Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani, nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang. Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan.
Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan, jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura yang pemberani. Akan tetapi belakangan ini simbol clurit sudah tidak digunakan lagi karena dari pihak keamanan tidak memperkenankannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Seragam Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali, jika ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi , demi kesakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan besar. Biasanya mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar, Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu.
Sakera juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang ingin berebut naik perahu. Sesepuh adat juga mengenakan baju Sakera, serba hitam dengan bagian dalam kaus loreng merah putih serta udengnya batik merah tua. Bagi nelayan Muncar, petik laut adalah hajatan besar yang tidak boleh ditinggalkan. Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.
Prosesi Ritual Petik Laut Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut.
Perahu diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak keluarga sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah- buahan, ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek.
Pada hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat dengan menggunakan baju khas Madura. Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung mengalun indah. Dukun membawa abu kemenyan sambil melantunkan doa, dan menyebarkan beras kuning simbol tolak bala.
Sesaji disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu. Sebelum diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah.
Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bukan hanya perahu yang membawa sesaji saja, akan tetapi diikuti sejumlah perahu nelayan lainnya yang biasanya dilengkapi dengan sound system dengan suara musik khas banyuwangi dan madura dan tidak lupa juga dihiasi dengan umbul-umbul. Di semenanjung Sembulungan yang sering disebut Plawangan, seluruh perahu berhenti sejenak untuk menurunkan sesaji yang dipimpin sesepuh nelayan. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.
Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Hal ini dipercaya menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut supaya selamat dan mendapatkan hasil yang melimpah. Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya hanya jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan sesaji yang kedua ini sebagai persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.
Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan ke Makam Sayid Yusuf. Disini biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.
Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang dan tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.
Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu. Biasanya sepulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut.