Dipercaya Masyarakat
Terhadap Pandangan Agama Islam
Di susun oleh:
Guru pengampu:
ABSTRACT
This article discusses the implementation of dreadlock ruwatan in Dieng Kulon Village
and the values of Islamic religious education in the dreadlock ruwatan tradition in Dieng
Kulon Village. This research aims to determine the implementation of the dreadlock
ruwatan tradition and the values of Islamic religious education in the dreadlock ruwatan
tradition in Dieng Kulon Village, Banjarnegara Regency. This research is qualitative
research with data collection techniques; observation, interviews and documentation.
The results of the research show that the Ruwatan Dreadlocks tradition in Dieng Kulon
Village is carried out once a year, usually in August at Arjuna Temple. The Ruwatan
event is packaged with a festival called the Dieng Culture Festival. The order of the
ruwatan events includes napak tilas, preparation of offerings, carnival, jemasan,
ruwatan, ngalap blessings, and larungan. This activity was guided by the traditional
leaders of Dieng Village. The value of Islamic religious education in the Ruwatan
Dreadlocks tradition includes expressing deep gratitude for what Allah has given them,
by giving thanks before the Ruwatan event. The procession of carrying out the ruwatan
tradition from beginning to end in ruwatan activities includes reading prayers, holy
verses from the Koran and prayers. Then, in the ruwatan tradition, teaching morals
towards Allah is proven during a series of events such as thanksgiving and the ruwatan
procession, asking and giving thanks only to Allah alone, and morals towards humans
which are clearly visible in the ruwatan procession, namely togetherness, sincerity,
mutual help and deliberation.
Keywords: Values, Islamic Religious Education, Treatment for Dreadlocks.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah yang berkaitan dengan pengaruh budaya mitos rambut
gimbal di Dieng yang dipercaya masyarakat terhadap pandangan agama Islam bisa
menjadi perbincangan menarik yang melibatkan beberapa aspek:
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Mitos menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial danbudaya
masyarakat. Penelitian ini membahas kaitan antara mitos dengan pembentukan
identitas budaya pada suatu masyarakat ditengah terjadinya komodifikasi budaya
(Febriyanto et al., 2018). Indonesia terdapat berbagai suku dan bahasa yang beragam-
ragam.Yang ada disetiap daerah atau kota mempunyai ciri khas masyarakatnya
masingmasing,salah satunya adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sudah
tersebar di seluruh Nusantara,bahkan beberapa diantaranya telah menghuni berbagai
penjuru dunia. Dimana pun keberadaanya, masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari
budaya dan tradisi-tradisi peninggalan peninggalan para leluhur. Sebab, budaya dan
tradisi tersebut telah menyatu dengan jiwa dan prilaku masyarakat Jawa. Masyarakat
yang tinggal di pulau Jawa,Tepatnya suku Jawa mereka yang menggunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa daerah dan masih menjalankan nilainilai budaya Jawa, baik tata-
tata cara prilaku kebiasaan maupun seremoninya. Pada penelitian ini akan berfokus
pada mitos mitos yang berada di daerah jawa yaitu tentang Rambut Gimbal.
Pandangan dan persepsi mengenai Ruwatan Rambut Gimbal dari kacamata
masyarakat Dieng tidak terbentuk begitu saja. Dari beberapa literature yang
kemudian dianalisis, penulis mengidentifikasi beberapa hal yang berperan dalam
membentuk persepsi masyarakat Dieng. Hal yang pertama adalah mitos. Mitos yang
ada dalam Ruwatan Rambut Gimbal ini berasal dari ajaran dan kepercayaan nenek
moyang. Mitos ini diwariskan melalui interaksi antar generasi, sehingga karena
adanya pengalaman yang sama sebagai masyarakat Dieng, mitos ini dapat dengan
mudah dipercaya. Kepercayaan akan kekuatan gaib juga menjadikan mitos ini
sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan masyarakat Dieng. Kedua adalah
simbol. Wood (2008) dalam Samovar (2010) mengatakan bahwa manusia
menggunakan simbol untuk memberi makna. Dalam Ruwatan Rambut Gimbal simbol
tersebut terlihat pada ubarampe yang dipakai saat ruwatan. Membentuk persepsi
melalui simbol ini memerlukan kepekaan manusia dalam membaca tanda atau simbol
dengan modal memori yang ada pada otaknya. Bekal pengalaman yang sama juga
membuat masyarakat Dieng dapat menginterpretasikan simbol dengan lebih baik.
Ketiga adalah interaksi atau perjumpaan. Untuk berkomunikasi dengan orang lain,
kita butuh interaksi dan perjumpaan. Persepsi terbentuk karena adanya komunikasi,
dan komunikasi akan terjadi ketika ada interaksi dan perjumpaan. Interaksi dan
perjumpaan antar masyarakat Dieng ini memungkinkan adanya pertukaran informasi
khususnya mengenai Ruwatan Rambut Gimbal.
Munculnya sistem kebudayaan itu karena manusia berupaya memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Malinoswki menyebutkan bahwa manusia memiliki
tingkatan-tingkatan budaya, dari yang paling dasar sampai yang paling kompleks.
Pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut memunculkan sistem- sistem budaya.
Sistem budaya pikir dalam konteks tertentu, menjadi sistem nilai yang melandasi
kehidupan masyarakat, terutama sistem religi. Sistem religi merupakan ungkapan
simbolik keyakinan manusia atas The Supreme Being dalam
konteks culture and climate tertentu. Hal ini menyebabkan ungkapan atas
satu fenomena religius berbeda antara konteks satu dengan lainnya. Salah satu bentuk
ungkapan atas konsep kesucian itu adalah ritual. Aspek-aspek yang terkait dengan
ritual selalu bersifat sanctus (suci). Ritual- ritual yang dilakukan oleh komunitas
tertentu bertransformasi menjadi sistem gagasan lain misalnya initiation (peralihan).
Proses initiation secara teoritis terstruktur menjadi tiga tahap. Arnold van Gennep
dan Victor Turner menyebutkan ketiga tahap tersebut di antaranya adalah
preparation, liminal, dan reagregation (Turner, 1991). Turner lebih fokus pada
penjelasan tentang konsep liminal, sementara Van Gennep lebih umum pada konsep
ritualnya (rites) (Arnold, 1960).
Robert L. Moore lebih jauh mengembangkan konsep ritus dari Van Gennep dan
Turner, dalam konteks transformasi kesadaran manusia menuju kesadaran lain.
Moore menyatakan bahwa proses ritual meniscayakan tiga aspek, yakni submission
(penyerahan diri), containment (tapabrata, pelepasan diri), dan enactment (deklarasi
pada kondisi berbeda) (Moore, 2001, hal. 107– 112). Artinya, dalam sebuah ritual
terjadi transformasi pada pelakunya. Fenomena seperti ini dapat terjadi pada
komunitas mana pun, termasuk ritual ruwatan rambut gimbal di wilayah Dieng, Jawa
Tengah. Uraian di bawah ini merupakan usaha untuk menjelaskan fenomena
keagamaan dalam konteks sosial-budaya manusia, dari perspektif teori-teori ilmu
sosial dan humaniora.
Kajian tentang ritual ruwatan rambut gimbal di Dieng telah menjadi perhatian
yang serius dari para sarjana dengan berbagai perspektif yang sangat beragam. Ritual
ruwatan rambut gimbal menjadi fenomena yang menonjolkan aspek ritual itu sendiri.
Ritual dimaknai sebagai sebuah proses negosiasi antar identitas kultural dengan
inovasi-inovasi kultural pula, terutama pada aspek pariwisata. Kajian tentang ruwatan
rambut gimbal terbagi menjadi tiga corak: pertama, prosesi ruwatan (ritual) itu
sendiri; kedua, penajaman pada beberapa perspektif teoritis keilmuan seperti
antropologi, psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya; dan ketiga, kajian yang fokus
pada korelasinya dengan wacana- wacana baru seperti pariwisata. Secara
Antropologis, rambut gimbal dapat dilacak secara garis keturunan dengan model
genogram. Hal ini memberi penjelasan bahwa kemunculan rambut gimbal didasarkan
pada kecenderungan orang tuanya dalam memilih pasangan dalam satu daerah,
sehingga memunculkan runtutan genealogis anak berambut gimbal ke generasi
setelahnya (Rahma, 2019). Kajian lain menguraikan konsep negosiasi budaya dengan
inovasi-inovasi kultural yang dilakukan oleh masyarakat terkait ruwatan rambut
gimbal tersebut (Luthfi, Prasetyo, Fatimah, & Pularsih, 2019), atau kajian yang fokus
melihat social teaching pada ritual rambut gimbal dengan perspektif Psikologi Sosial
yang dikaitkan dengan aktifitas dakwah (Hidayah, 2019). Fenomena ruwatan rambut
gimbal juga dikaji dari perspektif yang spesifik teori-teori Pendidikan Anak Usia Dini
untuk melihat pola perilaku anak yang berambut gimbal (Mutmainah, 2012).
Corak ketiga dari kajian terhadap fenomena rambut gimbal melihat bagaimana
korelasi prosesi ruwatan rambut gimbal dengan proses komodifikasi budaya dalam
konteks pariwisata dari perspektif yang interdisipliner. Kajian yang dilakukan oleh
Alfian Febriyanto, Selly Riawanti, dan Budhi Gunawan misalnya menyoroti aspek
pelaku pada proses pergulatan identitas budaya dan transformasinya pada konteks
yang lebih praktis sebagai komoditas pada level- level meso (masyarakat, pemuda)
dan makro (pemerintah) (Febriyanto, Riawanti, & Gunawan, 2017; Pularsih, 2015).
Kajian lain yang dilakukan oleh Moh Soehadha lebih spesifik pada korelasi antara
relijiusitas masyarakat dengan konstruksi mentalitas akan derasnya arus pariwisata
yang menjadi salah satu pilar ekonomi di kawasan tersebut (Soehadha, 2013).
Pada dasarnya masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Pandangan
hidup orang Jawa merupakan paduan dari pemikiran Jawa tradisional, kepercayaan
Hindu, dan ajaran Islam. Masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat yang
masih berhubungan dengan peristiwa alam atau bencana, yang masih dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk dan nama upacara tradisi bermacam-macam
sesuai dengan maksud dan tujuan dilaksanakannya upacara.
B. Permasalahan Pembahan yang dibahas
1. Pengertian Budaya
Budaya adalah hal yang penting untuk tidak menyederhanakan konsep
budaya. Pada tingkatan tertentu, budaya dapat dipahami sebagai cara hidup
seseorang atau sekelompok orang. Dalam setiap usaha memahami kata budaya
merupakan keharusan untuk menggunakan kontribusi yang dibuat oleh disiplin
keilmuan sosial yang khusus mendiskripsikan serta memberikan pemahaman
terhadap berbagai budaya yang berbeda, yaitu antropologi sosial. Tradisi riset
antropologi sosial selalu meng- ambil pandangan yang menyatakan bahwa
bersikap adil terhadap kompleksitas sebuah budaya hanya dimungkinkan dengan
hidup di dalamnya selama waktu tertentu dan melak- sanakan serangkaian
observasi sistematik dan seksama terhadap cara anggota budaya tersebut
membangun dunia yang mereka kenal melalui cara seperti hubungan darah, ritual,
mitologi dan bahasa. Clifford Geertz (1973) menyatakan budaya dapat dipahami
sebagai pola makna yang tertanam dalam simbol dan ditrans- misikan secara
historis, sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk
simbolik yang digunakan orang- orang untuk berkomunikasi, bertahan hidup dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.
Alam kehidupan sehari hari, tiap individu akan berusaha untuk menunjukkan
siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan
perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan beberapa
keanehan tertentu. Aktualisasi diri ini bisa jadi berbeda dengan apa yang selama
ini dianut oleh masyarakat sekitarnya, tetapi seringkali pula seorang individu
menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh
masyarakat di mana dia berada.
2. Pengertian Mitos
Pengertian mitos, mythos berasal dari kata myth (Inggris) dan muthos
(Yunani kuno) yang artinya adalah kepercayaan yang dianggap sebagai acuan
pola hidup pada 1 komunitas atau tatanan pada masyarakat tertentu. Pengertian
mitos sesuai kamus adalah cerita masyarakat tradisional yang mempersembahkan
hal-hal supranatural tentang nenek moyang atau kepahlawanan yang disajikan
9
dalam gaya primordial melalui sudut pandang masyarakat yang masih dianggap
primitif. (Cottterel & Storm, 2007). Mitos dipahami juga sebagai cerita atau
dongeng tetang figur (character) segala sesuatu yang bersifat imajiner, artinya
mitos merupakan hal yang tidak nyata, khayalan, fiktif dan imajinatif namun
diyakini keberadaannya oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat yang
meyakininya, mitos dianggap hal yang nyata dan mempengaruhi pola pikir
(paradigm) dan pola kehidupan sosial (social-society) masyarakat tersebut. Mitos
diwariskan secara turun temurun (tradition) sehingga mitologi atau mitos-mitos
itu merupakan hal yang penting bagi masyarakat yang masih berfikir tradisional
dan menjadi salah 1 bagian dari pola kehidupannya. Hal tersebut terefleksikan
dalam perilaku, ucapan, upacara ritual, berkesenian dan bahkan dalam tatanan
pemerintahan negara, semua itu sesuai dengan peraturan atau kearifan lokal (local
wisdom) yang berasal dari mitologi yang diterapkan oleh leluhur masyarakat
tersebut secara turun temurun (regeneration) dan masih ada yang meyakini
berkelanjutan sampai sekarang. (Campbell, 1988)
10
seringkali dikaitkan dengan hal spiritualitas kegaiban dan mistis. Hal ini
kemungkinan besar karena bangsa Indonesia dibesarkan oleh mitologi yang
direalisasikan dalam cara lisan, tulisan maupun artefak yang tersebar hampir
diseluruh wilayah kepulauan Indonesia Nusantara), sehingga eksistensi mitos
menjadi hal yang fundamental dalam mengatur sendi-sendi kehidupan dan
kehidupan sosial masyarakat khususnya pada masa kerajaan.
Yang ke3 adalah Legenda, biasanya dikaitkan dengan seorang tokoh manusia
hebat dan berdirinya suatu tempat di daerah tersebut sebagai pembenaran suatu
legenda. Contohnya adalah Legends Sangkuriang yang tidak dapat dipisahkan
dengan nama Gunung Tangkuban Perahu dan kota Bandung di Jawa Barat.
Makhluk mitologi lainnya yang sudah dikenal oleh hampir seluruh rakyat
Indonesia adalah tokoh Garuda. Namun, berbeda dengan wujud Garuda Pancasila
yang kita kanal, garuda makhluk mitologi ini adalah kendaraan Dewa Wisnu
dalam ajaran Hindu, yaitu wujud manusia yang berkepala burung elang, tubuhnya
berwarna emas, wajahnya berwama putih dan sayapnya berwarna merah. Garuda
digambarkan gagah dan perkasa memiliki tubuh yang sangat besar. Mitologi
lainnya di Kalimantan menjadi kebanggaan warga Kutai adalah Lembuswana
mahluk yang digambarkan memiliki kepala singa, bersayap clang, berbelalai
gajah, dan bersisk kan. Ia adalah penguess sungai Mahakam yang tinggal di dasar
sungai sebagai pelindung Kutai Warak Ngenden kreasi imajinatif masyarakat
tradisional Cirebon dan Semarang, penciptaan wujud mahluk berkepala naga,
badan menyerupai wujud harimau dan kakinya menyerupai kaki Kambing,
merupakan khas kebudayaan pesisir Utara Jawa. Leak dan Barong merupakan
mitologi yang kerap muncul dalam kisah-kisah di masyarakat Bali dan
digambarkan sebagai manusia karena akibat tertentu menyebabkan tokoh itu
mempraktekkan ilmu hitam. Di saat matahari masih bersinar la hanya seorang
manusia biasa. Namun ketika malam telah tiba, ia berubah menjadi mahluk
mengerikan menjadi pemangsa bayi. Kisah mitos Indonesia lainnya yang sangat
dikenal dalam kepercayaan masyarakat di pulau jawa adalah Nyai Roro Kidul,
yang diyakini sebagai tokoh mitos Kanjeng Ratu penguasa Laut Kidul (Selatan),
12
masih banyak lagi mitos dan legenda lainnya di Indonesia.
Ruwatan berasal dari bahasa Jawa dengan kata dasar ruwat yang memiliki
makna leksikal ‘luwar saka ing panenung (pangesot, wewujudan sing salah
kedaden) dan luwar saka ing bebandan paukumaning dewa, apabila diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia berarti lepas dari perbuatan buruk (wujud yang tidak
lazim) dan lepas dari ikatan hukuman dewa. Apabila kata ruwat diberi prefiks
dimenjadi diruwat mempunyai makna disarati murih luwar saka panenung yang
berarti diberi syarat atau diberi penolak agar lepas dari perbuatan buruk. Dalam
tradisi lama atau kuna yang diruwat adalah makhluk hidup mulia atau bahagia,
tetapi berubah menjadi hina dan sengsara. Maka mereka yang hidup sengsara atau
hina itu harus diruwat, artinya dibebaskan atau dilepaskan dari hidup sengsara.
Pengertian yang senada juga terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
menyebutkan ruwat berarti pulih kembali sebagai keadaan semula atau juga
terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa bagi orang yang menurut
kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, seperti anak tunggal dan sebagainya.
Definisi lain mengenai ruwatan diartikan sebagai upacara yang dilakukan untuk
menghilangkan dampak yang bisa berbentuk kesialan, menjauhkan segala
kemungkinan yang buruk yang bisa terjadi jika seseorang termasuk orang yang
harus diruwat. Dari beberapa definisi ruwatan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa ruwatan adalah upacara yang dilakukan dalam rangka mencari
keberuntungan dan terbebas dari kesialan hidup. Upacara ruwatan ini pada
umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa.
13
perayaan acara Dieng Culture Festival. Di kalangan masyarakat Dieng Kabupaten
Banjarnegara terdapat kepercayaan bahwa anak yang terlahir dengan rambut
gembel (gimbal) adalah kesayangan roh-roh gaib penunggu Dataran Tinggi
Dieng, yang dititipkan penguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Anak yang
berambut gimbal tersebut disebut anak bajang. Dipercaya juga bahwa hingga
waktunya nanti, anak-anak itu akan diminta kembali oleh sang Ratu. Orang tua
anak berambut gimbal harus memperlakukan si anak dengan istimewa. Apa pun
yang diinginkan sang anak harus dikabulkan.34 Masyarakat Dieng percaya bahwa
anak-anak yang terlahir dengan rambut gimbal karena ia adalah anak titipan
Tumenggung Kolodete atau keturunan dari orangtua yang rambutnya gimbal.
14
pelaksanaan, rangkaian dimali pada pagi hari. Anak-anak rambut gimbal
berkumpul di rumah tetua adat. Selain anak-anak rambut gimbal, di sini juga
berkumpul wanita pengiring yang membawa berbagai makanan untuk diarak
keliling kampung, biasanya diiringi dengan lantunan sholawat, musik rebana, dan
musik pengiring lainnya. Setelah berkeliling kampung, arak-arakan akan menuju
Candi Arjuna.
15
b. Simbol Identitas atau Kepribadian : Di beberapa budaya, rambut gimbal juga
dianggap sebagai simbol identitas atau keanggotaan dalam suatu kelompok
atau komunitas tertentu. Masyarakat tertentu dapat melihat rambut gimbal
sebagai ekspresi dari nilai-nilai budaya atau ideologi tertentu.
c. Kekuatan atau Kebal : Mitos juga sering menyatakan bahwa rambut gimbal
dapat memberikan perlindungan atau kekuatan mistis kepada pemiliknya. Ada
keyakinan bahwa rambut gimbal membuat seseorang "kebal" terhadap
serangan spiritual atau bahkan fisik.
d. Tanda Kekasih Surgawi : Dalam beberapa cerita atau legenda, rambut gimbal
dianggap sebagai tanda keberkahan atau hubungan khusus dengan entitas
spiritual atau dewa. Ada keyakinan bahwa rambut gimbal adalah hadiah dari
alam atau makhluk gaib yang memberikan perlindungan atau berkah.
Ada beberapa alasan mengapa mitos tentang rambut gimbal tetap eksis dan terus
diperbincangkan dalam masyarakat, meskipun zaman terus berkembang:
a. Nilai Budaya dan Tradisi : Mitos rambut gimbal sering kali terkait erat dengan
nilai-nilai budaya dan tradisi tertentu. Di beberapa masyarakat, rambut gimbal
dianggap sebagai bagian penting dari warisan budaya atau nilai-nilai spiritual
yang diwariskan dari generasi ke generasi.
b. Konteks Spiritual atau Mistis : Beberapa orang masih percaya pada dimensi
spiritual atau mistis terkait dengan rambut gimbal. Keyakinan ini
16
mempertahankan keberadaan mitos karena dianggap memiliki hubungan
dengan kekuatan alam atau entitas supernatural.
c. Identitas dan Ekspresi Pribadi : Bagi sebagian orang, memiliki rambut gimbal
adalah cara untuk mengekspresikan identitas atau pilihan gaya hidup mereka.
Ini bisa menjadi pernyataan tentang kemandirian, kebebasan berekspresi, atau
bahkan sebagai tanda identifikasi dengan kelompok tertentu.
d. Mitos dalam Kesenian dan Cerita Rakyat : Mitos tentang rambut gimbal
sering diceritakan dalam karya seni, sastra, atau cerita rakyat. Cerita-cerita ini
melestarikan mitos ini di mata masyarakat dan menjadikannya bagian dari
warisan budaya yang terus hidup.
f. Koneksi dengan Alam atau Spiritualitas : Bagi sebagian orang, rambut gimbal
dianggap sebagai simbol koneksi dengan alam atau spiritualitas. Keyakinan
ini mempertahankan eksistensi mitos karena dipandang sebagai bagian dari
hubungan yang lebih dalam dengan alam atau entitas spiritual.
Mitos rambut gimbal, meskipun tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran
agama tertentu, dapat mencerminkan nilai-nilai atau makna tertentu dalam
konteks budaya atau pandangan masyarakat. Beberapa nilai yang mungkin
terkandung dalam mitos rambut gimbal antara lain:
Nilai-nilai ini dapat dipahami sebagai interpretasi atau makna yang melekat
pada mitos rambut gimbal dalam berbagai konteks budaya. Meskipun tidak selalu
memiliki dasar yang jelas atau diakui dalam ajaran agama, nilai-nilai ini dapat
menjadi bagian penting dari cara masyarakat memandang dan memahami
fenomena ini dalam budaya mereka.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
Pemdelatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan
pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena social dan masalah manusia,
sedangkan metode deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan gejala,
peristiwa, kejadian yang terjadi (Noor, 2011 : 33-34 dalam Hakim & Waluyan, 2019).
metode kualitatif yaitu (library research) dan berasal dari beberapa sumber jurnal
tentang budaya.
Tulisan ini merupakan hasil riset lapangan (filed research). Sebagaimana telah
diuangkapkan di pendahuluan, persoalan utama riset ini adalah sebuah tradisi ruwatan
rambut gimbal yang dilakukan oleh masyarakat dataran tinggi Dieng. Tradisi ini
megakar pada tradisi utama di pusat tradisi Jawa di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Dieng merupakan wilayah cultural periphery sedangkan kraton center of cultures.
Terdapat konteks yang berbeda antara center dan periphery, dan tentu akan berdampak
pada proses budaya yang berbeda sekaligus unik. Bagaimana relasi ini dapat dijelaskan?
19
Inilah pertanyaan utama riset ini. Analisis data dilakukan dengan mengaplikasikan
pendekatan Fenomenologi Agama dan Antropologi Agama. Secara spesifik, teori Sacred
and Prophane dari Mircea Eliade dalam Fenomenologi Agama digunakan untuk
menganalisis konsep-konsep kesucian dalam seluruh fenomena ritual ruwatan.
Kemudian, teori rites of passage dari Arnold van Gennep dan Victor Turner
diaplikasikan untuk menjelaskan “inner discipline” dalam seluruh prosesi ritual
ruwatan dan pemaknaannya. Teknik analisis dilakukan dengan mengklasifikasi data
yang relevan, kemudian menyusun mengkorelasikan seluruh variabel utama riset dengan
teori, selanjutnya menginterpretasikan secara mendalam makna yang terkandung dalam
seluruh ritual. Akhir analisis data dimunculkan dalam bentuk simpulan yang menjawab
permasalahan utama riset ini.
Salah satu mitos yang sangat menonjol di wilayah Dieng adalah anak yang
berambut gimbal. Mitos ini dibangun di atas dasar cerita masa lalu masyarakat
Dieng awal. Asal-usul anak yang berambut gimbal oleh masyarakat diyakini
secara bervariasi. Pertama, merupakan titipan dari Nyai Roro Kidul; kedua,
keturunan Kiai Tumenggung Kaladete dan Nyi Roro Ronce; ketiga, keturunan
dari Mbah Rewok, seorang muslim dari India. Variasi-variasi mitos yang
dibangun akan dinarasikan secara detail dalam pembahasan tersendiri.
Rambut gimbal yang muncul pada anak tidak tumbuh sejak lahir, tetapi
rata-rata baru muncul mulai usia 40 hari sampai 2 tahun. Munculnya rambut
gimbal sebelumnya ditandai dengan demam tinggi selama beberapa hari atau
bahkan sampai sebulan. Menurut masyarakat Dieng, untuk mengatasi demam
tersebut pengobatan secara medis hanya efektif tiga atau empat hari saja, setelah
itu demam muncul kembali. Demam akan hilang dengan sendirinya pada saat
diketahui terdapat rambut gimbal. Menurut kepercayaan masyarakat Dieng,
dengan tumbuhnya rambut gimbal perilaku anak sedikit berubah, relatif lebih
nakal dan manja. Apa saja keinginan anak akan dipenuhi oleh orangtuanya,
21
bahkan sang anak diperlakukan secara istimewa karena diyakini sebagai titisan
Tumenggung Kaladete yang akan mendatangkan berkah. Anak ini kemudian
disebut anak bajang, artinya anak yang mempunyai keistimewaan dan harus
diperlakukan secara istimewa pula. Oleh karena itu, untuk mengembalikan sang
anak kepada asal-usulnya perlu diadakan ruwatan, sebuah ritual yang secara
khusus diadakan untuk memotong rambut gimbal oleh pemimpin spiritual desa,
setelah permintaan sang anak dapat dipenuhi.
Versi pertama, bahwa anak bajang atau anak berambut gimbal merupakan
keturunan langsung dari Kiai Tumenggung Kaladete dan Nyai Roro Ronce. Ini
22
merupakan narasi dari tradisi lisan yang bersumber dari cerita rakyat terutama di
Dieng Kulon. Pada awalnya Tumenggung Kaladete merupakan pembesar di
Versi kedua, agak sedikit ada persamaan dengan versi pertama, tetapi Kiai
Tumenggung Kaladete pada mulanya adalah pejabat keraton yang beragama Islam
dan ke Dieng dalam rangka menyebarkan Islam. Setelah berhasil masuk Dieng
Kiai Kaladete membuat wilayah Dieng Islam dengan membuat sistem “benteng”.
Di sebelah timur ditempatkan Kiai Selomanik di Desa Kali Terban, di sebelah
barat ditempatkan Kiai Mangkuyudho di Desa Karang Tengah, di sebelah
Selatang ditempatkan Kiai Girik di Desa Sigunung, sedangkan Kiai Kaladete
sendiri berada di Dieng di Pesantren Kalibeber, sebagai pusat masyarakat muslim.
Keberadaan para pemuka umat Islam tersebut sangat disegani karena di samping
mempunyai daya linuwih juga langsung berhubungan dengan tokoh muslim dari
India Syeh Gegeha Abdullah Hariri yang makamnya ada di Dieng. Sepeninggal
para tokoh muslim tersebut keberadaan mereka yang semula disegani, kemudian
dipuja, lalu dijadikan asal primordial masyarakat Dieng sebagai “leluhur abadi”.
Mereka adalah cikal bakal masyarakat Dieng, terutama Kiai Kaladete, sehingga
keberadaannya melebihi masyarakat lainnya. Oleh karena itu, lahirlah keyakinan
dan mitos sebagaimana diuraikan pada versi pertama, bahwa anak-anak yang
berambut gimbal merupakan keturunan langsung dari Kiai Kaladete yang juga
23
berambut gimbal karena sumpahnya.
Ritual ruwatan merupakan acara kunci dan akhir bagi keseluruhan mitos
tentang rambut gimbal. Ruwatan dilakukan setelah anak berusaia sekitar 5 tahun
dan bersedia untuk dipotong rambutnya. Acara ini dilakukan secara meriah di
rumah anak bajang dan melibatkan seluruh warga desa. Meskipun demikian, acara
ruwatan juga dilakukan secara massal yang dikoordinasi oleh panitia khusus yang
bekerja sama dengan pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata, serta
instansi swasta. Berbagai versi tentang anak bajang dan mitos yang
mengelilinginya pada saat ritual ruwatan menyatu dalam ritual yang seragam. Ada
sedikit perbedaan dalam beberapa fase ritual antara ritual yang dilakukan sendiri
dengan yang dilakukan secara massal. Hal ini disebabkan adanya faktor di luar
ritual yang telah masuk ke ranah ritus, seperti kepentingan pariwisata.
mengemukakan bahwa antara pandangan magis yang mempunyai tujuan untuk
kegiatan dan peristiwa berikutnya mempunyai tingkat rasionalitas tersendiri, dan
pandangan sains mempunyai juga rasionalitas sendiri-sendiri, yakni melalui
pengobatan. Dengan demikian, kesadaran masyarakat Dieng tentang rambut
gimbal juga harus dijelaskan dalam ranah rasionalitasnya sendiri-sendiri meskipun
perlu penjelasan seacara terpisah. Perbedaan prinsipil dari pandangan magis dan
mitis dengan pandangan saintis adalah tujuan ritualnya, jika ritual magis
mempunyai tujuan untuk kegiatan dan peristiwa berikutnya, yakni keberkahan
keluarga setelah di-ruwat, sementara pengobatan medis tujuannya adalah
pengobatan itu sendiri.
24
Salah ciri khas budaya masyarakat dataran tinggi Dieng adalah anak-anak
dengan rambut gimbal mitos terkait rambut gimbal. Kepercayaan tentang rambut
gimbal sudah berkembang menjadi mitos yang melekat pada masyarakat dataran
tinggi Dieng. Masyarakat Dieng percaya bahwa anak-anak yang terlahir dengan
rambut gimbal karena ia adalah: 1) anak titipan Tumenggung Kolodete, atau 2)
keturunan dari orang tua yang rambutnya gimbal. Masyarakat Dieng mempercayai
Kolodete sebagai seorang resi Hindu yang menjadi penjaga wilayah Dieng tengah.
Masyarakat juga mempercayainya sebagai baureksa (penguasa atau penjaga)
sekaligus dhanyang dan sosok yang memberikan pengayoman di dataran tinggi
Dieng. Tumenggung Kolodete juga di- percaya sebagai nenek moyang masyarakat
dataran tinggi Dieng. Masyarakat Dieng ada yang menganggap rambut gimbal
adalah sebuah berkah (Martiarini, 2011: 8) dan ada pula yang menganggapnya
sebagai sukerta atau masalah (Disparbud kab. Wonosobo, 2013: 18).
Rambut gimbal dapat terlihat sejak lahir atau baru muncul dikisaran usia 1
sampai 5 tahun. Pada anak-anak yang rambut gimbalnya muncul setelah lahir,
mereka akan mengalami masa sakit-sakitan menjelang kemunculan rambut
gimbalnya. Mereka biasanya panas yang sangat tinggi, kejang-kejang, sering
pingsan, tak kunjung sembuh meskipun sudah ditangani secara medis. Gejala
tersebut biasanyadibarengi dengan kemunculan rambut gimbal; dan penyakit si
anak akan reda apabila rambut gimbal sudah terbentuk sempurna. Rambut gimbal
tidak boleh dicukur sembarangan. Pencukuran rambut gimbal hanya dapat
dilakukan jika si anak pemilik rambut gimbal sudah meminta dan menyebutkan
bebono1 yang diinginkannya. Pencukuran pun tidak boleh dilakukan oleh
sembarang orang. Pencukuran biasanya dilakukan oleh pemangku adat, tokoh
masyarakat yang mengerti tata caranya, maupun orang yang secara khusus
ditunjuk oleh si anak untuk memotong rambut gimbalnya. Masyarakat percaya
bahwa anak berambut gimbal yang tidak melakukan upacara tradisi ruwat rambut
gimbal akan mengalami gangguan jiwa ketika dewasa. Rangkaian upacara
pencukuran meliputi penyediaan sesaji untuk upacara selametan untuk memenuhi
bebono pencukuran, dan pelarungan rambut gimbal. Pelaksanaan upacara tradisi
ruwat rambut gimbal dilaksanakan secara adat serta disesuaikan dengan ajaran
25
agama Islam. Komponen yang ada dalam mitos rambut gimbal di Dieng meliputi
cerita asal usul, keterlibatan aktor seperti anak berambut gimbal dan tokoh
masyarakat, upacara tradisi, sesaji, bebono, mencukur, hingga melarung.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai etnogenesis masyarakat Dieng dan
pembentukan identitas masyarakat dataran tinggi Dieng melalui mitos rambut
gimbal yang dibangun pada tiga aras yaitu mikro, meso, makro.
a. Nilai Akidah
Nilai akidah dalam tradisi ruwatan rambut gimbal adalah sebagai berikut:
1) Mengesakan Allah
Akidah merupakan keyakinan atau iman yang wajib diyakini, dan dapat
dipahami oleh akal sehat, dan diterima oleh hati karena sesuai fitrah manusia.
Akidah juga merupakan inti dan dasar keimanan maka pembinan dan pemantapan
kepercayaan dalam diri seseorang harus dilakukan sehingga menjadi akidah yang
kuat dan benar. Tiada patut Tuhan yang kita sembah kecuali Allah SWT,
meyakininya dalam hati serta mengikrarkan melalui perbuatan dan
melaksanakannya sesuai dengan perbuatan.
26
“nilai akidahnya jelas ada, seperti mengajarkan sekaligus menanamkan
rasa percaya dan yakin kepada anak-anak bahwa yang patut kita sembah adalah
Allah, yang kita ungkapkan dengan cara berdoa dan meminta dari awal hingga
akhir acara ruwatan hanya kepada Allah semata”.
27
Kemudian diperkuat dengan hasil penelitian sebelumnya sebagai berikut:
28
Betapa mulianya Nabi Muhammad, bahkan Allah dan para malaikatnya
juga bersholawat kepada Nabi Muhammad. Sehingga kaum beriman juga
diperintahkan untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad sebagai rasa syukur
sebagai Nabi pencerah bagi seluruh manusia dan rahmat bagi seluruh alam.
b. Nilai Syariah/Ibadah
Syariah adalah aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan
hubungan manusia dengan alam semesta. Nilai pendidikan syariah atau ibadah
dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1) Membaca Al-Qur’an
29
Selain itu firman Allah juga menjelaskan bahwa Al Qur’an itu menjadi kitab yang
wajib dipelajari dan dijadikan umat manusia untuk mengambil pelajaran yang ada
di dalamnya. Dijelaskan dalam Q.S Al- Qomar ayat 40:
Dalam rangkaian acara tradisi ruwatan rambut gimbal mengajarkan kita supaya
membaca Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh beberapa narasumber yang
memang membenarkan bahwa di dalamnya ada pembacaaan ayat suci Al-Qur’an
30
yang dikemas melalui rangkaian acara ruwatan, khususnya pada pelaksanaan
syukuran atau gendurenan dan pada saat acara pemotongan rambut gimbal.
Pembawa acara, pemangku adat, dan ustaz melantunkan ayat suci Al-Qur’an saat
pelaksanaan acara pemotongan rambut gimbal. Pesan Moral pembacaan ayat suci
Al-Qur’an mengajarkan kepada orang-orang khusunya anak sesibuk apapun
aktifitas mereka tetap tidak lupa untuk rajin membaca Al-Qur’an atau dalam kata
lain mengaji. Dalam firman Allah SWT dijelaskan tentang sebaik-baiknya orang
itu adalah orang yang selalu membaca Al-Qur’an dan Allah akan
menyempurnakan pahala dan memberi karunia bagi orang yang membaca Al-
Qur’an, dijelaskan dalam Q.S Al-Fatir 29-30:
31
ambil nilai-nilai pendidikan agama Islamnya. Sehingga kita juga akan mendapat
pahala dari Allah. Pada hari kiamat, Allah akan menjadikan pahala membaca Al-
Qur`an sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, datang memberikan syafa’at dengan
seizin Allah kepada orang yang rajin membacanya.
2) Dzikir
32
terdapat dzikir atau doa, misalnya dalam prosesi napak tilas, pemotongan rambut
gimbal, dan larungan. Prosesi tersebut mengamalkan nilai pendidikan agama
Islam yaitu adanya dzikir atau doa yang dipimpin oleh ustaz dan pemangku adat.
Ustaz memimpin doa dalam setiap prosesi acara, pemangku adat juga memimpin
dan mengawali setiap prosesi acara dengan doa. Isi dari dzikir yang dibacakan
diantaranya mengajak kepada manusia untuk selalu menyadari sifat-sifat Allah
sebagai Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta.
c. Nilai akhlak
1) Bersyukur
33
Dalam tradisi ruwatan rambut gimbal banyak menampilkan wujud syukur
kepada Allah SWT. salah satunya mengucapkan syukur kepada Allah saat acara
gendurenan dan pada saat acara pemotongan rambut gimbal. Sesaji juga
menunjukkan rasa syukur dengan dibuatnya berbagai makanan ditujukan untuk
bersedekah kepada orang lain. Terlihat setelah kirab warga berkumpul untuk
makan bersama. mereka menikmati makanan yang dibuat untuk kirab seperti
tumpeng, ingkung, jajanan pasar, dan lainnya. Bersyukur juga ditunjukkan ketika
pembawa acara mengucapkan rasa syukur kepada Allah saat membuka acara.
Contoh lain ditunjukkan oleh pemangku adat yaitu Mbah Sumanto yang
mengucapkan rasa syukur saat mengawali pemotongan rambut gimbal. Hal
tersebut mengajarkan kepada kita supaya senantiasa bersyukur atas apa yang
tekah diberikan oleh Allah SWT. Khususnya bagi para peserta didik, mereka
seharusnya menerapkan perilaku syukur karena Allah SWT menjelaskan dalam
QS Ibrahim ayat 7:
2) Ikhlas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ikhlas diartikan sebagai “tulus hati”
(dengan hati yang bersih dan jujur.)”.89 Ikhlas berarti mengharap ridha Allah
SWT tanpa menyekutukan-Nya dengan segala apapun. Dalam tradisi ruwatan
34
rambut gimbal, banyak mengajarkan konsep pendidikan akhlak tentang
keikhlasan. Jiwa keikhlasan ditunjukkan oleh warga masyarakat Desa Dieng
Kulon. Mereka turut serta membantu berjalannya acara dari awal persiapan
sampai selesai acara tanpa mengharap imbalan apapun. Ditunjukkan ketika
persiapan acara ruwatan, warga dengan ikhlas membantu tanpa mengharap
imbalan apapun. Mereka mempersiapkan tempat, perlengkapan, sesaji-sesaji dan
lainnya yang dibutuhkan untuk acara ruwatan. Ketika prosesi acara mereka
dengan ikhlas saling membantu demi kesuksesan acara. Selain itu warga Desa
Dieng juga membantu acara dengan bentuk donasi yang melatih supaya
bersedekah dengan ikhlas. Contoh lainnya ditunjukkan ketika acara syukuran dan
kirab, orang tua anak berambut gimbal menyumbang makanan yang kemudian
dibagikan dan dimakan bersama oleh warga. Keterangan tersebut dapat dikaitkan
dengan Firman Allah dalam QS Al-Bayyinah ayat 5 yang menyebutkan tentang
konsep keikhlasan:
35
3) Tolong menolong
Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan seluruh manusia agar tolong
menolong dalam kebajikan dan takwa dan melarang manusia untuk tolong
menolong dalam hal yang dilarang oleh Allah SWT. dalam tradisi ruwatan rambut
gimbal, warga saling tolong-menolong dan bergotong royong dalam
mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara ruwatan. Hasil observasi juga
menunjukkan sebelum acara kirab dan napak tilas, warga Desa Dieng turut serta
mempersiapkan sesaji dan perlegkapan yang dibutuhkan. Sesaji seperti tumpeng,
jajanan pasar, dan lainnya dibuat dan dipersiapkan oleh ibu-ibu warga Desa Dieng
Kulon atas arahan dari Mbah Solhani. Sesaji dikumpulkan dan dibuat di kediaman
Mbah Solhani. Sementara bapak-bapak dan pemuda bergotong royong
mempersiapkan lokasi acara, seperti terlihat mereka mempersiapkan panggung,
36
alat untuk ruwatan, dan keperluan lainnya. Gotong royong terlihat juga dalam
ranngkaian acara festival budaya di hari pertama ada acara bersih Desa yang
menunjukkan adanya rasa tolong menolong dan semangat gotong royong dari
warga Desa Dieng Kulon.
4) Musyawarah
37
KESIMPULAN
Masyarakat Dieng memiliki dua kacamata yang berbeda terhadap Ruwatan
Rambut Gimbal. Ruwatan Rambut Gimbal yang dahulu dipandang sebagai tradisi
nenek moyang, Konsep kesucian tetap dipertahankan sebagai sistem budaya
(religi) yang mempunyai nilai atas tindakan, namun juga diterjemahkan dalam
kontekspariwisata di kawasan Dieng. Kebudayaan dapat diartikan terbatas dalam
hal yang indah seperti contoh candi, tari- tarian, seni rupa, kesusastraan dan
filsafat. Masyarakat tradisional sampai sekarang adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Ruwatan adalah suatu tradisi upacara
adat yang dari dulu sampai sekarang masih dilestarikan. Anak-anak yang akan
diruwat dikumpulkan di tempat rumah tetua adat setempat, dan juga disiapkan
segala sesuatu. Mencermati uraian di atas dapat digambarkan bahwa ritual
merupakan manifestasi atas konsep-konsep kesucian yang diyakini oleh
masyarakat Dieng. Ritual ruwatan rambut gimbal merupakan salah satu dari
berbagai manifestasi kebudayaan religius mereka. Sebagai masyarakat yang
menempati wilayah periferi yang jauh dari pusat budaya Jawa –Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, penduduk Dieng menyelenggarakan ritual ruwatan
rambut gimbal dengan improvisasi sesuai dengan konteks iklim dan kebudayaan
mereka.
banyak diketahui oleh masyarakat luas. Sekarang mitos rambut gimbal telah
menjadi identitas masyarakat dataran tinggi Dieng. Pokdarwis berperan dalam
melestarikan dan mempromosikan mitos rambut gimbal sebagai komoditas
pariwisata. Pembentukan identitas pada aras meso tidak dapat terbangun jika aras
mikro-individu (keluarga pemilik rambut gimbal) tidak mengakui mitos rambut
gimbal sebagai bagian dari identitas mereka. Selain itu, mitos rambut gimbal
sebagai identitas masyarakat dataran tinggi Dieng tidak akan terjadi apabila pada
aras makro (Pemerintah) tidak ikut membentuk dan membangun mitos rambut
gimbal sebagai identitas. Jadi, antara aras makro, meso, dan mikro saling
melengkapi satu sama lain. Nilai Pendidikan Agama Islam dalam tradisi Ruwatan
Rambut Gimbal diantaranya yaitu adanya ungkapan rasa syukur yang mendalam
atas apa yang telah diberikan Allah kepada mereka, dengan cara mereka
melaksanakan syukuran sebelum acara ruwatan. Prosesi pelaksanaan tradisi
ruwatan mulai dari awal hingga akhir dalam kegiatan ruwatan terdapat bacaan
doa, ayat-ayat suci al-Quran, dan sholawat. Kemudian dalam tradisi ruwatan
mengajarkan akhlak terhadap Allah terbukti disaat rangkaian acara seperti
syukuran dan prosesi ruwatan memohon dan mengucap terimakasih hanya kepada
Allah semata, dan akhlak kepada manusia yang terlihat jelas dalam prosesi
ruwatan adanya kebersamaan, keihklasan, tolong menolong, dan musyawarah.
REFERENSI
Samovar, Larry A., Porter, E.R, McDaniel, E.R. Komunikasi Lintas Budaya
(Communication Between Cultures) Edisi 7. 2014. Jakarta: Salemba
Humanika.
41