HUKUM ADAT
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah Allah SWT kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................2
2.1 Perkawinan Adat Muna..................................................................................2
2.2 Pembagian Warisan Dan Hak Tanah Hukum Adat Muna.............................3
2.3 Perbedaan Hukum Perkawinan Adat Muna Dan Hukum Positif...................7
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................9
3.1 Kesimpulan....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat hukum adat Muna adalah masyarakat yang memiliki aturan-
aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang diatur oleh adat Muna atau tradisi yang
turun-temurun dari nenek moyang Muna. Masyarakat hukum adat seringkali
berbeda dengan masyarakat hukum positif atau formal yang diatur oleh
undang-undang.
Dalam pelaksanaan perkawinan, masyarakat hukum adat memiliki aturan-
aturan dan tradisi-tradisi yang berbeda dengan hukum perkawinan yang diatur
oleh negara. Misalnya, dalam beberapa masyarakat hukum adat, perkawinan
diatur oleh keluarga dan adat istiadat, sedangkan dalam hukum positif,
perkawinan diatur oleh undang-undang.
Sedangkan dalam pewarisan dan hak-hak atas tanah, masyarakat hukum
adat seringkali memiliki aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang berbeda dengan
hukum positif. Seperti, dalam beberapa masyarakat hukum adat, hak atas
tanah ditentukan oleh garis keturunan dan adat istiadat, sedangkan dalam
hukum positif, hak atas tanah diatur oleh undang-undang.
Namun, eksistensi masyarakat hukum adat muna dalam pelaksanaan
perkawinan dan pewarisan serta hak-hak atas tanah seringkali menghadapi
berbagai tantangan. Salah satunya adalah konflik antara adat dengan hukum
positif atau formal yang diatur oleh negara. Konflik ini seringkali terjadi
karena perbedaan pandangan antara masyarakat hukum adat dan hukum
positif, serta kurangnya pemahaman dan pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat oleh pemerintah dan masyarakat luas. Hal ini dapat
mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam perlindungan hak-hak
masyarakat hukum adat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum adat muna berlaku saat perkawinan?
2. Bagaimana hukum adat muna mengatur pembagian warisan dan hak
tanah?
3. Apa perbedaan hukum adat muna tentang perkawinan dan hukum positif
perkawinan?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hukum adat
Muna dalam perkawinan, pembagian warisan, dan hak tanah serta perbedaan
hukum positif dan hukum adat muna. Dengan demikian, makalah ini
1
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum
adat Muna.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Adat Muna
Perkawinan adat Muna adalah bentuk perkawinan yang diatur oleh adat
dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat Muna, sebuah suku di
Sulawesi Tenggara, Indonesia. Proses perkawinan adat muna menggunakan
proses perkawinan yang mirip adat lain di negara indonesia karna mengikuti
syariat syariat islam proses perkawinan adat muna adalah sebagai berikut:
1. Empali Empali meninjau keadaan calon istri.
2. Fenagho kattunguno karete menanyakan kejelasan tentang
pelamaran kepada orang tua calon istri jika sudah di pinang atau
belum
3. Gholeo metaano menentukan hari pernikahan yang baik menurut
perhitungan adat
4. Nefumanoifi atau uang panai merupakan uang yang harus dibayar
oleh calon suami kepada keluarga calon istri sebagai bentuk
kompensasi atas hilangnya tenaga kerja dari keluarga perempuan.
Besar uang panai yang harus dibayarkan dapat bervariasi tergantung
dari tingkat pendidikan, status sosial, dan keturunan dari keluarga
perempuan. Uang panai biasanya berupa uang atau hewan ternak.
5. Kafe’ena termasuk mahar dan bagian orang tua pengantin perempuan
6. Kaga’a Upacara Adat Perkawinan di Muna biasanya diawali dengan
upacara adat yang melibatkan banyak orang. Upacara adat ini
dianggap sangat penting karena dianggap sebagai suatu upacara sakral
yang mengikat kedua belah pihak secara sosial dan budaya.
2
toleransi menikahi golongan walaka. Terdapat hukuman adat yangberat jika
masyarakat mengabaikan atau melanggar ketentuan tersebut, seperti pengasingan.
Akan tetapi pada masa sekarang ketentuan tersebut tidak begitu mengikat lagi.
Sebagai golongan tertinggi dalam masyarakat Muna, pria kaomu tetap membayar
mahar 20 boka jika menikahi wanita pada semu level golongan (wanita kaomu,
walaka, anangkolaki, maradika). Keturunan yang dihasilkan dari pernikahan
tersebut tetap berstatus sebagai golongan kaomu.
3
misalnya gelar kebangsawanan. Cara pembagian harta warisan telah
diatur hukumnya dalam Al-Quran, dengan prinsip yang paling adil.
Hukum pembagian harta warisan dalam islam akan diatur kepada ahli
warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak sama. Pembagian harta
warisan tergantung kepada status kedekatan hubungan antara pewaris dengan
ahli warisnya.
b. Pembagian warisan
Dikutip dari buku bertajuk 'Pembagian Warisan Menurut Islam' karya
Muhammad Ali Ash-Shabuni, cara pembagian harta warisan berdasarkan
Al-Quran surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
1. Setengah (1/2)
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu
kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak
perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.
2. Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris
hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.
3. Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah
istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu
memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.
4. Duapertiga (2/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari
empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung,
cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan
saudara perempuan sebapak.
5. Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu
ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
4
6. Seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7
orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki,
saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan
satu ibu.
Dalam hukum Islam, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris
seseorang menjadi gugur. Di antaranya:
Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya.
Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak
membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
orang kafir mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).
5
Hak tanah dalam hukum adat muna sama seperti warisan yaitu mengikuti
hukum islam Hak tanah atau kepemilikan tanah dalam hukum Islam dikenal
dengan istilah "milkiyah". Dalam Islam, kepemilikan tanah diakui dan
dihormati sebagai hak individual yang sah, selama kepemilikan tersebut
didapat secara halal dan tidak merugikan hak-hak orang lain.
Selain itu, dalam hukum Islam, terdapat prinsip "qard al-hasan" yang
mengatur pemberian pinjaman tanpa bunga untuk membantu orang yang
membutuhkan. Prinsip ini juga dapat diterapkan dalam hal kepemilikan
tanah, di mana pemilik tanah dapat memberikan tanahnya untuk
dimanfaatkan oleh orang lain tanpa meminta imbalan atau tanpa bunga.
Namun, seperti halnya dengan hak-hak lainnya, hak kepemilikan tanah juga
memiliki batasan-batasan yang diatur oleh hukum Islam, seperti larangan
untuk memiliki tanah hasil curian atau tanah yang didapat dari perbuatan
yang tidak halal. Selain itu, kepemilikan tanah juga harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum negara yang berlaku.
6
sistem pembagian harta warisan tanah perkebunan di Desa Umba
membahas tentang waktu pembagian wa-risan tanah perkebunan di Desa
Umba, objek tanah perkebunan yang diwariskan Jumlah Harta Warisan
Tanah Perkebunan yang di Bagikan Antara AhliWaris Laki-laki dan Ahli
Wari Perempuan, dan dan pihak-pihak yang hadir pada saat pembagian
harta warisan tanah perkebunan.
7
perkawinan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara
umum dalam suatu negara.
8
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Adat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Muna banyak
didasari oleh agama yang dianut yaitu agama Islam bahkan pewaris dan milik
tanah mengikuti hukum islam. Namun demikian, norma-norma adat tetap
memiliki peranan penting pula dalam menyelaraskan kehidupan masyarakatnya.
Pandangan hidup hukum adat muna berbeda dengan hukum adat lain
khususnya dalam perkawinan, pelaksanaan mahar dalam perkawinan adat
masyarakat Muna ditentukan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat dengan
menggunakan istilah boka dan suku sebagai satuan nilainya. Golongan stratifikasi
tersebut, yaitu kaomu (bangsawan) dengan nilai mahar 20 boka, walaka (adat-
hukum) dengan 10 boka 10 suku, anangkolaki (pertanian) dengan 7 boka dan 2
suku dan maradika (jelata) dengan mahar 3 boka dan 2 suku.
9
DAFTAR PUSTAKA
Detik.com. (2022, Oktober 22). Cara Pembagian Warisan Menurut Islam, Aturan
dan Ketentuannya. https://www.detik.com/jabar/berita/d-6155228/cara-
pembagian-warisan-menurut-islam-aturan-dan-ketentuannya
Rumah.com. (2022, November 3). Tanah Ulayat & Hukum Tanah Adat.
https://www.rumah.com/panduan-properti/tanah-ulayat-hukum-tanah-adat-
53337
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d3d65021fe3df4f10838a37561354fe1.pdf
https://core.ac.uk/download/pdf/231140734.pdf
http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/kabantiantropologi/article/download/
972/755/
10