Anda di halaman 1dari 14

Upacara Petik Laut Sebuah Tradisi: Dari, Oleh dan Untuk Nelayan

Pada tanggal 1013 Januari 2009 yang lalu, sebagai bagian dari cross cutting issues program Nurturing Democracy through Interfaith and Intercultural Cooperation SATUNAMA (Mengembangkan Masyarakat Madani Melalui Kerjasama Lintas Iman dan Lintas Budaya), dilakukan kunjungan budaya ke Banyuwangi. Teman-teman yang hadir yakni 10 orang perwakilan wilayah Beji Gunung Kidul dengan 2 orang pendamping dari SATUNAMA. Kunjungan itu merupakan kunjungan budaya dalam rangka sebuah perhelatan pesta rakyat daerah pesisir di wilayah Kedungrejo, Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Pesta masyarakat nelayan yang cukup akbar ini mampu membuat decak kagum mereka yang belum pernah melihatnya dan dikenal dengan nama Petik Laut. Petik laut adalah sebuah ungkapan syukur masyarakat nelayan atas rejeki dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan melalui alam, khususnya laut. Namun sekarang, dipakai juga sebagai satu wahana budaya dan tradisi masyarakat nelayan di Kecamatan Muncar Banyuwangi. Selain itu, Petik Laut juga menjadi sebuah sarana untuk menggali kembali berbagai potensi lokal melalui: kesenian lokal, aneka perlombaan (gerak jalan, panjat pinang, lomba dayung, jalan sehat, dll) yang melibatkan hampir semua lapisan masyarakat di Muncar. Rangkaian kegiatan ini juga disertai pesta rakyat dengan pasar malam dan aneka hiburan (dangdut, gandrung dan tayub) dan berpuncak pada acara larung sesaji dengan puluhan kapal hias. Biaya per kapal lengkap dengan hiasannya mencapai hampir 1 milyar rupiah, sedangkan jumlah kapal yang digunakan dan dihias mencapai puluhan buah kapal. Di tahun 2009 ini, puncak acara Petik Laut masyarakat Kecamatan Muncar Banyuwangi terjadi pada tanggal 12 Januari 2009. Puncak itu ditandai dengan upacara nglarung sesaji yang dimasukkan dalam sebuah Gitik (sebuah miniatur kapal yang diisi dengan aneka sesaji mulai dari buah-buahan, hasil bumi yang lain, ikan, ayam, aneka bunga saji, uang, dan perhiasan emas). Satu buah gitik biasanya nilai nominalnya tidak kurang dari 5 10 juta rupiah.

Sebagai prosesi awal, gitik diarak dari halaman rumah Lurah Kedungrejo dengan diiringi kelompok drumband dari SD sekitar, ibu-ibu PKK dan pengajian serta kelompok anak-anak dengan kostum khas Banyuwangi. Prosesi Gitik menuju ke tempat upacara dengan lokasi di pusat TPI Pelabuhan Muncar yang sudah dipadati oleh puluhan ribu masyarakat Muncar dan sekitarnya. Puncak acara ini dihadiri juga oleh wakil dari Gubernur Jawa Timur, Bupati Banyuwangi, Muspida dan Muspika setempat. Dalam sambutannya Bupati Ratna mengharapkan di tahun-tahun mendatang, para pengusaha yang ada di Muncar tidak lagi berasal dari Surabaya, tetapi dari putra-putri

Banyuwangi sendiri. Para pemilik kapal juga mereka yang berasal dari wilayah Muncar, dan anakanak nelayan menjadi anak-anak yang berpendidikan dan sukses, sehingga warisan leluhur banyak dinikmati kembali oleh masyarakat lokal, dari, untuk dan oleh para nelayan sendiri. Acara dirangkai dengan pemberian hadiah bagi pemenang aneka lomba, tarian gandrung yang dibawakan oleh 6 orang penari, beberapa sambutan dan pelepasan gitik ke Laut oleh Bupati yang diikuti oleh sebagian besar tamu undangan untuk bersama nglarung sesaji di tengah laut. Acara diakhiri dengan singgahnya rombongan ke suatu pulau yang masih perawan yang dijadikan sarana konservasi laut, dan dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang digunakan ngalap berkah atau berdoa dan bermatiraga untuk memohon keselamatan, dll. Tempat ini dipakai sebagai persinggahan akhir rangkaian upacara Petik Laut. Para penari gandrung yang terpilih dengan 2 orang gadis remaja yang dipilih menjadi Blorong menari di pulau ini di depan sebuah makam yang dipercaya sebagai makam cikal bakal penari gandrung di wilayah Muncar yang patut dihormati. Setelah rangkaian acara inti selesai, masih ada beberapa kegiatan yang dilanjutkan sampai 1 hari ke depan, di antaranya: tayuban semalam suntuk dan pentas dangdut bagi seluruh masyarakat Muncar. Acara resmi berakhir pada tanggal 15 Januari 2009. Banyak teman-teman dari Satuhati (alumni peserta pelatihan di SATUNAMA dan sekarang menjadi CO di Kecamatan Muncar Banyuwangi) terlibat dalam kepanitiaan ini. Maka dengan sendirinya, peran sebagai CO menjadi strategis untuk meningkatkan gerakan di tingkat masyarakat sipil yang menjadi salah satu tujuan program Mengembangkan Masyarakat Madani Melalui Kerjasama Lintas Iman dan Lintas Budaya, yang kini sudah menjadi salah satu program yang diperhitungkan baik di Muncar Banyuwangi maupun Ngawen Gunung Kidul. Semoga kunjungan ini menjadi sarana untuk berbagi pengalaman dan berbagi peran bagi pengembangan Program Lintas Iman Lintas Budaya yang tergabung dalam Divisi Special Project SATUNAMA yang menjadi satu bagian utama dalam pengembangan Program Islam And Development bekerjasama dengan The Asia Foundation. Yogyakarta, 16 Januari 2009 F.F. Sri Purwani Program Officer Gunung Kidul Area http://www.satunama.org/read_news.php?/73/Upacara_Petik_Laut_ %93_Sebuah_Tradisi:__Dari,_Oleh_dan_Untuk_Nelayan_%9318-22 Juli 2011, SATUNAMA, Yogyakarta

Warta Jember : Pelaksanaan petik laut Puger yang berlangsung Kamis (22/12/2010) berlangsung marak. Ribuan warga berduyun memadati lokasi Tempat Pelelangan Ikan dan pantai Pancer Puger yang menjadi lokasi inti larung sesaji petik laut. Akibatnya, jalan menuju pantai Pancer Puger sempat macet akibat kepadatan pengunjung. Kali ini petik laut lebih meriah karena menampilkan banyak rangkaian acara. Larung sesaji yang mejadi inti acara mendapat sambutan dari pengunjung. Mereka tidak ingin meninggalkan prosesi rangkaian acara yang diselenggarakan pemerintah desa setempat BPD dan nelayan Puger. Prosesi petik laut merupakan tradisi para nelayan Puger yang di adakan setiap tahun pada bulan suro. Mereka memaknai acara ini sebagai bentuk rasa sykur dan doa kepada Sang Pencipta. Dengan acara ini para nelayan berharap agar para nelayan yang mencari ikan semakin mendapat hasil berlimpah. Petik laut ini memang sudah menjadi tradisi, jadi kami ingin mengembangkan tradisi untuk mendongkrak pesona wisata pantai Puger dan memohon kepada Pemerintah Jember agar lebih di perhatikan kata Kepala Desa Puger Wetan Edy Hariyoko. Selain larung sesaji lanjut dia, petik laut ini juga menampilkan acara tasyakuran nelayan dan wayang kulit. Ditambah lagi acara lomba dayung perahu yang diselenggarakan kelompok nelayan Puger wetan. Dan memasuki babak akhir perebutan juara 3-4 dan final yang berlangsung usai larung sesaji. Selain Puger wetan, Puger Kulon juga menjadi penyelenggara petik laut. Pasalnya Puger kulon menyelenggarakan petik laut sebelumnya. Namun untuk larung sesaji dilaksanakan bersama dengan Puger wetan hari ini. Kami juga merayakan petik laut ini sehari sebelumnya, namun untuk larung sesaji dibarengkan dengan Puger wetan hari ini, ujar Adi Sutomo Kades Puger Kulon. Dalam acara larung sesaji, sempat diwarnai insiden tabrakan perahu jukung. Dua perahu milik penyelenggaran dan nelayan sempat bertababrakan. Namun tidak sampai ada korban jiwa sehingga tidak menganggu prosesi acara larung sesaji. Ramainya acara ini akhirnya membuat jalan menuju pantai Pancer Puger macet. Sekitar jam 10.15 hingga 11.00 jalanan tersebut tidak bisa dilewati. Iwan salah satu pengunjung yang berasal dari Kencong mengeluh, karena sangat sudah mancapai lokasi larung sesaji. Akibatnya niat untuk mengikuti larung sesaji petik laut Puger harus tertunda gara-gara jalan tersebut macet. Seharusnya ada yang mengatur jalan ini biar gak macet, keluhnya. Sehingga dia tiba di lokasi pantai Pancer Puger terlambat satu jam dari yang semestinya. (eko)

Pelaksanaan Tradisi Petik Laut di Masyarakat Pugerkulon sepenuhnya tidak lagi berlangsung sebagaimana era awalnya. Dulu pelaksanaan itu menjadi milik masyarakat setempat, akan tetapi saat ini telah menjadi milik daerah kabupaten Jember secara umum, masuk sebagai bagian dari aset kepariwisataan. Kenyataan ini menumbuhkan pertanyaaan masihkah tradisi petik laut dihayati dengan semangat yang sama, atau justru telah mengalami berbagai pendangkalan. Jika puluhan tahun yang lalu, tradisi ini memiliki implikasi yang positif bagi makin marak dan kondusifnya situasi keberagamaan Masyarakat Pesisir Pugerkulon, maka belakangan ini, terkait dengan berbagai kemodernan yang ada, masihkah tradisi itu memiliki signifikansi positif bagi keberagamaan yang ada? Atau justru sebaliknya tradisi ini memiliki implikasi buruk bagi keberagamaan yang ada? Pertanyaanpertanyaan tersebut layak diajukan manakala, pelaksanaan tradisi Petik Laut tersebut tidak lagi berlangsung sebagaimana era awalnya, yang hanya menjadi milik masyarakat setempat, akan tetapi telah menjadi milik daerah Kabupaten Jember secara umum, masuk sebagai bagian dari aset kepariwisataan. Berangkat dari itulah penulis dengan menggunakan metode interview dan observasi meneliti tentang bagaimana pengaruh tradisi petik laut pada keberagamaan Masyarakat Pugerkulon. Menurut Peter L. Berger, bahwa setiap lestarinya sebuah tradisi di masyarakat akan melindungi bagaimana keberagamaan yang ada di dalam. Namun demikian lama temuan penulis apa yang dioptimiskan Peter L. Berger ternyata berbeda dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dalam penelitian penulis bahkan menemukan betapa keberadaan Petik Laut ternyata tidak lagi memiliki pengaruh yang positif bagi situasi sosial keberagamaan yang ada. Pelaksanaan upacara itu memang sarat dengan simbol-simbol agama. Akan tetapi nilai-nilai ajaran adiluhung dalam upacara tersebut tidak lagi teraktualkan dalam hidup para neleyan. Formalisasi budaya agaknya berimplikasi pula pada formalisasi keberagamaan, sehingga agama hanya dipahami sebagai ritus religiusitas, yang itu tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. elayan di KecaABDUL GAFURUR ROHIM - NIM. 02541099, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Created : 2010-02-25, with 1 fileshttp://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php? mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--abdulgafur-3651 matan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, belum lama ini, menggelar Petik Laut atau Larung Sesaji. Selain sebagai ungkapan syukur, Petik Laut juga mengandung harapan untuk mendapatkan berkah pada musim ikan selanjutnya. Tradisi yang digelar setiap tahun itu untuk menyambut 1 Suro. Upacara dimulai dari Pendopo Kecamatan Puger. Dari pendopo ini, perahu kecil yang sarat dengan aneka sesaji mulai diarak menuju lokasi pelarungan di pantai. Dengan diiringi pengawal, dayangdayang cantik, serta Bupati Jember, iring-iringan sesaji menyusuri jalan yang sudah sejak pagi dikerumuni warga. Warga memang sengaja datang untuk melihat langsung tradisi larungan sekaligus berharap mendapat berkah dari ritual ini. Sesampai di pinggir pantai, Bupati Jember menyerahkan sesaji kepada tokoh adat. Dengan upacara

adat, sesepuh adat menyerahkan sesaji ke sejumlah kapal nelayan untuk dilarungkan ke tengah Laut Selatan. Kemudian, perahu-perahu yang sudah didandani ini bertolak ke tengah laut untuk melepas sesaji.(ORS/Agus Ainul Yakin)

Selasa, 27 Juli 2010 - 13:38:35 WIB Kepercayaan JAWA Diposting oleh : Administrator Kategori: PPS Merpati Putih - Dibaca: 652 kali Hidup dan kepercayaan adalah sebuah sikap dan keputusan yang terkadang membuat diri kita pun merasa asing terhadap diri sendiri... Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendak-Nya. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya. Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena pada awalnya dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung. Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir islam, dengan pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia ini) dan alam adikodrati (alam gaib atau supranatural). Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup. Ciri pandangan hidup orang Jawa realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.

Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius. Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna ( dunia atas dunia manusia dunia bawah ). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata ( mikrokosmos ) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya. Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap perwujudan wakil Tuhan di dunia, sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam. Jadi raja dipandang sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari wakil Tuhan dengan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena rajapun dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan wilayah. Hal hal diatas merupakan gambaran umum tentang alam pikiran serta sikap dan pandangan hidup yang dimiliki oleh orang Jawa pada jaman kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar kuat dan menjadi landasan falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam tata kehidupan orang Jawa Sumber : Nehemia Budi Setyawan

http://www.mustdont.byethost16.com/berita-161-kepercayaan-jawa.html segenap makhluk halus jin bersembah pada Sang Ratu yang besar tak bertara

Saya sependapat dengan Ben Anderson yang melihat benteng (saya tambah: juga "jagang" atau parit) di sekeliling kraton Yogya dan Solo, terutama bukan sebagai barikade terhadap tentara musuh, tapi lebih merupakan pernyataan tentang garis batas antara "krama" dan "ngoko", antara "priyagung" dan "wong cilik". * Walaupun begitu terdapat beda, yang seperti bumi dan langit, antara dasar konsepsi pada lakon carangan "Babad Alas Wanamarta" dengan legenda "Babad Alas Mentaok". Jika pada yang pertama bersifat materiel, pada yang kedua bersifat immateriel. Yang pertama kenyataan dihadapi sebagai dan dengan kenyataan, yang kedua kenyataan dihadapi sebagai dan dengan impian. Maka dari itu dunia pedalangan ditutup dengan "Bratayuda Jaya Binangun", dan berakhir dengan kemenangan pihak Pandawa terlepas berapa besar pun kurban yang harus jatuh. Sedangkan babad Mataram, yang mungkin bisa dipandang sebagai "perwakilan Jawa" pada jaman nya, sejak itu tidak pernah mengenal lagi perang untuk sesuatu nilai. Tidak pernah lagi berinisiatif ofensif. Impian nya pun impian lesu tentang Ratu Adil, yang tak berdarah dan tak berdaging, dan dibangun di atas seribu satu ramalan Jayabaya dan semacamnya, atau tafsir tafsir yang dipaksakan atas "Jaka Lodang" dan

"Kalatida" dari Ranggawarsita. Tidak bisa lain, karena keagungan kerajaan Jawa memang sudah habis bersama dengan tahun candrasangkala jatuhnya Majapahit: "sirna hilang kartaning bumi" (hilang lenyap keagungan negri).

Mengusut latar belakang mitos

ENTAH lidah atau tangan siapa yang pertama tama mendoktrin kan mitos Lara Kidul itu. Tapi pastilah dari lidah atau tangan yang memang memenuhi syarat syarat kepujanggaan.

"Wedatama", yang mem-p4-kan 6) keagungan Senapati berikut mitos Lara Kidul, berasal dari paro sampai perempat terakhir abad ke-19. Kira kira satu abad sebelumnya, tepat nya 11 November 1743, VOC memang telah menodong tanda tangan Paku Buwana II di pembaringan sakit nya. Dan dari surat todongan itu (agaknya semacam Supersemar Suharto), didapat lah hasil hasil oleh VOC:

(1) sepanjang pantai utara Jawa, dan wilayah sejauh 6 Km ke pedalaman dikuasai VOC; (2) semua Bupati pesisir utara Jawa, sebelum mulai berfungsi, harus bersumpah setia kepada VOC.

Itulah angka tahun ketika kerajaan Jawa secara definitif kehilangan kekuasaan nya atas laut utara. Dan tahun itu (1743), kira kira hanya selang dua dasawarsa saja dari "Babad Karangbolong". Oleh karenanya sejak itu, orang mengadakan selamatan dan upacara, setiap kali sebelum turun ke gua, untuk mengutip sarang burung. Selamatan dan upacara yang dipersembah kan bagi Dewi Lampet. Upacara ini disertai dengan pergelaran

wayang kulit yang mengambil lakon "Dewi Lampet", sebuah nama dan versi lain dari tokoh Dewi Laut Selatan yang satu itu juga: Nyai Lara Kidul (baca: "Histoire de Dewi Lampet: Le Mythe de la Deesse de la Mer du Sud a Karang Bolong" , Claude Guillot; Archipel 24/1982; hal. 101-06). Tapi semuanya itu tentu tidak berarti bahwa mitos Lara Kidul ini mulai (di)timbul(kan) pada sekitar tahun tahun tersebut. Jauh jauh hari pada senja riwayat Kerajaan Demak, wawasan tentang keadaan dan pengarahan politik telah dibisik kan Sunan Kalijaga kepada Mas Karebet alias Jaka Tingkir, kelak Sultan Adiwijaya di Pajang. Tanpa menyebut masalah armada dagang berikut ancaman meriam meriam Spanyol,

Portugis, Belanda dan Gujarat di laut utara [tapi wali yang arif ini pasti mencatat di ingatan nya dua kali pengalaman kekalahan Pati Unus di Malaka], diperintah nya Karebet: pertama, agar tidak mempertahankan Demak, tapi membangun pusat bakal kerajaan nya di pedalaman; dan kedua, agar kerajaan nya kelak tidak bersandar pada para "dagang layar" di laut, tapi pada kaum "among tani". (baca: Atmodarminto, Babad Demak Jarwa, Penerbit "Pesat" 1954). "Carilah bakal pusat kerajaan mu itu di dekat Prambanan, di pinggir Kali Kuning sana!" Begitu kira kira nasihat Kalijaga pada Mas Karebet. Tinggal kan Laut Utara, mundur dan masuk ke pedalaman. "Arus sudah berbalik!" Kata Pramudya Ananta Toer. Revaluasi atas wawasan situasi objektif, yang meninggalkan konsep wawasan nusantara bahari, diuji penjabaran nya terutama oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (1612-45). Tapi ternyata mengalami kegagalan. Dua kali ekspedisi ke Betawi dikirim (1628 dan 1629), dua kali pula gagal. Bukan saja sama sama dedel duwel dengan VOC di Betawi (konon J.P. Coen

berhasil dipenggal kepalanya oleh lasykar Mataram?), tapi juga harus menghadapi pemberontakan "golongan ketiga" yang sedang tumbuh di pedalaman Mataram. Pemicu pemberontakan ini, agaknya, jika kita mencermati dongeng rakyat "Pranacita - Rara Mendut", akibat semacam "krismon" yang dicoba hendak diatasi dengan (karena belum ada IMF!) politik perpajakan. Begitu juga oleh sabotase besar besaran dari para "bupati pesisir", sepanjang barat Semarang sampai Rengasdengklok. Sayang "benang merah" tutur Jawa ini kurang diangkat, baik oleh YB. Mangunwijaya maupun oleh Ami Prijono, masing masing dalam novel dan film nya tentang Rara Mendut.

Lahir dari konsep defensif

G.J.Resink benar, mensinyalir mitos Lara Kidul ini, dengan menghubungkan nya dengan armada armada Spanyol, Portugis dan Belanda yang dalam masa itu sudah malang melintang di Laut Jawa ("Mers Javanaises"; Archipel 24/1982, hal. 97-100). Namun demikian ini tentu saja tidak berarti, bahwa kepercayaan pada ruh penguasa laut belum ada di Jawa sebelum masa itu. Sebutan "nyai" itu sendiri, bentuk feminin untuk "kyai", sejenis honorefik prefiks bagi orang tua yang dimuliakan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Termasuk dalam yang akhir ini, terutama yaitu arwah "bahureksa" yang di lain tempat disebut "pamali" (Buru), "danyang" (tentu dari "da" dan "hyang"), dan lain lain. Nyai Lara Kidul konon berparas cantik. Beda dengan Durga (Umayi) atau si Janda dari desa Girah, Calon Arang. Tapi wataknya? Jelas, tidak pernah melempar senyum barang secercah pada "kawula cilik". "Lampor" nya bikin takut anak anak. Ia juga luar biasa pencemburu pada perempuan tani di desa. Jika

gadis gadis desa dan gunung itu, satu kali setahun, pada kesempatan hari raya Lebaran ingin bergembira ria di laut, bukan main banyak pantangan mereka. Tidak boleh berbaju warna "gadung", "gadung melati", "jingga", dan sebagainya; tidak boleh berkain "poleng alit", "teluh watu" dan semacam nya. Juga pada penduduk desa umumnya. Ini terjadi sangat hebat, misalnya, di sekitar tahun 1956. Dihamuk nya rakyat Gunungkidul yang miskin tak berdaya itu. Gelombang Laut Selatan bergulung gulung menghempas pantai, sambil melepas berjuta juta balatentara yang berupa tikus tikus. Dan dimangsanya segala apa saja. Bukan saja tumbuhan dan hasil bumi, bahkan ternak dan bayi anak anak manusia juga dimakan. Lalu, sekali lagi terjadi pada tahun 1946. Ketika itu Nyai Lara Kidul memerlukan tambahan balatentara, guna memerangi tentara Nica yang musuh Mataram, dan juga musuh Republik. Maka untuk rekrutering balatentara lelembut itu, dibunuhinya rakyat dengan menyebar wabah pes tanpa pardon! (Yuyud! Ini positif atau negatif, coba? Ironis ya Mas Wah? Jika mitos telah berhasil ditanamkan.)

Penutup

Menghadapi mitos, legenda, saga dan sebangsanya, bukan lah "who's who" nya yang penting. Tapi "mengapa" nya, lalu "bagaimana" nya. Di situ lah soal nya. Maka itu, menurut hemat saya, bukan soal beratus nama dan beribu versi penuturan yang masalah. Namun, karena terperangkap keasyikan mencari tahu "apa siapa" nya itu, orang terkadang lantas tergelincir berasyik masyuk di dalam "dichtung" kejadian nya saja. Bung Karno, dalam ceramah di Universitas Gajahmada (1954?) menyikapi legenda Nyai Lara Kidul ini dari

konsep impian wawasan nusantara bahari. Juga di dalam "Sarinah", diceritakannya tentang mitos laut bangsa bangsa Timur Tengah, yang mengandung kisah kisah perjuangan mereka dalam menunduk kan laut. Demikian juga Bima. Tak kurang gagah dan perkasa nya pula tokoh idola Bung Karno itu. Ada satu kali ia memang kompromi dengan Nagaraja di Saptapratala. Tapi itu terjadi bukan lantaran Nagaraja berputri Nagagini yang jelita, melainkan karena keadaan darurat. Bahwa ia harus menyelamatkan empat saudara saudaranya dan Kunti, ibunya, dari pengejaran Kurawa, sesudah kegagalan usaha pembunuhan dalam peristiwa judi di Balai Sigalagala itu. Selebih nya paling tidak tiga kali Bima telah bertempur mati matian, dan berhasil mengalah kan tokoh tokoh bahureksa sakti: Hidimba (Arimba), raksasa penunggu pohon randu alas; dua raksasa kembar penunggu gunung; dan seekor naga laut dalam kisah "Dewaruci". Konon kisah "Dewaruci" berasal dari jaman Mamenang (Isyanawikrama alias Empu Sindok), sekitar enam abad lebih tua dari jaman Mataran Senapati. Kisah kisah perjuangan dan kemenangan anak manusia Jawa terhadap arwah bahureksa seperti itu, banyak terdapat baik dalam dunia wayang maupun dalam dongeng rakyat. Adanya berbagai versi penuturan mitos tentang laut, menandakan juga adanya berbagai tokoh bahureksa laut di berbagai daerah kebudayaan. Tapi, beda dengan mitologi Hindu yang memandang laut sebagai laki laki (Dewa Waruna), di Indonesia (seperti di Mesir) bahureksa laut mendapat bentuk sosok perempuan. Seperti halnya bumi, tanah dan air, laut merupakan unsur pengandung - pelahir - dan penyusui kehidupan. Rakyat Buru selain mengenal Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli, juga mempunyai tokoh Boki Ronja(ng), "pamali' atau bahureksa sungai Wai Apu.

Bentuk feminin itu barangkali juga karena, di hadapan langit, laut terletak di bawah. Dari dunia pedalangan sering kita dengar kata kata, diucap kan terhadap tokoh yang akan dikenai senjata pamungkas; "tumengaa Bapa Angkasa, tumungkula Babu Pertiwi" (tengadah lah pada Bapa Langit, dan tunduk lah pada Ibu Bumi". Gagasan pemikiran demikian, bahwa "bapa" (laki laki) adalah langit, dan "ibu" (perempuan) adalah bumi, sesuai dengan konsep susunan bangunan lingga dan yoni. Kemanunggalan Mataram dan Laut Selatan adalah mutlak, karena Laut Utara tidak lagi memberi lebensraum. Kesatutubuhan Senapati - Lara Kidul adalah mutlak, karena itu ialah kesatuan nya antara langit dan bumi, antara lingga dan yoni. Mitos Nyai Lara Kidul sebuah konsep yang mempunyai akar sejarah pada "Wahyu Majapahit", mempunyai dasar ideologi pada dua aspek "gender" dalam satu tubuh (bandingkan dengan sesaji "ardanareswari" di Bali), dan merupakan antropomorfi dari wawasan bahari Kerajaan Mataram yang telah hilang.*** _______________________________ 1 Profesor (pensiun) G.J. Resink (Yogya 1911-Jakarta 1996). Artikel ini ditulis dan disiarkan "Kompas Minggu" tahun 1982. 2 Dalam konsepsi Jawa, perempuan atau syakti ("sy" ini mestinya "c cedille") yang maha hebat agaknya selalu dilukiskan sebagai "mengerikan". Ingat: Sarpakenaka, Durga, Calon Arang, sedikit banyak juga "Durga Umayi" YB Mangunwijaya, dsb.; bandingkan dengan konsepsi Barat yang sebaliknya: Maria, Aya Sofia dll. Kenapa begitu, ya!? 3 Perhatikan gelar ini: "panembahan" gelar yang biasa disandang para wali, raja atau bangsawan tinggi, yang kuasa atas bidang ruhani (agama) dan kenegaraan. Jadi boleh lah di terjemahkan sebagai: Yang Suci Panglima Perang. Gelar ini tampaknya timbul dari satu jaman, ketika "dua tangan" (ulama

dan raja) memegang "satu fungsi" yang bersegi kembar ibarat "kupu tarung" (segi ruhani dan badani), yaitu (untuk Jawa Tengah) di jaman kerajaan Demak; dan lebih melembaga di jaman ketika "dwi fungsi' (agama dan politik) dipegang satu tangan, yaitu sejak jaman Panembahan Senapti dan lebih tegas lagi sejak Amangkurat. 4 Adat kepercayaan demikian terdapat pada banyak suku murba (terjemahan saya untuk "primitif" yang di telinga saya terdengar melecehkan), juga sementara suku di Irian dan Papua Niugini. 5 Ruba, Ruang Bawah Tanah, diambil dari istilah yang dipakai oleh gerakan perlawanan bersenjata melawan pemerintahan rezim $uharto tahun 1968 di sekitar Blitar Selatan. Ide sistem perta hanan ini diambil dari pengalaman para pejuang Vietnam ketika mereka melakukan ofensif milter mengepung benteng Dien Bien Phu yang akhirnya membebaskan mereka dari penjajahan Prancis. 6 P4 istilah Orde $uharto "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila" tak lain istilah selubung untuk "indoktrinasi" atau "brainwashing". http://www.minihub.org/siarlist/msg005Hersri Setiawan:

85.html16 Aug 1998 Masyarakat Jawa menganggap laut sebagai tempat yang "Jahat", terutama laut selatan berada dibawah kekuasaan seorang Ratu-Roh yang sangat berkuasa Nyai Roro Kidul, yang juga sebagai perwujudan "Dewi Laut" dalam kepercayaan Hindu. Orang yang tenggelam di laut selatan dipercaya bahwa mereka dijadikan hamba dalam kerajahttp://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2011/

27 Mei 2011
aliantoni82@gmail.com

KEPERCAYAAN JAWA TERHADAP ALAM


05/kepercayaan-jawa-terhadap-alam.htmlannya.

Anda mungkin juga menyukai