Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Tradisi Rawutan Rambut Gimbal

Ruwat Rambut Gembel atau sering disebut dengan pemotongan Rambut Gembel upacara ini
adalah tradisi yang berkembang. Di daerah Dieng terdapat bermacam-macam budaya, salah
satunya adalah Rawutan Rambut Gembel di Desa Dieng Kulon. Rawutan berasal dari kata
ruwat (rumuwat) atau mangruwat yang berarti membuat tidak kuasa, menghapuskan kutukan,
menghapuskan kemalangan, noda, dan lainnya. Sejarah tentang asal-usul rambut gembel di
Dieng pada umumnya berawal dari cerita tutur sejak zaman Kiai Kolodete atau ada juga yang
menyebutnya Tumenggung Kolodete. Penyebutan akan Kiai dan tumenggung ini akan sangat
mempengaruhi latarbelakang sejarah dan informasi dengan cara pandang yang berbeda.
Penyebutan Kolodete sebagai Tumenggung berarti masih keturunan dari kerajaan pada
masanya, kemudian pendapat tentang penyebutan “Kiai” berarti erat kaitannya dengan proses
islamisasi Dieng. Hal tersebut selaras dengan apa yang terdapat pada salah satu Serat Babat
Kedhu. Sangat jelas bahwa Kolodete merupakan penguasa tanah Dieng

pada zaman dahulu yang merupakan resi Hindu, dan kemudian di Islamkan oleh murid Sunan
Bonang yaitu Ki Karim seorang penyebar Agama Islam di daerah Wonosobo dan sekitarnya
termasuk Dieng, yang kemudian Kolodete terkadang di sebut sebagai “Tumenggung” dan
juga disebut “Kiai”. Berdasarkan Serat di atas Kiai Kolodete memiliki rambut gembel
panjang yang tidak pernah dipotong dan akan selalu merawatnya, karena beliau berjanji tidak
akan pernah memotongnya sebelum masyarakat dataran tinggi Dieng makmur. Berdasarkan
cerita sejarah Kiai Kolodete berhasil moksa di dataran tinggi Dieng, sebelum Beliau
menghilang berpesan bahwa akan ada anak-anak laki-laki berambut gembel di Dieng, yang
merupakan titisan dari Kiai Kolodete yang beruntung mendapat kepercayaan untuk merawat
rambut gembel tersebut dan untuk menghilangkannya perlu dilakukan ritual ruwatan. Anak
berambut gembel itu bukan hanya laki-laki saja, tetapi ada pula anak perempuan yang
berambut gembel.

Menurut pemangku adat, Mbah Sumanto dan beberapa pemangku adat lainnya, menjelaskan
bahwa anak-anak gembel ini merupakan titipan dari Nyi Ratu Kidul yang di titipkan Nini
Dewi Ronce Kala Prenye, yang kemudian anak-anak perempuan gembel ini dipercaya
masyarakat Dieng sebagai titisan dari Nini Dewi Ronce Kala Prenye. Kepercayaan akan
tradisi adat ruwat rambut gembel ini sudah ada sejak lama dan sudah turun – temurun sejak
zaman dulu dilakukan oleh masyarakat di sekitar pegunungan Dieng. Asal-usul tradisi dan
upacara ini sudah menjadi cerita yang diwariskan oleh sesepuh atau orang-orang terdahulu
yang disampaikan secara lisan dan diteruskan sampai pada generasi saat ini. Namun, menurut
cerita rakyat yang berkembang rambut gembel itu adalah titipan dari Nyi Ratu Laut Selatan
yang selanjutnya dititipkan kepada Kiai Kolodete, hingga nantinya rambut gembel itu harus
dikembalikan lagi ke Nyi Ratu dengan melalui proses pemotongan rambut.

Kemudian rambut gembel itu di potong dan di larung di tempat yang mengalir langsung ke
Samudera Selatan. Anak berambut gembel di kalangan masyarakat Dieng Kulon dan
sekitarnya, dianggap lebih tinggi dari anak sebayanya. Anak berambut gembel juga di yakini
mempunyai kemampuan untuk melihat dan berhubungan dengan dunia kasat mata. Maka
jarang orang yang berani sebarangan dengan anak berambut gembel. “Anak-anak berambut
gembel itu juga memiliki penglihatan yang berbeda dengan anak normal lainnya. Segala
permintaan itu harus di penuhi dan terkadang bertingkah nakal itu pun jangan di tegur”. Jadi,
kepercayaan akan rambut gimbal sudah menjadi naluri warga masyarakat Dieng dari masa ke
masa. Sehingga informasi terkait kapan awal mula ritual rambut gembel ini bermula tidak di
ketahui secara spesifik. Ritual itu sudah berkembang dan terlaksana secara terus menerus dan
menghadirkan simbol-simbol yang sakral.

Fungsi Ruwatan Rambut Gimbal


Ruwatan rambut gimbal sudah menjadi budaya masayarakat yang tinggal di Dieng.
Tradisi ini umumnya dilakukan ketika anak sudah menginjak umur 7 tahun dan akhilbaligh.
Syarat lainnya adalah orang tua diharuskan memenuhi permintaan dari sang anak dan orang
tua tidak boleh memaksa anaknya untuk melakukan prosesi ruwatan,, ruwatan harus berdasar
pada keinginan anak itu sendiri. Budaya ruwatan rambut gimbal mempunyai hubungan
dengan kepercayaan local masyarakat setempat. Ruwatan atau pemotongan rambut gimbal
dilakukan untuk membersihkan lahir dan batin dari pengaruh jahat kekuatan mistis yang
sebelumnya berada dalam diri anak berambut gimbal.

Tradisi ini diharapkan dapat membawa berkah bagi diri anak dan keluarganya serta
masyarakat Dieng itu sendiri. Pemotongan rambut gimbal mempunyai makna sebagai tanda
jika anak akan terbebas dari “sesuker” Kyai Kolodete. Beberapa orang tua yang anaknya
telah diruwat mengaku pasca dilakukan prosesi ruwatan perilaku anaknya semakin baik,
bertambah pintar dan memperkuat daya tahan tubuh mereka. Anak yang semula manja
menjadi penurut dan tidak merengek menuntut permintaannya dipenuhi. Selain dari sisi religi
dan kepercayaan, secara estetika rambut gimbal dipandang tidak lazim dan rapi. Sebagian
anak ada yang merasa kurang percaya diri dengan penampilan rambut gimbalnya.

Tata Pelaksanaan Tradisi Ruwatan Rambut Gimbal


Ruwatan rambut gimbal dilaksankana dibawah kendali pemangku adat atau pemimpin
spiritual yang disebut juga sebagai lebai oleh masyarakat dieng. Adapun syarat terlaksannya
ruwatan yaitu si anak berambut gimbal bersedia untuk di ruwat dan berusia sekita 5 tahun
kemudian setelah anak bersedia, orang tua harus memenuhi satu persyaratan yang di minta
oleh anak tersebut. Ruwatan dilaksankan secara massal di rumah anak bajang dengan
melibatkan warga desa yang bekerjasama dengan pemerintah daerah.

Setelah persyaratan tersebut dipenuhi, orang tua dari anak rambut gimbal menemui
pemangku adat untuk meminta kesediaan memimpin ritual pemotongan rambut gimbal.
Pemangku adat kemudian menentukan dan mengatur seluruh rangkaian, prosedur ritual, alat-
alat yang harus disiapkan, waktu ritual, dan siapa saja yang harus terlibat dalam inti ritual.

Setelah pemangku adat menentukan waktunya, kemudian orang tua mempersiapkan ubo
rampe (perlengkapan ritual) yaitu tumpeng kalung, tumpeng robyong, tumpeng rasul,
tumpeng putih, golong, ambeng, ingkung, dan jajan pasar. Setelah itu menyiapkan peralatan
berupa baskom yang diisi dengan air dan kembang telon (bunga tiga jenis) yakni bunga
mawar, bunga kanthil, dan bunga kenanga, tikar pandan, gunting untuk memotong, dan kain
putih atau mori ( Hamsah, 2020 : 267 ).

Berikut ini prosesi ritual upacara ruwatan anak rambut gimbal yaitu :

1. Napak Tilas

Proses ritual ini di awali dengan melaksanakan napak tilas oleh pemangku adat dengan
mendatangi beberapa tempat untuk memohon doa restu pada leluhur dataran tinggi dieng agar
mendapatkan kelancaran dalam pelaksanaan ruwatan. Kemudian dalam napak tilas juga
dilakukan pengambilan air suci di beberapa mata air di daerah dataran tinggi dieng.

2. Kirab Budaya

Hari berikutnya menuju tempat ritual ruwatan dilakukan kirab budaya. Kirab tersebut di
lakukuan dari rumah pemangku adat sampai ke candi arjuna.Kirab dilakukan dengan berjalan
kaki, dengan urutan kepala desa di barisan pertama, selanjutnya dibarisan kedua pemangku
adat membawa sesaji dan pusaka, barisan ketiga dayang, setelah itu rombongan anak rambut
gimbal, kemudian dibelakangnya rombongan orang yang membawa sesajen (ditempatkan
pada tampah, besek, tenong), terakhir kelompok kesenian yang menghibur anak rambut
gimbal serta masyarakat. Sesajen nasi yang di bawa dalam tampah akan disedekahkan untuk
yang hadir dalam prosesi ritual ruwatan anak rambut gimbal yang biasa disebut ngalap
berkah. Sesaji juga dibagikan untuk sedekah sebagai perlambang kemakmuran desa supaya
selamat sejahtera.

3. Jamasan

Jamasan berarti sebagai pensucian anak anak rambut gimbal dengan air suci yang diambil
dari napak tilas, pada proses jamasan ini digunakan pemangku adat untuk mencipratkan air
tersebut kepada anak rambut gimbal dengan membaca bacaan khusus dan doa menurut ajaran
islam yang dibawa di jawa.

4. Ritual Pemotongan Rambut Gimbal

Pelaksanaan ruwatan upacara anak rambut gimbal yang dilakukan dengan memotong rambut
gimbal si anak. Pemotongan rambut gimbal dilakukan oleh para pemangku adat, baik anak
laki-laki maupun perempuan dalam suasana yang sakral.

5. Larungan

Larungan merupakan proses terakhir dari ritual ruwatan yang dilakukan oleh oemangku adat
dengan dihadiri oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Proses Larungan ini bermakna
melakukan pengembalikan apa yang telah dititipkan oleh Ratu Pantai Selatan melalui Kyai
Kolodete, atau mengembalikan apa yang telah diberikan alam dengan melakukan ruwatan.
Pada proses ini rambut gimbal yang sudah dicukur kemudian dibungkus dengan kain mori
berwarna putih. Selanjutnya potongan rambut gimbal ini dilarung di Telaga Warna yang
terhubung dengan Pantai Selatan kemudian bermuara di Samudera Hindia. Setelah dilarung
atau dihanyutkan, pemangku adat memberikan barang yang diminta anak rambut gimbal
sebagai syarat dilakukannya ruwatan ( Retno Dyah Kusumastuti dan Anjang Priliantini, 2017
: 180 )
Tradisi Ruwatan Saat Ini

Ruwatan rambut gimbal saat ini dapat dikatakan tidak seperti yang dilakukan di masa lalu.
Hal ini dikarenakan ruwatan saat ini bukan sekadar tradisi yang dilakukan oleh masyarakat,
namun juga merupakan sebuah kegiatan pariwisata yang dilakukan di daerah Dieng. Hal ini
dikarenakan ruwatan merupakan suatu budaya khas yang tidak dapat ditemukan di wilayah
lainnya. Karena merupakan suatu hal yang tidak dapat ditemukan di daerah lain, kegiatan ini
kemudian menarik orang dari berbagai wilayah untuk menyaksikan tradisi ini. Ruwatan
rambut gimbal di Dieng saat ini merupakan salah satu bagian dari acara Dieng Culture
Festival yang diadakan setiap tahunnya.

Dieng Culture Festival merupakan sebuah festival budaya dengan konsep menyatukan
budaya yang ada di masyarakat, potensi wisata alam Dieng, dan pemberdayaan masyarakat
lokal (Safera, 2020). Dieng Culture Festival pertama kali dilaksanakan pada tahun 2010
dengan sebelumnya bernama bernama Pekan Budaya Dieng (Kusumastuti, 2017). Tempat
pelaksanaannya yakni di daerah Banjarnegara yang meskipun dilihat dari geografis Dieng
berada di dua wilayah yakni Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Dikatakan,
bahwa Dieng Culture Festival sendiri termasuk ke dalam 3 besar Festival budaya Indonesia
yang paling terkenal di dunia.

Festival ini memadukan antara kebudayaan modern dengan budaya tradisional. Hal ini dapat
dilihat dari urutan kegiatan dari DCF yang dilaksanakan selama 3 hari. Dalam kegiatan ini
terdapat Festival musik jazz yang dilakukan dengan judul jazz di atas awan. Kegiatan lainnya
yang dilakukan adalah penampilan berbagai seni tradisional dan yang menjadi acara puncak
dari Festival ini adalah ruwatan rambut gimbal. Dengan adanya penyatuan antara Festival ini
dengan acara ruwatan tentunya ada perbedaan yakni terkait dengan tempat pelaksaan tradisi
ruwatan. Pelaksanaan tradisi ruwatan pada zaman dahulu dilakukan di rumah masing-masing
anak yang memiliki rambut gimbal, sedangkan saat ini tempat bersamaan dengan tempat
diadakannya festival DCF (Zaidi, Nurjaya dan Muhamad, 2020). Selain itu juga masyarakat
yang melihat memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan zaman dahulu.

Hal ini yang mengakibatkan ruwatan saat ini bukan hanya sekadar suatu tradisi yang
dilakukan turun temurun oleh masyarakat. Tradisi ini telah berkembang menjadi sebuah
pariwisata khas yang dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara. Hal ini dapat dilihat dari
antusiasme masyarakat baik lokal maupun mancanegara yang terus meningkat sejak festival
ini dilakukan pertama kali. Setidaknya pada tahun 2019 sebanyak 177.000 orang menghadiri
festival ini, naik 19.000 dibandingkan tahun 2018 berada di angka 158.000 wisatawan.
Festival ini juga mengakibatkan perputaran ekonomi di kabupaten Banjarnegara meningkat.
Dengan wisatawan sebanyak 177.000 ini meningkatkan pendapatan pemerintah kabupaten
dari pendapatan tiket masuk dan pajak dari kegiatan yang dilakukan. Selain itu kegiatan yang
dilakukan pada tahun 2019 diperkirakan menyebabkan terjadinya perputaran ekonomi di
masyarakat sebesar Rp 70.8 miliar selama tiga hari (Mozes, 2019). Hal ini tentunya
meningkatkan pendapatan masyarakat dengan penyewaan penginapan, restoran atau warung
masyarakat, penjualan souvenir, dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai