Anda di halaman 1dari 7

AKULTURASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM

TRADISI MAYANGI DI DESA LUNDO


Oleh :
Agustin Dwi Setyowati
— LATAR BELAKANG —

Indonesia memiliki banyak budaya dan tradisi yang menarik untuk diteliti.
Salah satunya tradisi yang lekat dengan tempat tinggal penulis yaitu tradisi
mayangi tepatnya di Desa Lundo. Orang jawa terutama Gresik masih percaya
dengan mitos-mitos jawa (kejawen), mereka mempercayai bahwa anak yang
belum di mayangi atau dalam arti belum tersucikan maka akan menjadi
mangsa dewa jahat yaitu “Bhatara kala” yang dianggap dapat membawa
kesialan. Tradisi ini dipilih karena memiliki keunikan akulturasi budaya jawa
dengan agama Islam dalam pelaksanaannya.
SISI KEUNIKAN JUDUL

Tata cara tradisi mayangi yang dilakukan di Desa Lundo berbeda


dengan diberbagai daerah lainnya. Biasanya tradisi mayangi berisi
ritual jawa dan pergelaran wayang dengan lakon Batara Kala. Tetapi
jika di Desa Lundo setelah anak dibacakan mantra atau do’a oleh
dalang dalam bahasa jawa, kemudian disambung dengan tokoh agama
mendo’akan sang anak menggunakan do’a bahasa arab. Unsur
kebaruan yang diangkat yaitu akulturasi nilai-nilai islam dalam
pelaksanaan tradisi mayangi.
Rumusan Masalah
1. Apa saja akulturasi nilai-nilai agama islam yang terdapat dalam tradisi mayangi ?
2. Bagaimana perspektif islam terhadap tradisi mayangi di Desa Lundo ?
HASIL

Tradisi mayangi yang ada di Desa Lundo, dilakukan di kediaman rumah yang akan diruwat. Prosesi diawali dengan kenduren (pembacaan doa bersama dengan
masyarakat sekitar). Proses selanjutnya ada pementasan wayang secara sederhana yang dilakukan oleh dalang dengan lakon Batara Kala. Pementasan ini dilakukan dihadapan anak
yang dimayangi. Selama pertunjukkan tersebut keluarga ikut menyaksikan hingga selesai. Lalu, anak dibacakan mantra atau do’a oleh dalang dalam bahasa jawa, kemudian
disambung dengan tokoh agama mendo’akan sang anak menggunakan do’a bahasa arab. Selanjutnya pencabutan kupat luar, yakni berupa janur kunir yang berisi beras kuning dan
koin. Terakhir adalah proses siraman dan pemotongan rambut anak yang dimayangi.

Dari tata cara mayangi yang dilakukan di Desa Lundo bisa diketahui adanya akulturasi nilai-nilai islam yakni toleransi dalam kebudayaan. Masyarakat sekitar
menyebutnya sebagai islam kejawen. Dimana orang islam melaksanakan sebuah tradisi jawa yang dipadu padankan dengan do’a-do’a islami.
Toleransi dalam kebudayaan ini menjadi sebuah bentuk akultutasi nilai-nilai islam dalam budaya mayangi.

Tradisi mayangi di Desa Lundo menjadi adat masyarakat setempat yang dipercaya untuk menjauhkan diri dari dampak buruk dan kesialan. Tradisi mayangi ini
biasanya dilakukan untuk anak sebelum menikah. Sehingga perspektif islam dalam tradisi mayangi jika dikaitkan dengan dalil urf, (Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya, dikalangan masyarakat urf ini sering disebut sebagai
adat).

Tradisi ini diperbolehkan karena dalam pelaksanaa tradisi mayangi di Desa lundo dilakukan dengan menggabungkan antara pewayangan, ritual jawa dengan doa-
doa islam yang dilakukan oleh tokoh agama, sehingga pelaksanaanya tidak bertentangan dengan hukum islam dan kembali lagi kepada tujuan dari tradisi mayangi sendiri untuk
mensucikan seseorang dan menjauhkan diri dari kesialan. Serta bertujuan meminta keselamatan dari Allah SWT.
KESIMPULAN

Didalam tradisi mayangi menggabungkan dua unsur yaitu islam dan jawa. Sehingga akulturasi nilai-nilai islam yang
ada adalah toleransi dalam kebudayaan. Adanya akulturasi tersebut menghadirkan sebuah persepsi islam mengenai
tradisi mayangi jika dikaitkan dengan dalil Urf. Dimana diperbolehkan adanya tradisi mayangi karena dalam
pelaksanaannya tidak melanggar hukum dan syariat islam.
UNTUK SEGALA BENTUK KRITIK, SARAN, DAN MASUKAN, DIPERSILAHKAN AGAR
KEDEPANNYA ARTIKEL ILMIAH INI BISA LEBIH BAIK LAGI

TERIMA KASIH !!!

Anda mungkin juga menyukai