Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“ JEULAME”

DOSEN : ZAINAL ABIDIN S, M. Pd

DISUSUN OLEH:
1. AISHY GHINA NADA ( 20080039)
2. BUDI RAHMAT ( 20080038)

UNIVERSITAS BINA BANGSA GETSEMPENA


PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
( PGSD)

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan semua rahmatnya, penulis akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Makalah berjudul “JEULAME ” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
pembelajaran budaya aceh Melalui tugas ini, penulis mendapatkan banyak
ilmu baru tentang jeulame.

Tentu penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Meskipun
begitu, penulis berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat untuk orang
lain. Apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, penulis sangat
terbuka dan dengan senang hati menerimanya.

BAB 1
PEMBAHASAN

JEULAME masyarakat Aceh adalah salah satu bagian Negara Indonesia yang
bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak
orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan
sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau
bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang,
bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola
kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam
adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar.
Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak
mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada Aceh,
khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh
mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta lakilaki wajib
memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan mahar dalam
masyarakat Aceh sangat diperhitungkan. Untuk menuju suatu hubungan
perkawinan, maka terlebih dahulu harus dipenuhi syarat dan ketentuan dalam suatu
perkawinan, yaitu salah satunya tercapainya dalam pemberian mahar. Dalam
penentuan mahar keluarga perempuan sangat berperan aktif dalam pengambilan
keputusan. Dimana suatu keputusan harus melalui keluarga. berkisar 15 manyam,
30, sampai 50 manyam. Hal tersebut dilakukan, suatu adat telah menetapkan
setelah perkawinan dilakukan pihak mempelai laki-laki wajib tinggal bersama
mempelai perempuan/ ikut bersama istri dan hidup dilingkungan perempuan.
Adat JEULAME telah menjadi suatu yang menakutkan bagi sebagian
besar pemuda yang mau menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari
oleh fakta yang bahwa sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan
mematok mahar yang terbilang fantastis dan cukup tinggi bagi ukuran
masyarakat kita yang mayoritas di dominasi oleh masyarakat berstatus
ekonomi kelas bawah. Ini adalah fakta, dan kondisi ini di perparah oleh
sebagian besar pihak mempelai wanita yang menganggap tingginya
patokan jumlah mahar sebagai sebuah prestise. Pada pihak mempelai
wanita dalam hal ini tidak bisa disebut materialistis ataupun pragmatis,
baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan,
karena mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang
didominasi oleh pengaruh adat yang kadang tidak memperhitungkan
faktor afeksi.
adat mahar di Aceh yang pada umumnya sangat besar dan
memberatkan pihak. laki- laki cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai
Islam yang menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan. Kecenderungan
tersebut semata- mata karena tuntutan peradatan yang sudah terlaksana
secara turun- temurun di Tanah Serambi Mekkah ini. Di satu sisi, adat
mahar memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi suatu
komoditi pasar yang kompetitif agar memotivasi para pemuda untuk
bekerja keras dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Dengan
demikian mereka bisa mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan
kesejahteraan hidupnya dalam keluarga.
Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar
Indonesia. Adat istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari
kebudayaan Indonesia. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan
merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola kebudayaan
yang ketat. Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun
lebih jauh adalah bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh
dilakukan serta merta dan tibatiba. Ia menjalani beberapa proses
sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam ikatan rumah tangga.
Dalam sistem perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Aceh
biasanya yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan
Bilateral. Dimana adat istiadat telah menetapkan sesudah menikah
bersifat Matrilokal yaitu, yang mana setelah menjadi suami akan tinggal
dirumah keluarga mempelai perempuan (istri) dalam kurun waktu lebih
kurang satu tahun. Sedangkan anak adalah tanggung jawab ayah
sepenuhnya. Dalam sistem-sistem tersebut bahwa tampaknya terdapat
kombinasi antara budaya minangkabau dengan Aceh itu sendiri. Garis
keturunan perempuan juga diperhitungkan berdasarkan prinsip Bilateral,
yang sedangkan adat telah ditetapkan sesudah menikah adalah
Uxorilikal (yaitu tinggal didalam lingkup keluarga pihak mempelai
perempuan).
Pada masa lampau masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial,
antara lain
empat lapisan/ golongan masyarakat yaitu :
1. Golongan keluarga sultan merupakan bekas sultan-sultan yang pernah
berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah
“ampon” untuk laki-laki
dan “cut” untuk perempuan.
2. Golongan uleebalang merupakan orang-orang dimana keturunan-
keturunan dari bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil
dibawah kerajaan.
3. Golongan Ulama yaitu merupakan pemuka agama ang lazim disebut
(teungku atau tengku).
4. dan, Golongan rakyat biasa.
Demikianlah pelapisan-pelapisan yang terjadi dalam Aceh pada masa
kesultanan dulu. Pada saat zaman sekarang ini adat istiadat yang
dijalankan sekarang ini dengan adat masa lalu sudah mengalami
perbedaan yaitu bertambah modernnya masyarakat serta tata cara dalam
menyusun adat istiadat perkawinan.
Dalam sistem keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya
sudah dewasa, para orang tua sudah mulai sibuk memikirkan untuk
mencari jodoh anaknya. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut,
secara dini mereka para orang tua mulai memperhatikan dan menyelidiki
muda mudi yang siap untuk berumah tangga.
Pada umumnya orang tua tempo dulu yang pertama diselidiki untuk
calon jodoh anaknya adalah ahklak, ketaatan beribadah, pendidikan,
pekerjaan, serta keturunan dari mana ia barada. Biasanya keturunan
kurang dipersoalkan, asalkan mencapai tujuan yang dimaksud dari
ketentuan-ketentuan adat perkawinan, yaitu salah satu tercapainya mas
kawin maka suatu perkawinan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Tidak ubahnya saat zaman sekarang, sebagian dari pihak orang tua juga
masih melihat status yang dimiliki, pendidikan bahkan jabatan dalam
pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk kepentingan dan yang terbaik untuk
anaknya. Agar kelak hidup mereka tanpa kekurangan apa pun. Dalam
acara permulaan perkawinan, tahap pelamaran (ba ranup), biasanya
dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki sebelumnya akan mengutuskan
seorang yang dirasa bijak dalam berbicara, yang biasa disebut
“teulangkee” yaitu sebagai pengurusan dalam peminangan. Jika
theulangke telah mendapat gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu
dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka
dia akan menyampaikan maksud untuk melamar gadis tersebut. Bila
lamaran diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang untuk “peukeong
haba”(membicarakan kapan dilangsungkan pernikahan), termasuk
menetapkan seberapa besar uang yang akan diminta (disebut jeulamee),
berapa banyak “jamee”(tamu) yang akan diundang, dan ketentuan hari
datangnya “intat raneueb peukong haba”. Acara ini sekaligus “jak bie
tanda”(upacara pertunangan). Pada acara ini pihak laki-laki akan
mengantar berbagai makanan khas daerah Aceh, seperti buleukat
kuneeng dengan isi tumphou (pulut kuning serta isi yang dibuat dari
tepung yang telah diolah), “lee macam boeh kayee” (aneka buah-
buahan), serta seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuai
dengan kemampuan keluarga laki-laki. Dalam adat Aceh,
“jeulame”(mahar) adalah pemberian wajib seorang suami kepada calon
istrinya.

Jumlah jeulame sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Hal ini disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan
kemampuan laki-laki. Jeulame ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan
adat yang berlaku.

Sebuah institusi keluarga dapat mempertahankan keutuhan keluarga, apa


bila fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik,
baik itu fungsi pokok yaitu fungsi biologis, fungsi afeksi, fungsi
sosialisasi maupun fungsi sosial yaitu fungsi ekonomi, fungsi
perlindungan serta fungsi rekreasi. Apabila fungsi keluarga tersebut
sudah tidak berjalan dengan baik, maka dapat memungkinkan
kegoncangan dalam keluarga. Didalam suatu keluarga terutama pada
suami istri dan keluarga lainnya. Dari pemaparan diatas sesuai dengan
tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki.
Pada dasarnya, jeulamee tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat
yang berlaku sebab ini dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut. Kalau
dilihat ketentuan-ketentuan pemberian jeulamee dibeberapa daerah ,
jeulamee yang harus dibayar pihak laki-laki kepada perempuan lebih
kurang 20 mayam, namun keluarga perempuan biasanya menyediakan
rumah untuk mereka setelah menikah. Di Aceh juga ada jeulamee
umumnya di bawah 10 mayam, tetapi di tambah dengan “peng
hangoh” (uang tunai), sedang pihak perempuan tidak menyediakan
rumah.
Dalam jumlah mahar (jeulame) seorang perempuan itu jika besar, serta
merta ada perasaan bangga dan dihargai, oleh karenanya pihak laki-laki
akan dihargai pula oleh pihak keluarga mempelai perempuan (istri).
Bentuk penghargaan tersebut yang diberikan oleh pihak keluarga
perempuan kepada laki-laki (suami) berupa kedudukan status yang
dimiliki dalam keluarga perempuan, sanjungan, pemberian berupa
materi yaitu rumah pribadi, kendaraan, maupun jabatan yang dimiliki
oleh orang tua dari pihak keluarga perempuan. Namun dengan demikian,
jika jumlah mahar (jeulame) yang diberikan tidak banyak atau lebih
sedikit dari perkiraan yang seharusnya, sama saja yang penting semua
keperluan harus ada dan lengkap sesuai dengan kebutuhan yang di
perlukan “di masyarakat aceh lainnya”. Misalnya, isi kamar, banyaknya
hantaran, uang pesta adat, serta lainnya. Mahar perkawinan sangat
penting dalam sebuah perkawinan, karena tanpa maharsebuah ikatan
tidak akan sah atau tidak lengkap persyaratannya dalam kelangsungan
pernikahan.

Demikian halnya dalam suatu perkawinan, apabila sudah mendapatkan


mahar tinggi yang diberikan oleh pihak laki kepada pihak perempuan
maka suatu penghargaan tersebut akan ditunjukkan oleh keluarga
perempuan berupa, pemberian rumah, pekerjaan / jabatan,status yang
dimiliki oleh keluarga perempuan sama akan diberikan kepada lakilaki,
kendaran, serta sanjungan dan kasih dalam keluarga. Itu semua di
lakukan atas dasar aktivitas adat dalam perkawinan. Pada masyarakat
Aceh, budaya yang dianut masih bersifat agraris yang mana masih
dipengaruhi oleh sebagian besar kehidupan warga setempat, sehingga
secara sosial budaya mereka didominasi oleh prilaku menunggu serta
kurang kreatif.

Banda aceh , 8 juni 2021

Anda mungkin juga menyukai