Anda di halaman 1dari 4

PETIK LAUT MUNCAR

(Oleh : Bagyo Kristiono, SP.)




Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya
petani, nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan
keselamatan. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan
penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat
bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut
pasang. Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah untuk untuk memohon
berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima kasih kepada Tuhan.

Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang
setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan,
jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam
pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura
yang pemberani. Akan tetapi belakangan ini simbol clurit sudah tidak digunakan lagi
karena dari pihak keamanan tidak memperkenankannya untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan.

Seragam Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali,
jika ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi ,
demi kesakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan besar. Biasanya
mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar,
Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu.

Sakera juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan
mengawal sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang
ingin berebut naik perahu. Sesepuh adat juga mengenakan baju Sakera, serba
hitam dengan bagian dalam kaus loreng merah putih serta udengnya batik merah
tua. Bagi nelayan Muncar, petik laut adalah hajatan besar yang tidak boleh
ditinggalkan. Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan
Jawa.

Prosesi Ritual Petik Laut
Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan
warga Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan
Muncar. Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal
nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk
sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan
pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut.

Perahu diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak
keluarga sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah-
buahan, ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek.

Pada hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat
dengan menggunakan baju khas Madura. Menjelang siang, sesaji diarak
menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang iring-iringan, dua penari Gandrung
ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung mengalun indah. Dukun membawa abu
kemenyan sambil melantunkan doa, dan menyebarkan beras kuning simbol tolak
bala.

Sesaji disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu.
Sebelum diberangkatkan, kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di
lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan
melimpah.

Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bukan hanya perahu
yang membawa sesaji saja, akan tetapi diikuti sejumlah perahu nelayan lainnya
yang biasanya dilengkapi dengan sound system dengan suara musik khas
banyuwangi dan madura dan tidak lupa juga dihiasi dengan umbul-umbul. Di
semenanjung Sembulungan yang sering disebut Plawangan, seluruh perahu
berhenti sejenak untuk menurunkan sesaji yang dipimpin sesepuh nelayan.
Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.

Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka
berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke
seluruh badan perahu. Hal ini dipercaya menjadi pembersih malapetaka dan
diberkati ketika melaut supaya selamat dan mendapatkan hasil yang melimpah. Dari
Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini,
nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya hanya jumlahnya lebih sedikit.
Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan sesaji yang
kedua ini sebagai persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.

Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan ke Makam
Sayid Yusuf. Disini biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using
di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan
sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.

Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan.
Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Memilih
penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak
gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya
boleh sekali diundang dan tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.

Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan.
Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan
petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu.
Biasanya sepulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur
dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai
Dewi laut.

SUMBER : dotcomcell.com

Anda mungkin juga menyukai