0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
130 tayangan5 halaman
1. Interaksi manusia dengan lingkungan membentuk sistem teknologi yang beradaptasi dengan lingkungan alam tertentu, seperti masyarakat Suku Laut di Kepulauan Riau yang mengembangkan teknologi nelayan. 2. Perubahan sistem teknologi berpengaruh pada unsur-unsur budaya lainnya seperti kepercayaan, struktur sosial, pengetahuan, pola pemukiman, kesenian, dan bahasa. 3. Contohnya adal
1. Interaksi manusia dengan lingkungan membentuk sistem teknologi yang beradaptasi dengan lingkungan alam tertentu, seperti masyarakat Suku Laut di Kepulauan Riau yang mengembangkan teknologi nelayan. 2. Perubahan sistem teknologi berpengaruh pada unsur-unsur budaya lainnya seperti kepercayaan, struktur sosial, pengetahuan, pola pemukiman, kesenian, dan bahasa. 3. Contohnya adal
1. Interaksi manusia dengan lingkungan membentuk sistem teknologi yang beradaptasi dengan lingkungan alam tertentu, seperti masyarakat Suku Laut di Kepulauan Riau yang mengembangkan teknologi nelayan. 2. Perubahan sistem teknologi berpengaruh pada unsur-unsur budaya lainnya seperti kepercayaan, struktur sosial, pengetahuan, pola pemukiman, kesenian, dan bahasa. 3. Contohnya adal
Penulis : Alida Bahtiar Jihan Tugas Kuliah Teori Kebudayaan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Interaksi manusia lingkungan melahirkan sistem teknologi yang adaptif terhadap lingkungan alam yang spesifik. Jelaskan dengan contoh bahwa sistem teknologi mata pencaharian berpengaruh juga pada sistem budaya lain seperti: kepercayaan/keyakinan, struktur/organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, pola pemukiman, kesenian dan bahasa dari masyarakat tertentu. Anda dapat memakai contoh dari satu atau beberapa tipe sosial budaya berdasarkan klasifikasi Koentjaraningrat (1994). Secara umum kebudayaan dapat dipahami dalam dua pandangan teori besar, yaitu memahami kebudayaan secara utuh dan memahami kebudayaan sebagai sebuah sistem. Secara garis besar dalam memahami kebudayaan sebagai sistem, terdapat 4 sistem dalam kebudayaan meliputi: kebudayaan sebagai sistem adaptasi, kebudayaan sebagai sistem kognitif, kebudayaan sebagai sistem struktural, dan kebudayaan sebagai sistem simbol. Kebudayaan sebagai sistem adaptasi merupakan konsep pengembangan dari Teori Evolusi. Yang menjadi fokus perhatiannya adalah masalah perubahan kebudayaan. Perubahan dilihat sebagai suatu proses, sedangkan kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem. Perubahan kebudayaan dilihat sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan alam dimana kebudayaan tersebut berada. Dalam proses adaptasi dapat dilihat apakah sistem itu menjaga keseimbangan dalam ekosistem ataukah berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perubahan dari proses adaptasi dapat dimulai dari sistem teknologi mata pencaharian yang berpengaruh pada sistem budaya lain seperti: kepercayaan/keyakinan, struktur/organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, pola pemukiman, kesenian dan bahasa dari masyarakat tertentu. Dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Koentjaraningrat mengklasifikasikan unsur-unsur kebudayaan meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi bahasan adalah sistem teknologi dan peralatan. 2
(Koentjaraningrat,1994:2). Tipe sosial budaya merupakan suatu gambaran dari perwujudan kebudayaan yang dipunyai oleh manusia, sehingga dengan tipe sosial budaya, kita dapat membandingkan antara pola hidup satu masyarakat dengan pola hidup masyarakat lainnya. Kelompok-kelompok tipe sosial budaya di Indonesia, pada dasarnya dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut: (1) tipe sosial budaya berburu meramu; (2) tipe sosial budaya perladangan (ladang bakar); (3) tipe sosial budaya nelayan; (4) tipe sosial budaya ternak; (5) tipe sosial budaya pertanian irigasi dan (6) tipe sosial budaya jasa termasuk di dalamnya perdagangan, transportasi (Koentjaraningrat, dkk., 1994) Interaksi manusia dengan lingkungan melahirkan sistem teknologi yang adaptif terhadap lingkungan alam tertentu. Dalam perspektif kebudayaan, ilmu teknologi memberikan pemahaman mengenai tingkat kecerdasan suatu masyarakat sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Komunikasi dengan individu atau masyarakat lain berperan dalam pencerdasan atau perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Di beberapa tempat yang komunikasi dengan dunia luar relatif kuat, sistem pengetahuannya pun relatif berkembang daripada daerah lain. Teknologi didefinisikan sebagai perilaku yang terlibat dalam pembuatan dan penggunaan artefak yang memberikan makna sebagai refleksi perubahan perilaku manusia. Lingkungan alam tertentu akan mempengaruhi jenis sistem teknologi mata pencaharian tertentu yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti masyarakat di daerah pantai menggunakan teknologi mata pencaharian yang berorientasi kelautan begitu pula dengan masyarakat yang mendiami daerah daratan maka teknologi yang digunakan berorientasi pertanian. Saya mengambil contoh masyarakat Suku Laut pada Daerah Propinsi Kepulauan Riau. Orang Suku Laut secara de facto adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu. Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 25001500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) (Lebar, 1972 dan Liamsi, 1986 dalam Trisnadi, 2002) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak 3
inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Departemen Sosial, 1988 dalam Trisnadi, 2002:3; James Warren, 2003). Kepercayaan/keyakinan. Masyarakat Suku Laut mempunyai kepercayaan animisme dan sebagian dinatara mereka yang telah menganut agama Islam dan Kristen. Perubahan kepercayaan ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden RI pertama Ir. Soekarno yang mengeluarkan kebijakan tanda pengenal berupa KTP (kartu tanda penduduk) bagi setiap warga negara yang telah menginjak usia 17 tahun pada tahun 1951. (Sita Hidayah, 2009:5). Perubahan ini muncul dalam uraian Chou mengenai kehidupan Orang Suku Laut. Ketika petugas kelurahan yang merupakan orang Melayu akan melakukan sensus Orang Suku Laut, mereka diminta untuk menentukan salah satu agama yang dianut, agar mereka tercatat dalam catatan negara (pemerintah daerah). Merujuk kembali pada uraian di atas, dalam praktiknya negara tidak menerima atheisme, seperti yang terjadi pada Orang Suku Laut di Kepulauan Riau ini. Karena, bila mereka tidak beragama, maka mereka tidak akan memiliki KTP dan karena itu pula mereka dianggap bukan orang Indonesia (Chou, 2003:50). Struktur/Organisasi Kemasyarakatan. Merujuk pada gagasan Shelly Errington (1989) dan Benedict Anderson (1972) dengan model sentral-periferi dalam melihat struktur sosial-politik masyarakat Melayu. Seperti analisis Anderson, bahwa masyarakat di luar pusat kekuasaan (pinggiran) harus tunduk, patuh, dan mengacu pada apa yang telah digariskan oleh pusat (yang dalam konteks kebudayaan Jawa adalah keraton), Chou menggambarkan relasi sosial dalam masyarakat Orang Suku Laut Kepulauan Riau diposisikan di area terluar (perferi) dan menempati ranking atau derajat sosial terendah dalam hierarkhi Dunia Melayu. Mereka dianggap bukanlah bagian dari apa yang disebut kaum aristokrat Melayu sebagai umat (nation of Islam) untuk menyebut bangsa Melayu yang homogen. Mereka dianggap bukan umat karena tidak menjalankan adat Melayu, tidak memeluk agama Islam, berbahasa dan berdialek Melayu, serta berpenampilan seperti lazimnya orang Melayu (Chou, 2003; Lenhart, 1997). Pengetahuan. Orang Suku Laut hidup dan berbudaya di atas lautan, mereka lahir, kawin dan mati di lautan. Seperti adat Melayu pada umumnya, Orang Suku Laut mengambil garis ayah sebagai garis keturunannya. Sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil alam laut, Orang Suku Laut mempercayai 4
bahwa memancing di malam hari lebih mudah mendapatkan ikan. Mereka memancing menggunakan perahu kecil sederhana sebagi rumah tinggalnya dan menggunakan perlatan berupa pancing, jala, bubu (perangkap ikan/kepiting) dan tombak. Mereka sangat mempercayai takhayul tentang keramatnya suatu benda atau daerah. Bahkan ketika pergi melaut, mereka menggunakan hitungan tanggal dan weton untuk mengetahui hari keberutungan atau hari naas mereka. Mereka ahli membaca bintang dan bulan sebagai satu-satunya petunjuk di laut selain kompas. Pola pemukiman. Suku Laut mendiami daerah perairan laut sebagian besar mata pencahariannya adalah nelayan yang tinggal di atas rumah perahu dan mereka hidup nomaden sering berpindah dari perairan selat dan muara untuk mengenal sukunya sendiri, mereka cenderung memisahkan diri dari suku yang lain. Hal ini disebabkan oleh cara pandang Orang Suku Laut terhadap daratan yang berbeda dengan orang Melayu. Dalam logika Orang Suku Laut, adalah hal yang tidak masuk akal tinggal di daratan sebab mereka anggap daratan merupakan tempat untuk mengubur jenazah kerabat yang telah meninggal. Karena itu, tanah atau daratan adalah tempat yang kotor, sehingga tidak layak untuk didiami (Chou , 2003). Kesenian. Salah satu bentuk kebudayaan Suku Laut adalah tari campak laut. Tarian ini mirip tarian Melayu yang diiringi musik dipadukan dengan berbalas pantun yang berisi petuah-petuah nenek moyang dalam menjalani hidup. Penari yang tidak bisa membalas pantun dianggap kalah. Bentuk Suku Laut yang lain adalah tari tombak duyung yang dibawakan nelayan dengan memperagakan atraksi menombak duyung di laut. Ada juga tari merek dengan penari yang memakai topi bermantera sambil terus berjoget sampai kerasukan roh nenek moyang. Bahasa. Bahasa yang digunakan Orang Suku Laut saat ini sebenarnya bukanlah bahasa asli mereka, melainkan sudah menggunakan bahasa Melayu, walau jauh berbeda tapi tetap terasa aroma bahasa Melayunya. Bagi masyarakat di Riau mengatakan bahasa suku Laut ini adalah bahasa Melayu kuno. Bahasa asli suku ini sepertinya sudah tergeserkan oleh pengaruh bahasa Melayu yang begitu dominan di Propinsi Kepulauan Riau ini.
5
DAFTAR PUSTAKA
Adeelar, K. Alexander. 2004. Where does Malay come from? Twenty years of discussions about homeland, migrations and classifications, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 160 No: 1. Leiden Bettarini, Y. 1991. Dari Hidup Mengembara Menjadi Menetap: Orang Laut di Pulau Bertam Kotamadya Batam Provinsi Riau. Naskah tesis sarjana Antropologi Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Chou, Cynthia. 1997. Contesting The Tenure of Territoriality: The Orang Suku Laut. dalam Riau in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde. 153 No: 4. Leiden Chou, Cynthia.2003. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku Laut. London: Routledge Curzon. Hidayah, Sita. 2009. Translating Ketuhanan Yang Maha Esa: An Amenable Religious Repertoire. makalah dipresentasikan pada YIF 2009 kerjasama Universitas Sanata Dharma dan Yale University. Koentjaranigrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat (ed.). 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Mundardjito.2008. Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi Terhadap Lingkungan. Bahan Kuliah Teori Kebudayaan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Mundardjito.2008. Cultural Evolution, Historical Particularism, dan Structural- Functionalism. Bahan Kuliah Teori Kebudayaan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.