Anda di halaman 1dari 9

Perkawinan Dini di Kampung Budaya Jalawastu

Dalam Tinjauan Hukum Islam

1
Slamet Wahyudi, 2Mohammad Noviani Ardi
1
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah), Fakultas Agama Islam Universitas
Islam Agung Semarang
2
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah), Fakultas Agama Islam Universitas
Islam Agung Semarang

Corresponding Author:
Slametwahyudi1505@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan terkait dengan adanya praktik
perkawinan dini di kampung budaya Jalawastu desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan,
Kabupaten Brebes dan menganalisis tentang perkawinan dini dalam perspektif hukum Islam.
Metode yang digunakan dalam menganalisis permasalahan ini adalah deskriptif-kualitatif,
yakni mendeskripsikan suatu fenomena terkait dengan praktik pelaksanaan perkawinan dini
di Kampung Budaya Jalawastu dengan cara melalui wawancara secara langsung kepada
masyarakat Jalawastu. Kemudian langkah selanjutnya yakni menganalisis tentang tinjauan
hukum Islam terhadap perkawinan dini. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di
kampung budaya Jalawastu masih ada praktik perkawinan dini yang disebabkan karena
beberap faktor. Diantaranya adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor sosial, dan juga
faktor kurangnya peran pemerintah dalam mensosialisasikan tentang dampak dari perkawinan
dini. Dalam pelaksanaannya, perkawinan di Jalawastu juga mempunyai beberapa aturan adat
yang harus di lakukan seperti; tradisi Jangkep, tradisi se’eng, tradisi perang centong, tradisi
ganti uyuh. Tradisi semacam ini tidak ada dalam hukum Islam. Namun, masyarakat Jalawastu
masih tetap melakukannya sampai sekarang.

Kata Kunci: Praktik perkawinan dini, Jalawastu


1. Pendahuluan

Perkawinan adalah salah satu bentuk keseriusan untuk menjalin suatu hubungan yang
dilakukan oleh laki laki dan perempuan atas dasar suka sama suka guna meneruskan
keturunan. Dalam islam, perkawinan sendiri merupakan suatu sunnatullah yang amat
sangat dianjurkan bagi setiap muslim tentunya dengan segala syarat dan
ketentuannya. Disamping itu, perkawinan juga mengubah status seseorang kedalam
kehidupan yang baru yakni mahligai rumah tangga. Dalam membina keutuhan rumah
tangga, tentunya bukan hanya bermodalkan cinta semata. Namun ada beberapa hal
yang perlu ada di dalamnya.
Menurut Prof. Dr. H. Harun Nasution, perkawinan menurut istilah ialah suatu
akad yang dengannya hubungan kelamin antara laki laki dan perempuan yang
melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.1 Dalam undang undang
perkawinan, diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang laki laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinnah,
mawaddah dan warahmah. Dan bahagia berdasarkan norma ketuhanan yang maha
esa.2 .Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad
yang sangat kuat (miitsaaqan gholidzan) untuk mematuhi perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.3
Pada dasarnya pernikahan itu diperbolehkan ketika sudah terpenuhi seluruh
syarat-syarat dan rukun-rukunnnya yang telah di atur di dalam islam. Akan tetapi,
pernikhana juga bisa menjadi haram hukumnya ketika maksud dan tujuannya hanya
untuk menyakiti satu sama lain. Di zaman sekarang pernikahan antara seorang laki-
laki dan wanita yang belum genap berusia 20 tahun adalah suatu hal yang tabu dan
aneh menurut sebagian orang. Hal ini terjadi karena beberapa alasan yang timbul.
Meskipun telah banyak nash Al-Qur’an maupun hadist yang telah menjelaskan
tentang pernikahan, masih diperlukan adanya upaya ijtihad dari para fuqaha’ untuk
memperoleh suatu ketentuan hukum yang objektif.
Seiring berjalannya waktu, perkawinan sebelum mencapai batas usia sudah
menjadi hal yang sangat lumrah dimasyarakat. Ada berbagai macam klasifikasi usia
pernikahan yang masing masing bendasarkan kepercayaan dan aturan adat yang

1
Harun Nasution, (Ensiklopedi Islam Indonesia. Djakarta:Djambatan,1992) Hal.741
2
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II Pasal 2
dianut oleh masing masing masyarakatnya. Di dalam Undang-Undang No.16 Tahun
2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 juga dijelaskan
bahwa untuk melangsungkan pernikahan, seorang laki laki dan perempuan harus
minimal sudah berusia 19 (Sembilan belas tahun). Namun, dalam prateknya di
masyarakat umum masih banyak yang melangsungkan pernikahan diusia muda atau
dibawah umur.4
Fenomena yang terjadi di masyarakat kita sekarang adalah meningkatnya
jumlah pernikahan yang belum mencapai batas usia yang telah ditentukan untuk
melangsungkan perkawinan. Bahkan, perkawinan di usia dini layaknya hal yang
sudah sangat menjamur dimasyarakat kita sekarang. Berdasarkan data statistik dari
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (KPPPA) bahwa pada
tahun 2018 menunjukan ada kurang lebih sekitar 1.348.866 anak usia dini yang
menikah dibawah usia 18 tahun di indonesia. 5 Angka ini menjadikan indonesia
menempati urutan yang kedua jumlah perkawinan dini di asia tenggara. Angka
tersebut bukan tidak mungkin akan terus naik mengingat faktor penyebab adanya
perkawinan usia dini yang bermacam macam.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan dini diantaranya
yaitu faktor ekonomi. Tingkat perekonomian sebagian masyarakat yag cenderung
masih tergolong menengah kebawah merupakan faktor terbesar yang menjadi
penyebab terjadinya kasus pernikahan dini di masyarakat indonesia. Hal ini tidak
terlepas dari mayoritas penduduk Indonesia yang sebagian besar merupakan seorang
petani dan nelayan. Di pedesaan misalnya, frekuensi terjadinya pernikahan dini lebih
besar daripada di kota karena perspektif masyarakat di desa menganggap dengan
adanya pernikahan, otomatis akan mengurangi beban keluarga dari pihak perempuan.
Faktor pendidikan, masih kurangnya pendidikan dan pengetahuan baik dari
anak maupun orang tua. Sehingga menganggap bahwa pernikahan adalah jalan yang
harus ditempuh untuk melanjutkan regenerasi. Faktor hamil diluar nikah, kebanyakan
perkawinan dini di lakukan untuk menutupi aib keluarga. Setelah tahu bahwa anaknya
sedang hamil, maka tidak ada pilihan bagi orang tua untuk mengawinkannya. Faktor
adat istiadat, masyarakat indonesia umumnya masih berpegang teguh pada prinsip
adat istiadat ketika melakukan perkawinan. Tentunya ada banyak sekali aturan aturan
4
Dwi Rifiani, pernikahan dini dalam perspektif Hukum Islam (De Jure,jurnal syariah dan
hukum)
5
Data statistik kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA) tahun
2018
adat istiadat yang mengatur perkawinan secara detail dan mengikat. Hal ini yang
menyebabkan banyaknya anak anak yang harus rela masa remajanya hilang karena
harus melakukan perkawinan berdasarkan peraturan adat yang berlaku di suatu daerah
tertentu.
Seiring dengan adanya arus perubahan zaman yang sekarang lebih maju dan
modern, tentunya pernikahan bagi sebagian orang harus diadakan dengan semeriah
mungkin dan dengan pesta acara yang serba mewah. Akan tetapi, masih ada
masyarakat yang tetap teguh pada aturan adatnya dan tidak mau merubah ataupun
mengganti aturan aturan yang telah dibuat oleh para leluhurnya. Karena mereka
meyakini akan ada bencana ketika aturan tentang perkawinan yang sudah ada sejak
turun temurun itu dilanggar. Hal ini dilakukan agar warisan leluhur tetap terjaga dan
lestari sehingga tidak tergerus oleh arus perkembangan globalisasi.
Dari beberapa penjelasan diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang tradisi
perkawinan dini di suku adat jalawastu desa cisereuh ketanggungan brebes. Jalawastu
merupakan sebuah nama kampung adat di selatan kabupaten brebes.6 Tepatnya di desa
cisereuh kecamatan ketanggungan kabupaten brebes. Tradisi perkawinan di Kampung
Budaya Jalawastu masih dihiasi dengan peraturan adat yang ketat. Dimana setiap
perempuan yang masih belia atau belum sampai batas umur yang sudah ditentukan
oleh undang undang, harus sudah dipinang oleh seorang laki laki untuk selanjutnya di
jadikan istri. Hal ini sudah menjadi fenomena yang lumrah karena peraturan adat yang
berlaku disana. Dan aturan adat ini tidak boleh dilanggar oleh setiap warganya. Selain
tradisi perkawinan dini yang masih berlaku, Kampung Budaya jalawastu juga
mempunyai kekayaan alam yang masih terjaga dengan indah, Kampung Budaya
jalawastu juga masih melestarikan budaya yang hampir punah. Kampung Budaya
jalawastu juga sudah memperoleh pengakuan oleh bupati brebes dengan
ditetapkannya perda (peraturan daerah) no.1 tahun 2015 sebagai cagar budaya yang
dimiliki oleh pemerintah kabupaten brebes.7 Disamping itu,suku adat jalawastu juga
disebut sebagai baduy nya jawa tengah.

2. Metode

6
Arsip pemerintah kabupaten brebes, Th. 2017
7
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Brebes, No.1, Tahun 2015
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Yang mana
peneliti menggunakan bentuk penelitian lapangan (field research). Adapun data yang
diambil berupa data primer yang diperoleh dari narasumber yakni tokoh adat dan
masyarakat Kampung Budaya Jalawastu Desa Cisereuh Ketanggungan Brebes untuk
mengetahui lebih dalam terkait dengan judul penelitian ini. Serta data sekunder yang
diperoleh dari hasil pencarian baik berupa buku,jurnal,maupun dokumen yang masih ada
keterkaitan dengan masalah perkawinan dini. Metode yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian adalah berupa observasi, dokumentasi, dan wawancara. Yang bersumber dari
masyarakat,tokoh adat, dan juga orang yang pernah melakukan perkawinan dini di
Kampung Budaya Jalawastu Cisereuh, Ketanggungan, Brebes Data yang diperoleh
tersebut baik secara lisan dan tulisan akan di analisis oleh penulis dan akan dijadikan
kesimpulan.
3. Hasil Penelitian
Di Indonesia, batas usia perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 16
Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa perkawinan diperbolehkan ketika kedua belah
pihak telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun. Dari peraturan perundang-
undangan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang akan melaksanakan
perkawinan dibawah usia 19 tahun belum diperbolehkan secara hukum yang berlaku.8
Meskipun sudah ada aturan perundang-undangan yang berlaku bagi setiap warga
Negaranya, namun pada faktanya di Indonesia masih banyak kasus perkawinan usia dini
yang sampai saat ini terus terjadi. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya masih harus
mengenyam pendidikan malah terpaksa untuk menikah dan juga membina rumah tangga
dalam keadaan fisik dan psikis yang belum siap. Tak terkecuali seperti fenomena yang
ada di kampung Budaya Jalawastu.
Di jalawastu sendiri, umumnya masyarakat menikah pada usia yang relatif masih
muda. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor yang melatar belakanginya. Salah
satunya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah dan juga karena faktor ekonomi
disana. Disamping itu, faktor adat istiadat juga berperan penting dalam fenomena
perkawinan dini di jalawastu. Tidak ada peraturan secara tertulis yang mengatur tentang
usia perkawinan disana. Namun, hal ini seolah menjadi tradisi turun temurun yang
dilakukan oleh masyarakat di Jalawastu. Meskipun tidak semua masyarakatnya menikah
dini, namun Jalawastu tergolong masih tinggi terkait dengan angka perkawinan dini.9

8
Undang-Undang Republik Indonesia No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan
9
Wawancara dengan Dodo, Pada Tanggal 20 Desember 2020 di kediaman Dodo
Dalam prosesnya, perkawinan dini di Jalawastu juga mempunyai beberapa aturan
yang harus dipatuhi oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan dini tersebut.
Beberapa aturan adat yang harus ditempuh tersebut adalah:
a.) Perhitungan jangkep (tanggal Perkawinan)
Sebelum melaksanakan perawinan, pihak dari kedua calon mempelai akan
mendatangi Dewan Kokolot atau masyarakat Jalawastu sering menyebut dengan sesepuh
yang ada di Kampung Adat Jalawastu untuk meminta perhitungan weton yang cocok.
Biasanya perhitungan yang digunakan oleh para Dewan Kokolot adalah perhitungan
“Buhun” atau lebih dikenal dengan nama primbon jawa. Diantaranya adalah; Sri,
Lungguh, Dunya, Lara, Pati. Masing-masing perhitungan ini mempunyai arti. Sri,
menempati urutan pertama artinya rezeki yang melimpah. Lungguh, atinya mempunyai
pangkat,jabatan. Dunya, artinya kekayaan harta dan materi. Lara, mempunyai arti
kesakitan atau penderitaan. Dan pati, memiliki arti kematian.10
b.) Tradisi ganti uyuh
Salah satu tradisi yang unik di Kampung Budaya Jalawastupada saat perkawinan
adalah tradisi ganti uyuh artinya mengganti barang barang yang dulu pernah di jadikan
tempat untuk buag air kecil oleh si calon pengantin ketika masih bayi. Uniknya, yang
harus mengganti bukan dari pihak laki-laki akan tetapi dari pihak perempuan kepada
keluaga pihak laki-laki. Barang yang dijadikan sebagai ganti meliputi kasur, sprei,bantal,
dan pakaian yang dijadikan satu dalam bentuk paket. Dan paket ini jumlahnya harus
sebanyak total keluarga dari pihak laki-laki.11
c.) Tradisi Se’eng
Se’eng adalah seserahan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Yang
menarik dari seserahan ini adalah barang-barang yang digunakan untuk seserahan
merupakan alat dapur. Misal seperti wajan, kompor, alat masak, yang terlebih dahulu
diserahkan kepada para tetua adat dan kemudian baru diserahkan kepada pihak keluarga
perempuan.
d.) Tradisi perang centong
Tradisi perang centong ini tidak selalu ada pada setiap perkawinan di Kampung
Budaya Jalawastu. Perang centong hanya akan dilaksanakan ketika kedua calon
mempelai merupakan anak sulung yang bertemu dengan anak bungsu. Hal ini dilakukan
karena masyarakat Jalawastu percaya bahwa perkawinan antara anak sulung dengan anak

10
Wawancara dengan karsono, pada tanggal 4 November 2020 di kediaman Karsono
11
Wawancara dengan Dodo, pada tanggal 20 Desember di kediaman Dodo
bungsu akan medatangkan bala. Maka dilaksanakanlan tradisi perang centong yang di
yakini oleh masyarakat sekitar sebagai salah satu ritual untuk menolak bala. Alat yang
digunakan untuk perang centong sendiri adalah centong nasi dan beberapa alat
pendukung seperti alat musik.12
e.) Tradisi potong congcot
Tradisi ini hanya dilaksanakan ketika kedua calon pasangan lahir di hari yang
sama. Misalnya, calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki keduanya
sama-sama lahir pada hari sabtu maka akan diadakan semacam ritual khusus sebelum
melanjutkan akad. Ritual ini berupa potong congcot atau kupat lubad yang telah di buat
oleh paraji (dukun beranak). Tujuan ritual ini adalah untuk mengusir segala hal buruk
yang menimpa kedua calon mempelai. Karena masyarakat meyakini bahwa calon
pengantin yang lahir di hari sama, maka rumahtangganya akan sering bertengkar.
Adanya perkawinan dini di Kampung budaya Jalawastu merupakan salah satu
dari peraturan adat yang ada di sana. Praktik perkawinan dini ini sudah ada sejak zaman
dahulu bahkan sejak zaman leluhur masyarakat Kampung Budaya Jalawastu berdiri.
Disamping peraturan adat, ada beberapa faktor yang menjadikan masyarakat Jalawastu
memilih untuk menikahkan anaknya di usia yang masih tergolong anak anak dan bahkan
belum mencapai batas usia wajar untuk melangsungkan perkawinan. Seperti yang telah
dituturkan oleh narasumber, mengenai faktor penyebab perkawinan dini diantaranya
yaitu:13
a.) Faktor geografis
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa letak Jalawastu berada tepat di
lereng gunung kumbang. Hal ini yang menjadikan masyarakat luar sangat sulit
untuk masuk ke Jalawastu. Disamping itu, jalanan yanng terjal dan beberapa bukit
yang curam menjadi salah satu alasan sulitnya akses kesana. Akhirnya, masyarakat
Jalawastu hanya bisa menjalin hubungan di lingkup Jalawastu itu sendiri. Dan
tidak mempunyai kenalan dari luar Jalawastu

b.) Faktor pendidikan


Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam hidup setiap orang.
Karena denan pendidikan sesorang dapat meraih cita-cita. Akan tetapi di Jalawastu
sendiri umunya masyarakat hanya menempuh pendidikan sampai tingkat dasar. Hal

12
Wawancara dengan Ratomi, pada tanggal 20 Desember di kediaman Ratomi
13
Wawancara dengan Dodo, pada tanggal 20 Desember 2020 di kediaman Dodo
ini pula faktor yang menjadikan anak-anak di Jalawastu tidak mempunyai pilihan
lain setelah lulus selain membangun rumahtangga.
c.) Faktor ekonomi
Sebagian besar masyarakat Jalawastu bermata pencaharian sebagai
petani,peternak, dan pedagang. Hal ini menjadikan masyarakat hidup dalam
kesederhanaan. Dan dengan adanya perkawinan, masyarakat memandang bahwa
akan dapat mengurangi beban keluarga dan diharapkan bisa hidup mandiri dengan
pasangannya.
d.) Faktor lingkungan
Di Jalawastu memang tidak semua masyarakatnyamenikah diusia muda.
Namun, ketika seorang perempuan telah menginjak usia dua puluh tahun dan
belum menikah maka akan mendapat julukan sebagai perawan tua. Hal ini yang
menjadikan anak perempuan di Jalawastu lebih memilih menikah di usia muda.
e.) Kurangnya sosialisasi dari Pemerintah
Pemerintah melalui Undang-Undang perkawinan telah mengatur batas usia
perkawinan yang sudah berlaku sampai sekarang. Namun, tidak semua masyarakat
mengetahui terkait
dengan peraturan ini karena kurangnya sosialisasi di wilayah terpencil termasuk di
Jalawastu.
Dengan adanya beberapa faktor diatas, menjadikan Masyarakat Kampung
Budaya Jalawastu memilih untuk melakukan perkawinan pada usia dini. Karena memang
dengan adanya perkawinan diyakini sebagai salah satu cara agar dapat memperbaiki
stabilitas perekonomian. Disamping faktor alam, praktik perkawinan dini juga tidak
terlepas dari faktor campur tangan Pemerintah setempat. Pemerintah Daerah juga
seharusnya memberikan edukasi tentang Perkawinan kepada seluruh masyarakat.
Khususnya yang berada di daerah terpencil.
Terkait dengan data jumlah perkawinan dini yang ada di Kampung Budaya
Jalawastu, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes sendiri, penulis tidak bisa
menyebutkan secara gamblang. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang harus di taati
oleh penulis. Disamping itu, menurut narasumber hal demikian merupakan sesuatu yang
sensitif karena berkaitan dengan kerahasiaan data diri seseorang. Maka dari itu penulis
tidak bisa memberikan data perkawinan dini di Jalawastu karena memang dari
narasumber merasa keberatan. Namun, setidaknya penulis dapat memperoleh informasi
mengenai praktik perkawinan dini di Jalawastu sendiri.
4. Ucapan Terimakasih

Penelitian mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah mengarahkan


jalannya penelitian. Kemudian terimakasih kepada seluruh pihak termasuk kepala desa
ciseureuh, ketua adat Jalawastu, sesepuh adat Jalawastu, petugas pencatatan perkawinan
yang telah membantu peneliti dalam memperoleh sumber data yang akurat.

Daftar Pustaka

Harun Nasution, (Ensiklopedi Islam Indonesia. Djakarta:Djambatan,1992)


Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bab II Pasal
Dwi Rifiani, pernikahan dini dalam perspektif Hukum Islam (De Jure,jurnal syariah dan
hukum)
Data statistik kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA)
tahun 2018
Arsip pemerintah kabupaten brebes, Th. 2017
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Brebes, No.1, Tahun 2015
Undang-Undang Republik Indonesia No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan
Wawancara dengan Dodo, Pada Tanggal 20 Desember 2020 di kediaman Dodo
Wawancara dengan karsono, pada tanggal 4 November 2020 di kediaman Karsono
Wawancara dengan Dodo, pada tanggal 20 Desember di kediaman Dodo

Anda mungkin juga menyukai