Anda di halaman 1dari 108

1

BAB I
BUDAYA;
PENGANTAR RINGKAS

A. Pendahuluan
Budaya adalah cerminan suatu bangsa di rasa kalimat tadi
memang benar. Negara Indonesia terdiri dari berbagai
macam pulau dan berbagai macam seni budaya. Kalau
mau di breakdown lagi bisa tambah beragam lagi. Negara
kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dari
Pulau Miangas sampai Pulau Rote, begitu besarnya dan
begitu indahnya. Kepulauan- kepulauan yang membujur di
bumi nusantara ini sangat lah banyak dan memiliki seni
budaya masing- masing yang beragam. Coba kita uraikan
dari ujung barat Indonesia. Pulau Sumatera yang sangat
khas dan memiliki beragam seni budaya ini, memiliki tari-
tarian dan adat istiadat yang unik dan menarik serta
memiliki barbagai tempat yang indah untuk di kunjungi,
dan ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan. Begitu pula dengan pulau- pulau lain di
Nusantara. Kita sebagai bangsa Indonesia harus bangga
dengan apa yang kita punya dan orang lain atau negara
lain tidak punya. Anehnya ada beberapa negara yang
sering mengkliam budaya, sungguh ironi..? sudah banyak
sekali budaya kita yang di klaim mejadi budaya negara itu.
Kita harus waspada akan hal itu dan harus memprotenya
2

denga hak intelektualbudaya, itu harusdilakukan. Tetapi


biar bagaimanapun juga dunia tahu, bahwa itu semua
budaya Indonesia. Banyak rakyat kita yang berimigrasi ke
negara tersebut dan membawa kebudayaan nenek
moyang dan akhirnya terjadilah pembauran budaya,
namun bukan menjadi suatu budaya baru, tetapi budaya
nenek moyang rakyat Indonesia itulah yang diangap
menjadi budaya negara yang sering mengklaim itu.
Indonesia is realy truly Asia.
Indonesia memiliki banyak ragam budaya yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air. Indonesia adalah salah satu
negara yang memiliki paling banyak ragam kebudayaan.
Kebudayaan Indonesia adalah cerminan budaya daerah.
Banyak sekarang ini, beragam budaya asing yang mulai
berinflitrasi dengan budaya daerah dan nasional, hal ini
merupakan sesuatu yang harus diawasi, inflitrasi budaya
asing tersebut nantinya akan berdampak buruk pada
pelestarian budaya daerah dan nasional. Masuknya
budaya asing di Indonesia, di karenakan dari beberapa
faktor yang ada, seperti sudah menglobalnya teknologi
informasi baik itu melalui internet, pertelevisian dan
berbagai macam tempat hiburan yang menawarkan
berbagai macam keindahannya.
Teknologi informasi membuat kita yang hidup di planet ini
terasa lebih dekat satu sama lain, sepertinya tidak ada
batasan jarak dan waktu. Kita dapat menjalin hubungan
dan pertemanan dengan siapa saja dari berbagai negara di
3

dunia. Kita juga dapat mengenal berbagai budaya yang


ada. Terkadang kita terlena dengan budaya yang baru kita
kenal. begitu bermagnetnya budaya asing, sehingga kita
melupakan budaya sendiri. Sebenarnya Orang asing
sendiri bila melihat budaya indonesia juga sangat tertarik
dan akhirnya melanconglah mereka ke negara kita dan ke
berbagai penjuru kepulauan tanah air.
Seharusnya kita bangga dengan budaya yang kita miliki.
Marilah kita mencintai dan melestarikan budaya daerahm
sebagai kekayaan budaya nasional.

B. Hakikat Budaya
Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk
jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti ‘akal’
(Koentjaraningrat, 1974: 80)1. Definisi yang paling tua
dapat diketahui dari E.B. Tylor yang dikemukakan di dalam
bukunya Primitive Culture (1871). Menurut Tylor,
kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia,
termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat-istiadat, dan kebiasaankebiasaan lain (Nyoman Kutha
Ratna, 2005: 5)2. Definisi yang mutakhir dikemukakan oleh
Marvin Harris (1999: 19)3 yaitu seluruh aspek kehidupan
manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara
belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Kecuali itu juga
ada definisi yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
4

manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk


menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong
terwujudnya kelakuan (1981/ 1982: 3). Menurut
Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam: 1)
kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma,
dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan
3) benda-benda sebagai karya manusia (Koentjaraningrat,
1974: 83). Kecuali itu ada pula pengelompokan
kebudayaan menjadi: 1) bahasa; 2) mata pencaharian; 3)
organisasi; 4) ilmu pengetahuan; 5) kehidupan beragama;
6) kesenian; dan 7) teknologi.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat (http://id.wikipedia. org/wiki/Budaya).
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat (Tylor, E.B.: 1974).
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).
5

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149),


disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi,
adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan
dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti
kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi
mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan
(adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah
mengartikan kebudayaan sebagai warisan atau tradisi.
Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata
hidup, way of life, dan kelakuan. Definisidefinisi tersebut
menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah
luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer
membaginya menjadi lima aspek: (1) Kehidupan Spritual;
(2) Bahasa dan Kesustraan; (3) Kesenian; (4) Sejarah; dan
(5) Ilmu Pengetahuan. Aspek kehidupan Spritual,
mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana (candi, patung
nenek moyang, arsitektur), peralatan (pakaian, makanan,
alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti
upacaraupacara (kelahiran, pernikahan, kematian).
Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa
daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu: visual arts dan
performing arts, yang mencakup: seni rupa (melukis), seni
pertunjukan (tari, musik,) seni teater (wayang), seni
arsitektur (rumah, bangunan, perahu); aspek ilmu
pengetahuan meliputi science (ilmu-ilmu eksakta) dan
humanities (sastra, filsafat, kebudayaan, sejarah, dsb.).
6

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian


mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga
macam: 1) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan,
nilai, norma, dan peraturan; 2) kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam
masyarakat; dan 3) benda-benda sebagai karya manusia
(Koentjaraningrat, 1974: 83).

C. Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional


Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang
khas yang terdapat pada wilayah tersebut. Kebudayaan
daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan daerah sama
dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak
terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman
budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin
7

besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan


kebudayaan satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari
ujung pulau Sumatera sampai ke pulau Irian tercatat
sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan
agama yang berbeda.
Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang
dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota,
sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang
lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama
terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat
bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan
tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama
unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan
kebudayaannya sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud
sistem sosial dan sistem kebendaan. Pola khas dari suatu
kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu
menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu
unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus yang
tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan
perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada
pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut Clifford
Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan
menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan
tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari
rumpun bahasa Melayu Austronesia. Kriteria yang
8

menentukan batas-batas dari masyarakat suku bangsa


yang menjadi pokok dan lokasi nyata suatu uraian tentang
kebudayaan daerah atau suku bangsa (etnografi) adalah
sebagai berikut.
 Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa
atau lebih.
 Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan
oleh identitas penduduk sendiri.
 Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh
wilayah geografis (wilayah secara fisik)
 Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh
kesatuan ekologis.
 Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang
mempunyai pengalaman sejarah yang sama.
 Kesatuan penduduk yang interaksi di antara
mereka sangat dalam.
 Kesatuan masyarakat dengan sistem sosial yang
seragam.

Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan berbagai


kebudayaan daerah yang berlainan, terutama yang
berkaitan dengan pola kegiatan ekonomi mereka dan
perwujudan kebudayaan yang dihasilkan untuk
mendukung kegiatan ekonomi tersebut (cultural
activities), misalnya nelayan, pertanian, perdagangan, dan
lain-lain. Pulau yang terdiri dari daerah pegunungan dan
9

daerah dataran rendah yang dipisahkan oleh laut dan


selat, akan menyebabkan terisolasinya masyarakat yang
ada pada wilayah tersebut. Akhirnya mereka akan
mengembangkan corak kebudayaan yang khas dan cocok
dengan lingkungan geografis setempat.
Dari pola kegiatan ekonomi kebudayaan daerah
dikelompokan beberapa macam.
1. Kebudayaan Pemburu dan Peramu
Kelompok kebudayaan pemburu dan peramu ini pada
masa sekarang hampir tidak ada. Kelompok ini sekarang
tinggal di daerah-daerah terpencil saja.

2. Kebudayaan Peternak
Kelompok kebudayaan peternak/kebudayaan berpindah-
pindah banyak dijumpai di daerah padang rumput.

3. Kebudayaan Peladang
Kelompok kebudayaan peladang ini hidup di daerah hutan
rimba. Mereka menebang pohon-pohon, membakar
ranting, daun-daun dan dahan yang ditebang. Setelah
bersih lalu ditanami berbagai macam tanaman pangan.
Setelah dua atua tiga kali ditanami, kemudian ditinggalkan
untuk membuka ladang baru di daerah lain.
10

4. Kebudayaan Nelayan
Kelompok kebudayaan nelayan ini hidup di sepanjang
pantai. Desa-desa nelayan umumnya terdapat di daerah
muara sungai atau teluk. Kebudayaan nelayan ditandai
kemampuan teknologi pembuatan kapal, pengetahuan
cara-cara berlayar di laut, pembagian kerja nelayan laut.

5. Kebudayaan Petani Pedesaan


Kelompok kebudayaan petani pedesaan ini menduduki
bagian terbesar di dunia. Masyarakat petani ini
merupakan kesatuan ekonomi, sosial budaya dan
administratif yang besar. Sikap hidup gotong royong
mewarnai kebudayaan petani pedesaan.
Erat hubungan antara kebudayaan dengan masyarakat
dinyatakan dalam kalimat, “masyarakat adalah orang-
orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan,
sehingga tidak ada masyarakat yang tidak menghasilkan
kebudayaan. Sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa
masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya”. Dalam
pengertian kebudayaan daerah sangatlah sulit, karena
mencakup lingkup waktu dan lingkup daerah geografisnya.
Dalam lingkup waktu dan daerah diartikan sebagai
kebudayaan yang belum dapat pengaruh asing dari
manapun, baik Hindu-Budha, Islam dan Barat. Kebudayaan
11

asli Indonesia menurut Van Leur ada 10 macam


kebudayaan asli:
1. Kemampuan Berlayar
Menurut teori pada umumnya, bangsa Indonesia berasal
dari Vietnam sebagai daerah kedua, sebelumnya dari
tiongkok selatan penyebarannya tentulah mepergunakan
tata pelayaran. Daerah yang dijelajahinya sampai pada
Madagaskar. Sangat mungkin untuk jarak dekat dilakukan
dengan menggunakan rakit sederhana, sedangkan jarak
jauh menggunakan perahu yang bercadik. Cadik
(outriggers) dibuat dari kayu (bamboo) dipasang kiri kanan
perahu, fungsinya mengurangi olengan di laut, inilah salah
satu ciri budaya orang-orang yang berbahasa Austronesia.

2. Kepandaian Bersawah
Budaya bersawah telah dikenal sejak zaman neolitikom.
Kemudian di perbaharui dengan kebudayaan perungu,
sehingga pengolahan sawah lebih intesif.

3. Astronomi
Pengetahuan perbintangan (astronomi) secara sederhana
telah dikenal dalam hubungannya untuk pelayaran demi
mengenal arah,atau pun untuk pertanian. Untuk pelayaran
dipergunakan Gubug Penceng (Zuider Kruis) guna tahu
arah selatan, sedangkan untuk pertanian di kenal Bintang
12

Waluku (Grote Beer) yang bila sudah tampak waktu


tertentu berarti dimulaiinya melakukan cocok tanam di
sawah.

4. Mengatur Masyarakat
Adanya pimpinan terpilih dari masyarakat (primus inter
pares). Orang mempunyai kemampuan paling baik
diantara masyarakat yang ada.

5. Sistem Macapat
Macapat berarti cara yang didasarkan pada jumlah empat
dalam pengaturan masyarakat. Pemimpin berada ditengah
antara Barat, Timur, Selatan, dan Utara. Pada masa
sekarang dikonsepkan sebagai alun-alun yang terdapat
semua daearah.

6. Wayang
Wayang pada mulanya merupakan sarana untuk upacara
kepercayaan. Nenek moyang yang telah meninggal
dibuatkan arca perwujudan. Boneka perwujudan
dimainkan dengan iringan cerita dan nasehat.
13

7. Gamelan
Gamelan merupakan perlengkapan peralatan dalam
upacara adat.

8. Batik
Seni batik dibuat pada kain putih dengan mempergunakan
canting sebagai alat tulisnya, sehingga diperoleh batik
tulis. Kebudayaan batik terdapat pada semua daerah
dengan motif berbeda.

9. Seni Logam
Kerajinan logam sejalan dengan budaya batik dan budaya
gamelan sebagai sarana dua macam sarana tersebut.

10. Perdagangan
Perdagangan pada daerah-daerah kebudayaan dengan
pola sama yaitu sistem barter.
Pada garis besarnya sistem kekerabatan dalam masyarakat
suku-suku bangsa Indonesia memakai sistem kekerabatan
bilateral, yaitu sistem kekerabatan yang mendasarkan
garis keturunan dari ayah dan garis ibu secara berimbang.
Anak-anak yang lahir dapat masuk ke dalam kerabat
14

ayahnya dan kerabat ibunya secara bersama-sama. Sistem


inilah yang banyak berlaku pada kebudayaan daerah di
Indonesia. Sebagian kecil kebudayaan daerah dalam
sistem kekerabatan unilateral matrilineal, yaitu sistem
kekerabatan yang hanya berdasarkan garis ibu saja
(contoh masyarakat Minangkabau). Kebudayaan daerah
lainnya memakai sistem kekerabatan unilareal patrineal,
yaitu sistem kekerabatan yang berdasarkan garis ayah
saja.
Dari uraian di atas kebudayaan daerah secara pengertian
tidak akan terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada.
Tetapi dari berbagai corak kebudayaan tersebut, terdapat
persamaan yang mendasar. Yaitu mengenai tentang
upacara keagamaan semua suku bangsa, mementingkan
upacara-upacara adat yang bersifat religi. Suku bangsa
tersebut lebuh suka unsur mistik daripada berusaha dalam
mencapai tujuan materiil mereka. Hal yang berhubungan
dengan unsur mistik dianut oleh semua kebudayaan
daerah yang ada di Indonesia.
Masih percaya pada takhayul. Dulu dan sekarang
masyarakat daerah di Indonesia percaya kepada batu,
gunung, pantai, sungai, pohon, patung, keris, pedang, dan
lainnya, mempunyai kekuatan gaib. Semua itu dianggap
keramat dan manusia harus mengatur hubungan dengan
baik dengan memberi sesaji, membaca do’a dan
memperlakukannya dengan istimewa. Manusia Indonesia
sering kali menghitung hari baik, bulan baik, hari naas, dan
bulan naas, mereka juga percaya akan adanya segala
15

macam hantu, jurig, genderowo, makhluk halus,


kuntilanak, dan lain-lain. Likantropi, kepercayaan bahwa
manusia dapat mejelma menjadi binatang tertentu
menyebar di nusantara.
Kebudayaan Nasional. Menurut pandangan Ki Hajar
Dewantara tentang kebudayaan nasional yang katanya
“puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Faham
kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan
makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya
berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum
nasional, bahasa nasional. Sebelum Sumpah Pemuda
(1928), Indonesia terdiri dari macam-macam “bangsa”
yang sebenarnya hanya ditingkat suku bangsa. Setelah itu
secara berangsur makin kuat rasa kebangsaan Indonesia
(Indonesia Raya), sehingga waktu Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia (1945), sudah dinyatakan bahwa
proklamasi tersebut dilakukan atas nama bangsa
Indonesia oleh Soekarno-Hatta.
Koentjaraningrat menyebutkannya “yang khas dan
bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa
mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga,
itulah kebudayaan nasional”.pengertian yang
dimaksudkan itu sebenarnya lebih berarti, bahwa puncak-
puncak kebudayaan daerah atau kebudayaan suku bangsa
yang bermutu tinggi dan menimbulkan rasa bangga bagi
orang Indonesia bila ditampilkan untuk mewakili negara
(nation). Misalnya: tari Bali, di samping orang Indonesia
16

merasa bangga karena tari itu dikagumi di negeri, seluruh


dunia juga mengetahuinya. Bali itu letaknya di Indonesia
jadi kesenian itu dari Indonesia. Dalam hal ini juga berlaku
bagi cabang-cabang kesenian lain bagi berbagai suku
bangsa di Indonesia.
Dengan beribu-ribu gugus kepulauan, beraneka ragam
kekayaan serta keunikan kebudayaan, menjadikan
masyarakat Indonesia yang hidup diberbagai kepulauan itu
mempunyai ciri dan coraknya masing-masing. Hal tersebut
membawa akibat pada adanya perbedaan latar belakang,
kebudayaan, corak kehidupan, dan termasuk juga pola
pemikiran masyarakatnya. Kenyataan ini menyebabkan
Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam latar
belakang budaya, etnik, agama yang merupakan kekayaan
budaya nasional dengan kata lain bisa dikatakan sebagai
masyarakat multikultural.
Secara fisik, penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:
a. Golongan orang Papua Melanosoid. Golongan
penduduk ini bermukim di pulau Papua, Kei, dan
Aru. Mereka mempunyai ciri fisik seperti rambut
keriting, bibir tebal, dan berkulit hitam.
b. Golongan orang Mongoloid. Berdiam di sebagian
besar kepulauan Indonesia, khususnya di
kepulauan Sunda Besar (kawasan Indonesia barat),
dengan ciri-ciri rambut ikal dan lurus, muka agak
bulat, kulit putih hingga sawo matang.
17

c. Golongan Vedoid, antara lain orang-orang Kubu,


Sakai, Mentawai, Enggano, dan Tomura, dengan
ciri-ciri fisik bertubuh relatif kecil, kulit sawo
matang, dan rambut berombak.

Dari perbedaan golongan tersebut, ada pola sistem yang


khas dari bangsa Indonesia. Untuk kebudayaan nasional
bisa dihubungkan dengan kebudayaan timur yang menjadi
dasar landasan kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional
dapat dilihat dari pola sistem hidup masyarakatnya,
seperti sifat keramah-tamahan, kekeluargaan, kerakyatan ,
kemanusiaan dan gotong royong. Sifat-sifat inilah yang
dapat dilihat dari kebudayaan nasional yang dilihat oleh
bangsa lain sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Meskipun
gotong royong setiap daerah istilahnya berbeda, tetapi
secara pengertian sama artinya. Bangsa Indonesia
mempunyai peribahasa berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing, sama rata sama rasa. Ungkapan ini
mencerminkan bangsa Indonesia sejak dulu menjunjung
tinggi kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
menikmati hasilnya.
18
19

BAB II
SEKILAS SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

A. Religi dan Falsafah


Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI) adalah kajian ilmiah
terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia dari
setiap periode. Wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak
pulau yang dipisahkan oleh berbagai laut dan selat,
mempunyai jalan perkembangan kebudayaannya yang
tidak seragam. Bahkan dalam satu wilayah pulau pun
terdapat daerah-daerah yang berbeda perkembangan
kebudayaannya, hal itu terjadi karena beberapa sebab
antara lain, (1) budaya luar yang datang ke suatu wilayah
berbeda-beda intensitasnya, dan (2) rentang waktu
(lamanya) suatu budaya luar berpengaruh dalam
masyarakat. Kedua hal itulah yang turut membentuk
perkembangan kebudayaan di Indonesia selanjutnya
hingga dewasa ini. Dalam perkembangan kebudayaan
terdapat unsur kebudayaan yang dipandang mendasari
berbagai perkembangan unsur-unsur lainnya, yaitu religi
yang melahirkan pandangan hidup. Buku SKI jilid pertama
ini membicarakan tentang religi dan falsafah yang
berkembang di Indonesia, tentu saja dalam bentuk ikhtisar
yang ringkas namun diharapkan dapat diapresiasi oleh
khalayak pembaca.
20

Religi dalam bentuk apapun ada di setiap kebudayaan


etnik di dunia, termasuk etnik-etnik Nusantara. Bentuk
religi dalam wujud yang paling awal, adalah menghormati
kekuatan yang mengisi ruang alam ini, baik yang bersifat
positif ataupun negatif dan destruktif. Kekuatan itu hadir
di tengah kehidupan manusia, tidak mengenal bentuk,
karena dapat bersemayam di berbagai tempat seperti
batu, sungai, pohon, lembah, dan sebagainya.
Ketika peradaban telah mulai berkembang, bentuk religi
pun berkembang menyesuaikan diri dengan alam pikiran
manusia. Seorang kepala kelompok dipilih berdasarkan
konsep primus interpares (seseorang yang sangat unggul
di antara mereka para unggulan). Selama menjadi
pemimpin, ketua kelompok itu harus mampu mengadakan
pesta jasa (fiest of merit) kepada seluruh warganya, ia
dapat mendirikan monumen untuk mengenang dirinya,
biasanya berbentuk punden berundak dengan menhir
menancap tegak di puncaknya. Apabila telah meninggal
roh ketua suku tersebut dipandang bersemayam di
puncak-puncak gunung bersama para leluhur lainnya,
sewaktu-waktu roh ketua suku dapat diseru diminta
tolong dan masuk ke dalam menhir sebagai simbol dirinya,
maka lahirlah religi asli Nusantara, yaitu Pemujaan
Terhadap Arwah Leluhur (ancestor worship).
Demikianlah ketika pengaruh agama besar dunia datang
ke tengah-tengah penduduk kepulauan Nusantara di awal
tarikh Masehi, dalam bidang religi nenek moyang kita
21

telah mempunyai dasar yang baik, yaitu telah mampu


mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka
mampu mengatur masyarakat sesuai dengan pandangan
hidup mereka terhadap kekuatan supranatural, mampu
menghasilkan kesenian yang didedikasikan kepada alam
supranatural, dan lain-lain bentuk apresiasi kepada alam
supranatural. Agama Hindu dan Buddha yang diterima
meluas di Jawa, Sumatera, Bali, dan sedikit di Kalimantan
sebenarnya adalah pembungkus belaka dari ritus
pemujaan terhadap arwah leluhur. Agama Islam, Kristen,
Katholik yang datang belakangan mendapat sambutan
yang baik dan berkembang dengan subur di beberapa
wilayah berbeda Nusantara. Mengenai perbedaan
pendalaman agama-agama besar itu terjadi akibat
akulturasi dengan lapisan kebudayaan yang telah
mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini kehidupan
religi di Indonesia berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan
melanjutkan tradisi tetap hidup, di antara etnik-etnik
besar atau pun kecil.

B. Sistem Sosial
Mungkin dari sisi peninggalan-peninggalan masyarakat
prasejarah saja, kita tidak mampu mendapat gambaran
utuh tentang sistem sosial mereka. Tetapi inferensi dari
kehidupan masyarakat terasing yang mirip-mirip
masyarakat prasejarah, maka kita dapat memiliki
22

gambaran kira-kira bagaimana sistem sosial mereka pada


masa lalu.
Masa-masa Hindu Buddha memang masyarakat mampu
mengangkat negeri ini dalam kedudukan yang cukup jaya
atau bergengsi. Juga masyarakat kita saat ini merasa ikut
memiliki peradaban seperti keberadaan kerajaan Sriwijaya
atau Mataram Kuno. Peninggalan dari masa itu juga
sampai saat ini ikut menjadi sumber penghidupan
masyarakat kita masa kini. Wisata datang untuk melihat
apa produk peradaban kita masa tersebut. Semua
merupakan bukti bahwa sistem sosial kita pada masa lalu
tidak jelek-jelek amat dan bahkan mampu mengangkat
dan menghasilkan karya-karya monumental yang dapat
dibanggakan.
Masa kekuasaan Islam, memang mungkin membanggakan
bagi sementara, karena seolah ada keberhasilan dari
penyebar agama tersebut menanamkan kekuasaan di
negeri ini. Masyarakat yang dianggap kafir bisa diubah dan
menjadi agamis. Agama Islam menjadi rujukan dari tata
nilai atau seluruh tindakan-tindakan sosial di negeri ini.
Beberapa kesultanan bahkan didirikan oleh bangsa Arab
atau setidak-tidaknya mengadopsi nama-nama Arab
sebagai pertanda mereka adalah Islam. Istilah sulthan
menjadi julukan untuk penguasa di berbagai kerajaan kecil
yang mampu bertahan. Pertikaian antarkelompok
mewarnai kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh, penganut
Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh buku produk Hamzah
23

Fansyuri dibakar. Pengikut Ar Raniri yang orang Arab dari


Kerala mempertahankan kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa kebanyakan merujuk pada satu
dewan wali yang kita kenal sebagai Walisongo, beberapa
nama seperti Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, kyai Pandan Aran menjadi
tokoh yang sangat dikagumi hingga masa kini. Di Sulawesi
ada kenangan khusus pada salah satu tokoh Islam karena
dianggap sebagai symbol perawanan pada kaum kafir,
orang Belanda, yakni Syeh Yusuf yang dibuang ke Afrika
Selatan.
Pada masa Islam ini, bangsa Indonesia belum berhasil
membangun sesuatu yang bermakna, mungkin satu-
satunya peninggalan kerajaan Islam yang tersisa adalah
lahirnya Serat Centhini di Jawa. Sebuah ensiklopedi yang
cukup tebal, mungkin hanya tertandingi oleh La Galigo dari
Sulawesi Selatan yang mungkin diciptakan pada masa
Sawungaling. Masyarakat tidak mampu bersatu
menghasilkan karya-karya monumental seperti masa-masa
sebelumnya.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia benar-benar
merupakan masa paling gelap, karena bangsa ini benar-
benar sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk
berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita
hanya bisa kagum bagaimana bangsa Jepun mampu
bertahan dan melakukan restorasi yang terkenal dengan
24

restorasi Meiji dan menyejajarkan kedudukan Jepang


dengan bangsa-bangsa Barat.
Di kemudian mungkin orang-orang yang bisa dikategorikan
pada kelompok abangan ini mampu melahirkan ide-ide
yang cemerlang untuk bangsa. Kita semua kenal nama-
nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau bahkan
Bung Karno.
Di kemudian dari tokoh-tokoh demikian kita menanam
jalur kearah kemerdekaan dan mungkin pembebasan
bangsa ini dari segala bentuk penjajahan baik fisik,
ekonomi dan mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang menyerah pada sekutu, bangsa
Indonesia merasa bebas dan padu mendirikan negara yang
kita kenal, yakni Indonesia dengan Undang-undang Dasar
1945 dan landasan falsafah yang kita kenal sebagai
Pancasila.
Dari perjalanan sejarah kita, jelas terlihat ada masa-masa
di mana kita mampu membuat prestasi yang luar biasa,
tetapi justru mungkin suatu pertanyaan besar, di mana
salahnya bangsa ini. Mampukah kita menghasilkan
monumen-monumen seperti Borobudur atau kita hanya
akan membuat monumen-monumen impian?
25

C. Seni Rupa dan Desain


Sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang berumur
tua, seni rupa telah dibuat di negeri ini sejak masa
prasejarah, seperti terlihat pada lukisan-lukisan gua di
Sulawesi Selatan dari masa prasejarah awal yang umurnya
diperkirakan antara beberapa ratus hingga beberapa ribu
tahun. Di samping lukisan, di masa itu juga dibuat arca-
arca, perhiasan, pakaian, tembikar, dan anyaman. Pada
masa prasejarah akhir, di samping tetap membuat patung,
para seniman membuat benda-benda logam seperti kapak
corong (candrasa), genderang (nekara), dan barang-barang
kerajinan. Keterampilan membuat arca ini terus
berkembang selama berabad-abad hingga kemudian para
seniman Indonesia dapat merespon dengan kreatif
pengaruh seni rupa Hindu-Buddha yang datang secara
berangsur-angsur dari India dan menancapkan
pengaruhnya yang kuat di Indonesia. Bahkan bangsa
Indonesia mampu menciptakan karya-karya yang sangat
bagus dengan ciri-ciri yang berbeda dengan karya-karya
yang dibuat di India. Candi Borobudur dan Prambanan
dengan patung-patung dan relief-relief masing-masing
adalah dua contoh penting yang bisa dikemukakan di sini.
Seperti yang diterangkan dalam bab mengenai seni rupa
Hindu-Buddha, sejumlah ilmuwan Barat telah mencoba
mencari bentuk bangunan di India yang mungkin menjadi
sumber pengaruh terhadap Borobudur, tetapi mereka
tidak berhasil menemukannya. Ketika pengaruh seni rupa
Cina masuk ke Indonesia, ada respon kreatif dari para
26

seniman Indonesia. Tetapi respon ini bisa dianggap sangat


terbatas karena seni rupa Cina di Indonesia bersifat agak
eksklusif. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bangsa
Cina tidaklah seerat hubungan antara bangsa Indonesia
dan bangsa India serta bangsa-bangsa dari beberapa
negara Timur Tengah yang mewakili kebudayaan Islam. Di
samping itu, secara historis penyebaran pengaruh
kebudayaan Islam lebih kuat daripada pengaruh
kebudayaan Cina, sehingga seni rupa Islam lebih
berkembang daripada seni rupa Cina. Sebagai contoh, di
berbagai tempat di Indonesia banyak seniman Islam yang
mampu menciptakan karya-karya seni kaligrafi Islami.
Sementara itu, seni kaligrafi Cina secara umum hanya
dibuat oleh para seniman dari etnis Cina. Sikap kreatif ini
juga dilanjutkan ketika pengaruh seni rupa Barat/Modern
masuk ke Indonesia hingga sekarang ini. Karena
kebudayaan Barat/Modern mewakili kebudayaan yang
paling maju, maka pengaruhnya sangat luar biasa di
Indonesia. Pengaruh ini terutama sangat menonjol dalam
bidang seni lukis. Sejak para seniman Belanda
mengenalkan teknik melukis dengan cat minyak di masa
penjajahan, kegemaran para seniman Indonesia untuk
menggunakan media ini tidak bisa dibendung. Penciptaan
karya seni lukis menjadi sangat produktif, apalagi adanya
komodifikasi telah memungkinkan lukisan-lukisan dijual
dengan harga sangat mahal. Ini mengikuti tren yang
berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Dewasa ini
harga sebuah lukisan. Sejak sekitar setengah abad yang
27

lalu bidang desain juga berkembang di Indonesia,


terutama desain interior, desain grafis, dan desain produk.
Dari ketiga cabang desain ini, desain produk agak kurang
berkembang karena harus bersaing dengan produk-produk
dari Jepang, Korea, Eropa, dan Amerika Serikat. Desain
interior berkembang cukup baik, sedangkan desain grafis,
karena berkaitan erat dengan periklanan, berkembang
paling pesat.

D. Arsitektur
Arsitektur itu hasil budaya yang terungkap melalui hasil
karyanya yang kita kenal sebagai bangunan. Buku ini
membahas karya arsitektur yang berada di Indonesia
mulai dari penelusuran jejak prasejarah hingga pelacakan
masa pemerintahan Orde Lama setelah Indonesia
Merdeka. Pemaparan mulai dengan mengenalkan
penulisan sejarah arsitektur yang berubah penekanan di
saat ini. Kemudian akar budaya Austronesia mengawali
pembahasan tentang karya arsitektur dengan meninjau
bangunan mukiman kehidupan sehari-hari di Nusantara.
Pertemuan dengan budaya India dan Cina menyusul
dengan mengusung tindak kebudayaan yang menghasilkan
jejak-jejak jenis bangunan pemujaan seperti candi, kuil
dengan asrama beserta hunian yang terkait, dan dalam
batas tertentu jejak kota. Pertemuan dengan Islam
meninggalkan jenis bangunan masjid, keraton, kota,
taman, dan benteng. Perkenalan dengan budaya Eropa
28

membuka babak baru budaya membangun di Nusantara


dengan berbagai jenis bangunan baru seperti: gudang,
stasiun kereta api, bandar udara, kantor perdagangan,
bandar udara, dan gereja. Kesadaran berbangsa
mengantarkan bangsa ini ke pembentukan Negara
Kesatuan Indonesia yang memerlukan bangunan-
bangunan bermakna, seperti monumen untuk
membangkitkan semangat berjuang dan bersatu, serta
kemudian mewariskan berbagai bangunan moderen
seperti yang sebagaimana kita saksikan juga di masa kini.
Para penulis Jilid ini berupaya mengajukan alasan di balik
kehadiran sebuah karya dengan menyimak latar belakang
sosial, politik, ekonomi, dan perkembangan teknologi
pelaku pembangunan dalam kadar yang berbeda, sesuai
dengan bahan yang dapat mereka himpun dan olah.
Kumpulan tulisan dalam Jilid ini lebih bersifat
mengenalkan keadaan karya arsitektur dalam tautan
budaya melalui narasi yang menjangkau pembaca umum
secara lebih luas. Jilid ini akan lebih lengkap dengan karya-
karya arsitektur setelah pemerintahan Orde Baru sebatas
jarak pandang sejarah, yaitu yang sesuai bukti andal dan
dapat ditafsirkan oleh sejarawan sebagaimana diangkat
pada awal Jilid ini di masa kini. Oleh sebab itu, Jilid ini
bersifat masih terbuka dan senantiasa mengundang
masukan agar para penganggung jawab isi dapat
memutakhirkan isi dan tafsirannya sesuai dengan bukti
baru dan pembacaan absah. Besar harapan para penuis
kelengkapan yang masih perlu diungkap dapat segera
29

hadir di hadapan pembaca sehingga dinamika


berarsitektur dalam khasanah bangsa ini dapat
diwacanakan lebih jauh lagi.

E. Seni Pertunjukkan dan Seni Media


Buku ini mencoba memaparkan perkembangan seni
pertunjukan di Indonesia, dari waktu yang sejauh mungkin
dapat diketahui di masa silam, hingga ke masa kini. Yang
disebut seni pertunjukan, yang pada pokoknya berupa tari,
musik, dan teater, adalah segala bentuk ekspresi seni yang
di pergelarkan, artinya senantiasa berada di dalam ruang
dan memerlukan waktu untuk kelangsungannya. Maka,
untuk zaman-zaman pra-rekaman kita tak mungkin dapat
mengetahui dengan tepat bagaimana wujud sajian-sajian
seni pertunjukan itu, dan oleh karena itu hanya dapat
mengandalkan informasi tak langsung dari data artefaktual
dan data tekstual. Data artefaktual yang dapat digunakan
untuk menghampiri macam-macam pertunjukan di masa
lalu adalah khususnya yang berbentuk arca, relief, gambar,
dan foto. Dari data tersebut dapat diduga berbagai jenis
informasi seni pertunjukan di masa lalu, seperti: tarian
macam apa saja yang dikenal, instrumen musik apa saja
yang dikenal, bagaimana bentuk seni teaternya kalau ada,
serta konteks sosial bagi berbagai macam pertunjukan
tersebut. Adapun data tekstual jenis prasasti dan karya
sastra untuk zaman Hindu-Buddha, karya sastra dalam arti
luas untuk zaman Islam (yang dalam banyak satuan
30

wilayah bertumpang tindih dengan zaman Kolonial), serta


sastra dan berbagai publikasi umum di zaman Kolonial dan
zaman Indonesia Merdeka. Pada dasarnya, pengetahuan
mengenai seni pertunjukan masa lalu, khususnya dari
masa pra-rekaman, didasarkan pada rekonstruksi dengan
memadukan data artefaktual dan data tekstual. Dengan
demikian, rekonstruksi semacam itu hanya dapat
dilakukan berkenan dengan zaman sejarah yang memiliki
data tekstual, dan tak mungkin dilakukan berkenaan
dengan zaman prasejarah. Maka seni yang dapat diketahui
dari zaman prasejarah hanyalah seni rupa, dan tak
mungkin seni pertunjukan.
Adapun Seni Media (Rekam) adalah ekspresi seni yang
bentuk akhirnya dicapai setelah lebih dahulu melalui
proses perekaman, baik rekaman auditif, visual, maupaun
audio-visual. Bentuk seni golongan ini baru dimungkinkan
setelah tercapainya temuan-temuan teknologi khusus
untuk menyangganya. Film adalah yang paling tipikal
dalam kelompok Seni Media (Rekam) ini. Pada dasarnya
temuan-temuan baru itulah yang telah memungkinkan
berkembangnya apa yang kemudian disebut industri
budaya, atau sekarang lebih populer dengan sebutan
industri kreatif, yaitu suatu ranah kegiatan budaya yang
sekaligus juga ekonomi, yang memungkinkan produksi dan
penjualan besar-besaran.
Melintasi berbagai zaman dalam sejarah kebudayaan
Indonesia dapat disimak adanya berbagai fungsi dari seni
31

pertunjukan. Fungsi-fungsi itupun dapat pula mengalami


perubahan sejalan dengan terjadinya perubahan-
perubahan tata politik dan ikutan-ikutannya dari zaman ke
zaman. Suatu klasifikasi umum mengenai fungsi seni
pertunjukan dapat di ajukan, untuk digunakan sebagai
semacam check list dalam menyimak masing-masing
zaman yang sedang dipelajari. Dalam menyimak masing-
masing zaman itu pun perlu senantiasa dipertanyakan,
apakah di dalam sistem sosial dan sistem politik yang
sedang berlaku pada zaman tersebut terdapat pembedaan
yang jelas antara tata sosial-budaya yang ada di pusat dan
yang ada di pinggiran. Kalau pembedaan itu ada, maka
fungsi-fungsi pun dapat diharapkan akan menunjukkan
perbedaan di kedua kancah tersebut. Secara umum,
fungsi-fungsi seni pertunjukan dapat diperbedakan antara
: (a) fungsi religius; (b) fungsi sosial (dan politik); (c) fungsi
edukatif; (d) fungsi estetik; (e) fungsi ekonomik; dan (f)
fungsi hiburan/rekreasional.

F. Bahasa, Sastra, dan Aksara


Dalam buku ini dibicarakan tiga unsur budaya yang saling
erat berhubungan karena saling memastikan
ketersimpanan hasil pemikiran dan kehidupan spiritual
suatu masyarakat, yaitu bahasa, sastra, dan aksara.
32

1. Bahasa
Bahasa adalah suatu kemampuan alamiah yang
dianugerahkan kepada umat manusia. Sedemikian
alamiahnya sehingga kita tak menyadari bahwa tanpa
bahasa umat manusia tak mungkin mempunyai peradaban
yang di dalamnya termasuk agama, ilmu pengetahuan,
dan teknologi. Bahasa merupakan suatu properti yang
lekat secara biologis pada manusia, dan hampir semua
aktivitas manusia memerlukan bahasa.
Asia merupakan wilayah yang memiliki bahasa terbanyak
dibandingkan dengan wilayah benua yang lain, yaitu 2.034
bahasa atau sekitar 31% dari semua bahasa di dunia.
Berdasarkan penuturnya, gambarannya juga sangat
bervariasi. Ada bahasa yang penuturnya ratusan juta
orang, hingga bahasa-bahasa yang penuturnya tinggal satu
orang. Comrie (2003: 19) mencatat bahwa bahasa ibu yang
jumlah penuturnya 50 juta orang atau lebih di seluruh
dunia diperkirakan hanya ada 20 bahasa. Di antaranya
bahasa Jawa menduduki peringkat ke-9.
Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan, yaitu tahun
1938, 1954, 1963, dan 1974. Berdasarkan tekad yang
dicetuskan dalam Kongres Pemuda 1928, yaitu bahwa
Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, di Solo 25-28
Juni diadakan Kongres Bahasa Indonesia dengan tujuan
untuk mencari pegangan bagi semua pemakai bahasa dan
didukung penuh oleh Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan
33

Dr. Poerbatjaraka, dua orang ilmuwan Indonesia yang


terkemuka.
Pembakuan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan antara
lain pembaruan ejaan. Pembakuan yang diutarakan
meliputi aspek (1) fonologis, (2) morfologis, dan (3)
sintaksis. Pertumbuhan bahasa dari bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia diuraikan pula dalam jilid ini.

2. Sastra
Sastra tradisional Indonesia bersumberkan manuskrip dan
tradisi lisan, ditulis dan dilisankan dengan bahasa daerah.
Kekayaan manuskrip Nusantara terdapat dalam 13 bahasa
daerah, disuratkan dalam berbagai jenis tulisan. Tidak
semua sastra tradisional yang berbahasa daerah berhasil
melewati masa peralihan ke zaman modern dengan
selamat; sebagian harus hilang dari panggung
kesusastraan, karena tidak berlanjut sebagai sastra
modern. Sastra Indonesia di zaman modern lahir dari
keragaman budaya di wilayah Indonesia dan memiliki
corak dan kehidupannya sendiri, ditingkahi oleh berbagai
budaya suku dan bangsa yang bertanah air Indonesia.

3. Aksara
Sistem aksara India dan Arab merupakan sumber berbagai
sistem aksara yang terdapat di Indonesia mulai dari abad
34

ke-5 sampai abad ke-19, dan baru memudar dengan


meluasnya aksara Latin. Sistem aksara India beranak-pinak
menjadi berbagai jenis tulisan, di antaranya tulisan Sunda,
Batak, dan Bugis, sedangkan ortografi Arab melahirkan
antara lain pegon dan buri wolio. Dengan merambahnya
percetakan dan tulisan Latin, Indonesia memasuki dunia
budaya modern, yang sekaligus berarti matinya budaya
manuskrip.

G. Sistem Teknologi
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang
dimiliki manusia sebagai mahluk sosial, yang terdiri atas
perangkat-perangkat model pengetahuan dan yang secara
selektif dapat digunakan, baik untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan yang dihadapi maupun untuk
mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang
diperlukan. Dengan kata lain, kebudayaan digunakan
manusia untuk mengadaptasikan dirinya dengan
lingkungan tertentu (alam dan sosial budaya) agar mereka
dapat senantiasa melangsungkan hidupnya sesuai dengan
kebutuhan biologis, sosial dan psikologis. Untuk itulah
manusia menciptakan sistem teknologi yang tidak lain
merupakan strategi adaptif dalam menghadapi lingkungan
yang berbeda, dan yang senantiasa berubah-ubah. Sistem
teknologi tersebut tidak saja berkaitan dengan sistem
mata pencarian, tetapi juga terkait dengan sistem budaya
lainnya seperti kepercayaan, kekerabatan dan organisasi
35

sosial, kesenian, serta bahasa dan struktur sosial. Interaksi


antara kebudayaan dan lingkungan tersebut mewujudkan
pola hidup suatu tipe masyarakat tertentu.
Sebagai satu masyarakat yang besar, Indonesia mengalami
perjalanan sejarah teknologi yang panjang dan beraneka
ragam sesuai dengan bentuk-bentuk pola hidup yang
dijalaninya dalam lingkungan yang berbeda dan dalam
kurun waktu yang berbeda pula. Teknologi sebagai salah
satu unsur kebudayaan yang paling dekat hubungannya
dengan lingkungan alam dapat memberi kemungkinan
kepada manusia untuk memanfaatkan dan mengubah
sumber daya alam menjadi peralatan, makanan, pakaian,
rumah dan produk lain, serta fasilitas-fasilitas yang
diperlukan dan diinginkan manusia.
Buku ini memberikan gambaran mengenai sistem
teknologi dari masyarakat berburu-meramu, masyarakat
berladang-pindah, masyarakat beternak, masyarakat
nelayan, masyarakat bertani-irigasi, serta masyarakat
industri barang dan jasa dalam perspektif masa lalu dan
masa kini, yang merupakan perwujudan dari kemampuan
manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang
berada di sekitarnya.
36

H. Sistem Pengetahuan
Dalam perspektif sejarah kebudayaan, sistem
pengetahuan merupakan sistem yang memberikan
pemahaman mengenai tingkat kecerdasan suatu
masyarakat sesuai dengan konteks ruang dan waktunya.
Pada dasarnya tingkat kecerdasan individu atau
masyarakat, sangat tergantung kepada individu atau
masyarakat itu sendiri. Artinya perkembangan
kebudayaan, khususnya sistem pengetahuan, ditentukan
oleh masyarakat yang menjadi pendukung atau penghayat
kebudayaan tersebut. Kontak atau komunikasi dengan
individu atau masyarakat lain diakui turut berperan dalam
proses pencerdasan atau perkembangan kebudayaan
suatu masyarakat. Akan tetapi sifatnya lebih banyak
sebagai pemberi inspirasi atau motivasi bagi masyarakat
bersangkutan untuk mengubah dirinya, masyarakatnya,
sehingga budayanya berkembang, atau berubah sesuai
dengan kehendaknya, sekaligus mencerminkan jati dirinya
sebagai pendukung budaya tersebut. Oleh karena itu,
sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang
berkembang di kepulauan Indonesia sangat variatif.
Sejak masa prasejarah sampai dengan masa kolonial,
perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai
tempat di kepulauan Indonesia kelihatan berbeda. Di
beberapa pulau yang kontak atau komunikasiya dengan
dunia luar relatif kuat, sistem pengetahuannya pun relatif
berkembang melebihi daerah lainnya. Meskipun
37

kolonialisme itu pada dasarnya berdampak buruk, namun


di satu sisi juga menguntungkan termasuk dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Di Jawa yang relatif
dijajah lebih intensif dibandingkan dengan daerah lain,
justru paling banyak terjadi pengembangan ilmu
pengetahuan. Hal ini antara lain karena faktor komunikasi
tadi.
Seperti halnya pada masa sebelum kemerdekaan, daerah-
daerah yang sebelumnya memiliki tingkat penyerapan dan
perkembangan ilmu pengetahuan lebih cepat semakin
berkembang seiring dengan adanya pembangunan di
hampir seluruh wilayah Republik Indonesia. Hingga kini,
berbagai institusi pendidikan dan pusat-pusat komunikasi
masih terkonsentrasi di beberapa wilayah sehingga ilmu
pengetahuan relatif lebih cepat berkembang di wilayah-
wilayah tersebut.
38
39

BAB III
KEBUDAYAAN INDONESIA

D. Budaya Indonesia
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional,
kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang
telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada
tahun 1945.
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui
sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional
menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah
perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan
merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia
untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai
bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan
makna pada pembangunan nasional dalam segenap
bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian
Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang
berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli
bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: P&K, 199 ”
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar
Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan
daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham
40

kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan


makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya
berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum
nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan
oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya:
“yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun
asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan
menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”.
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan
penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-
tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan
eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional
terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal
32 dan munculnya ayat yang baru. Sebelum di
amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk
mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-
kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-
puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan
kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai
kebudayaan bangsa yang sudah berada pada posisi yang
memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu
dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan mengalami
persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur
kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta
unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.
kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar
Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan
41

daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham


kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan
makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya
berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum
nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan
oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya:
“yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun
asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan
menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”.
Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan
daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa
menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika
ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus
Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan
penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-
tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan
eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional
terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal
32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka
mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh
kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan
nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua
istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan
kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah
kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat
sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh
Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri
dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada
pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa
42

Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur


pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan
menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya
terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan
asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.

E. Kebudayaan Daerah
Kebudayaan daerah tercermin dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia.
Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
Berikut ini beberapa kebudayaan Indonesia berdasarkan
jenisnya:
1. Rumah adat
Berikut adalah daftar rumah adat di Indonesia:
a. Aceh: Rumoh Aceh, Rumah Krong Bade; Sumatera
Utara: Rumah Balai Batak Toba, Rumah Bolon,
Omo Sebua (Nias); Sumatera Barat: Rumah
Gadang, Uma (Mentawai); Riau: Selaso Jatuh
Kembar, Lontiok; Kepulauan Riau: Rumah Belah
Bubung; Jambi: Rumah Panggung, Rumah Betiang;
Bangka Belitung: Rumah Rakit; Bengkulu: Rumah
Bubungan Lima; Sumatera Selatan: Rumah Limas,
Rumah Ulu; Lampung: Nuwo Sesat;
b. Jakarta: Rumah Kebaya (Rumah Bapang) dan
Rumah Gudang
c. Jawa Barat dan Banten: Rumah Kesepuhan
d. Yogyakarta: Bangsal Kencono; Jawa: Joglo (Jawa
Tengah dan Jawa Timur), Tanean Lanjhang
(Madura)
43

e. Bali: Gapura Candi Bentar; Nusa Tenggara Barat:


Rumah Dalam Loka Samawa (Lombok); Nusa
Tenggara Timur: Lopo, Sao Ata Mosa Lakitana,
Rumah Musalaki
f. Kalimantan Barat: Rumah Panjang; Kalimantan
Selatan : Rumah Banjar; Kalimantan Tengah:
Rumah Betang; Kalimantan Timur: Rumah Lamin;
Kalimantan Utara: Rumah Baloy
g. Sulawesi Selatan: Bola Soba (Bugis Bone), Balla
Lompoa (Makassar Gowa); Sulawesi Barat:
Tongkonan (Tana Toraja); Sulawesi Tenggara:
Istana Buton, Laikas; Sulawesi Utara: Rumah
Bolaang Mongondow; Sulawesi Tengah: Souraja;
Gorontalo: Bandayo Po Boide, Dulohupa
h. Maluku: Balieu (dari bahasa Portugis); Maluku
Utara: Sasadu
i. Papua: Honai; Papua Barat: Kambik (suku Moi),
Rumsram (Biak), Jew (Asmat), Harit (Maybrat-
Teminabuan), Kun (suku-suku sekitar DAS
Mamberamo-Sarmi)

2. Upacara Adat
Upacara adat merupakan suatu bentuk tradisi yang
bersifat turun-temurun yang dilaksanakan secara teratur
dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam
bentuk suatu rangkaian aktivitas permohonan sebagai
ungkapan rasa terima kasih. Selain itu, upacara adat
merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan
masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal, bernilai
sakral, suci, relijius, dilakukan secara turun-temurun serta
menjadi kekayaan kebudayaan nasional.
44

Unsur-unsur dalam upacara adat meliputi: tempat


upacara, waktu pelaksanaan, benda-benda/peralatan dan
pelaku upacara yang meliputi pemimpin dan peserta
upacara.
Jenis-jenis upacara adat di Indonesia antara lain: Upacara
kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan, pemujaan,
pengukuhan kepala suku dan sebagainya.
Beberapa upacara adat tradisional yang dilaksanakan
masyarakat antara lain:
a. Sumatera: Peucicap di Aceh, Peusijuek dapu di
Aceh, Peutron Aneuk di Aceh, Tabuik di Sumatera
Barat, Balimau di Sumatera Barat, Makan bajamba
di Sumatera Barat, Basuh lantai di Kepulauan Riau,
Mandi safar Melayu di Kepulauan Riau, Ratif
saman di Kepulauan Riau, Tepuk tepung tawar di
Kepulauan Riau.
b. Jawa: Seren taun di Jawa Barat, Mitoni, tedak siti,
ruwatan, kenduri, grebegan di Jawa Tengah,
Yogyakarta dan Jawa Timur, Dugderan oleh
masyarakat Semarang, Kasodo oleh masyarakat
Tengger
c. Kalimantan: Ritual tiwah masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah, Aruh baharin di Kalimantan
Selatan
d. Sulawesi: Mapasilaga tedong suku Toraja, Rambu
solo suku Toraja
e. Nusa Tenggara: Ngaben di Bali, Nelu bulanin di
Bali, Pasola sumba di Pulau Sumba; Maluku: Kololi
kie di Maluku Utara, Pukul sapu di Maluku, Abdau
di Maluku; Buka sasi lompa di Maluku
45

f. Papua: Barapen atau Bakar batu di Papua,


Sanepen di Biak

3. Tarian
Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan
keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia.
Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di Indonesia: dapat
terlihat dari akar budaya bangsa Austronesia dan
Melanesia, dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri
tetangga di Asia bahkan pengaruh barat yang diserap
melalui kolonialisasi. Setiap suku bangsa di Indonesia
memiliki berbagai tarian khasnya sendiri; Di Indonesia
terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Tradisi kuno
tarian dan drama dilestarikan di berbagai sanggar dan
sekolah seni tari yang dilindungi oleh pihak keraton atau
akademi seni yang dijalankan pemerintah.
Untuk keperluan penggolongan, seni tari di Indonesia
dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori. Dalam
kategori sejarah, seni tari Indonesia dapat dibagi ke dalam
tiga era: era kesukuan prasejarah, era Hindu-Buddha, dan
era Islam. Berdasarkan pelindung dan pendukungnya,
dapat terbagi dalam dua kelompok, tari keraton (tari
istana) yang didukung kaum bangsawan, dan tari rakyat
yang tumbuh dari rakyat kebanyakan. Berdasarkan
tradisinya, tarian Indonesia dibagi dalam dua kelompok;
tari tradisional dan tari kontemporer.
46

4. Lagu
Lagu daerah atau musik daerah atau lagu kedaerahan,
adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu daerah
tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat
daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya
pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias noname.
Lagu kedaerahan mirip dengan lagu kebangsaan, namun
statusnya hanya bersifat kedaerahan saja. Lagu
kedaerahan biasanya memiliki lirik sesuai dengan bahasa
daerahnya masing-masing seperti Manuk Dadali dari Jawa
Barat dan Rasa Sayange dari Maluku.
Selain lagu daerah, Indonesia juga memiliki beberapa lagu
nasional atau lagu patriotik yang dijadikan sebagai lagu
penyemangat bagi para pejuang pada masa perang
kemerdekaan.
Perbedaan antara lagu kebangsaan dengan lagu patriotik
adalah bahwa lagu kebangsaan ditetapkan secara resmi
menjadi simbol suatu bangsa. Selain itu, lagu kebangsaan
biasanya merupakan satu-satunya lagu resmi suatu negara
atau daerah yang menjadi ciri khasnya. Lagu Kebangsaan
Indonesia adalah Indonesia Raya yang diciptakan oleh
Wage Rudolf Soepratman.

5. Musik
Identitas musik Indonesia mulai terbentuk ketika budaya
Zaman Perunggu bermigrasi ke Nusantara pada abad
ketiga dan kedua Sebelum Masehi. Musik-musik suku
tradisional Indonesia umumnya menggunakan instrumen
perkusi, terutama gendang dan gong. Beberapa
47

berkembang menjadi musik yang rumit dan berbeda-beda,


seperti alat musik petik sasando dari Pulau Rote, angklung
dari Jawa Barat, dan musik orkestra gamelan yang
kompleks dari Jawa dan Bali
Musik di Indonesia sangat beragam dikarenakan oleh
suku-suku di Indonesia yang bermacam-macam, sehingga
boleh dikatakan seluruh 17.508 pulaunya memiliki budaya
dan seninya sendiri. Indonesia memiliki ribuan jenis musik,
kadang-kadang diikuti dengan tarian dan pentas. Musik
tradisional yang paling banyak digemari adalah gamelan,
angklung dan keroncong, sementara musik modern adalah
pop dan dangdut.

6. Seni Sastra
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi
berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah
"Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling
melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah
poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang
dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara
luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya
berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia
adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka
sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di
wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa
negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei),
demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
48
49

BAB IV
PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL
A. Kebudayaan Indonesia : Suatu Proses Awal
1. Timbulnya Rasa Persatuan Bangsa
Indonesia mempunyai sejarah tertulis yang dimulai sejak
abad ke-4 M. Pada dasarnya, penduduk Indonesia
dianggap terdiri dari masyarakat dengan kebudayaan -
kebudayaan sukubangsa lokal yang hanya sedikit
berhubungan satu dengan yang lain. Ketika kepulauan
nusantara menjadi satu bagian yang integral dalam
perdagangan Asia, dengan rute perdagangan yang
merentang dari Asia Barat Daya dan Asia Selatan ke
Tiongkok, dan ketika pada abad ke-4 dan ke-5 rempah-
rempah dari kepulauan Indonesia, seperti merica, cengkeh
dan pala, menjadi komoditi penting dalam ekonomi dunia
kuno, keterlibatan dalam perdagangan rempa-rempah
meningkatkan mobilitas antarpulau di kalangan penduduk
nusantara. Mereka yang tinggal di daerah-daerah strategis
dalam jaringan perdagangan antarapulau, seperti Sulawesi
Selatan, pantai timur dan barat Pulau Jawa, Sumatra
Selatan, Malaka dan Aceh, kemudian tampaknya menjadi
negara-negara atau kerajaan-kerajaan dagang kecil.
Tergantung keadaan, mereka mungkin telah mengalami
persaingan keras namun merupakan negara-negara
tetangga yang bekerja sama pula. Negara-negara ini
terpusat pada kota-kota pelabuhan, dan pada umumnya
tidak memiliki daerah pedalaman yang luas maupun
50

penduduk yang padat. Namun negara- negara tersebut


mempunyai armada dagang yang besar, yang terdiri dari
perahu-perahu bercadik dan dilengkapi dengan layar
lebar.
Koentjaraningrat (1993) mengemukakan sekurangnya ada
tiga keadaan dalam sejarah nasional di atas yang
menggambarkan kesatuan antara negara-negara kecil
tersebut yang di masa lalu tidak terlibat konflik antar
sukubangsa, dan menyebabkan bangsa Indonesia dan para
pemimpin mereka selalu mengacunya dengan tujuan
untuk meningkatkan integrasi sukubangsa dan kesatuan
nasional masa kini.
a. Dua buah kerajaan Indonesia telah mempersatuan
secara sosial ekonomi (mungkin juga politik)
negara-negara kecil yang sebelumnya saling
bersaing, ialah kerajaan Sriwijaya pad abad ke-7 m
dan 8 M, yang pusatnya di Sumatra Selatan, dan
kerajaan Majapahit pada abad ke-14 M yang
berpusat di Jawa Timur.
b. Seluruh rakyat Indonesia telah mengalami
dominasi kolonial kerajaan Belanda dari negara
Eropa selama tiga setengah abad, suatu kenyataan
yang memberikan mereka rasa penderitaan yang
sama.
c. Selama pergerakan nasional untuk kemerdekaan
antara tahun 1920-an sampai dengan 1930-an,
pemuda Indonesia telah menolak menonjolkan isu
51

kesukubangsaan; dan pada tahun 1928 memilih


bahasa dari satu sukubangsa kecil, yaitu bahasa
Melayu., dan bukan bahasa-bahasa dari
sukubangsa Jawa yang penduduknya paling besar.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 para perwakilan
segenap masyarakat Indonesia yang menyatakan
diri sebagai pemuda indoensia yang berikrar
sebagai satu bangsa : bangsa Indonesia; satu tanah
air : tanah air Indonesia; satu bahasa : bahasa
Indonesia.

2. Persebaran Masyarakat dan Budaya di Indonesia


Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas
kurang lebih 3.000 pulau yang tersebar disuatu daerah
ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke
barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan,
merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap terciptanya pluralitas sukubangsa di Indonesia.
Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini
mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai
emigran dari daerah yang sekarang kita kenal sebagai
daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira 2.000 tahun
sebelum masehi, keadaan geografis serupa itu telah
memaksa mereka untuk harus tinggal menetap di daerah
yang terpisah-pisah satu sama lain.
Isolasi geografis yang demikian di kemudian hari
mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau
52

atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara ini tumbuh


menjadi kesatuan sukubangsa yang sedikit banyak
terisolasi dari kesatuan sukubangsa yang lain. Tiap
kesatuan sukubangsa terdiri dari sejumlah orang yang
dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta
memandang diri mereka masing-masing sebagai suatu
jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil ,
mereka pada umumnya memiliki bahasa dan warisan
kebudayaan yang sama. Lebih daripada itu, mereka
biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka
memiliki asal-usul keturunan yang sama, satu kepercayaan
yang seringkali di dukung oleh mitos-mitos yang hidup di
dalam masyarakat.
Tentang berapa jumlah sukubangsa yang sebenarnya ada
di Indonesia, ternyata terdapat berbagai-bagai pendapat
yang tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan.
Hidred Geertz (1981), misalnya, menyebutkan adanya
lebih dari 300 sukubangsa di Indonesia, masing-masing
dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda.
Skinner, menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa
menurut kajian induk bahasa dan adat yang tidak sama.
Van Vollenhoven (1926), mengemukakan sekurangnya ada
19 daerah pemetaan menurut hukum adat yang berlaku
walaupun angka-angka tersebut dimaksudkan untuk
menggambarkan keadaan pada puluhan tahun yang lalu;
akan tetapi dengan perkiraaan bahwa angka kelahiran dan
angka kematian selama ini memiliki rata-rata yang sama
bagi kebanyakan sukubangsa yang ada di Indonesia, maka
53

angka-angka tersebut di atas barangkali masih dapat


menggambarkan keadaan masa kini.

3. Pengaruh Budaya Asing


Akulturasi adalah perubahan besar yang terjadi dalam
kebudayaan sebagai akibat adanya kontak antar
kebudayaan yangberlangsung lama. Hal itu terjadi apabila
ada kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan
berbeda saling berhubungan secara langsung dan intensif.
Hal tersebut mengakibatkan timbulnya perubahan-
perubahan besar pada pola kebudayaan pada salah satu
kelompok atau keduanya. Perubahan kebudayaan akibat
adanya proses akulturasi tidak mengakibatkan perubahan
total pada kebudayaan yang bersangkutan, hal ini
disebabkan karena ada unsur-unsur kebudayaan yang
masih bertahan, masyarakatpun ada yang menerima
sebagian atau mengadakan penyesuaian dengan unsur-
unsur kebudayaan yang baru. Sejarah panjang perjalanan
hidup masyarakat Indonesia ditandakan dengan
banyaknya berhubungan dengan masyarakat asing seperti
Cina, India, Persia, Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang;
keberadaanmereka ternyata banyak meninggalkan unsur-
unsur kebudayaan yang kemudian beberapa darinya
diadopsikan dalam budaya lokal.
54

a. Pengaruh India (Hindu - Budha).


Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat
Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha
dari India sejak 400 tahun sebelum masehi. Hinduisme dan
Budhaisme, pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang
cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan
kebudayaan asli yang telah lama hidup. Namun demikian
terutama di pulau Jawa dan pulau Bali pengaruh agama
Hindu dan Budha itu tertanam dengan kuatnya sampai
saat ini. Cerita seperti Mahabharata atau Ramayana
sangat populer sampai sekarang, bahkan pada beberapa
sukubangsa seperti Sunda, Jawa, atau Bali, pengaruh
cerita-cerita itu sudah dianggap sebagai bagian atau ciri
dari kebudayaannya; beberapa film Indonesia ternyata
banyak yang berorientasi pada sifat-sifat film India, yaitu
antara bernyanyi dan menari; musik dangdut yang
demikian populer untuk lapisan masyarakat tertentu, bisa
dikatakan berakar dari kebudayaan India. Pengaruh yang
paling menonjol dari agama Hindu bisa ditemukan pada
masyarakat Bali, walaupun ada sedikit-sedikit perbedaan
karena tentunya unsur budaya asli masih dipertahankan,
namun pengaruh agama Hindu tertanam kuat pada
kepercayaan masyarakat Bali.
55

b. Pengaruh Kebudayaan Islam


Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyatrakat
Indonesia sejak abad ke 13, akan tetapi baru benar-benar
mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang
abad ke 15. Pengaruh agama Islam terutama memperoleh
tanah tempat berpijak yang kokoh di daerah-daerah di
mana pengaruh agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat.
Di daerah Jawa tengah dan Jawa Timur, dimana pengaruh
agama Hindu dan Budha telah tertanam dengan cukup
kuat, suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat sincretic
dianut oleh sejumlah besar penduduk di kedua daerah
tersebut, dimana kepercayaan animisme- dinamisme
bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha dan
Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki
Indonesia pada permulaan abad ke 17 dan terutama pada
akhir abad ke 19 itupun tidak berhasil mengubah
keadaaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama
Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang telah
merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu
Bali masih tetap merupakan daerah pengaruh agama
Hindu.
Harsoyo (1999) menyebutkan bahwa praktik penyebaran
agama Islam itu melalui dua proses, yaitu melalui
mekanisme perniagaan yang dilakukan oleh orang-orang
India dari Gujarat dan orang-orang Persia, dan yang kedua
melalui penguasaan sentra-sentra kekuasaan di pulau
Jawa oleh orang-orang Pribumi yang telah memeluk
56

agama Islam; dengan proses yang cukup rumit ini tidak


mengherankan kalau kemudian terdapat beberapa
perbedaan proses penyerapan agama Islam ini di
Indonesia. Untuk orang-orang yang tinggal di daerah
pesisir agak berbeda dengan orang-orang yang tinggal di
pedalaman; untuk orang-orang yang telah kuat memeluk
agama Hindu dan Budha agak berbeda dengan orang-
orang yang lebih longgar darinya; untuk yang
menerimanya dari orang-orang Gujarat agak berbeda
dengan pengaruh Persia; bahkan menurut seorang peneliti
Amerika tentang kebudayaan-kebudayaan di Indonesia,
Clifford Geertz (1982), keberadaan agama Islam pada
suatu masyarakat Jawa Tengah itu dilaksanakan menurut
tiga lapisan masyarakat, yaitu agama Islam yang hidup
pada kelompok bangsawan yang disebutnya sebagai
Priyayi, Islam yang hidup pada kelompok rakyat
kebanyakan yang disebutnya sebagai Abangan, dan Islam
yang hidup pada anggota-anggota kelompok pesantren
sebagai pusat pengkajian agama Islam yang disebut Santri.

c. Pengaruh Kebudayaan Barat.


Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat
Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada
permulaan abad ke 16, kedatangan mereka ke tanah
Indonesia ini karena tertarik dengan kekayaan alam
berupa rempah-rempah di daerah kepulauan Maluku,
rempah-rempah ini adalah sebagai barang dagangan yang
57

sedang laku keras di Eropa pada saat itu. Kegiatan


misionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka,
dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama
Katolik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil
mendesak bangsa Portugis untuk meninggalkan Indonesia
pada sekitar tahun 1600 M, maka pengaruh agama Katolik
pun segera digantikan oleh pengaruh agama Protestan.
Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di
dalam soal agama jika dibandingkan dengan bangsa
Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Proterstan
hanya mampu memasuki daerah-daerah yang
sebelumnyaa tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama
Islam dan agama Hindu, sekalipun bangsa Belanda berhasil
menanamkam kekuasaan politiknya tidak kurang selama
350 tahun lamanya di Indonesia.
Dalam proses kontak antara unsur-unsur budaya yang satu
dan budaya yang lain, terjadilah saling mempengaruhi
(interaksi) antara kebudayaan itu, dalam proses interaksi
itulah akan timbul permasalahan tentang perubahan
kebudayaan, yaitu makin melemahnya nilai-nilai budaya
sendiri. Begitu juga apabila interaksi dengan budaya asing
sangat kuat padahal sebenarnya tidak sesuai dengan
kepribadian budaya bangsa kita. Dalam konteks
modernisasi, suatu keadaan yang sarat dengan peniruan
gaya hidup asing, karena orang ingin disebut modern maka
mereka tidak segan-segan untuk meniru gaya hidup
masyarakat Barat, walau mungkin untuk sebagian besar
masyarakat nilai-nilainya dianggap bertentangan.
58

B. Pluralisme Masyarakat dan budaya Indonesia


1. Bangsa Indonesia
Persekutuan hidup yang dikenal sebagai bangsa (nation)
adalah suatu ikatan solidaritas dan loyalitas antar sesama
anggota yang terdiri atas sejumlah besar pelaku yang
menganggap diri dan dianggap mewakili suatu
persekutuan hidup tertentu, apapun ras, sukubangsa,
agama, ideologi politik, dan kewarganegaraannya. Dalam
kenyataannya, tidak semua orang yang dianggap orang
Indonesia memang menganggap diri orang Indonesia dan
sebaliknya; tidak semua orang yang menganggap diri
orang Indonesia dianggap orang Indonesia oleh semua
orang Indonesia lain. Keadaan demikianlah yang
mengakibatkan adanya masalah persatuan dan kesatuan
Indonesia.
Konsep Indonesia sendiri, sebenarnya mengacu kepada
konsep bangsa negara/ nation- state. Konsep bangsa
(nation)merupakan konsep yang berada diantara konsep
negara dan masyarakat. Konsep bangsa dibangun atas
dasar rasa identitas komunal yang mempunyai sejarah
tradisi yang relatif sama dan berelemen utama
kebudayaan, yang mendiami unit geografi yang
teridentifikasikan/disepakati bersama (David Robertson,
1993). Sedangkan nation-state sendiri mengacu kepada
konteks dimana ada unit geografi area tertentu sebagai
tanah air bagi orang-orang yang mengidentifikasikan
dirinya sebagai komunitas, karena mempunyai
59

kebudayaan, sejarah, dan mungkin bahasa serta karakter


etnik, yang dibangun oleh sistem politik (David Robertson,
1993). Dalam nation-state ini, konsep kesepakatan
mengacu kepada kesepakatan yang bersifat politis.
Sebagai suatu bangsa-negara, Indonesia dibangun atas
dasar kesepakatan bersama masyarakat yang berdiam dari
Sabang hingga Merauke. Suatu masyarakat yang merasa
mempunyai kebudayaan, bahasa, etnik karakter, dan
sejarah yang relatif sama,
Harsya Bachtiar (1994), seorang ahli Sosiologi Indonesia,
mengatakan bahwa bangsa Indonesia memperoleh para
anggotanya melalui dua sumber utama , yaitu (1) suku-
suku bangsa pribumi di wilayah Republik Indonesia, dan
(2) golongan-golongan penduduk yang berasal dari luar
kepulauan Indonesia, murni maupun peranakan, yang
kemudian menetap di wilayah Republik Indonesia.
Sehingga menjadi kebetulan kelompok-kelompok etnis
yang bersepakat tersebut, berada dalam satu kesatuan
administrasi kolonial yang sama, yaitu hindia belanda.
Sesuatu yang menjadi daya perekat kesatuan bangsa
Indonesia ketika itu adalah keseluruhan faktor-faktor
teritorial, etnik dan budaya. Mereka disatukan oleh
semangat kebangsaan Indonesia ketika merebut
kemerdekaan, hingga kemudian merdeka. Semangat
kebangsaan yang bersifat obyektif ( kewilayahan, sejarah,
dan struktur ekonomi) dan subyektif (kesadaran,
kesetiaan, dan kemauan) ada dalam diri etnik-etnik
60

tersebut. Semangat kebangsaan itu lalu berfluktuatif


dengan keadaan kondisi Indonesia dari masa ke masa
(Pelly, 1998: 30-31).

2. Sukubangsa di Indonesia
Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat bisa
menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh
orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan.
Seroang warga dari suatu kebudayaan hidup dari hari ke
hari didalam lngkungan kebudayaannya biasanya tidak lagi
melihat corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaaan
tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama
mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan
kebudayaannnya sendiri. Corak khas dari suatu
kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu
menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa satu unsur
kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus; atau karena
diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang
khusus; atau dapat juga karena warganya menganut suatu
thema budaya yang khusus. Sebaliknya, corak khas tadi
juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur-
unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khusus
tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan
yang lain.
Konsep yang tercakup dalam istilah sukubangsa adalah
suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
61

identitas akan kesatuan kebudayaan, dimana kesadaran


dan identitas ini biasanya dikuatkan oleh kesatuan bahasa;
kesatuan kebudayaan ini bukan suatu hal yang ditentukan
oleh analisa fihak diluar kebudayaan itu sendiri melainkan
oleh warga kebudayaan yang bersangkutan. Dengan
demikian kebudayaan Bali merupakan suatu kesatuan,
yang berbeda dengan kebudayaan Tengger, atau
kebudayaan Jawa, atau kebudayaan Lombok, dimana
orang-orang Bali sendiri sadar bahwa diantara mereka ada
keseragaman pada kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali
yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus,
berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan tetangganya itu.
Apalagi adanya bahasa Bali yang berbeda dengan bahasa-
bahasa lain yang lebih memperkuat kesadaran akan
kepribadian khusus tadi. Dalam istilah umum, konsep
tentang sukubangsa ini disebut sebagai „ ethnicgroup'
atau „kelompok etnik'.

C. Perspektif Kebhinekaan Masyarakat dan


Kebudayaan di Indonesia
Harsja Bactiar (1994) menggambarkan bahwa dalam istilah
resmi dan untuk sejumlah kepentingan administratif
praktis, pemerintah Indonesia membagi sukubangsa di
Indonesia menjadi tiga golongan, ialah : (1) sukubangsa;
(2) golongan keturunan asing; dan (3) masyarakat terasing.
Semua sukubangsa memiliki daerah asal dalam wilayah
Indonesia, sedangkan golongan keturunan asing tersebut
62

dalam butir (2) tidak memilikinya karena daerah asal


mereka terdapat diluar wilayah Indonesia (Cina, Arab,
India, Eropa), atau karena keturunan percampuran (Indo-
Eropa), dalam perkembangannya kemudian mereka
dihadapkan pada dua alternatif, akan menjadi warga
negara Indonesia dengan segala konsekuensinya, atau
kembali ke negara asalnya dan tetap dianggap sebagai
warga asing; kecuali orang keturunan Eropa, maka
sukubangsa seperti keturunan Cina, Arab , dan India
kemudian banyak yang menjadi warga negara Indonesia.
Masyarakat terasing dianggap penduduk yang masih hidup
dalam taraf kebudayaan sederhana, dan biasanya masih
tinggal dalam lingkungan yang terisolasi.
Undang-undang Dasar 1945 mengakui perbedaan
sukubangsa yang besar di antara penduduk Indonesia dan
menjamin persamaan status bagi semua sukubangsa yang
ada di negara ini, tanpa melihat besarnya penduduk
masing-masing sukubangsa. Semua sukubangsa
mempunyai hak yang sama untuk mengembangkan
kebudayaan dan bahasa mereka masing-masing,
membentuk pusat-pusat kebudayaan mereka sendiri,
museum, dan lain-lain namun bahasa yang digunakan
dalam pendidikan resmi adalah bahasa Indonesia,
meskipun selama tiga tahun peertama bahasa daerah
masih digunakan di sekolah.
63

1. Kebudayaan dalam perspektif Suku bangsa


Kebhinekaan etnolinguistik yang luas dari penduduk
Indonesia dimulai sejak masa silam; Hildred Geertz (1981),
seorang ahli Antropologi tentang Indonesia, menyatakan
bahwa dari sekitar 300 sukubangsa yang ada di Indonesia,
sekurangnya ada 250 bahasa daerah yang dipergunakan;
Geertz membagi pengunaan bahasa daerah itu menjadi
tiga klasifikasi, yaitu (1) kelompok keluarga bahasa Melayu
Polinesia, yaitu bahasa-bahasa yang digunakan diseluruh
kepulauan Indonesia Barat dan Tengah, (2) kelompok
keluarga bahasa Halmahera Utara, dan (3) kelompok
keluarga bahasa-bahasa Papua, termasuk didalamnya
kelompok Ambon-Timor, Sula-Bacan, dan kelompok
Halmahera selatan serta Papua. Pengaruh-pengaruh
sejarah kebudayaan yang beraneka-warna yang selama
berabad-abad dialami oleh penduduk nusantara ini di
berbagai daerah, telah menambah keanekaragaman itu.
Daerah-daerah tertentu telah dipengaruhi oleh unsur-
unsur kebudayaan dari India, Persia, Arab, Cina, dan Eropa
Barat, yang menyebabkan perubahan dasar dalam
kebudayaan masyarakat yang telah beranekaragam itu,
yang terdapat di berbagai daerah di kepulauan nusantara.

2. Kebudayaan dalam perspektif keturunan asing


Tidak seperti sukubangsa, penduduk yang termasuk
sebagai golongan keturunan asing pada umumnya
64

diharapkan dapat berasimilasi dengan sukubangsa di


daerah tempat mereka berada atau sepenuhnya
menganut kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan
nenek moyang mereka hanya untuk dianut dalam
kehidupan pribadimereka. Orang Arab Indonesia dengan
nyata telah mencapai asimilasi ini, dan mereka hanya
dibedakan dari penduduk asli melalui ciri-ciri ras mereka,
sedangkan orang India Indonesia dan orang Indo-Eropa
sangat kecil dan tak penting jumlahnya, dan mereka
terintegrasi atau menganut kebudayaan leluhurnya dalam
pergaulan pribadi saja. Sebaliknya, orang keturunan Cina,
pada umumnya hidup di daerah perkotaan dan
mendominasi sektor ekonomi perkotaan masyarakat kota,
sehingga mendudukan mereka pada kategori sosial yang
sangat penting dalam masyarakat.
Dalam pada itu, mengikuti pengertian sukubangsa
sebagaimana tersebut di atas, baik orang-orang Tionghoa
yang datang terdahulu, ataupun mereka yang datang
kemudian secara suka rela melalui media perdagangan,
maupun yang didatangkan oleh kolonial Belanda yang
maksudnya diperbantukan dalam sektor perdagangan,
agaknya tidak bisa lagi dilihat sebagai kelompok luar
masyarakat; keberadaan mereka di bumi Indonesia ini
telah turun menurun untuk beberapa generasi,
menganggap diri sebagai penduduk di negeri ini,
memutuskan untuk kemudian menetap secara utuh
dengan berusaha melebur dalam budaya Indonesia; walau
masih ada ikatan-ikatan emosional dengan negeri
65

leluhurnya, tercermin dalam beberapa unsur kebudayaan


yang masih kuat melekat dalam kehidupannya, namun
karena secara fisik tidak ada lagi hubungan-hubungan
dengan tanah asal mereka atau orang-orang yang tinggal
di sana, maka lambat laun orang-orang Tionghoa ini lebih
mengakui sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
daripada masyarakat Tionghoa. Walaupun secara
kuantitas (jumlah jiwa) sedikit, akan tetapi umumnya
kedudukan mereka sangat kuat di sektor ekonomi dan
sangat berpengaruh pada hubungannya dengan
sukubangsa-sukubangsa lain di Indonesia , yang sebagai
keseluruhan biasanya ditempatkan sebagai golongan
pribumi.

3. Kebudayaan dalam perspektif masyarakat terasing


Masyarakat terasing merupakan golongan sukubangsa
yang terisolasi yang masih hidup dari berburu, meramu
atau berladang padi, keladi dan umbi-umbian dengan cara
ladang berpindah, mereka membuka hutan melalui
penggunaan teknik peladangan bakar. Biasanya mereka
terhambat dari perubahan dan kemajuan karena isolasi
geografi mereka, namun kadang-kadang juga karena
upaya-upaya mereaka sendiri yang disengaja, untuk
menolak bentuk perubahan kebudayaan apapun, seperti
halnya orang Baduy di Banten.
66

Banyak warga masyarakat terasing kini mulai


mengintegrasikan diri mereka dalam kebudayaan nasional
Indonesia, dan kebudayaan tradisional mereka menghilang
dengan cepat. Koentjaraningrat (1993) mengemukakan
beberapa golongan masyarakat terasing yang masih
tinggal adalah : (1) orang laut yang bersifat pengembara,
sebagaimana yang tercatat dalam karangan-karangan
etnografi; (2) Orang Darat, yang hidup tersebar di daerah
dataran rendah berawa di Sumatra Timur hingga ke kaki
Bukit Barisan di pedalaman; (3) Penduduk kepulauan
Mentawai, pulau-pulau di sebelah Sumatra Barat; (4)
Orang Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat; (5) Orang
Donggo, di bagian pedalaman pegunungan Sumbawa
Timur; (6) kelompok pengembara orang Punan (atau
Penan) yang berpindah-pindah di sepanjang hulu sungai-
sungai besar di Kalimantan; (7) Orang Tajio, di Sulawesi
Tengah; (8) Orang Amma Toa di Sulawesi Tenggara; (9)
Orang Togutil di Halmahera Utara, dan (10) penduduk
lembah-lembah pegunungan Tengah di Irian Jaya serta
mereka yang hidup di hulu-hulu beberapa buah sungai
besar.

4. Kebudayaan dalam perspektif hukum adat


Seorang sarjana Belanda C. Van Vollenhoven (1948)
membedakan kebudayaan sukubangsa Indonesia
berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat dari
masing- masing sukubangsa yang tersebar di Indonesia;
67

Van Vollenhoven membagi lingkaran- lingkaran itu ke


dalam 19 daerah hukum adat, yaitu yang meliputi : Aceh,
Gayo-Alas dan Batak (termasuk Nias dan Batu),
Minangkabau (termasuk Mentawai), Sumatera Selatan
(termasuk Enggano), Melayu, Bangka dan Biliton,
Kalimantan (termasuk Sangir-Talaud) Gorontalo, Toraja,
Sulawesi Selatan, Ternate, Ambon Maluku (termasuk
kepulauan Barat Daya), Irian, Timor, Bali dan Lombok,
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Surakarta dan Yogyakarta,
dan Jawa Barat.

5. Kebudayaan menurut kompleksitas : desa - kota


Persebaran masyarakat di Indonesia sangat beragam,
namun sekurangnya ada dua bentuk masyarakat menurut
perkembangan budaya yang ada; bentuk pertama adalah
tipe masyarakat dengan intensitas interkasi yang terbuka
sehingga memudahkan mereka untuk mengembanngkan
kebudayaannya, yang termasuk dalam tipe ini adalah
masyarakat perkotaan, juga disebut juga sebagai
masyarakat kompleks dan modern, serta cenderung
heterogen; bentuk kedua adalah tipe masyarakat yang
relatif terisolasi sehingga intensitas interaksi dengan
masyarakat lain cenderung kurang bahkan sangat
terbatas, yang termasuk dalam tipe ini adalah masyarakat
pemburu dan peramu (tribe) dan masyarakat pedesaan,
yang juga disebut sebagai masayarakat sederhana dan
68

tradisional, dan kehidupannya cederung homogen


(Boelaars, 1984).
kedua bentuk masyarakat ini sebenarnya adalah satu
rumpun budaya, namun karena ada karakteristik tertentu
yang berbeda dari kedua persekutuan hidup ini sehingga
masing-masing dibedakan menurut kebudayaannya.
Perbedaan itu adalah sebagai suatu keadaan tentang
bagaimana masing-masing mereka mensikapi alam
sekitarnya, dan dari perbedaan ini kemudian memberikan
pengaruh terhadap seperangkat aspek kehidupan yang
lain. Masyarakat modern tidak menggunakan alam sebagai
dasar penghidupannya, sehingga mereka tidak tergantung
pada alam, sedangkan masyarakat tradisional
menggunakan alam sebagai dasar penghidupannya
sehingga mereka sangat tergantung pada alam sekitar
tempat hidupnya.

D. Kebudayaan Indonesia : Kebudayaan Nasional


Sejak tahun 1945, Indonesia beserta seluruh penduduknya
telah menyatakan diri dan diakui oleh hampir seluruh
Negara yang ada di dunia sebagai suatu Negara yang
merdeka dan berkedaulatan; tahun 1945 sebenarnya
adalah proses kesinambungan dari tahun-tahun
sebelumnya yang dimulai dari berbagai pemikiran dan
pergerakan sebelum tahun 1928 yang secara resmi seluruh
penduduk pribumi Indonesia menyatakan diri sebagai satu
69

bangsa : bangsa Indonesia; satu tanah air : tanah air


Indonesia; satu bahasa : bahasa Indonesia, yang semuanya
dituangkan dalam kesepakatan para pemuda Indonesia
pada saat itu : Sumpah Pemuda. Pernyataan diri ini secara
tersirat mengandung pengertian bahwa pada saat itu
mulai timbul benih-benih kesepakatan hidup bersama dari
segenap masyarakat pribumi untuk mengacu pada satu
nilai-nilai yang sama yang dalam konteks ini disebut
sebagai kebudayaan - kebudayaan bersama, kebudayaan
nasional.
Pada saat-saat menjelang kemerdekaan, keinginan untuk
merdeka dari penguasaan orang asing (Belanda) dan hak
untuk menentukan nasibnya sendiri sedemikian kuat,
sampai-sampai segenap orang seolah melupakan
perbedaan yang tajam diantara mereka apakah itu latar
belakang budaya (kelompok etnik), agama, ras, golongan
dan perbedaan lain yang dalam keadaan normal
sebenarnya sangat potensil sebagai sumber pertentangan.
Setelah kemerdekaan, semangat untuk menjungjung nilai-
nilai persatuan dan kesatuan dijadikan modal dasar dalam
menggalang kehidupan bersama dan bernegara, hanya
saja sekarang tujuannya tidak lagi membebaskan diri dari
cengkraman penjajahan asing melainkan meneruskan cita-
cita perjuangan untuk menjadi Negara dan bangsa
Indonesia yang kuat dan besar sesuai dengan nilai-nilai
hakiki seperti yang tertuang dalam Pancasila dan UUD
1945.
70

Konsep tentang kebudayaan Indonesia yang kemudian


diperjelas menjadi kebudayaan nasional (Indonesia) atau
kebudayaan bangsa bukan merupakan pembahasan baru
dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia. Pada
tahun 1930 para intelektual dan pemerhati sosial di
Indonesia telah mulai berembuk dan berusaha
menemukan konsep yang paling tetap untuk kebudayaan
nasional ini; keajegan konsep kebudayaan nasional ini
dianggap penting karena selain didalamnya termuat
berbagai pedoman nilai juga mencerminkan simbol
identitas bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945
sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 32 menyatakan
bahwa Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut
menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat
sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan
bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.
71

dan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dinyatakan


sebagai :.
Sebagai perwujudan pembangunan berwawasan
nusantara, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993
mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dengan latar belakang berbagai bahasa dan
kebudayaan daerah serta memeluk dan meyakini berbagai
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti
seluas-luasnya. Selanjutnya, diamanatkan pula bahwa
budaya bangsa pada hakikatnya satu, sedangkan corak
ragam budaya menggambarkan kekayaan budaya bangsa
yang merupakan modal dan landasan pengembangan
budaya bangsa seluruhnya dengan tidak menolak nilai-
nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai
budaya bangsa yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh
bangsa. Budaya bangsa Indonesia yang dinamis yang telah
berkembang sepanjang sejarah bangsa serta bercirikan
kebhinnekaan dan keekaan bangsa merupakan modal
dasar bagi pembangunan nasional.
Untuk merumuskan konsep tentang kebudayaan nasional
dari masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini
bukanlah hal yang mudah. Berbagai perumusan dan
pendapat tentang konsep kebudayaan nasional kemudian
muncul dan menimbulkan polemik; untuk lebih
mempermudah penggambaran kebudayaan nasional ini
maka kerangka berpikir kebudayaan dapat dianalisa
72

menurut alur substansi, orientasi, dan fungsi mungkin bisa


dijadikan sebagai dasar acuan.

1. Substansi
Dalam hal ini kebudayaan nasional dilihat dari segi isi
kebudayaan itu sendiri, yang menurut beberapa
pemerhati kebudayaan dinyatakan sebagai berikut :
Poerbatjaraka, menganjurkan agar orang Indonesia banyak
mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat
membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan
Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan
Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia
Ki Hajar Dewantara, menyatakan bahawa kebudayaan
nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan
daerah.

2. Orientasi
Dalam perspektif orientasi budaya, dimaksudkan bahwa
budaya nasional itu mencirikan satu arah tujuan bangsa
Indonesia yang jelas, para pemerhati kebudayaaan dengan
buah pikir dari perspektif orientasi ini antara lain :
Alisyahbana, menyatakan bahwa Kebudayaan Nasional
Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan,
yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur
73

dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, iaitu


budaya Barat. Unsur yang diambil terutama adalah
teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains. Begitu
juga orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya
dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini
mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir
lainnya. Sanusi Pane, salah seorang yang menentang keras
buah fikir dari Alisyahbana, Pane menyatakan bahwa
kebudayaan Nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur
harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan dan
gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan
Barat yang terlalu berorientasi kepada materi,
intelektualisme dan individualisme.
Adinegoro, mengajukan sebuah gagasan yang lebih
moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia
didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia,
sedangkan kebudayaannya harus memiliki inti dan pokok
yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit
(peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat.

3. Fungsi
Dalam perspektif fungsi dimaksudkan sebagai usaha untuk
menggambarkan suatu kerangka budaya nasional dari
pendekatan fungsi kebudayaan itu sendiri bagi bangsa
Indonesia; tokoh yang berusaha mengemas konsep
74

kebudayaan menurut pendekatan fungsi dan buah


pikirannya adalah :
Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa kebudayaan
nasional Indonesia sekurangnya harus memiliki dua fungsi:
(1) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang
memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (2)
sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat
dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang
bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga
memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama,
kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (a)
harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau
hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari
daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara
Indonesia; (b) unsur itu harus merupakan hasil karya
warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau
wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (c)
harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya
yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga
mereka mau mengidentitikan diri dengan kebudayaan itu.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di
antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi
pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya
dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat
difahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang
berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama,
dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga
menjadi gagasan kolektif dan unsur- unsurnya dapat
75

berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk


menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna
orang Indonesia, dan mempertingi solidariti bangsa.
Kebudayaan nasional Indonesia adalah semua yang
dikategorikan sistem nasional apakah itu berbentuk
gagasan kolektif, berbentuk material seperti sistem
pendidikan, sistem politik, sistem hukum, dan sistem
lainnya dan berbentuk perilaku seperti menghargai
kemajemukan, atau pluralitas, menunjung hak dan
kewajiban adalah kebudayaan nasional Indonesia.
Brahmana (1997) berusaha menuangkan gagasan tentang
konsep kebudayaan Indonesia menurut dua pendekatan
wujud kebudayaan, yaitu sebagai wujud idea dan sebagai
wujud material.
Berdasarkan wujud ide definisi kebudayaan adalah semua
pola atau cara berfikir/merasa bangsa dalam suatu
ruangan dan waktu. Pengertian ini dikembangkan ke
dalam kebudayaan Indonesia menjadi Kebudayaan
Nasional Indonesia semua pola atau cara berfikir/merasa
bangsa Indonesia yang sama terhadap kelangsungan
hidupnya di dalam sebuah negara. Berdasarkan definisi di
atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan
sisi ide dapat dijelaskan semua pola atau cara
berfikir/merasa bangsa Indonesia dalam suatu ruangan
dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat
dimulai sesudah adanya Sumpah Pemuda (1928) atau
sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan
76

angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah


tumbuh keinginan untuk bersatu (cara berfikir/merasa
yang seragam untuk mencapai cita-cita atau tujuan
bersama) ke dalam sebuah negara. Keinginan ini kemudian
wujudkan pada tahun 1945 (kemerdekaan Indonesia).
Sedangkan kebudayaan nasional Indonesia berdasarkan
wujud material adalah produk dari suatu bangsa dalam
suatu ruangan dan waktu. Misalnya semua produk bangsa
Indonesia baik yang dikembangkan di luar negeri, maupun
yang dikembangkan di dalam negeri, yang tumbuh dan
berkembang sejak Indonesia Indonesia merdeka (1945)
atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini,
apakah itu yang diserap dari kebudayaan etnik maupun
kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi
yang disepakati menjadi bagian dari alat mencapai tujuan
nasional bersama di dalam negara kesatuan RI. Darimana
asal kebudayaan ini tidak dipersoalkan, selagi bentuk
kebudayaan yang diserap itu mampu mempersatukan dan
mempererat persatuan dan kesatuan, itulah Kebudayaan
Nasional Indonesia.
Gelombang perpindahan penduduk dari dataran Cina
sebagai awal keberadaan masyarakat Indonesia sangat
mewarnai perkembangan masyarakat Indonesia pada
masa- masa selanjutnya, keadaan ini berlangsung pada
jaman prasejarah.
Rentangan yang luas dari bumi Indonesia yang terdiri dari
beribu-ribu pulau menyebabkan masyarakatnya hidup
77

secara terpisah, namun bukan berarti tidak ada hubungan


sama sekali di antara mereka. Dengan letak geografisnya
yang strategis juga ditunjang oleh kekayaan alam yang
melimpah banyak menarik minat bangsa-bangsa lain untuk
berusaha menguasainya. Tidak heran bahwa dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia, banyak diwarnai
dengan kunjungan-kunjungan perniagaan sampai pada
pendudukan wilayah Indonesia oleh bangsa asing.
Terlepas dari pengaruh baik-buruknya hubungan antara
bangsa asing dengan berbagai masyarakat yang ada di
Indonesia, bila dilihat dari sisi budaya ternyata bangsa
asing itu sangatlah berkontribusi terhadap keadaan politik
dan perkembangan budaya- budaya lokal.
Praktek kolonialisme yang ada di Indonesia ternyata telah
membangkitkan rasa penderitaan dan nasib yang sama
dari berbagai perbedaan, lapisan, dan bentuk masyarakat
yang tersebar di Indonesia. Keinginan yang kuat untuk
melepaskan diri dari belengggu penjajahan ternyata
mampu melucuti seperangkat perbedaan masyarakat,
dimana semua fihak mengikrarkan diri sebagai satu
kesatuan dibawah nilai-nilai kebangsaan, kewilayahan, dan
kebahasaan. Nilai-nilai inilah yang dianggap sebagai cikal-
bakal keberadaan kebudayaan bersama : kebudayaan
Indonesia.
Namun dalam perkembangannya, tentu tidak lepas dari
unsur kepentingan dan juga pengakuan, kebudayaan
Indonesia sebagai suatu induk kebudayaan dan konsep
78

kesatuan kemudian menuai berbagai masalah. Agaknya


sukar bagi kebudayaan Indonesia untuk bisa
mengakomodir segenap aspirasi dari seluruh budaya-
budaya lokal yang ada. Perumusan kebudayaan nasional
kemudian dinyatakan dalam konsep-konsep yang lebih
sederhana yaitu dengan merumuskannya dalam bentuk
substansi, orientasi, dan fungsi kebudayaan itu sendiri
selain dari perumusan tentang kebudayaan Indonesia
sebagai kompleks dari idea dan material tentang
keteradaan, keberlangsungan, dan pencarian budaya.
Keteradaan budaya berarti bahwa kebudayaan Indonesia
itu sudah terbentuk, dari mulai kesadaran politik untuk
membentuk Negara, menetapkan sumber-sumber hukum
dan nilai, Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup
dan dasar negara, bahasa Indonesia, teknologi yang
diambil dari luar, pendidikan, moderenisasi dalam segala
lapangan, sistem politik, kesenian seperti musik dengan
variasinya yang digandrungi dengan melewati batas
agama, suku, daerah, pendidikan dan status sosial, tanpa
mempersoalkan asal-usul asal budaya tersebut.
Keberlangsungan budaya berarti bahwa kebudayaan
Indonesia itu dalam proses pembentukan yang senantiasa
menentukan nilai-nilai yang terbaik sebagai pengaruh
dorongan-dorongan perubahan baik dari dalam ataupun
dari luar masyarakat.
Dalam proses pencarian berarti bahwa kebudayaan
Indonesia itu senantiasa berusaha mewujudkan suatu
79

kondisi yang diharapkan dari satu bentuk kehidupan


bersama; yaitu dengan memupuk kesadaran bahwa
bangsa Indonesia adalah satu potensi kekuatan dari
bangsa yang besar, yang untuk itu sangat diperlukan
kerjasama, semangat kebersamaan, rasa toleransi,
emphati yang tinggi yang senantiasa mengacu pada
substansi tiga orientasi waktu : masa lalu, masa kini, dan
masa depan.
** dikutip dari Syarif Moeis, “Pembentukan Kebudayaan
Nasional Indonesia”, Disajikan dalam diskusi Jurusan
Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung, 2009.
80
81

BAB V
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN MELAYU

Adat, peraturan yang sudah diamalkan turun-temurun


dalam sesuatu masyarakat sehingga menjadi hukum yang
harus dipatuhi. Perkataan adat berasal daripada bahasa
Arab bermaksud kebiasaan. Kedatangan Islam ke Alam
Melayu membawa konsep ini dengan makna yang lebih
luas dan mendalam sehingga merangkumi keseluruhan
cara hidup yang kini ditakrif sebagai kebudayaan, undang-
undang, sistem masyarakat, upacara, dan segala kebiasaan
yang sering dilakukan, seperti cara makan atau cara
duduk.
Kini, makna adat dalam masyarakat Melayu sudah menjadi
semakin khusus dan semakin mengecil, yakni upacara
kebiasaan serta unsur-unsur masyarakat yang tidak
digolongkan sebagai unsur Islam. Evolusi konsep adat ini
dapat dilihat dalam kepelbagaian takrif oleh pelbagai
masyarakat di Alam Melayu. Bagi masyarakat Melayu
tradisional, konsep adat sering kali dimaksudkan dengan
beberapa tahap makna yang berlainan.
Konsep Adat Antara konsep yang berkait dengan adat
termasuklah:
a. Adat sebagai kelakuan dan kebiasaan yang betul
seperti menghormati orang yang lebih tua dengan
82

menggunakan istilah panggilan pangkat kelahiran


atau kekeluargaannya.
b. Adat dengan makna khusus, seperti "bayaran mas
kahwin" di Negeri Sembilan atau "belanja hangus"
di utara Melaka, iaitu belanja yang diberikan oleh
pihak lelaki bagi suatu istiadat perkahwinan yang
dilaksanakan oleh pihak perempuan.
c. Adat sebagai prinsip semula jadi alam. Misalnya,
"adat api membakar", "adat air membasa", dan
"hidup dikandung adat, mati dikandung tanah".
d. Adat sebagai hukum dan undang-undang dalam
negara dan masyarakat umum. Misalnya,
hukuman yang dikenakan terhadap pelbagai
kesalahan dalam masyarakat ataupun undang-
undang adat dalam masyarakat adat perpatih
serta pelbagai hukum kanun lama dari zaman
Melaka hingga abad ke-20.
e. Adat sebagai segala perlakuan upacara yang sering
kali disebut sebagai adat istiadat. Dalam bentuk
ini, adat itu termasuk dalam lingkungan bidang
kepercayaan dan perlakuan agama, serta juga
magis. Dalam hal ini, berlaku pertindihan bidang
antara adat istiadat dengan upacara, sekali gus
menjadikan upacara sebagai sebahagian daripada
konsep adat yang lebih luas.
f. Adat dengan susunan masyarakat dan segala
lembaga kemasyarakatannya, seperti sistem
kekeluargaan, sistem politik mahupun sistem
83

ekonomi, seperti pemilikan tanah dan


pembahagian harta. Institusi kekeluargaan yang
lazim dilaksanakan dalam pelbagai masyarakat
ialah adat masyarakat itu. Ada masyarakat yang
biasa mengamalkan sistem kekeluargaan
matrilokal dan ada yang neolokal. Demikian juga,
ada masyarakat yang membahagikan harta serta
pemilikan secara faraid dan ada yang secara sama
rata. Institusi dan organisasi kemasyarakatan
sebagai prinsip penyusunan masyarakat
merupakan makna terunggul dalam konsep adat di
seluruh Alam Melayu.
Bagi pelbagai masyarakat di seluruh Alam Melayu seperti
Iban, Dusun, Dayak, Batak, Toraja, adat masih membawa
makna yang amat luas dan serba merangkumi, iaitu adat
sebagai suatu kebudayaan. Dalam konsep ini, adat adalah
keseluruhan corak hidup atau kebudayaan manusia di
alam nyata dan juga menghubungkan manusia dengan
alam kosmik yang simbolis dan sejagat. Adat menjadi ciri
kehidupan, bukan sahaja manusia dalam lingkungan alam
tabiinya, bahkan dalam kalangan semua makhluk seperti
haiwan dan tumbuh-tumbuhan. Malah, ciri adat terdapat
dalam pergerakan alam tabii itu sendiri, seperti kejadian
semula jadi, ribut dan petir, serta segala-galanya dalam
kosmos adalah kerana mengikut adat alam. Maka, hukum
alam adalah juga adat.
84

Pengertian yang amat luas dan mendalam ini tidak lagi


berlaku dalam keseluruhan tanggapan masyarakat Melayu
kini. Bidang tanggapan menyeluruh konsep adat secara
tradisional itu sudah dipecahkan oleh pelbagai pengertian
khusus dan tepat, yang setiap satunya ditanggapi pula
secara khusus. Hukum adat sudah menjadi undang-
undang, hukum alam sudah menjadi sains, dan bidang
kepercayaan sudah menjadi agama. Dengan demikian,
pengertian adat kini menjadi sempit dan sering kali
dikhususkan kepada upacara sahaja, serta
dipertentangkan pula dengan pengertian khusus pada
bidang-bidang lain seperti pertentangan dengan agama
Islam.
Kini, adat sering dimaksudkan hanya sebagai adat istiadat
atau upacara tradisional dalam tahap upacara peralihan
edaran hidup seseorang manusia dan juga dalam
pengertian undang-undang adat.
Adat sebagai Upacara Dalam pengertian ini, adat sudah
mendapat makna yang amat sempit. Upacara merangkumi
segala perbuatan, kegiatan, peralatan, acara dan
perlakuan yang teratur dan tersusun berkait dengan
makna kesucian atau kekudusan dalam sesuatu
kepercayaan. Upacara atau adat istiadat ini termasuklah
segala kegiatan kudus dalam setiap peringkat edaran
hidup manusia; daripada kelahiran, remaja, perkahwinan,
hingga kematian. Dalam pengertian ini, adat merupakan
pengucapan lambang terhadap makna dalaman daripada
85

kehidupan individu dan masyarakatnya. Misalnya, sebaik


sahaja seseorang bayi dilahirkan, bayi lelaki akan
diazankan manakala bayi perempuan akan diiqamatkan
selaras dengan ajaran agama. Makna daripada
pengucapan ini ialah pengenalan terhadap ketuhanan dari
saat kelahiran seorang bayi ke dunia. Demikian pula
diadakan kemudiannya upacara cukur jambul ataupun naik
buai. Kedua-dua ini ialah lambang permulaan perjalanan
manusia dalam edaran kehidupannya.
Pelbagai upacara ini dianggap sebagai adat dan bukan
merupakan ajaran agama. Adat juga sering
dipertentangkan dengan perlakuan Islam sehingga banyak
perlakuan adat dikatakan sebagai tidak Islam, ataupun
melanggar akidah Islam. Perlakuan adat di sini sering juga
disamakan dengan upacara Hindu dan sekali gus
membawa maksud perbuatan bidaah. Misalnya, perlakuan
adat bersanding, menggunakan nasi kunyit, bersuap-
suapan, berarak, mandi sampat, lenggang perut, dan
perarakan ketika berkhatan.
Dari segi kebudayaan Melayu, perlakuan itu ialah sistem
adat istiadat dalam bentuk upacara. Perlakuan itu ialah
pengucapan konkrit terhadap nilai yang mahu dinyatakan
oleh masyarakat Melayu terhadap tahap penghargaan
masyarakat kepada anggotanya. Anak- anak yang baru
lahir dihargai dan dinilai tinggi dengan pengajaran mulia
serta doa kebaikan. Nilai ini kelihatan pada "benda" yang
dipergunakan dalam upacara adat itu. Misalnya, emas,
86

gula, dan garam yang digunakan dalam upacara cukur


jambul merupakan nilai dan harapan agar anak akan
mewah, senang serta berjaya.
Undang-undang Adat Dalam bidang ini, terdapat
pengertian adat yang masih luas tetapi amat khusus
sebagai peraturan serta undang-undang yang dilaksanakan
bagi melengkapi seluruh sistem perundangan moden
dalam masyarakat dan negara. Namun, tidak terdapat
suatu usaha untuk mentakrif apakah yang dimaksudkan
sebagai undang-undang dalam sistem adat.
Di Indonesia, telah didebatkan takrif undang-undang atau
hukum dalam adat oleh para sarjana Belanda dan
Indonesia dalam pelaksanaan undang-undang moden. Ada
dua aliran pemikiran tentang pengertian hukum (undang-
undang) ini. Pertama, takrif yang diberikan oleh sarjana
utama pengajian hukum adat, Van Vollenhoven, iaitu
hukum adat sebagai segala peraturan yang dipertahankan
dengan adanya hukuman atau isbat. Apabila segala
perbuatan itu dikenakan hukuman oleh masyarakat,
jadilah peraturan atau adat itu hukum atau undang-
undang dalam pengertian moden. Tanpa hukuman,
peraturan itu hanya kebiasaan. Jadi, undang-undang adat
ialah segala peraturan yang mempunyai kesan hukuman
dan diakui oleh anggota masyarakat.
Pengertian kedua diberikan oleh murid Van Vollenhoven,
Ter Haar, yang mentakrif hukum adat sebagai keadaan
apabila penguasa adat menjatuhkan keputusan hukuman
87

ke atas pelanggar adat. Dengan hukuman yang dijatuhkan


oleh seorang ketua masyarakat, peraturan itu menjadi
suatu hukum adat. Pengertian ini menekankan kuasa
penjawat perundangan yang menjatuhkan hukuman. Jika
penguasa adat itu tidak menghukum sesuatu perbuatan,
peraturan itu bukan undang-undang adat.
Antara kedua-dua pengertian di atas, ternyata takrif Van
Vollenhoven menjadi pegangan ramai ahli hukum adat.
Kesan atau akibat hukuman daripada suatu peraturan,
kebiasaan ataupun norma masyarakat, menjadikan ia
suatu undang-undang, meskipun peraturan itu atau
hukumannya merupakan suatu tindakan yang paling
ringan dikenakan terhadap suatu kesalahan.
Kedua-dua pengertian adat di atas telah berlaku sejak
zaman kegemilangan Melayu di Melaka hingga kini.
Manuskrip undang-undang seperti Hukum Kanun Melaka
atau Undang-Undang Laut Melaka, Adat Aceh, Adat
Palembang, Undang-Undang 12, Undang- Undang Kedah,
dan Undang-Undang 99 Perak ialah perkanunan hukum
adat dan undang- undang Islam yang dipercayai digunakan
dalam pemerintahan negeri pada zamannya. Adat dalam
bentuk hukum dan undang-undang mencapai tahap lebih
rasmi dan berkuat kuasa dalam pentadbiran negeri dan
masyarakat.
Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan zaman
naungan British di Tanah Melayu serta Pulau Borneo,
undang-undang adat dilaksanakan sebagai sebahagian
88

daripada sistem perundangan yang membezakan orang


Eropah daripada penduduk peribumi rantau ini. Setiap
kelompok peribumi serta orang Asia diaturkan kehidupan
mereka melalui undang-undang adat masing-masing.
Di Sabah dan Sarawak, setiap kelompok masyarakat
peribumi mempunyai undang- undang adat mereka serta
ditadbir oleh sistem ketua yang pelbagai bentuk. Di
seluruh Indonesia, pemerintah Belanda menubuhkan
wilayah pelbagai suku bangsa yang dibahagi kepada 19
buah wilayah adat. Setiap wilayah adat merupakan suatu
kawasan persamaan adat bagi satu suku bangsa yang sama
kebudayaannya. Pentadbiran setiap wilayah adat
dilakukan, sama ada dengan meletakkan hakim Belanda
dengan bantuan penasihat ketua adat (penghulu) anak
negeri ataupun ketua anak negeri itu sendiri yang
menjalankan pengadilan, tetapi hanya pada tahap rendah.
Para pentadbir undang-undang terdiri daripada keturunan
bangsawan ataupun ketua tempatan bagi satu-satu
kawasan.
Kategori Adat Dalam masyarakat Melayu kini, pengertian
adat sebagai satu bidang yang serba merangkum atau
sebagai kebudayaan masih terdapat di wilayah Melayu
pesisiran Sumatera Timur dan juga dalam kalangan
masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Adat di sini
ditakrif dalam empat jenis perlakuan; antara manusia
dengan alam tabii dan antara manusia dengan manusia.
Empat kategori adat tersebut ialah:
89

• Adat nan sabana adat, iaitu hukum tabii alam yang


tidak dapat dipinda oleh manusia serta menjadi asas
perjalanan proses alam itu sendiri. Hukum alam adalah
adat hakiki.
Adat yang sebenar adat juga ialah sebahagian daripada
hukum Tuhan yang dipadukan oleh masyarakat dalam adat
mereka. Justeru, punca kehidupan adat ialah alam - alam
terkembang menjadi guru dan juga syariat Tuhan - adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.
• Adat nan diadatkan ialah segala peraturan,
lembaga masyarakat dan keputusan hukum yang
dimuafakatkan untuk dilaksanakan dalam masyarakat.
Maka, bahagian adat ini merupakan segala macam bentuk
dan susunan masyarakat, lembaga masyarakat, undang-
undang dan juga hukum adat, dan boleh mengalami
perubahan jika dimuafakati sedemikian, iaitu berasaskan
prinsip adat: jika dicabut mati, jika dianjak layu.
• Adat nan teradat ialah segala peraturan yang sedia
berlaku melalui penerimaan masyarakat umum tanpa
perlu muafakat yang formal. Peraturan seperti ini ialah
norma masyarakat umum seperti kepatuhan terhadap
orang tua, cara-cara menggunakan segala macam alatan
budaya ataupun segala macam kelakuan yang biasa. Adat
dianggap sebagai proses dinamik dalam masyarakat yang
sentiasa berubah sendirinya.
90

• Adat istiadat ialah bahagian adat yang mengatur


segala macam upacara dan kegiatan suci yang perlu
menerima penghormatan awam. Adat istiadat berlaku
kerana diamalkan dan dijaga sebaiknya. Jika ditinggalkan,
adat istiadat akan pupus. Namun, adat istiadat juga
tertakluk pada prinsip perubahan melalui muafakat dan
perundingan ataupun kesan pengaruh dari luar. Ini banyak
kelihatan dalam peringkat upacara edaran hidup manusia.
Jadi, seluruh sistem adat sentiasa tertakluk kepada
pindaan dan perubahan melalui muafakat dan persetujuan
serta amalan terhadapnya. Dengan demikian, kekekalan
dan perubahan ialah proses yang diakui sentiasa berlaku
dalam semua ciri kehidupan manusia dan ini menjadi
prinsip asas sistem adat.
Adat Perpatih dan Adat Temenggung Di Malaysia, adat
dianggap sebagai terbahagi kepada dua jenis, iaitu adat
perpatih dan adat temenggung.
Sekali imbas pembahagian ini seolah-olah tanggapan asli
masyarakat Melayu di Malaysia. Namun, penelitian yang
mendalam menunjukkan pembahagian ini lebih
merupakan penggolongan oleh pengkaji Inggeris yang
membezakan antara peraturan adat di Negeri Sembilan
dan Naning, di utara Melaka, daripada negeri lain di
Malaysia.
Pembahagian kepada kedua-dua jenis ini tidak terdapat
dalam manuskrip undang- undang Melayu tetapi hanya
91

tersebut dalam teromba atau legenda asal usul adat


perpatih. Dalam teromba ini disebutkan bahawa adat itu
bermula di Minangkabau, Sumatera. Dalam tambo
(romba) adat di Minangkabau, keadaan berbahagi dua ini
disebutkan sebagai "laras nan dua", iaitu penggolongan
dua wilayah Minangkabau kepada dua orang pemerintah:
wilayah Koto Piliang di bawah Datuk Katamanggungan dan
wilayah Bodi Caniago di bawah Datuk Perpatih Nan
Sebatang.
Di Malaysia, perbezaan itu diterjemahkan sebagai
perbezaan antara undang-udang adat perpatih di Negeri
Sembilan dan Naning daripada adat temenggung di negeri-
negeri yang lain. Dibandingkan dengan tradisi di
Minangkabau, nyatalah perbezaan seperti di Malaysia
tidak pernah ada. Malah naskhah undang-undang adat dan
Hukum Kanun Melaka juga tidak pernah menyebut
bahawa undang-undang itu ialah adat temenggung. Maka,
mungkin diandaikan pembahagian adat temenggung dan
adat perpatih di Malaysia ini ialah hasil penggolongan
undang-undang adat oleh pengkaji dan pentadbiran
Inggeris, dan diterima pula sepenuhnya oleh masyarakat
Melayu hingga kini.
Di Sabah dan Sarawak, ternyata berlaku pengertian konsep
adat yang lebih luas seperti yang telah disebutkan dalam
kalangan orang Iban. Bukti yang sama kelihatan pada
tanggapan bahawa agama tradisional sentiasa disebut
sebagai "adat lama", dan agama baharu terutama Kristian,
92

disebut sebagai adat baharu. Di samping itu, pengalaman


sejarah di Sarawak pada ketika penyerahan kuasa
pemerintahan Brooke kepada pemerintahan British pada
tahun 1946 juga ditanggapi oleh penduduknya sebagai
perubahan daripada adat lama kepada adat baharu.
Pada masa ini, pengertian dan amalan adat telah berubah
menurut perkembangan pengetahuan dan ilmu dalam
masyarakat. Semakin berkembang ilmu dan pengetahuan
atau aspek kognisi dalam masyarakat, semakin tepat dan
khusus pula pengertian adat yang dahulunya adalah
keseluruhan cara hidup. Kini, konsep serba lengkap adat
itu telah digantikan oleh konsep kebudayaan, dan adat
ialah satu bidang dalam seluruh kebudayaan Melayu.
Bidang-bidang khusus kebudayaan itu ditanggapi pula
dengan konsep tertentu seperti ekonomi, agama, politik,
kekerabatan atau sebagainya. Maka tinggallah adat itu
sebagai suatu warisan budaya zaman lama yang semakin
kabur dan sempit pengertiannya, dan sering disamakan
sebagai warisan kuno dan kolot dalam kebudayaan Melayu
yang harus diubah atau ditinggalkan sahaja.
SEJARAH MELAYU, karya persejarahan Melayu klasik.
Sejarah Melayu adalah antara teks Melayu yang tertua dan
karya terpenting antara beberapa teks klasik seperti
Hikayat Raja- raja Pasai, Hikayat Banjar, Hikayat Acheh,
Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani dan Tuhfat
al-Nafis.
93

Sejarah Melayu telah disalin atau diterjemahkan ke dalam


beberapa bahasa seperti bahasa Inggeris, Perancis,
Jerman, Belanda, Jepun, Tamil dan Cina. Teks ini juga telah
menjadi bahan rujukan dan penelitian para sarjana dari
seluruh dunia yang mahu mengkaji sejarah dan
kebudayaan masyarakat Melayu yang awal. Kajian yang
dilakukan oleh para sarjana ini meliputi pelbagai disiplin
ilmu seperti bahasa, sastera, sosiologi, antropologi,
budaya dan juga politik.
Terdapat 29 versi Sejarah Melayu yang tersimpan di
beberapa institusi di seluruh dunia, antaranya 12 versi
tersimpan di Belanda, 11 versi di United Kingdom, lima
versi di Indonesia dan satu versi di Rusia. Daripada jumlah
tersebut, terdapat sekurang-kurangnya enam naskhah
yang telah dikaji dan diselenggarakan oleh para pengkaji,
iaitu Edisi Munsyi Abdullah bin Abdul Kadir (1831), Edisi
Dulaurier (1849-1856), Edisi W.G. Shellabear (1896), Edisi
R.O. Winstedt (1938), Edisi Dato' Madjoindo (1959) dan
Edisi A. Samad Ahmad (1979). Bagaimanapun naskhah-
naskhah tersebut hanyalah dikaji pada peringkat yang
mudah seperti melibatkan kerja-kerja merumikan,
memberi kata pengantar dan membuat anotasi. Tidak
banyak kajian yang dilakukan terhadap teks Sejarah
Melayu untuk peringkat sarjana ataupun kedoktoran.
Tidak ada satu sumber yang tepat yang dapat menyatakan
tarikh sebenar Sejarah Melayu ditulis. Yang pasti nama
Sulalatus Salatin ada disebut oleh Francois Velentijn dalam
94

bukunya, Oud En New Oost-Indien (Sejarah Ringkas Hindia


Timur) yang diterbitkan pada tahun 1726. Sejarah Melayu
telah menjadi sumber rujukannya apabila dia menulis
mengenai raja-raja Melaka. Ini bermakna Sejarah Melayu
telah ditulis lebih awal dari tahun 1726. Pada tahun 1811,
William Marsden juga menggunakan Sejarah Melayu
apabila dia menulis bukunya yang berjudul History of
Sumatera. Mengenai pengarangnya pula, pada bahagian
mukadimah Sejarah Melayu ada disebut Tun Seri Lanang
yang bertanggungjawab mengarang (menyusun) teks
berkenaan. Dia menyusun teks ini atas perintah raja untuk
dijadikan panduan atau ikutan anak cucunya pada masa
akan datang.
Antara versi yang pernah diselenggarakan, versi Shellabear
adalah yang paling popular di Malaysia. Shellabear telah
menggunakan beberapa versi Sejarah Melayu yang ada
untuk menghasilkan versinya yang tersendiri. Shellabear
merujuk versi Abdullah Munsyi dan Versi Daulaurieer. Dia
melakukan banyak perubahan iaitu dengan mengambil
beberapa episod daripada versi lain. Ini kerana kalau
mengikut versi Abdullah Munsyi dan Dulaurier, isi cerita
Sejarah Melayu berakhir setakat episod pembunuhan Tun
Ali. Bagaimanapun dalam versi Shellabear, ceritanya tamat
dengan perpindahan Sultan Alauddin Riayat Syah ke Pasar
Raja yang terletak di hulu Sungai Riun. Justeru, edisi
Shellabear bukanlah satu edisi yang boleh
dipertanggungjawabkan berdasarkan disiplin filologi. Ini
kerana Shellabear ternyata telah membina sebuah teks
95

Sejarah Melayu yang baharu dengan cara mengambil


beberapa episod daripada teks yang lain dan menambah
kepada teks selenggaraannya tanpa memberikan apa-apa
catatan.
Para sejarawan juga percaya bahawa versi Winstedt
(naskhah Raffles MS 18) ialah versi yang tertua atau paling
hampir dengan naskhah asal kerana penyalinnya berjaya
mengekalkan keaslian naskhah berkenaan. Ini bermakna
penyalin tidak melakukan sebarang pengurangan atau
menambah semasa mengerjakan teks Sejarah Melayu.
Mereka menolak versi-versi yang lain dengan alasan
bahawa teks tersebut rosak akibat terlalu banyak
penambahan, pengguguran dan sebagainya. Pendapat ini
ternyata ada kebenarannya jika dilihat Sejarah Melayu
yang dikerjakan oleh Shellabear.
Teks Sejarah Melayu yang diselenggarakan oleh A. Samad
Ahmad, menggunakan tiga naskhah yang tersimpan di
Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Dia
menamakan naskhah tersebut sebagai naskhah A, B dan C.
Naskhah A mengandungi 418 halaman. Pada halaman
pertamanya tercatat nama pemilik asal naskhah iaitu
Munsyi S. Md. Ally. Naskhah ini diperoleh oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka daripada Tuan Omar bin Masajee
pada tahun 1977. Naskhah ini juga pernah dijadikan
sebagai bahan perbandingan oleh Shellabear. Naskhah B
diperoleh daripada Haji Othman Abdullah pada tahun
1963.
96

Naskhah ini berjumlah 321 halaman. Naskhah C pula tidak


ada sebarang catatan yang dapat menerangkan tentang
penulis atau penyalin, tarikh tamat kerja-kerja penyalinan
dan sebagainya. Naskhah ini sudah uzur kerana kertasnya
hampir reput.
Dari segi isi cerita, keseluruhan teks Sejarah Melayu bukan
hanya menceritakan tentang negeri Melaka sahaja, malah
ia juga menceritakan hubungan Melaka dengan negeri-
negeri lain di sekitarnya. Umpamanya negeri Pahang,
Kelantan, Pasai, Haru, Siak, Siam, Majapahit dan China.
Hubungan Melaka dengan negeri-negeri tersebut wujud
dalam bentuk hubungan diplomatik, ikatan perkahwinan
dan juga penaklukan. Misalnya hubungan antara Melaka
dengan Majapahit dan China wujud dalam bentuk ikatan
perkahwinan. Ini terjadi setelah Sultan Mansor Syah
berkahwin dengan Galoh Candera Kirana dari Majapahit
dan juga Puteri Hang Li Po dari China. Manakala hubungan
dengan Kelantan, Pahang dan Siak pula wujud dalam
bentuk jajahan.
Dari segi kepentingan teks, Sejarah Melayu, adalah teks
yang terpenting untuk dijadikan bahan rujukan tentang
pemerintahan raja-raja Melayu pada zaman tersebut.
Walaupun pada bahagian awal teks terdapat beberapa
mitos terutama tentang asal usul raja-raja Melaka, tetapi
fakta sejarah yang terkandung dalamnya seperti nama-
nama raja dan bendahara yang memerintah Melaka
menyebabkan teks ini sentiasa dirujuk oleh para sarjana.
97

Begitu juga beberapa peristiwa seperti serangan yang


dilakukan oleh Melaka terhadap negeri-negeri jirannya
ternyata ada benarnya kerana peristiwa itu tercatat juga
dalam teks-teks yang lain. Misalnya serangan Melaka ke
atas Kelantan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Syah yang membawa kepada penawanan tiga orang puteri
raja Kelantan, ada dicatatkan dalam teks sejarah Kelantan.
Paling penting berdasarkan teks Sejarah Melayu ialah
struktur sosial masyarakat Melayu pada zaman itu. Raja-
raja dikatakan berada pada kedudukan yang paling atas
sekali, diikuti oleh para pembesar negeri dan juga rakyat
negeri yang merdeka. Manakala golongan hamba berada
pada kedudukan yang paling bawah. Mobiliti sosial amat
jarang berlaku. Kalau adapun hanyalah melibatkan
golongan pembesar atau golongan rakyat yang
mempunyai kebolehan yang luar biasa. Umpamanya Hang
Tuah dan Badang hanyalah rakyat biasa telah berubah
kepada golongan pembesar negeri kerana mempunyai
kelebihan yang tersendiri. Begitu juga dengan Tun
Fatimah, oleh sebab mempunyai rupa paras yang cantik,
dia telah dikahwini oleh Sultan Mahmud Syah. Oleh sebab
itu status sosialnya telah berubah daripada golongan
pembesar kepada golongan raja.
Cerita dalam Sejarah Melayu diakhiri dengan kejatuhan
Melaka ke tangan Portugis. Melaka diserang buat kali
kedua oleh Portugis. Akibatnya, Sultan Mahmud Syah dan
keluarganya berundur ke Batu Hampar, manakala Sultan
98

Ahmad pula lari ke Pagoh. Akhirnya, Sultan Mahmud Syah


mangkat di Kampar.
Berdasarkan naskhah Sejarah Melayu juga para sejarawan
telah berusaha menulis kembali sejarah negeri Melaka.
Antaranya seperti Mohammad Yusof Hashim yang telah
menulis buku Persejarahan Melayu Melaka. Malah Sejarah
Melayu juga telah dijadikan buku bacaan terpenting bagi
pelajar Tingkatan Enam. Dalam sukatan pelajaran yang
baharu, teks Sejarah Melayu telah diletakkan bersama-
sama teks Hikayat Hang Tuah sebagai sastera agung.
99

BAB VI
BUDAYA LAMPUNG:
SEPINTAS KILAS

Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna


ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa
dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan
provinsi.
Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah
merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku,
bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku
Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman
Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk
memahami Lampung secara kultural.
Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil
memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan
meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan
Lampung miskin telaah, riset, dan studi. Yang paling
banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya
untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan
kebudayaan Lampung.
Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan
sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis,
yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung
dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat
100

provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan,


Bengkulu, dan Banten.
Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat
kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau
pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan
bukannya malah membuat orang Lampung terpecah-
pecah.
Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua,
yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat
adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung
Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha,
Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung
mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur,
Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan
Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang
Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat
Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala,
Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku
Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku
Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi).
Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat:
Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih
Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
101

Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka,


Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima
keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-
WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar,
Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang,
Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari:
Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu
Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua,
Komering- Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi
Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami
sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang
Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota
Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung
Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di
pinggir pantai barat dan selatan.

A. Peta Bahasa-Budaya
Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan
Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang
sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi
Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan
bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya
perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur
dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung
Bengkulu.
102

Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan


memadai untuk membicarakan, termasuk
memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya
Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam
pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan
adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak
perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta
dimaksud sudah ada.
Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam
tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan,
adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu
merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan
Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak
lagi kebudayaan Lampung itu yang mana.
Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan
atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung.
Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal
dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional;
katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda,
Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain — tidak lain
tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan
yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara
lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah.
103

B. Kesenian Melinting
Kesenian Melinting merupakan salah satu bentuk seni
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Melinting,
Lampung Timur. Awalnya kesenian ini secara khusus
diperuntukkan bagi keluarga Ratu Melinting dengan hanya
dipertunjukkan di lingkungan keratuan, dimana para
pelakunya pun terbatas pada keturunan raja saja. Namun
berbagai perubahan dialami sehingga kemudian menjadi
milik masyarakat secara luas. Tulisan ini secara khusus
mengangkat bentuk penyajian kesenian Melinting serta
keberadaan kesenian ini di dalam masyarakatnya.
Keratuan Melinting masih berdiri hingga saat ini dengan
wilayah kekuasaan meliputi tujuh desa, yaitu Meringai,
Tanjung Aji, Tebing, Wana, Nibung, Pempen, dan Negeri
Agung. Masyarakat dari desa-desa inilah yang kemudian
dikenal dengan masyarakat Melinting. Mereka hidup
dalam sebuah sistem budaya atau adat istiadat, dan
memiliki konsep-konsep hidup yang khas. Sebut saja Pi’il,
Sakai Sambayan, Nemui Nyimah, Nengah Nyepur, dan
Bejuluk Beadek/Beinai, lima prinsip hidup yang hingga kini
masih dipegang teguh oleh masyarakat dan tergambar
dalam kesenian Melinting.Kesenian Melinting terdiri dari
dua elemen utama, yaitu musik dan tari, serta didukung
oleh sejumlah elemen lain sehingga menghasilkan sebuah
bentuk seni pertunjukan. Ansambel musik dalam kesenian
Melinting adalah gamelan Talo Bala dengan instrumennya
yang terdiri dari kelittang, talo, gindang/gelittang, bende,
104

dan canang/petuk. Gamelan Talo Bala dalam kesenian


Melinting hanya memainkan tabuh Kedanggung. Untuk
elemen tari, ragam gerak dalam kesenian Melinting
dibedakan antara penari putra dan penari
putri.Keberadaan kesenian Melinting terkait erat dengan
berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan
masyaraka . Kekuasaan pemerintah yang menggeser
kekuasaan mutlak Keratuan Melinting turut berperan
dalam pergeseran kesenian Melinting dari kesenian khusus
keratuan menjadi kesenian milik masyarakat. Dinamika
lain terjadi dalam kehidupan sektor pariwisata,
perkembangan dunia pendidikan, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta migrasi penduduk. Dari
hal tersebut tampak bahwa kesenianMelinting
beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat . Faktor lain yang mendukung keberadaan
kesenian Melinting adalah sifatnya yang komunal,
fleksibel, dan edukatif. Kesenian Melinting juga
memberikan berbagai kontribusi kepada masyarakat
berupa fungsi, yaitu sebaga hiburan, identitas masyarakat,
media komunika , penopang integrasi sosial, penjaga
kesinambungan budaya, dan penyelenggaraan kesesuaian
dengan norma-norma sosial. Kesenian Melinting juga
merupakan sebuah perwujudan konsep masyarakat ideal
yang menanamkan sikap sopan santun, ramah-tamah,
saling menghormati, gotong royong, dan
kebersamaan.Kata kunci: Masyarakat Melinting, prinsip
hidup, dinamika, adaptasi.
105

C. Tarian Jangget(Lampung)
Cangget sebagai tarian khas orang Lampung Pepadun, jika
dicermati, tidak hanya mengandung nilai estetika
(keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-
gerakan tubuh para penarinya. Akan tetapi, juga nilai
kerukunan dan kesyukuran.Nilai kerukunan tercermin
dalam fungsi tari tersebut yang diantaranya adalah
sebagai ajang berkumpul dan berkenalan baik bagi orang
tua, kaum muda, laki-laki maupun perempuan. Dengan
berkumpul dan saling berkenalan antar warga dalam suatu
kampung atau desa untuk merayakan suatu upacara adat,
maka akan terjalin silaturahim antar sesama dan akhirnya
akan menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung
atau desa tersebut.
106

DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir. (1988). Kebudayaan Sebagai
Perjuangan. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Bachtiar, Harsya. (1994). Masyarakat Indonesia, dalam
Majalah Ilmu-ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. Awal Pertumbuhan
Kebudayaan Nasional Indonesia. Karya Tulis Pada
Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Geertz, Clifford (1982). Abangan, Santri dan Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya, Yayasan
Ilmi-Ilmu Sosial.
Geertz, Hildred. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di
Indonesia. Penerjemah : A Rahman Zainuddin.
Jakarta : Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial dan FIS - UI
Harris, Marvin, 1999, Theories of Culture in Postmodern
Times. New York: Altamira Press.
Harsojo. (1999). Pengantar Antropologi. Bandung : CV
Putra A Bardin.
Ignas Kleden, (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.
Jakarta : LP3ES
Indonesia jilid xx, No.4; Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Boelaars, Y. (1984).
Kepribadian Indonesia Modern, Suatu Peelitian
Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia
Istadiyantha, 2009. “Tugas Teori Teks”. Yogyakarta:
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
107

Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi. Jakarta:


Aksara Baru.
Koentjaraningrat, 1974, Pengantar Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru.
Koentjaraningrat. (1993), Masalah Kesukubangsaan dan
Integrasi Nasional. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia (UI- Press).
Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Ilmu Antropologi;
Jakarta: Rineka Cipta.
Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Indonesian Journal of
Cultural Studies), Juni jilid X nomor 1. Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Melalatoa, Junus M. ed. (1997). Sistem Budaya Indonesia,
Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia
dengan PT. Pamator
Parsudi Suparlan, (1999). "Konflik Sosial dan Alternatif
Pemecahannya". Jurnal Antropologi Indonesia No.
59 Th XXIII, Mei-Agustus .
Ratna, Nyoman Kutha, 2005, Sastra dan Cultural Studies:
Representasi Fiksi dan Fakta.
Suparlan, Parsudi, 1981/82, “Kebudayaan, Masyarakat,
dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi”,
Usman Pelly. (1998). "Masalah Batas-Batas Bangsa". Jurnal
Antropologi Indonesia No. 54 ThXXI, Desember
1997- April 1998.
108

Anda mungkin juga menyukai