Anda di halaman 1dari 6

Bab I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kondisi dan posisi Indonesia menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara
maritime. Hal ini disebabkan oleh Indonesia adalah negara dengan sumber daya laut yang
beraneka ragam terbentang dari 13.466 kepulauan dan lebih dari 17.000 pulau dengan
ribuan mil garis pantai. Sebanyak 92 pulau terpencil sebagai garis pangkal perairan
hingga laut lepas Indonesia terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai
negara dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan posisi yang sangat strategis karena
berada di antara benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik,
dalam Kusumastuti, N. M. A., dkk. (2021)

Sejak dulu Indonesia sudah dikenal sebagai negara maritim karena budaya
maritimnya yang kuno dan sangat berkembang termasuk suku Bugis yang juga dikenal
sebagai suku laut perantauan dan angkatan laut Sriwijaya dan Majapahit yang perkasa.
Selain budaya maritim, Indonesia memiliki salah satu kekayaan laut terbesar di dunia dan
terletak di perbatasan garis lempeng structural sehingga karakteristik topografi laut
Indonesia yang sangat beragam menjadi unik dibandingkan dengan negara lain.

Pada konsep (Wijaya, 2015) dalam Siswanto (2018), budaya maritim adalah
budaya yang mengedepankan keberanian, kecakapan, keterampilan menghadapi berbagai
masalah, budaya yang pandai membaca tanda kehidupan, tanda-tanda zaman, dengan
keluhuran budi dan kearifan jiwa dan budaya melayani dan mendahulukan rakyat dan
kaum yang lemah baik dalam kondisi yang baik ataupun darurat, dan budaya rela
berkorban demi kepentingan umum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan maritim?
2. Apa saja unsur-unsur budaya maritim?
3. Apa saja kasus yang pernah terjadi terkait dengan budaya maritim?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari kebudayaan maritim
2. Untuk mengetahui unsur-unsur budaya maritim
3. Untuk mengetahui kasus yang pernah terjadi terkait dengan budaya maritim
Bab II
Pembahasan
A. Definisi Kebudayaan Maritim
Menurut (Supartono, 2001), secara sederhana budaya maritim merupakan sebuah
bentuk akstualisasi dari sebuah kebudayaan. Oleh karena itu, definisi budaya maritim
tidak bisa lepas dari definisi kebudayaan secara umum. Supartono (2001) menyatakan
bahwa kebudayaan merupakan kata yang berasal dari kata budhi (tunggal) atau budhaya
(majemuk) yang diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Menurut
Koetjaraningrat dalam Supartono (2001), kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi
pekertinya. Kebudayaan juga merupakan manifestasi dari kehidupan setiap orang dan
kehidupan setiap kelompok orang.

Kebudayaa maritim merupakan salah satu bagian yang termasuk dalam


kebudayaan karena kebudayaan maritim berasal dari hasil pemikiran yang berasal dari
masyarakat yang hidup di wilayah perairan dan pesisir pantai. Kebudayaan maritim juga
dikatakan sebagai kebudayaan kelautan. Pada konsep (Wijaya, 2015) dalam Siswanto
(2018), budaya maritim adalah budaya yang mengedepankan keberanian, kecakapan,
keterampilan menghadapi berbagai masalah, budaya yang pandai membaca tanda
kehidupan, tanda-tanda zaman, dengan keluhuran budi dan kearifan jiwa dan budaya
melayani dan mendahulukan rakyat dan kaum yang lemah baik dalam kondisi yang baik
ataupun darurat, dan budaya rela berkorban demi kepentingan umum.

B. Unsur-unsur Budaya Maritim


1. Bahasa
Bahasa adalah sarana berkomunikasi manusia yang sangat dibutuhkan dalam
berbudaya. Bahkan, Koetjaraningrat berpendapat bahwa bahasa atau sistem
perlambangan manusia baik secara tertulis maupun lisan yang digunakan adalah salah
satu ciri terpenting dari suatu kebudayaan suku bangsa. Keesing berpendapat bahwa
kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya dan mewariskannya ke
generasi penerusnya sangatlah bergantung pada bahasa sehingga dapat disimpulkan
bahwa bahasa memiliki andil yang sangat signifikan dalam menjadi salah satu unsur-
unsur budaya dari kebudayaan manusia.

Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga berperan sebagai alat


penyebarluasan kebudayaan yang memiliki maksud pemindahan ide, gagasan, dan
pola-pola perilaku dari satu kelompok masyarakat kepada kelompok lainnya. Cara-
cara berbahasa dan bertingkah laku masyarakat yang tinggal dan bermukim di
kawasan pesisir ditiru oleh masyarakat yang tidak tinggal atau bermukim di kawasan
pesisir. Ada ungkapan-ungkapan yang muncul dan digunakan di kawasan pesisir pada
awalnya, tetapi kemudian ungkapan itu dipakai secara luas dalam masyarakat
sekalipun mereka tidak tinggal di kawasan pesisir. Misalnya kata laut, lautan, kail,
berombak, garam, dan ikan.

Bahasa setiap kelompok masyarakat berbeda-beda. Sebagai contoh, bahasa orang


Bajo merupakan salah satu dari dialek bahasa Melayu, yaitu dialek "Kubu Laut"
sedangkan bahasa Bali merupakan bahasa Austronesia dari cabang Sundik. Begitu
pula dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang memiliki perbedaan
dalam bahasa-bahasanya.

2. Sistem pengetahuan
Menurut Koetjaraningrat, sistem pengetahuan pada awalnya belum menjadi
pokok pembahasan dari penelitian antropologi (studi budaya) karena para ahli
berasumsi bahwa suatu kebudayaan di luar bangsa Eropa tidak mungkin memiliki
sistem pendidikan yang lebih maju. Tetapi, asumsi tersebut terpatahkan secara lambat
laun karena tidak ada suatu masyarakat yang sanggup berbudaya bahkan bertahan
hidup jika tidak memiliki sistem pengetahuan yang diwariskan kepada penerusnya.

Kebudayaan merupakan pengetahuan yang diikuti oleh masyarakat penganutnya


sehingga sistem pengetahuan dalam konteks kultural universal sangatlah dibutuhkan.
Misalnya, sistem peralatan hidup dan sistem kalender pertanian tradisional atau
sistem pranatamangsa untuk menentukan kaitan tingkat curah hujan dengan kemarau
yang telah digunakan sejak dahulu oleh nenek moyang kita untuk menjalankan
pertaniannya.

Selain itu, sistem pengetahuan dapat pula kita lihat dari orang Bajo yang
kehidupannya di laut telah menciptakan berbagai pengetahuan yang luar biasa tanpa
ada orang yang mengajarinya di lautan. Misalnya, pengetahuan untuk menanam
pohon bakau dan pengambilan sumber daya hayati laut yang sudah ditentukan waktu,
peralatan, daerah penangkapan, dan lain-lain. Semua pengetahuan tersebut mereka
dapatkan dari para pendahulu mereka yang telah berjuang menjawab tantangan alam.

3. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial


Menurut Koetjaraningrat, setiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh
aturan-aturan dan adat istiadat dari kesatuan yang ada di lingkungan sehari-hari
masyarakat tersebut. Satuan terkecil dari kelompok yang menghasilkan aturan dan
adat tersebut adalah keluarga inti. Kemudian, kesatuan lain yang lebih besar dapat
berupa letak geografis, suku, hingga kerajaan ataupun kebangsaan.

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial dapat dilihat melalui beberapa cara
masyarakat melakukan jenis perkawinan (monogami, poligami, poliandri, poligini,
perkawinan kelompok, levirat dan sororat): prinsip menentukan pasangan (prinsip
endogamy, prinsip eksogami); adat menetap (utrolokal, virilocal, uxorilocal, biolokal,
avunlokal, natolokal, neolocal): jenis keluarga (keluarga batin/inti, keluarga konjugal,
keluarga luas).

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi


Peralatan hidup dan teknologi yang digunakan masyarakat akan banyak
memberikan informasi mengenai kehidupan sehari-hari. Menurut Koetjaraningrat,
masyarakat tradisional memiliki tujuh unsur kebudayaan fisik, yaitu :
a. Alat-alat produktif yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan
(contohnya batu untuk menumbuk padi dan alat untuk menenun kain)
b. Senjata untuk berburu binatang, menangkap ikan, melindungi diri dari binatang
buas, dan untuk berperang
c. Wadah untuk menyimpan, memuat dan menimbun barang (contohnya lumbung
padi)
d. Alat menyalakan api yang terus berkembang dari menggesek-gesekan dua buah
batu, menggesekan kayu di atas dedaunan kering, sampai adanya minyak dan
penggunaan gas
e. Jenis dan bahan makanan yang memberikan arti dan simbol khusus bagi
masyarakatnya atau dikaitkan dengan keagamaan tertentu (contohnya babi
diyakini haram oleh kaum muslim sehingga umat Islam tidak akan memiliki tata
cara memasak babi, sebaliknya di Papua babi justru menjadi simbol makanan
penting dan biasa dijadikan mahal dalam pesta pernikahan)
f. Pakaian dan tempat perhiasan yang berfungsi sebagai simbol budaya tertentu yang
mempresentasikan adat istiadat, normal, dan nilai-nilai suku bangsa tersebut,
tempat berlindung dan perumahan yang berbeda setiap kelompok masyarakat
(contohnya masyarakat Jawa membangun rumah dengan jendela yang besar
karena suhu udara tropis yang lembab, sementara masyarakat eskimo justru
memanfaatkan bongkahan es yang tersedia di sekitarnya karena bahan yang
terbatas dan ternyata cara itu berhasil menghindarkan mereka dari kedinginan)
g. Alat-alat transportasi yang berfungsi untuk memindahkan manusia dan barang-
barang hasil dari perekonomian (contohnya dari yang sederhana seperti sepatu,
binatang yang dilatih, alat seret, kereta beroda, rakit, dan perahu sampai yang
modern seperti kereta api, kapal laut, mobil, dan pesawat.
Contoh dalam suatu kelompok masyarakat, misalnya orang Bajo, mereka
menggunakan jarring atau jala yang berukuran besar untuk menangkap ikan agar
hanya ikan-ikan yang besar saja yang tertangkap. Mereka juga membangun rumah
perahu yang disebut leppa atau lepa-lepa.

5. Sistem ekonomi/mata pencaharian hidup


Masyarakat sangat bergantung dengan mata pencaharian hidup karena melalui hal
tersebut masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi pada
masyarakat tradisional meliputi berburu dan meramu, bercocok tanam di ladang,
menangkap ikan, bercocok tanam dengan sistem irigasi. Tetapi, seiring
berkembangnya zaman, masyarakat tidak semuanya bergantung pada mata
pencaharian hidup. Sebagian besar masyarakat mengandalkan keterampilan dan
pendidikan mereka untuk mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan upah dan dapat
menghidupi mereka.

Suatu kelompok masyarakat yang hidupnya 90% berada di laut seperti orang
Bajo, mata pencaharin yang mereka andalkan adalah menjadi Nelayan. Sedangkan
untuk masyarakat yang berada di "darat" dan didukung dengan situasi modern
sekarang, masyarakat lebih banayk mengabdikan dirinya untuk menuntut ke jenjang
pendidikan yang tinggi terlebih dahulu yang nantinya dimanfaatkan untuk mencari
nafkah.

6. Sistem religi
Sistem religi tidak dapat dipisahkan oleh religious emotion atau emosi
keagamaan. Emosi keagamaan adalah perasaan dalam diri manusia yang
mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersiat religious. Emosi
keagamaan ini pula yang memunculkan konsep benda-benda sacral dalam kehidupan
manusia.

Seperti unsur-unsur lainnya, sistem religi setiap kelompok masyarakat berbeda-


beda. Orang Bajo menganggap bahwa laut adalah sesuatu yang sakral. Kebanyakan
dari nelayan Bugis, Bajo, Makassar, dan Madura, mereka menganut Agama Islam,
yang sangat percaya pada kekuasaan Allah. Pada prinsipnya mereka selalu percaya,
bahwa seberapapun hasil tangkapan saat itu, merupakan takdir yang harus disyukuri.
Bagi suku Tamil, meraka percaya kepada Allah karena sebagian besar dari mereka
beragama Islam. Sedangkan bagi masyarakat Jawa, mereka percaya kepada hal-hal
mistis seperti tongkat, kris yang diperlakukan sebagai benda keramat.

7. Kesenian
Aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional dikumpulkan berupa deskripsi
mengenai benda-benda atau artifak yang memuat unsur seni seperti patung, ukiran,
dan hiasan. Awalnya, teknis pembuatan adalah hal yang paling diperhatikan. Tetapi,
seiring perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian mendalam mengenai teks.
simbol, dan kepercayaan yang menyelubungi seni dalam berbagai wujudnya mulai
dari seni rupa, tari, drama dikaji dan diteliti pula.

Sebagai contoh, beberapa kapal dari Jawa, Bali, India dan Cina, banyak memiliki
banyak ukiran, dan gambar binatang di dalamnya. Ukiran dan gambar tersebut, selain
berfungsi sebagai estetika seni, juga memuat makna akan gagasan dunia dan unsur
religi.

C. Kasus yang Pernah Terjadi terkait Kebudayaan Maritim


Sumber :
Kusumastuti, N. M. A., dkk. (2021). Makalah Kubudayaan Maritim Indonesia. Diakses 26
Agustus 2023 dari https://www.coursehero.com/file/146759293/Kebudayaan-Maritim-
Indonesiapdf/
Zakiyah, A. F. P., dkk. (2020). Kebudayaan Maritim. Diakses 25 Agustus 2023 dari
https://id.scribd.com/document/495525997/Kebudayaan-Maritim-Definisi-Wujud-Unsur-
unsur-Budaya-Maritim-dan-Fungsi-Sosialnya

Anda mungkin juga menyukai