dakwah dalam tradisi
pernikahan 7 hari desa pedamaran kabupaten Ogan Komering Ilir. Yonetim, 57-78.

Prabowo, D. P. (2003). Pengaruh Islam Dalam Karya Karya. Yogyakarta: NARASI.

Putri, H. R., & Aman. (2022). Pergeseran adat perkawinan masyarakat meranjat Ogan Ilir
Sumatera Selatan. Jurnal Antropologi : isu - isu sosial budaya, 139.

Refisrul. (2016). Upacara Tabuik: Ritual Keagamaan pada Masyarakat Pariaman. Jurnal
Penelitian Sejarah dan Budaya, 542.

Suaedy, A. (2020). Nahdlatul Islam Nusantara. Jurnal For Study of Islamic History and
Culture, 3.

Syafirudin. (2021). Pergeseran Tata cara pelaksanaan Adat Pernikahan di Palembang 1990 -
2010. Mozaik Humaniora, 242.

Wulandari, D. A., & Marzuki. (2020). Undang - undang Simbur Cahaya dalam mengatur
hukum Perkawinan di Kesultanan Palembang. Jurnal Antropologi : isu - isu sosial
budaya, 187.

Anda mungkin juga menyukai