Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dzaki Abdu

Nim : 1601016091

Kls : BPI C4

Makul : Fikih Keluarga Muslim

Dosen : Ummul Baroroh

Essay

MAHALNYA MAHAR YANG BER ADAT

Menikah di Indonesia tidaklah murah. Setidaknya itu yang dirasakan oleh orang orang
yang harus mengikuti aturan adat dalam menjalankan pernikahannya. Mahar dengan berbagai
sebutannya, menjadi salah satu alasan mengapa biaya pernikahan bisa melonjak begitu tinggi,
Ketika laki-laki meminang si perempuan yang notabene dibesarkan kemudian diberikan
pendidikan oleh orang tuanya, mahar menjadi bentuk rasa terima kasih pihak laki-laki dan
penghormatan terhadap pihak keluarga perempuan. Jadi melihat itu sebagai salah satu
transaksi jual beli. dan yang mengalami proses adat ini sama sekali tidak merasa dijadikan
objek. proses adat ini menjadi bagian dari tradisi atau kebudayaan kebudaya’an Semakin
tinggi kelas sosialnya dan terhormat latar belakang keluarganya, maka akan semakin besar
pula maharnya. Status sosial biasanya ditentukan oleh garis keturunan keluarganya. Biasanya
ada yang bangsawan, kemudian rakyat biasa dan hamba atau budak. Kalau misalnya
perempuan di kasta maramba bangsawan, maharnya pasti akan sangat besar dan sangat
banyak dari segi ukuran dan jumlah hewannya. Kalau rakyat biasa, tetapi misalnya status
sosialnya itu dia di hormati di kampungnya atau mempunyai kondisi ekonomi yang bagus, itu
juga akan mempengaruhi seberapa besar mahar yang diberikan kepada anak perempuan dari
keluarga tersebut.

Dari segi adat istiadat kita menjunjung tinggi, menghormati dan menghargai warisan
begitu, warisan leluhur. Tapi mungkin dari sisi ekonomi ketika misalnya seorang laki-laki
harus dibebankan dengan sejumlah hewan tertentu yang harus dibawa ke perempuan tentu
akan membutuhkan biaya. Untungnya proses adat saat ini tidak sekonservatif dulu. Kalau
generasi terdahulu, semuanya harus berbentuk hewan. Artinya kuda, kerbau, sapi tuh dalam
bentuk hewan yang real. Tapi kalau sekarang, misalnya katakanlah mereka diminta 20
mungkin dua ekornya hewan hidup, sedangkan sisanya bisa dalam bentuk uang amplop. Jadi
untuk sekarang sih tidak terlalu memberatkan dan masih bisa dinegosiasikan antar kedua
belah pihak. Suku jawa terutama untuk Jawa bagian tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam melaksanakan sebuah pernikahan banyak sekali dipengaruhi oleh Adat istiadat yang
berlangsung dari Keraton. Pada zaman dahulu pesta perkawinan yang meriah hanyalah
dilakukan oleh para bangsawan, khususnya Raja. Para bangsawan atau priyayi itu sangatlah
njlimet dalam melaksanakan sebuah pesta pernikahan. Namun pada zaman sekarang adat
istiadat tersebut telah banyak dilakukan oleh orang dari kalangan biasa atau masyarakat
umum. Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit.
Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah
pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena paradigma budaya yang terlalu disakralkan
justru malah menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat
pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah menjadi budaya atau
adat istiadat.

Padahal mas kawin merupakan salah satu syarat sah dalam perkawinan dan
pernikahan, mahar sendiri memiliki makna yang cukup dalam,hikmah dari di syariatkanya
mahar ini menjadi pertanda tersendriri bahwa seorang wanita memang harus di hormati dan
dimuliakan, Salah satu yang paling utama dalam agama islam yaitu melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang di pintanya berupa mahar kawin.
Mahar merupakan bukti kesungguhan seorang lelaki dalam memilih wanita sebagai calon
istrinya, dan tidak ada batasan minimum ataupun maksimum untuk jumlah mahar namun
sebaik baiknya mahar yaitu yang ringan dan tidak memberatkan bagi seorang laki laki.
Berlebih lebihan dalam mahar termasuk problem yang menghalangi para lelaki dan wanita
dari pernikahan. Padahal seorang laki laki rindu untuk berdampingan dengan seorang wanita
sebagai istrinya dan sebaliknya seorang wanita rindu untuk berdampingan dengan seorang
lelaki sebagai suaminya akan tetapi mahalnya mahar menjadi rintangan terbesar bagi
keduanya. Sebagaimana telah di sebutkan mahar merupakan pemberian dari seorang pria
kepada seorang wanita yang di nikahinya aka jadi hak milik istrinya secara penuh di dalam
praktiknya sebenarnya tidak ada sebuah khusus tentang besaran mahar dala pernikahan islam

Tentunya tradisi ini merupakan sebuah ritual baru yang belum pernah ada pada
zaman Nabi dan para sahabat. Melihat adat istiadat dalam rangakaian upacara yang dilakukan
oleh masyarakat jawa ini ternyata dalam Islam tidaklah mengaturnya secara spesifik. Kitab-
kitab fiqih Klasik pun belum meberikan pandangan atau hukum dari model adat istiadat yang
dilakukan oleh orang jawa ini. Umat Islam pada khususnya di indonesia sendiri ,
berpandangan bahwasanya barang siapa yang bisa membayar atau mengangkat mahar
pernikahannya dengan harga setinggi-tingginya maka menjadi manusia yang mulia di dunia.
Padahal terkadang acara pernikahan yang begitu mewah dengan uang “Panai” (mahar) yang
tinggi terkadang kandas di tengah jalan. Hal ini karena tren dan zaman sekarang ini, apabila
seseorang bisa melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain maka dia akan
dianggap sebagai  “The Maestro” di dunia pernikahan. Begitu juga kalau uang panai mencapa
1 milyar ataupun 100 milyar sekalipun, pasti akan menjadi perbincangan di khalayak ramai
maupun di media sosial. Inilah tren yang marak saat ini. Islam tidak menetapkan kadar serta
batas maksimal dan minimal dalam menentukan mahar bagi seorang wanita. Mahar tersebut
bergantung kepada uruf iaitu keadaan dan suasana suatu tempat dan masyarakat. Sungguh
pun demikian, Islam menganjurkan agar kita mengambil jalan tengah yaitu tidak meletakkan
mahar terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah.

Maka dari itu perlu untuk diketahui bagaimana hukum Islam menghadapi hal seperti
itu. Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah
pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang
berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap
hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan
memberikan beberapa anjuran di dalamnya Termasuk kegiatan yang diperbolehkan dan
disenangi oleh Islam adalah bernyanyi-nyanyi ketika upacara pernikahan, guna
menyenangkan dan membuat pengantin perempuan giat, asal saja hiburannya sehat. Pesta
perkawinan ini wajib dijauhkan dari acara yang tidak sopan dan porno, campur gaul antara
laki-laki dan perempuan.

Dalam hukum adat Jawa, pernikahan bukan hanya merupakan periwtiwa penting bagi
mereka yang masih hidup saja, tetapi pernikahan atau perkawinan juga merupakan peristiwa
yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh para arwa-
arwah leluhur oleh kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta
seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini
setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami isteri sampai kakek
nenek. Pada dasarnya, Islam tidak menetapkan jumlah minimal dan jumlah maksimal
seseorang memberikan maskawin, tidak ada batasan yang harus ditentukan. Karena adanya
perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki masing-masing orang berbeda. Selain
itu setiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri Karena itu masalah jenis dan
jumlah mahar diserahkan kepada kemampuan, keadaan dan tradisi mereka. Jadi boleh
memberi maskawin dengan uang, cincin besi, mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan
sebagainya yang penting adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang melakukan aqad
nikah Namun demikian, dalam memahami persoalan kadar banyak-sediktitnya maskawin,
para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang batasan besaran maskawin. Asy-Syafi’i,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat tidak ada
batasan maskawin, segala sesuatu yang menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
maskawin. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah memberikan batas minimal maskawin, yaitu
tiga dirham menurut riwayat yang terkenal dari Malik dan sepuluh dirham menurut Abu
Hanifah. Tradisi pemberian dalam perkawinan ini bukannya jelek ataupun bertentangan
dengan tujuan perkawinan yang ingin membentuk keluarga yang tentram, sakinah, mawaddah
wa rahmah, yang menjadikan pasangan suami istri melakukan hak dan tanggungjawabnya.
Bahkan tradisi ini menemukan pijakannya sebagai etika sosial untuk memulai menjalani
rumah tangga yang baru yang harus berhati hati dan penuh tanggungjawab bagi masing-
masing pasangan untuk samksimal mungkin mengabdikan dirinya dalam “surga” rumah
tangga.

Hanya saja yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah masalah pemberian
sebagai mahar, apakah gawan sebagaimana yang penulis terangkan diatas bisa disamakan
dengan mahar? Bagaimana kedudukan adat pemberian berupa gawan ini ditinjau dari hokum
syari’at Islam? Ternyata tidak sepenuhnya bisa, tetapi esensi pemberian itu adalah sama,
yaitu sama-sama pemberian dari calon suami kepada calon istri agar menjadi miliknya yang
tidak dapat diambil kembali. Kalau dalam istilah gawan, sang suami atau keluarganya atau
kedua belah pihak  punya pengertian yang lebih jauh untuk waktu yang akan datang sebagai
semacam jaminan, bahwa gawan suatu saat ‘harus’ dikembalikan (baik separo maupun
seutuhnya) kepada sang mantan suami  manakala suami-istri itu berpisah atau bercerai.

Anda mungkin juga menyukai