Anda di halaman 1dari 35

EKSISTENSI MAHAR DAN UANG PANAI DALAM MASYARAKAT

DITINJAU DARI SEGI HUKUM ISLAM


(Studi Kasus Desa Samaelo Kecamatan Barebbo)

Draft Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Bidang Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan
Hukum Islam IAIN Bone

Oleh
FACHRYEL DYDA SETYADHI
NIM. 742302019197

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan Sunnah Rasul SAW yang bertujuan untuk

melanjutkan keturunan dan menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalam

perbuatan yang sama sekali tidak diinginkan oleh syariat. Untuk itu, perkawinan

baru dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Salah satu syarat

tersebut adalah adanya mahar yang merupakan hak istri dan wajib hukumnya.

Mahar merupakan tanda kesungguhan laki-laki untuk menikahi seorang

perempuan. Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada

perempuan yang akan dinikahinya, yang dimana mahar tersebut akan menjadi hak

milik istri secara penuh. Seseorang bebas dalam menentukan bentuk dan jumlah

mahar yang diinginkan karena memang tidak ada batasan dalam syariat islam

mengenai mahar, akan tetapi mahar itu disunnahkan yang sesuai dengan

kemampuan pihak calon suami. Islam menganjurkan agar meringankan mahar.

Perkawinan adat Bugis selain mahar yang merupakan salah satu syarat

sah, “uang panaik” juga merupakan adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki- laki

dalam bentuk uang. Uang panaik adalah uang antaran yang harus

diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga

calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. 1 Mahar

dan Uang panaik memang hampir mirip, yaitu sama-sama merupakan kewajiban.

Namun kedua hal ini sebenarnya berbeda. Mahar merupakan kewajiban dalam

1
A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre
dalam Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4.
Islam, sedangkan Uang panaik merupakan kewajiban dalam tradisi adat

masyarakat Bugis.2

Mahar dan Uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis di Kab. Bone

adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam praktiknya

kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus

dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan

dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses

perkawinan sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar daripada jumlah

nominal mahar.

Besarnya uang panaik merupakan cerminan status sosial calon pengantin.

Tinggi dan rendahnya uang panaik merupakan bahasan yang paling mendapatkan

perhatian dalam perkawinan Bugis, sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa

itu akan menjadi „buah bibir‟ bagi para tamu undangan. Adapun penyebab

tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena beberapa faktor di

antaranya: status ekonomi keluarga calon istri, jenjang pendidikan calon istri,

kondisi fisik calon istri, status pernikahan calon istri; janda dan perawan.3

Semakin tinggi status sosial pihak perempuan, maka semakin besar Uang

panaik yang dikeluarkan oleh pihak laki-laki. Hal ini menjadi masalah tersendiri

dalam masyarakat, sebab tidak jarang terjadi gagalnya perkawinan disebabkan

tidak disepakatinya uang panaik oleh kedua belah pihak mempelai. Bahkan,

2
A.Mega Hutami Adiningsih, ”Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre dalam
Perkawinan Adat Bugis”( Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2016), h. 4.
3
Moh Ikbal, “Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The
Indonesian Journal Of Islamic Family Law”, 06, (Juni, 2016), h. 201.
yang lebih parah, tak jarang pasangan tersebut malah kawin lari yang dalam

masyarakat suku Bugis disebut “silariang”.4

Ada dua dasar yang menjadi pegangan masyarakat Bugis, yaitu saraq

(syariah) dan adeq (adat) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk dalam

dinamika kehidupan masyarakat Bugis. Saat kehidupan diatur dengan

pangngaderreng (undang-undang sosial) sebagai falsafah tertinggi yang mengatur

masyarakat sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906, maka unsur

yang awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi lima. Ini untuk

mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup. Sistem yang saling

mengukuhkan pangngaderreng didirikan atas: 1) wariq (protokoler kerajaan); 2)

adeq (adat istiadat); 3) bicara (sistem hukum); 4) rapang (pengambilan

keputusan berdasarkan perbandingan); dan 5) saraq(syariat Islam). Oleh

karena itu, setelah diterimahnya saraq sebagai bagian dari pangngadereng, maka

keputusan masyarakat Bugis terhadap adat dan agama dilakukan secara bersamaan

dan sama kuatnya.

Menurut Shils, manusia tak mampu hidup tanpa tradisi/ritual adat meski

mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Shils menegaskan bahwa

suatu tradisi atau ritual itu memiliki fungsi bagi bagi masyarakat antara lain:
1. Dalam bahasa klise, dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun
temurun. Tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai
yang kita anut kini serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu.
2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,
pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan
pembenaran agar dapat mengikat anggotanya.
3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
4
Ahmad Ridha Jafar, ”Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis
Makassar Perspektif Hukum Islam”( Yogyakarta: Skripsi Universitas Islam Indonesia, 2016), h. 4.
memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan
kelompok.
4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan
dan ketidak puasan kehidupan modern. 5

Tradisi/ ritual adat pernikahan Bugis, memeliki fungsi seperti penjelasan

sebelumnya, namun seiring perkembangan zaman, terjadi perubahan termasuk

perubahan nilai sehingga mengakibatkan munculnya sesuatu yang tidak

diinginkan, diantaranya adalah:


1. Ritual adat pernikahan Bugis sebagai ajang pamer status sosial, ajang
gengsi keluarga kedua mempelai. Maka dibuatlah pesta yang sangat
meriah untuk menghindarkan diri dari perkataan negatif orang lain.

2. Ritual adat pernikahan Bugis merupakan bentuk pemborosan dan


cenderung materialistis, hal ini dapat dilihat dari biaya yang
dihabiskan dalam proses tersebut. Termasuk juga tingginya uang panaik
yang dibebankan oleh keluarga calon mempelai perempuan kepada
keluarga calon mempelai laki-laki.

Tingginya jumlah uang panaik memang beberapa mendatangkan manfaat

karena dapat memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam mempersiapkan

diri menghadapi perkawinan. Selain itu, ada pula anggapan bahwa tingginya uang

panaik dapat mengurangi tingkat perceraian dalam rumah tangga karena tentu

seorang suami akan berpikir beberapa kali untuk menikah lagi dengan

pertimbangan jumlah uang panaik yang sangat tinggi. Kedua alasan tersebut tidak

menyalahi kebenaran terhadap realita yang mereka hadapi. Tapi mari kita lihat

dari sisi negatifnya juga. Pada kenyataanya banyak kita temukan pemuda yang

gagal menikah akibat ketidakmampuannya memenuhi jumlah uang panaik yang


5
M. Juwaini, ”Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis
Dan Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam”( Yogyakarta: Tesis Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2018), h. 2.
dipatok oleh keluarga perempuan. Sementara si pemuda dan si gadis telah

menjalin hubungan yang serius. Salah satu contohnya seorang yang bernama

Akmal dia telah menunda perkawinannya selama satu tahun hanya karena uang

panaik yang diminta melebihi kemampuannya. Uang panaik yang diminta oleh

mertuanya adalah sebelas ribu ringgit Malaysia dikarenakan istrinya adalah

seorang mahasiswi sarjana diploma. Untuk mencukupi uang panaiknya, dia tidak

melakukan kerja sampingan maupun meminjam uang dari pihak lain melainkan

membutuhkan waktu yang agak lama untuk mengumpulkan jumlah uang yang

diperlukan.6 Yang demikian inilah dapat menyebabkan terbukanya pintu-pintu

kemaksiatan, misalnya si gadis hamil diluar nikah yang membuat orang tua si

gadis mau tidak mau harus menyetujui perkawinan mereka atau bahkan ada

beberapa yang nekat mengakhiri hidup disebabkan karena tidak disetujuinya

perkawinan mereka.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul “EKSITENSI

MAHAR DAN UANG PANAI DALAM MASYARAKAT DI TINJAU DARI

SEGI HUKUM ISLAM (Studi kasus Desa Samaelo Kecamatan Barebbo)”

dengan harapan agar mengelaborasi status Uang panai dalam tradisi pernikahan di

Desa Samaelo dan kaitannya dengan mahar selaku prasyarat pernikahan. Kajian

ini diharapkan memberi kontribusi informasi terkait kearifan local masyarakat

Bugis dalam tradisi pernikahan yang disebut “uang panaik”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai mahar dan uang panai di
Desa Samaelo ?

2. Bagaimana kedudukan mahar dan uang panai di Desa Samaelo?

6
Muhammad Nur Ikram ”Pengaruh Tingginya Uang Hantaran Terhadap
Penundaan Perkawinan”( Aceh: Tesis UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2018), h. 3-4.
C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penelitian dimaksudkan untuk memahami arti

setiap variable penelitian sebelum dilakukan analisis.7 Definisi operasional dapat

membantu penulis dalam memahami dan menjelaskan uraian serta makna yang

terkandung dalam judul ini, dan dapat mengetahui ruang lingkup penelitian yang

akan di teliti. Maka dari itu diperlukan penjelasan dan batasan definisi kata dan

variable yang tercakup dalam judul tersebut. Adapun penjelasannya sebagai

berikut:

Eksistensi berasal dari bahasa latin exiztere yang artinya muncul, ada,

timbul, memiliki keberadaan actual. Exixtere disusun dari kata ex yang artinya

keluar dan sistere yang artinya tampil atau muncul.

Mahar secara etimogi artinya maskawin, secara terminologi, mahar ialah

pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon

suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seseorang istri kepada calon

suaminya atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon

istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.8

Uang panai atau biasa disebut dengan uang belanja adalah biaya yang

diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka pelaksanaan

pesta pernikahan tersebut.9

Masyarakat adalah sekelompok mahluk hidup yang erat karena sistem

tertentu, tradisi tertentu,konvensi, dan hukum tertentu yang sama, serta mengarah

7
Wiratna Sujarweni, Metodologi penelitian (Yogyakarta: Pustaka baru Press, 2014), h. 87
8
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003,
Cet.Pertama), h. 84
9
Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum dan
Syariah, volume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 48.
pada kehidupan kolektif.sistem dalam masyarakt saling berhubungan antara satu

manusia denag manusia lainnya yang membentuk suatu kesatuan.

Tinjau yang berarti melihat, menjenguk memeriksa dan meneliti untuk

kemudian menarik kesimpulan.

Hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah

untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi saw, baik hukum yang

berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang

berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat muslim

semuanya.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, maka

ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dan kegunaannya dalam penelitian ini. 10

Tujuan dan kegunaan penelitian yang di maksud adalah sebagai berikut:


a. Tujuan Peelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat mengenai mahar
dan uang panai .
b. Untuk mengetahuai kedudukan mahar dan uang panai dalam masyarakat
Desa Samaelo.
b. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian yang dimaksud adalah manfaat dan sumbangan yang

akan di berikan kepada sehubungan dengan penelitian yang akan dibahas. Dengan

kata lain bahwa penelitian akan memperoleh kegunaan dari penelitian. Dalam hal

ini kegunaan penelitian berkenaan dengan hasil dari penelitian praktis dan ilmiah.

10
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka baru press, 2014), h.
87
Penulis berharap dalam menyusun penulisan ini dapat memberikan

manfaat yaitu sebagai berikut:


a. Kegunaan Praktis, daalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kegunaan dan pengetahuaan bagi masyarakat dalam mengenai kedudukan
mahar dan uang panai.
b. Secara Teoritis, dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan bagi masyarakat dalam aspek mengenai
bagaimana pentingnya mahar dalam perkawinan.

E. Orisinalitas Penelitian

Tinjauan Pustaka yaitu telaan terhadap hasil penelitian terdahulu yang

memiliki kesamaan topik dan berguna pula mendapatkan sebuah ilustrasi bahwa

penelitian yang dilakukan bukan merupakan suatu plagiat, yang pada dasarnya

adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan dibahas atau

diteliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin pernah diteliti oleh peneliti

sebelumnya. Sehingga dalam penulisan ini tidak ada pengulangan materi terhadap

penelitian secara mutlak.

Adapun beberapa karya yang berhasil ditemukan oleh penulis antara lain:
Pertama, A. Mega Utami Adiningsih, daalam skripsi yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui’Menre (Uang Belanja) Dalam Perkawinan
Adat Bugis”, Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar 2016. Dalam skripsi ini membahas mengenai dui menre (uang belanja)
dalam perkawinan adat bugis di tinjau dari segi hukum islam adapun persamaan
dari penelitian ini sama-sama membahas uang panai, adapun perbedaannya satu
ditinjau dari hukum islam satu dari eksistensinya.

Kedua, Nur Avita, dalam skripsi yang berjudul “Mahar Dan Uang Panai

Persfektif Hukum Islam ( Studi Kasus Perkawinan Masyarakat Bugis Di


Kabupaten Bone)”, Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Negeri Syarif Syarif Hidayatullah Jakarta 2019. Dalam skripsi ini

membahas mengenai perspektif hukum islam Mahar dan Uang panai, adapun

persamaannya sama-sama membahas Mahar dan Uang panai, adapun

perbedaannya terletak pada lokasi penelitian.

Ketiga, Suria Nensi, dalam skripsi berjudul “Persepsi Masyarakat

Terhadap Mahar dan Uang Panai’ Pada Adat Pernikahan di Desa Tanete

Kabupaten Gowa”, Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin

Makassar 2017. Dalam skripsi ini membahas mengenai adapun persamaannya

sama-sama membahas Mahar dan Uang panai, adapun perbedaannya terletak pada

lokasi penelitian.

F. Kerangka Pikir

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan pada bagian

sebelumnya, maka pada bagian ini, diuraikan kerangka pikir yang dijadikan

penulis sebagai pedoman dan landasan berpikir dalam melaksanakan penelitian

ini. Hal ini perlu dikembangkan karena berfungsi mengarahkan penulis untuk

memperoleh informasi dan data yang diperlukan guna memecahkan masalah

penelitian secara ilmiah.

Hukum Islam
Pemahaman Masyarakat
Kedudukan Mahar dan Uang
menngenai Mahar dan Uang
Panai
Panai

Hasil
Gambar 1.1

Berdasarkan kerangka pikir di atas dapat dipahami bahwa Pemahaman

masyarakat mengenai Mahar dan Uang Panai dan kedudukannya.Sehingga dalam

hal ini hukum Islam mengenai Mahar dan Uang Panai dapat diketahui berdasarkan

tinjauan Hukum Islam.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan yang

telah ditetapkan, maka skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima

bab yang masing-masing memiliki dan terdiri dari beberapa sub-bab, dimana

masing-masing menampakkan karakteristik yang berbeda namun dalam kesatuan

yang satu dan tak terpisahkan (inherent). Maka dari itu penulis akan

mendiskripsikan sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I, merupakan bagian pendahuluan yang di dalamnya berisi latar

belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, tujuan dan kegunaan,

orisinalitas penelitian, kerangka pikir dan sistematika pembahasan.

Bab II, merupakan bagian yang memuat uraian tentang kajian pustaka atau

buku-buku yang berisi teori-teori besar dan teori-teori yang dirujuk dari pustaka

penelitian kualitatif ini keberadaan teori baik yang dirujuk dari pustaka atau hasil
penelitian terdahulu yang digunakan sebagai penjelasan dan berakhir pada

konstruksi teori baru yang dikemukakan oleh peneliti.

Bab III, menjelaskan tentang metode penelitian yang dipakai oleh peneliti

yang didalamnya berisi jenis penelitian, pendekatan penelitian, data dan sumber

data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab IV, merupakan bagian analisis dan pembahasan yaitu hasil penelitian

yang dilakukan oleh peneliti.

Bab V, berisi tentang penutup yang meliputi simpulan dan saran.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Mahar

1. Pengertian Mahar

Mahar adalah satu diantara hak istri yang didasarkan pada Al-

qur’an, sunnah dan ijma’.Mahar dalam Islam sering pula dikenal dengan

istilah sadaqah, nihlab, faridah, dan „alaiq.Dalam bahasa Indonesia,

mahar sering diistilahkan dengan “mas kawin”, yaitu pemberian wajib

dari calon suami kepada calon istri ketika berlansungnya acara akad

nikah di antara keduanya untuk mengarungi kehidupan bersama sebagai

suami istri. Dalam tetm al-sadaqah, maka yang dimaksud adalah sebagai

ungkapan rasa percaya seorang laki-laki kepada perempuan dan ia

merupakan sesuatu yang wajib. Mahar juga disebut sadaq, karena ketika

perempuan diberi haknya.

Pengertian Mahar menurutpara imam mazhab:

a. Mazhab Hanafi dalam bukunya Sabri Samin mendefinisikan mahar

sebagai sejumlah yang menjadi hak istri karena akad perkawinan

atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya.

b. Mazhab Maliki dalam buku Sabri Samin mendefinisikan mahar

sebagai sejumlah yang menjadikan istri halal untuk digauli.

c. Mazhab Syafi’I dalam bukunya Sabri Samin mendefinisikan mahar

sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau

senggama.

d. Mazhab Hambali dalam bukunya Sabri Samin menyebutkan bahwa

mahar adalah imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas

dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua

belah pihak maupun ditentukan oleh hakim.11

11
Sabri Samin, Dkk, Fikih 11 (Makassar, Alauddin Press, 2010), h. 45.
Dari beberapa pandangan dapat dipahami bahwa mahar:

a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan

lainnya) dari seseorang suami kepada istri, baik sebelum, sesudah

maupun pada saat aqad nikah.

b. Mahar wajib diterimakan kepada istri dan menjadi hak miliknya,

bukan kepada/milik mertua.

c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah,wajib dilunasi setelah

adanya persetubuhan.

d. Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang istri memberikan

dengan kerelaan.

e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai, syari’at Islam

menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat

yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk,

memiliki nilai dan bermanfaat.12

Mengkeritisi definisi mahar yang dikemukakan diatas dikatakan

bahwa kewajiban membayar mahar disebabkan oleh dua hal, yatu adanya

akad nikah yang sah dan terjadinya senggama sungguhan (bukan karena

zina).

Mahar merupakan hak murni perempuan yang disyariatkan untuk

diberikan kepada perempuan sebagai ungkapan keinginan pria terhadap

calon istrinya, dan dianggap sebagai salah satu tanda kecintaan dan kasih

sayang calon suami kepada calon istri yang dilamar, serta sebagai simbol

untuk memuliakan, menghormati, dan membahagiakan perempuan yang

akan menjadi istrinya, sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an

surah al-Nisa’ ayat 4:

12
Sabri Samin, Dkk, Fikih 11 (Makassar, Alauddin Press, 2010), h. 46.
‫ِن‬ ‫ٍء ِم‬ ‫ِط‬ ‫ِهِت‬
َ‫ َفِإْن َنْب َلُك ْم َعْن َش ْي ْنُه َنْف ًس ا َفُك ُلوُه َه يًئا َم ِر يًئا‬،‫آُتوا الِّنَس اَء َص ُد َقا َّن ْحِنَلًة‬

Artinya: “Berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya


secara sukarela. Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap.lagi.baik.akibatnya.”13
Dari ayat diatas dipahami adanya kewajiban suami membayar

mahar buat istri, yang merupakan hak sepenuhnya. Dia bebas

menggunakannya dan bebas pula memberi seluruhnya atau Sebagian

darinya kepada siapapun,termasuk kepada suaminya.Oleh karena

itu mahar didahului oleh janji, maka pemberian itu merupakan bukti

kebenaran janji. Dapat juga dikatakan bahwa mahar bukan saja lambang

yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah

dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi lebih dari itu, ia adalah

lambang dari janji untuk tidak rahasia kehidupan rumah tangga,

khususnya rahasia terdalam yang tidakdibuka oleh seorang wanita

kecuali kepada suaminya. Dari segi kedudukan, mahar sebagai lambang

kesediaan suami menanggung kebutuhan kehidupan istri, maka

mahar hendaknya sesuatu yang bernilai materi. Mahar juga dapat berarti

“pemberian yang tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian mahar

seorang suami terhadap istrinya, bukan berarti mahar menjadikan

perempuan sebagai alat tukar atau barang yang bisa diperjual-belikan.

Bahkan mahar dianggap sebagai simbol untuk memuliakan dan

menghormati, serta untuk mengungkapkan apa yang menjadi fitrah

perempuan.

13
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Bandung: Jumanatul’
Ali-Art,2005), h. 78.
Islam telah menegakkan tujuan-tujuan yang luhur dan mulia untuk

pernikahan antara dua orang manusia.Islam juga menetapkan mahar

sebagai hak eksklusif perempuan.Mahar adalah hak fanansial yang tidak

boleh dilanggar oleh siapapun.Meskipun mahar merupakan kewajiban

calon suami terhadap calon istrinya, namun Al-qur’an ternyata tidak

memberatkan calon suami diluar kesanggupannya.Hal ini terbukti tidak

tertentu yang harus dibayarkan.Hal ini memberikan indikasi bahwa

syari’at Islam telah memberikan keleluasaan dalam hal bentuk dan

jumlah mahar tersebut.

Mengenai bentuk mahar, beberapa ulama berpendapat bahwa yang

terpenting adalah mahar haruslah berupa sesuatu yang berharga, halal,

dan suci, baik berupa benda-benda yang berharga maupun dalam bentuk

jasa. Kriteria lain adalah mahar haruslah suatu benda yang boleh dimiliki

dan halal diperjual belikan. Karenanya babi dan minuman keras tidak

dapat dijadikan mahar, karena keduanya bukanlah harta yang halal bagi

umat Islam. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Ahmad bin Umar al-Dairabi. Persyaratan lain yang tak kalah pentingnya

adalah bahwa mahar itu tidak mengandung unsur tipuan. Imam Syafi’I,

Hanbali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal

dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli

boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu Qirsy.Imam Hanafi

berpandangan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh

dirham.Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari sepuluh

dirham, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh

dirham.Sedang menurut Maliki bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga

dirham.Kalau akad dilakukan kurang dari jumlah tersebut kemudian


terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham.Tetapi

bila belum mencampuri, maka dia boleh memilih antara membayar tiga

dirham (dengan melanjutkan perkawinan).14

2. Jenis – jenis Mahar

Dalam Islam dikenal dua jenis mahar, yaitu mahar musamma

dan mahar mitsil.Yaitu:

a. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang desepakati oleh

pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang disebutkan

dalam redaksi akad. Para ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada

jumlah maksimal dalam mahar.

b. Mahar Miitsil

Tentang mahar mitsil, ada beberapa situasi yang

diberlakukan padanya, yaitu: para Ulama Mazhab sepakat bahwa

bukanlah salah satu rukun adad, sebagaimana halnya dalam jual

beli, tetapi merupakan salah satu konsekwensi adanya akad, karena

itu akad nikah boleh dilakukan tanpa menyebut mahar, dan bila

terjadi percampuran, barulah ditentukan mahar Mitsil, kalau

kemudian siistri ditalak sebelum dicampuri, maka dia tidak berhak,

tetapi harus diberi mut‟ah, yaitu pemberian sukarela dari suami,

bisa dalam bentuk pakaian, cincin, dan sebagainya, maka barang

itulah yang menjadi mit‟ahnya. Tetapi kalau tidak diperoleh

kesepakatan, maka hakimlah yang menentukannya.15

14
Sabri Samin, Dkk, Fikih 11 (Makassar, Alauddin Press, 2010), h. 46
15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003),
h. 105.
Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat

dijadikan mahar dapat berupa:16

1. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap

2. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon istri

3. Manfaat yang dapat nilai dengan uang

Pemberian mahar sebaiknya dilakukan dengan kontan, tetapi jika

pihak perempuan menyetujui untuk menangguhkan, maka boleh

ditangguhkan. Jika demikian itu menjadi hutang calon mempelai pria.

Hutang mahar seperti itu wajib dilunasi dengan cara dan waktu yang

sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak.

3. Syarat – syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat- syarat

sebagai berikut:

a. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak

berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya

mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap

sah.

b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan

khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak

berharga.

c. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang

milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk

memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi

akadnya tetap sah.


16
AbdShomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
(Jakarta:Kencana Group, 2010), h. 299.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan

memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak

disebutkan jenisnya.17

B. Uang Panai

1. Pengertian Uang Panai

Suatu pernikahan dalam adat Bugis-Bone diiringi dengan sejumlah

uang pemberian dari pihak laki-laki kepihak perempuan. Ada dua jenis

pemberian yaitu sunrang yang secara simbolis berupa sejumlah uang atau

barang yang sesuai dengan derajat perempuan dan uang panai‟ yang

digunakan untuk biaya pernikahan.

Istilah uang panai‟ dalam adat perkawinan/pernikahan di Sulawesi

Selatan adalah uang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak

perempuan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Uang panai‟

dianggap sebagai hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada

pihak perempuan. Uang panai‟ ini jumlahnya ditentukan oleh pihak dari

calon mempelai parempuan, besarnya uang panai‟ tergantung dari

kedudukan keluarga perempuan pada masyarakat setempat.18

Besar kecilnya uang panai‟ tergantung dari kesapakatan kedua

belah pihak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah uang panai‟

terkadang menjadi kendala sehingga pernikahan tidak dapat

dilaksanakan.19

Uang panai‟ selalu terkait dengan wibawa keluarga mempelai.

Semakin tinggi status sosial pihak perempuan maka semakin besar uang

17
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari. Cetakan
Ibnu Jauzi, no hadis 5150, h. 631
18
Sugira Wahid, Manusia Makassar (Makassar: Pustaka Refleksi, 2007), h. 21.
19
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah SUL-SEL(Makassar : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2006), h. 37.
panai‟ yang akan diberikan oleh pihak laki-laki. Hal ini menjadi masalah

tersendiri dalam masyarakat, sebab tak jarang pembatalan pernikahan,

bahkan terkadang terjadi kawin lari atau silariang disebabkan oleh tidak

disanggupinya permintaan dari pihak perempuan.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhhi uang panai

Penentuan mahar dan uang panai‟ pada adat pernikahan

masyarakat tidakterlepas dari beberapa factor. Selanjutnya mengenai

tingkatan mahar dan uang panai‟ agak berbeda-beda antara satu daerah

dengan daerah lainnya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi mahar

dan uang panai‟ pada masyarakat antara lain:

a. Stratifikasi Sosial

Masyarakat Sulawesi Selatan agak ketat memegang adat yang

berlaku, utamanya dalam hal pelapisan sosial.Pelapisan sosial masyarakat

yang tajam meruakan suatu ciri khas bagi masyarakat Sulawesi Selatan

mudah mengenal stratifikasi sosial. Disaat terbentuknya kerajaan dan

pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi

sosial dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Stratifikasi sosial ini

mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan

golongan bawah.

Pelapisan sosial ini memberlakukan stratifikasi tersebut dalam

kehidupan sehari-hari terutama pada upacara-upacara adat seperti

pernikahan.Demikian halnya dalam penentuan mahar dan uang panai‟,

karena hal itu dianggap mempengaruhi kewibawaan

keluarga.Penggunaan tingkatan mahar dan uang panai‟ disamping

sebagai implikasi klasifikasi masyarakat juga menggambarkan stratifikasi

calon pengantin perempuan menurut adat berdasarkan keturunan.Namun


hal tersebut mulai bergeser, sehingga stratifikasi sosial masyarakat Bugis

Makassar tidak lagi diukur dari kekayaan dan jabatan yang disandang

oleh keluarga calon mempelai perempuan.

b. Adat Istiadat

Dalam segala tempat dan waktu, manusia terpengaruh oleh adat

isiadat lingkungannya, karena dia hidup dalam lingkungan, melihat dan

mengetahui, dan melakukan perbuatan.Sedangkan kekuatan memberi

hukum kepada sesuatu belum begitu jelas, sehingga kebanyakan orang

melakukan sesuatu disesuaikan dengan adat istiadat daerah setempat.20

C. Perbedaan Mahar dan Uang Panai

Mahar dan Uang panai dalam perkawinan adat suku Bugis adalah suatu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal

tersebut memiliki posisi sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi.

Walaupun Uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu

hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga

jumlah nominal Uang panai lebih besar dari jumlah mahar.

Apabila kisaran Uang panaik biasa mencapai ratusan juta rupiah karena

dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya mahar yang tidak terlalu

dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami

yang biasanya berbentuk barang yaitu tanah, rumah, atau satu set perhiasan. Hal

tersebut dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya menyebutkan mahar

dalam jumlah kecil.21

20
Muhammad Saleh Ridwan, Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional, h. 10.
21
Moh Ikbal, Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan Adat
Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar. Skripsi
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), h. 20.
Secara sederhana kedua istilah di atas memang memiliki pengertian yang sama

yaitu keduanya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang

melatar belakanginya, pengertian kedua istilah tersebut jelas berbeda. Mahar adalah

kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan Uang panaik adalah kewajiban menurut

adat masyarakat setempat.22

Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa dan uang panaik.

Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki

kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya perkawinan menurut ajaran Islam.

Sedangnkan Uang panaik adalah uang antaran yang dimana harus diserahkan oleh pihak

keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan

untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.

Sompa secara harfiah berarti ”persembahan” yang sekarang disimbolkan dengan

sejumlah uang rella‟ ( yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku, antara

lain di Malaka). Dimana Rella ini ditetapkan sesuai status perempuan yang akan menjadi

hak miliknya. Akan tetapi, sompa atau mahar jarang terjadi perdebatan karena hal ini

dianggap sebagai hal yang biasa dan diukur sesuai kemampuan calon mempelai laki-laki.

Pada Lontara milik A. Najamuddin dijelaskan bahwa sompa atau mahar juga

mempunyai tingkatan yang berlaku dalam masyarakat muslim Bone yaitu sebagai

berikut:

1. Sompa bocco

Yaitu sompa yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada seorang perempuan

yang berstatus raja ketika dinikahi, yaitu 14 kati doi yang disertakan pula dengan

ata‟(budak) dan seekor kerbau. Sepanjang sejarah kerajaan Bone bahwa sompa bocco ini

hanya berlaku pada diri Bataritoja sebagai Raja Bone ke 16 dan ke 20.

22
Ardianto Iqbal, Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi,
(Bandung, Mujahidi Grafis: 2016), h. 29.
2. Sompa ana‟ bocco

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir dan menikah

pada saat ibu atau ayahnya sedang menjadi raja, ketika dinikahi oleh seorang

lelaki, yaitu 7 kati doi lama disertakan pula seorang ata‟(budak) dan seekor

kerbau.

3. Sompa ana‟ mattola

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja yang lahir sebelum dan

sesudah ayahnya/ibunya menjadi raja ketika dinikahi oleh seorang laki-laki, yaitu

3 kati doi lama disertakan pula seorang ata‟(budak) dan seekor kerbau.

4. Sompa kati

Yaitu sompa yang diberikan kepada putri raja-raja bawahan ketika

dinikahi oleh seorang lelaki, yaitu 1 kati doi lama disertakan pula seorang

ata‟(budak) dan seekor kerbau.

5. Sompa to deceng

Yaitu sompa yang diberikan kepada putrinya ketika dinikahi oleh seorang

lelaki, yaitu ½ kati

6. Sompa to sama

Masyarakat biasa tapi terpandang yang diberikan ketika putrinya dinikahi

oleh seorang lelaki, yaitu ¼ kati.

7. Sompa ata‟

Budak 1/8 kati.23

Sedangkan Uang panaik adalah uang antaran pihak laki-laki kepada

pihak keluarga perempuan untuk digunakan dalam pelaksanaan pesta

23
Syarifuddin Latif, Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe (Tangsel: Gaung Persada
Press Jakarta, 2016), h. 107-108
perkawinan. Besarnya Uang panaik ini ditentukan oleh keluarga perempuan.

Dimana, sekitaran 20 juta hingga ratusan juta tergantung kesepakatan dari kedua

belah pihak pada saat negoisasi.

Uang panai tersebut pada masyarakat Bone sangat sensitive dan sangat

menentukan diterima atau tidaknya suatu lamaran dari seorang laki- laki kepada

seorang perempuan.

Tolak ukur tingginya Uang panaik disebabkan beberapa faktor, seperti:

1. Status sosial keluarga perempuan apakah dia dari keturunan bangsawan atau

bukan. Namun, untuk sejarang faktor ini sudah tidak terlalu diperhatikan lagi.

2. Status ekonomi pihak perempuan, semakin kaya calon mempelai perempuan

maka semakin tinggi pula Uang panaik yang dipatok.

3. Jenjang pendidikan, besar kecilnya Uang panaik juga sangat berpengaruh mengenai

jenjang pendidikan calon mempelai perempuan, apabila tingkat pendidikannya hanya

tingkat sekolah dasar maka semakin kecil pula Uang panaik yang dipatok begitu

pula sebaliknya jika calon mempelai perempuan lulusan sarrjana maka semakin

tinggi pula jumlah Uang panaik yang akan dipatok.

4. Kondisi fisik calon istri, yang dimaksud ialah paras yang cantik, tinggi badan, kulit

putih dll. Semua factor ini tetap saling berhubungan, bila saja calon istri tidak

memiliki paras yang cantic tapi kondisi ekonomi yang kaya, maka tetap saja Uang

panaik akan tetap tinggi.24

5. Perbedaan antara Janda dan Perawan, terdapat perbedaan dalam penentuan Uang

panaik antara perempuan yang janda dan perawan. Biasanya perawan lebih banyak

diberikan Uang panaik dari pada janda, namun tidak menutup kemungkinan bisa

juga janda yang lebih banyak diberikan jika status sosialnya memang tergolong

24
Nashirul Haq Marling. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum Dan
Syariah, olume 6, nomor 2, (Desember, 2017,), h. 50-51.
bagus.25

Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap nilai

Uang panaik yang disyaratakan. Hal ini tentulah tidak sejalan dengan ketentuan

dalam agama Islam, dimana Islam tidak membeda- bedakan status sosial dan

kondisi seseorang apakah kaya, miskin, cantik, jelek, berpendidikan atau tidak.

Semua manusia dimata Allah mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal

yang membedakan hanyalah dalam tingkat ketakwaanya.26

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan terkait penelitian ini adalah jenis

penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif deskriptif. Penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui

prosedur statistik atau bentuk perhitungan lainnya, tetapi pada prosedur analisa

25
Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, Al-
Hukuma,volume 6, nomor 1, (Juni, 2016,), h. 203.
26
Moh. Ikbal . “Uang panaik‟ Dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”. h. 209.
non sistematis. Prosedur ini menghasilkan temuan yang diperoleh dari data yang

dikumpulkan dengan beragam sarana. Sarana itu meliputi pengamatan dan

wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku, kaset dan video.27

Jenis penelitian ini dipilih karena peneliti bermaksud untuk memahami dan

menggambarkan situasi sosial dilapangan secara mendalam dan detail dari

fenomena yang terjadi dan menganggap bahwa fenomena ini tidak akan terjawab

jika hanya mengandalkan kuesioner yang diisi oleh narasumber, jadi perlu adanya

pendekatan yang intens dan secara personal antara peneliti dan narasumber

sehingga mendapatkan informasi yang detail dan akurat langsung dari pihak yang

terkait.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat yang dijadikan sebagai wilayah atau

daerah penelitian dalam hal ini tempat terdapatnya sumber data primer. Adapun

lokasi penelitian ini adalah Pengadilan Agama Watmpone kelas 1 A. tempat

penelitian tersebut dipilih karena lokasi tersebut terdapat karakteristik khusus

sesuai dengan rumusan masalah yakni bagaimana problematika izin poligami.

C. Pendekatan Penelitian

Berikut pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam

menyusun penelitian agar menghasilkan penulisan yang maksimal.

1. Pendekatan Empiris Yuridis

27
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Cet I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.4.
Pendekatan Empiris Yuridis yaitu suatu pendekatan yang meneliti data

sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan


28
penelitian data primer di lapangan. Pendekatan ini dipilih karena dalam

penelitian ini dibutuhkan data sekunder dan primer untuk memenuhi kebutuhan

penelitian.

2. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis normatif yaitu memahami suatu masalah dengan

menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan

bahwa wujud empiris dari suatu agama dianggap sebagai yang paling benar
29
dibandingkan dengan yang lainnya. Pendekatan ini dipilih karena dalam

penelitian ini tentunya menggunakan dasar hukum dari al-Qur’ān yang

merupakan firman Allah.

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal

yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang dibedakan menjadi 2

yaitu:

e. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber

28
Ronny Hanitijo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994), h. 3.
29
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. XXI ; Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 28.
pertama.30 Adapun data primer dari penelitian ini berupa hasil

wawancara langsung terhadap pihak yang mengetahui dan menguasai

permasalahan yang terkait dengan objek penelitian dalam hal ini pihak

dari Pengadilan Agama Watampone kelas I A.

f. Data Sekunder

Data Sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih

lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak

lain.31 Adapun data sekunder dari penelitian berupa data atau arsip dari

Pengadilan Agama Watampone kelas I A.

2 . Sumber Data

Sumber data adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.

Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang ada di

Pengadilan Agama Watampone kelas I A.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab masalah

penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian selain berupa

alat perekam, daftar pertanyaan wawancara juga yang menjadi instrumen adalah

peneliti itu sendiri yang berperan aktif.

Instrumen penelitian memiliki peranan yang penting agar tercapainya

tujuan dari penelitian itu. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen

atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri sehingga peneliti harus validasi.

Validasi terhadap peneliti, meliputi; pemahaman metode penelitian kualitatif,

30
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, ED II (Cet XIII;
Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 42
31
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, h. 42.
penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk

memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logiknya. 32 Dalam

penelitian kualitatif peneliti sendiri yang mengumpulkan data dengan cara

bertanya, meminta, mendengar, dan mengambil.33

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi (pengamatan), merupakan salah satu teknik pengumpulan

data yang tidak hanya mengukur sikap dari informan (wawancara

dan angket), namun juga dapat digunakan untuk merekam

berbagai fenomena yang terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakan

bila penelitian ditujukan untuk mempelajari perilaku manusia, proses

kerja, gejala-gejala alam dan dilakukan pada responden yang tidak

terlalu besar.34 Pada metode ini penulis akan melakukan pengamatan

terhadap Problematika Izin Poligami.

2. Wawancara (Interview), wawancara adalah percakapan atau pertemuan

langsung antara dua pihak yaitu, interviewer (pewawancara) dengan

interviewer (Informan yang diwawancarai) yang dilaksanakan dengan

bertatap muka secara langsung (face to face). Teknik ini merupakan

teknik pengumpulan data yang khas penelitian kualitatif. 35 Pada metode

ini, peneliti memperoleh data melalui informasi atau hasil wawancara

dengan pihak-pihak di Pengadilan Agama Watampone kelas I A yang

32
Sugiono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfa Beta, 2009), h. 305.
33
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Peneltian
Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu (Cet. I; Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h. 134.
34
Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi pada Penelitian
Bidang Manajemen dan Ekonomi (Cet, I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 181.
35
Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Cet. I;
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 175.
mengetahui dan menguasai permasalahan yang terkait dengan objek

penelitian yaitu problematika Izin Poligami.


3. Dokumentasi, adalah teknik pengumpulan data penelitian mengenai
hal- hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat, koran, majalah,
agenda dan lain-lain.36 Dokumentasi dijadikan sebagai bukti bahwa
penelitian benar-benar telah dilakukan oleh penulis

G. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan

cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan

akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh sendiri

maupun orang lain.37 Secara garis besar langkah-langkah untuk menganalisis data

sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction) adalah data yang diperoleh dari lapangan
jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka segala informasi yang

dibutuhkan dan berkaitan dengan penelitian perlu dicatat secara teliti dan

rinci. Dalam merudiksi data, setiap penelitian akan dipandu oleh tujuan

yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada

temuan.

2. Penyajian Data (Data Display) adalah kegiatan penyajian data merupakan

deskripsi kumpulan informasi yang tersusun untuk melakukan penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data lazim digunakan

36
Johni Dimyati, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya pada Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), H. 100.
37
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 89.
pada penelitian kualitatif dalam menganalisis data yang telah didapat

ketika dilapangan, penyajian data dapat dilakukan dengan menggunakan

table, grafik, dan lain-lain. Kegiatan ini dilakukan agar lebih memudahkan

dalam meraih data yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian.38

3. Conclusision Drawing/Verification adalah kegiatan pengelolaan data

kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada tahap ini

penulis menyimpulkan makna dari setiap fakta yang terjadi dan terungkap

serta data yang diperoleh ketika dilapangan.39 Dari beberapa teknik

pengelolaan data diatas maka akan diperoleh hasil penelitian yang dapat

mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan, dan fenomena yang terjadi,

yang kemudian disajikan dalam bentuk naratif, dan memudahkan dalam

penyajian data maka metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih Mega Hutami. Tinjauan Hukum Islam Tentang Dui Menre


dalam Perkawinan Adat Bugis, Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin,
2016.
Ikbal. Moh, Uang panaik dalam Perkawinan Adat Suku Bugis Makassar”, The
Indonesian Journal Of Islamic Family Law”, 06 Juni, 2016.
Jafar, Ridha Ahmad. Uang Panai‟ Dalam Sistem perkawinan Adat Bugis
Makassar Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Skripsi Universitas Islam
Indonesia, 2016.
Juwaini. Nilai-Nilai Moral Dalam Ritual Adat Pernikahan Masyarakat Bugis Dan
Relavansinya Dengan Nilai-Nilai Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tesis
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2018.
Ikram. Muhammad Nur. Pengaruh Tingginya Uang Hantaran Terhadap
Penundaan Perkawinan, Aceh: Tesis UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2018.

38
Irwan, Dinamika Dan Perubahan Social pada Komunitas Local (Yogyakarta:
Deepublish, 2018), h. 71.
39
Irwan, Dinamika Dan Perubahan Social pada Komunitas Local, h. 72.
Sujarweni,Wiratna. Metodologi penelitian, Yogyakarta: Pustaka baru Press, 2014.
Rahman, Ghazaly Abd.Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, Cet.I,
2003.
Marling. Nashirul Haq, “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu Hukum
dan Syariah, Desember, 2017.
Sujarweni, Wiratna. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka baru press,
2014.
Samin, Sabri. Dkk, Fikih 11, Makassar, Alauddin Press, 2010.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung: Jumanatul’
Ali-Art, 2005.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta:Kencana Group, 2010..
Muhammad. Abi Abdillah Ibn Ismail Ibn Ibrahim an-Nukhai, Sahih Bukhari.
Cetakan Ibnu Jauzi, no hadis 5150.
Wahid, Sugira. Manusia Makassar, Makassar: Pustaka Refleksi, 2007.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan,Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah SUL-SEL, Makassar : Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, 2006.
Ridwan, Muhammad Saleh. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Nasional, 2003.
Ikbal, Moh. Tinjauan Hukum Islam Tentang Uang panaik Dalam Perkawinan
Adat Suku Bugis Makassar Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar. Skripsi, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012.
Iqbal, Ardianto. Uang panaik Sebuah Kajian Antara Tradisi Dan Gengsi,
Bandung, Mujahidi Grafis: 2016.
Latif, Syarifuddin. Fikih Perkawinan Bugis Tellumpoccoe, Tangsel: Gaung
Persada Press Jakarta, 2016.
Marling, Nashirul Haq. “Uang Panai‟ Dalam Tinjauan Syariah”, Ilmu
Hukum Dan Syariah, Desember, 2017.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Cet I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Sumitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Cet. XXI ; Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Umar, Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, ED II ,Cet XIII;
Jakarta: Rajawali Pers, 2014.\
Sugiono. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D,
Bandung: Alfa Beta, 2009.
Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Peneltian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu, Cet. I; Jakarta :
Rajawali Pers, 2014.
Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi pada
Penelitian Bidang Manajemen dan Ekonomi, Cet, I; Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015.
Ghony, Djunaidi dan Fauzan Almanshur. Metode Penelitian Kualitatif, Cet. I;
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Dimyati, Johni. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya pada
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 2014.
Irwan. Dinamika Dan Perubahan Social pada Komunitas Local (Yogyakarta:
Deepublish, 2018..

Anda mungkin juga menyukai