Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

HUKUM ADAT

NAMA: AKHMAD FAUZAN


NIM: H1A122103
KELAS: C

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah Allah SWT kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya sebagai
penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................2
2.1 Perkawinan Adat Muna..................................................................................2
2.2 Pembagian Warisan Dan Hak Tanah Hukum Adat Muna.............................3
2.3 Perbedaan Hukum Perkawinan Adat Muna Dan Hukum Positif...................7
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................9
3.1 Kesimpulan....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat hukum adat Muna adalah masyarakat yang memiliki aturan-
aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang diatur oleh adat Muna atau tradisi yang
turun-temurun dari nenek moyang Muna. Masyarakat hukum adat seringkali
berbeda dengan masyarakat hukum positif atau formal yang diatur oleh
undang-undang.
Dalam pelaksanaan perkawinan, masyarakat hukum adat memiliki aturan-
aturan dan tradisi-tradisi yang berbeda dengan hukum perkawinan yang diatur
oleh negara. Misalnya, dalam beberapa masyarakat hukum adat, perkawinan
diatur oleh keluarga dan adat istiadat, sedangkan dalam hukum positif,
perkawinan diatur oleh undang-undang.
Sedangkan dalam pewarisan dan hak-hak atas tanah, masyarakat hukum
adat seringkali memiliki aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang berbeda dengan
hukum positif. Seperti, dalam beberapa masyarakat hukum adat, hak atas
tanah ditentukan oleh garis keturunan dan adat istiadat, sedangkan dalam
hukum positif, hak atas tanah diatur oleh undang-undang.
Namun, eksistensi masyarakat hukum adat muna dalam pelaksanaan
perkawinan dan pewarisan serta hak-hak atas tanah seringkali menghadapi
berbagai tantangan. Salah satunya adalah konflik antara adat dengan hukum
positif atau formal yang diatur oleh negara. Konflik ini seringkali terjadi
karena perbedaan pandangan antara masyarakat hukum adat dan hukum
positif, serta kurangnya pemahaman dan pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat oleh pemerintah dan masyarakat luas. Hal ini dapat
mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam perlindungan hak-hak
masyarakat hukum adat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum adat muna berlaku saat perkawinan?
2. Bagaimana hukum adat muna mengatur pembagian warisan dan hak
tanah?
3. Apa perbedaan hukum adat muna tentang perkawinan dan hukum positif
perkawinan?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hukum adat
Muna dalam perkawinan, pembagian warisan, dan hak tanah serta perbedaan
hukum positif dan hukum adat muna. Dengan demikian, makalah ini

1
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum
adat Muna.

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Adat Muna
Perkawinan adat Muna adalah bentuk perkawinan yang diatur oleh adat
dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat Muna, sebuah suku di
Sulawesi Tenggara, Indonesia. Proses perkawinan adat muna menggunakan
proses perkawinan yang mirip adat lain di negara indonesia karna mengikuti
syariat syariat islam proses perkawinan adat muna adalah sebagai berikut:
1. Empali Empali meninjau keadaan calon istri.
2. Fenagho kattunguno karete menanyakan kejelasan tentang
pelamaran kepada orang tua calon istri jika sudah di pinang atau
belum
3. Gholeo metaano menentukan hari pernikahan yang baik menurut
perhitungan adat
4. Nefumanoifi atau uang panai merupakan uang yang harus dibayar
oleh calon suami kepada keluarga calon istri sebagai bentuk
kompensasi atas hilangnya tenaga kerja dari keluarga perempuan.
Besar uang panai yang harus dibayarkan dapat bervariasi tergantung
dari tingkat pendidikan, status sosial, dan keturunan dari keluarga
perempuan. Uang panai biasanya berupa uang atau hewan ternak.
5. Kafe’ena termasuk mahar dan bagian orang tua pengantin perempuan
6. Kaga’a Upacara Adat Perkawinan di Muna biasanya diawali dengan
upacara adat yang melibatkan banyak orang. Upacara adat ini
dianggap sangat penting karena dianggap sebagai suatu upacara sakral
yang mengikat kedua belah pihak secara sosial dan budaya.

Penetapan mahar dalam perkawinan adat masyarakat Muna ditentukan


berdasarkan stratifikasi sosial. Pada awalnya terdapat empat (4) golongan dalam
masyarakat Muna yaitu:
1. Golongan Kaomu (golongan bangsawan)
2. Golongan Walaka (golongan adat-hukum)
3. Golongan Anangkolaki (golongan petani, nelayan)
4. Golongan Maradika (golongan jelata)

a. Mahar Golongan Kaomu


Mahar dasar golongan kaomu ditetapkan sebesar 20 boka ( nilai 20 boka
setara dengan Rp 480.000,-). Pada masa kerajaan Muna, golongan kaomu hanya
diperbolehkan menikahi golongan yang sama atau masih dimaklumi dalam batas

2
toleransi menikahi golongan walaka. Terdapat hukuman adat yangberat jika
masyarakat mengabaikan atau melanggar ketentuan tersebut, seperti pengasingan.
Akan tetapi pada masa sekarang ketentuan tersebut tidak begitu mengikat lagi.
Sebagai golongan tertinggi dalam masyarakat Muna, pria kaomu tetap membayar
mahar 20 boka jika menikahi wanita pada semu level golongan (wanita kaomu,
walaka, anangkolaki, maradika). Keturunan yang dihasilkan dari pernikahan
tersebut tetap berstatus sebagai golongan kaomu.

b. Mahar Golongan Walaka Mahar


Dasar golongan walaka ditetapkan sebesar 10 boka dan 10 suku (Rp
300.000,-). Jika pria walaka menikai wanita kaomu maka maharnya naik menjadi
35 boka, sedangkan jika menikahi wanita walaka atau golongan di bawahnya
maka maharnya tetap 10 boka dan 10 suku. Adapun keturunan yang dihasilkan
dari proses perkawinan tersebut tetap berstatus walaka.

c. Mahar Golongan Anangkolaki


Mahar dasar golongan anangkolaki adalah 7 boka dan 2 suku (Rp
180.000,-). Pria golongan anangkolaki hanya diperbolehkan menikah dengan
wanita dalam golongannya atau di bawahnya dengan mahar 7 boka dan 2 suku.
Pada masa kerajaan terdapat sanksi yang berat jika menikahi wanita walaka dan
kaomu dan seandainya terjadi maka pria anangkolaki diharuskan membayar
mahar 35 boka untuk wanita walaka dan 75 boka untuk wanita kaomu

d. Mahar Golongan Maradika


Mahar dasar golongan maradika adalah 3 boka dan 2 suku (Rp 84.000,-).
Golongan ini pada dasarnya hanya dikenal pada masa kerajaan Muna dan sudah
tidak ditemukan lagi pada masa sekarang ini. Sebagai bahan informasi sejarah,
pria maradika hanya diperbolehkan menikahi wanita dalam golongannya

2.2 Pembagian Warisan Dan Hak Tanah Hukum Adat Muna


1. Hukum Waris adat muna
a. pengertian hukum waris adat muna
Hukum waris adat muna mengikuti hukum waris islam. Hukum waris
adalah aturan mengenai perpindahan hak kebendaan atau harta dari
orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli waris. Ahli waris
atau ashabul furudh adalah orang-orang yang mempunyai bagian pasti
dan terperinci, dari warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

Harta warisan bisa berupa benda maupun bukan wujud benda,

3
misalnya gelar kebangsawanan. Cara pembagian harta warisan telah
diatur hukumnya dalam Al-Quran, dengan prinsip yang paling adil.
Hukum pembagian harta warisan dalam islam akan diatur kepada ahli
warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak sama. Pembagian harta
warisan tergantung kepada status kedekatan hubungan antara pewaris dengan
ahli warisnya.
b. Pembagian warisan
Dikutip dari buku bertajuk 'Pembagian Warisan Menurut Islam' karya
Muhammad Ali Ash-Shabuni, cara pembagian harta warisan berdasarkan
Al-Quran surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).

1. Setengah (1/2)
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu
kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak
perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.

2. Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris
hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.

3. Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah
istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu
memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4. Duapertiga (2/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari
empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung,
cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan
saudara perempuan sebapak.

5. Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu
ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.

4
6. Seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7
orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki,
saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan
satu ibu.
Dalam hukum Islam, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris
seseorang menjadi gugur. Di antaranya:
 Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi
sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya.
 Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak
membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang


dibunuhnya."
 Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang
nonmuslim, apapun agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW
dalam sabdanya:

"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula
orang kafir mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian penjelasan mengenai hukum dan tata cara pembagian harta


warisan menurut Islam ke ahli waris.

2. Hak Tanah adat suku Muna


a. Pengertian hak tanah
Hak tanah di dalam hukum adat dapat diartikan sebagai hak tanah ulayat,
hak tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki
oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan warganya. Posisinya kewenangan ini memperbolehkan
masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan
sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah
turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan.

5
Hak tanah dalam hukum adat muna sama seperti warisan yaitu mengikuti
hukum islam Hak tanah atau kepemilikan tanah dalam hukum Islam dikenal
dengan istilah "milkiyah". Dalam Islam, kepemilikan tanah diakui dan
dihormati sebagai hak individual yang sah, selama kepemilikan tersebut
didapat secara halal dan tidak merugikan hak-hak orang lain.

Dalam Islam, kepemilikan tanah ditekankan sebagai tanggung jawab sosial,


di mana pemilik tanah diharapkan untuk memanfaatkan tanahnya secara
produktif dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya, seperti zakat dan
sedekah.

Selain itu, dalam hukum Islam, terdapat prinsip "qard al-hasan" yang
mengatur pemberian pinjaman tanpa bunga untuk membantu orang yang
membutuhkan. Prinsip ini juga dapat diterapkan dalam hal kepemilikan
tanah, di mana pemilik tanah dapat memberikan tanahnya untuk
dimanfaatkan oleh orang lain tanpa meminta imbalan atau tanpa bunga.

Namun, seperti halnya dengan hak-hak lainnya, hak kepemilikan tanah juga
memiliki batasan-batasan yang diatur oleh hukum Islam, seperti larangan
untuk memiliki tanah hasil curian atau tanah yang didapat dari perbuatan
yang tidak halal. Selain itu, kepemilikan tanah juga harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum negara yang berlaku.

b. Warisan Tanah Perkebunan Menurut Adat Muna


1. Status kepemlikan tanah menurut adat muna
Penelitian ini memabahas tentang pr-oses pembagian harta warisan
perkebunan tanah berdasarkan Hukum Adat Muna yang di lakukan di
Desa Umba, Kecamatan Na-pano Kusambi, Kabupaten Muna Barat. Status
kepemilikan tanah yang berlaku di Desa umba adalah dimana tanah
tersebut sudah menjadi hak miliknya dari pertama mereka mendiami dan
memilikisertifikat yang sah dari pemerintah terhadap tanah tersebut.
Dalam proses pembagian harta warisan tanah dalam satu keluarga, missal-
nya dalam satu keluarga terdiri dari 5 orang 1 laki-laki dan 4 perempuan.
Dalam pem-bagian warisan anak laki-laki mendapat warisan dari ahli
waris dua kali lipat dibandingka dengan anak perempuan, dan bagi anak
bungsu haanya mendapat rumah serta isi yang ada dalam rumah tersebut
sekaligus dengan tanah yang tinggali oleh ahli waris. Pada pembahasan

6
sistem pembagian harta warisan tanah perkebunan di Desa Umba
membahas tentang waktu pembagian wa-risan tanah perkebunan di Desa
Umba, objek tanah perkebunan yang diwariskan Jumlah Harta Warisan
Tanah Perkebunan yang di Bagikan Antara AhliWaris Laki-laki dan Ahli
Wari Perempuan, dan dan pihak-pihak yang hadir pada saat pembagian
harta warisan tanah perkebunan.

2. Pembagian warisan tanah perkebunan di Desa Umba


Pembagian warisan tanah perkebunan di Desa Umba didasarkan pada
hukum adat Muna yang mengatur sistem dan asas-asas hukum waris,
termasuk mengalihkan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris.
Meskipun demikian, hukum Islam juga masih diperlakukan jika ada ahli
waris yang tidak puas dengan ketentuan hukum adat. Sistem pewarisan
individual dan kolektif dapat diterapkan sesuai dengan kondisi warisan
pewaris yang meninggal dunia. Anak tiri tidak termasuk ahli waris, tetapi
dapat menerima penghasilan dari harta peninggalan babak tirinya yang
diberikan kepada istri sebagai nafkah seorang janda.

2.3 Perbedaan Hukum Perkawinan Adat Muna Dan Hukum Positif


Hukum adat Muna tentang perkawinan adalah aturan-aturan yang telah
berlaku dalam masyarakat adat Muna sejak zaman dahulu. Sementara
hukum positif perkawinan adalah aturan-aturan yang diatur oleh undang-
undang dan lembaga negara terkait dengan perkawinan di suatu negara.
Perbedaan antara keduanya adalah:
1. Sumber Hukum Hukum adat Muna berasal dari adat istiadat dan tradisi
yang telah ada sejak lama dalam masyarakat adat Muna, sedangkan
hukum positif perkawinan berasal dari undang-undang dan peraturan-
peraturan yang dibuat oleh lembaga negara.
2. Penegakan Hukum Hukum adat Muna ditetapkan dan dipertahankan
oleh masyarakat adat Muna secara mandiri, sedangkan hukum positif
perkawinan ditetapkan dan ditegakkan oleh lembaga-lembaga negara,
seperti pengadilan dan kepolisian.
3. Lingkup Regulasi Hukum adat Muna hanya mengatur perkawinan dalam
masyarakat adat Muna, sedangkan hukum positif perkawinan mengatur
seluruh perkawinan dalam suatu negara, termasuk perkawinan antar
suku, agama, dan budaya.
4. Konsep dan Nilai Hukum adat Muna didasarkan pada kebiasaan dan
nilai-nilai budaya masyarakat adat Muna, sedangkan hukum positif

7
perkawinan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara
umum dalam suatu negara.

Meskipun ada perbedaan antara hukum adat Muna tentang perkawinan


dan hukum positif perkawinan, namun kedua aturan tersebut memiliki peran
penting dalam menjaga kestabilan dan keberlangsungan masyarakat dan
negara.

8
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Adat yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Muna banyak
didasari oleh agama yang dianut yaitu agama Islam bahkan pewaris dan milik
tanah mengikuti hukum islam. Namun demikian, norma-norma adat tetap
memiliki peranan penting pula dalam menyelaraskan kehidupan masyarakatnya.
Pandangan hidup hukum adat muna berbeda dengan hukum adat lain
khususnya dalam perkawinan, pelaksanaan mahar dalam perkawinan adat
masyarakat Muna ditentukan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat dengan
menggunakan istilah boka dan suku sebagai satuan nilainya. Golongan stratifikasi
tersebut, yaitu kaomu (bangsawan) dengan nilai mahar 20 boka, walaka (adat-
hukum) dengan 10 boka 10 suku, anangkolaki (pertanian) dengan 7 boka dan 2
suku dan maradika (jelata) dengan mahar 3 boka dan 2 suku.

9
DAFTAR PUSTAKA

Detik.com. (2022, Oktober 22). Cara Pembagian Warisan Menurut Islam, Aturan
dan Ketentuannya. https://www.detik.com/jabar/berita/d-6155228/cara-
pembagian-warisan-menurut-islam-aturan-dan-ketentuannya
Rumah.com. (2022, November 3). Tanah Ulayat & Hukum Tanah Adat.
https://www.rumah.com/panduan-properti/tanah-ulayat-hukum-tanah-adat-
53337
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d3d65021fe3df4f10838a37561354fe1.pdf
https://core.ac.uk/download/pdf/231140734.pdf
http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/kabantiantropologi/article/download/
972/755/

10

Anda mungkin juga menyukai