Konsep Tentang Asal-usul dan Struktur Asal Orang Melayu (Austronesia):
Refleksi dari Sejarah Lisan Orang Kei, Maluku Tenggara, Indonesia
Dedi Supriadi Adhuri Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dediadhuri@hotmail.com
A. Pengantar Saya akan mengawali tulisan ini dengan sebuah kutipan panjang dari artikel yang berjudul Masyarakat Austronesia Fakta atau Fiksi? Artikel ini merupakan salah satu bagian dari buku Polemik tentang Masyarakat Austronesia: Fakta atau Fiksi? Kutipan tersebut adalah: Penamaan Austronesia adalah penamaan yang semata-mata didasarkan atas penggolongan kebahasaan yang diperoleh melalui perbandingan bahasa-bahasa yang hingga kini masih digunakan oleh penduduk yang hidup di dalam sebuah wilayah yang amat luas; dari Madagaskar ke daerah Pasifik bagian utara dan selatan termasuk wilayah negara Indonesia. Di dalam proses penggolongan ini ditentukan bahasa-bahasa mana memperlihatkan ciri-ciri yang membuatnya lebih dekat hubungannya atas dasar tingkat persamaan yang diperlihatkan oleh kosa kata masing-masing dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain yang oleh karenanya tidak dimasukkan dalam kelompok yang sama. Dengan demikian diperoleh seperangkat kelompok bahasa yang dalam pertaliannya memperlihatkan kelompok yang satu merupakan asal-usul dari bahasa-bahasa yang lainnya. Kelompok bahasa atau bahasa yang secara hipotesis ditentukan sebagai asal-usul diberikannya nama. Pemberian nama itu bersifat arbitrer yang didasarakan atas pertimbangan bahwa kelompok bahasa yang bersangkutan paling dekat pertaliannya, dan oleh karena itu merupakan suatu komunitas atau suatu masyarakat penutur yang karakteristiknya tersimpul dalam nama yang diberikan itu. Hal yang tidak dipersoalkan adalah apakah komunitas penutur termaksud memperlihatkan intergrasi sebagai akibat adanya interaksi antara warga- warganya [?] (Masinambow 2004, 1-2). Dua issu tentang Orang Melayu (Austronesia) yang ditekankan oleh Masinambow dalam kutipan di atas adalah (1) Melayu adalah pengelompokan berbasis bahasa dan (2) (2) masih menjadi sebuah pertanyaan apakah mereka yang secara linguistik termasuk satu kelompok itu, juga membentuk sebuah masyarakat yang terintegrasi. Issu pertama 2 menempatkan Lingustik sebagai ilmu utama untuk mempelajari orang Melayu. Issu kedua merupakan tantangan untuk disiplin Ilmu Antropologi. Untuk yang kedua ini, menurut saya, studi komparatif dalam Ilmu Antropologi telah berusaha menjawab tantangan ini. Dalam konteks ini, telah disimpulkan bahwa meskipun setidaknya ada 800 kelompok masyarakat Melayu kontemporer yang menampakkan perbedaan satu sama lain (Fox 1995, 214), kajian-kajian Antropologi perbandigan telah menemukan pula karakteristik sosial dan budaya yang sama di antara mereka yang hidup bertebaran di mana-mana tetapi berbahasa Austronesia ini. Di antara fokus kajian Antropologi perbandingan tentang orang Austronesia, konsep asal-usul (origin) dan struktur asal (origin structure) merupakan dua konsep utama yang diperhatikan secara serius. Hal ini disebabkan karena a preoccupation with origins is one of the distinguishing features of Austronesian societies (Fox 1995a). Selanjutnya, dikatakan pula bahwa among the Austronesians, the concern with origins represents a vital orientation, a basic epistemological stance, toward persons and objects in the world. (Fox 1995a, lihat juga Fox 1996). Jadi jelas bahwa konsep asal-usul (origin) dan struktur asal (origin structure) merupakan dua issu penting dalam kehidupan orang Melayu atau Austronesia. Tulisan berikut akan membahas dua issu di atas dengan menganalisa sejarah lisan (narrative) dan kehidupan social Orang Kei di Maluku Tenggara, Indonesia. Kami akan menunjukkan bahwa, sebagai orang Melayu (Austronesia), Orang Kei mengenal konsep multiple origin yaitu pemahaman yang meyakni bahwa asal-usul mereka berasal dari berbagai lokasi dan nenek moyang. Tentang struktur asal (origin structure), kami akan menunjukkan bahwa dalam menentukan posisi seseorang/kelompok dalam struktur komunitas itu, orang Kei lebih mengenal prosess yang dalam kajian komparatif disebut sebagai proses installing outsider inside (Fox 1995a) dan stranger king (Sahlins 1985). Dalam konteks ini, sejarah lisan tentang asal usul (origin narrative atau toom dalam bahasa Kei) yang menceritakan proses pembentukan komunitas mereka menjadi rujukan utama dalam pembagian kekuasaan atau status/peranan dalam komunitas tersebut. Jika kita mengambil contoh sebuah komunitas desa (negeri), misalnya, kita akan menemukan narrative of origin yang menceritakan bagaimana peranan seseorang pada proses membentukan desa itu pada jaman dahulu sehingga orang yang bersangkutan dijadikan pemimpin desa dan keturunannya secara tradisi berhak atas posisi itu selanjutnya. Pada 3 prakteknya, hal ini juga menunjukkan bahwa origin narrative adalah sumber legitimasi dari klaim terhadap kedudukan atau objek (misalnya tanah dan harta pusaka) yang ada di komunitas itu. Sebagai konsekuensinya, saat terjadi kontestasi atas posisi atau objek tertentu, orang-orang akan terlibat pada usaha-usaha menciptakan, memodifikasi atau mengadukan narrative of origin-nya sedemikian rupa sehingga mereka mendapatkan legitimasi atas klaim yang dilakukannya. Oleh karenanya, seperti telah dilihat Fox (1995), narrative of origin seringkali menjadi objek kontestasi revisi.
B. Konteks Lokasi dan Pemerintahan. Kei adalah sebuah kepulauan yang berada di antara 5 - 65 Lintang Utara and 13150 - 13551 Bujur Timur (Gambar 1). Kepulauan ini terletak kira-kira 300 - 400 kilometer ke arah tenggara dari Pulau Ambon, ibu kota Provinsi Maluku. Menurut Berhitu (1987) dan Kantor Statistik Maluku Tenggara (1993), kepulauan Kei terdiri dari 100 pulau, namun Laksono (1990) mencatat ada 120 pulau. Kepulauan ini terdiri dari dua kelompok pulau-pulau besar dan tiga kelompok pulau- pulau kecil. Dua kelompok Besar adalah Kelompok Pulau-pulau Kei Kecil (Pulau Dullah, kira-kira 600 km, 2 Pulau Kei Kecil kira-kira 1.300 km 2 dan pulau-pulai kecil di sekitarnta). Kelompok Pulau besar kedua adalah Pulau-pulau Kei Besar (Pulau Kei Besar, kira-kira 585 km 2 dan enam pulau yang mengitarinya). Kei Besar adalah pulau terpanjang di kepulauan itu. Ketiga kelompok pulau-pulau kecil adalah Kur, Tayando dan Tanimbar Kei. Secara administratif, kepulauan Kei termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Pemerintahan Kota Tual yang beribu kota dengan nama yang sama, membawahi kecamatan (1) Dullah Utara, (2) Dullah Selatan, (3) Tayando Tam dan (3) Kur. Sementara itu, pemerintahan kabupaten Maluku Tenggara yang berpusat di Langgur, Pulau Kei Kecil, membawahi kecamatan (1) Kei Kecil), (2) Kei Kecil Barat, (3) Kei Kecil Timur, (4) Pulau-pulau Kei Besar, (4) Kei Besar Utara Timur dan (5) Kei Besar Selatan. 4 Penduduk. Catatan awal tentang penduduk Kei bersumber dari Reidel (1886: 216) yang memperkirakan pada tahun 1882 jumlah penduduk Kei ada 17.246 jiwa, 5.880 jiwa di antaranya tinggal di Pulau Kei Besar dan sisanya tinggal di Pulau Kei Kecil (5324), Tajando (665), Dullah Laut (391), Dullah (2352), Kur (1151), Kamer (195), Tam (790), Kei Tanimbar (322) dan Hiniaar (476). Jika kita membandingkan perkiraan ini dengan data sesnsus yang dilakukan pada tahun 1930, nampaknya perkiraan Riedel tentang jumlah penduduk Kei Besar terlalu rendah. Menurut sensus penduduk 1930, saat itu ada 25.229 jiwa yang tinggal di Pulau terpanjang di Kei itu. Meskipun sensus dilakukan 48 kemudian, kalkulasi Reidel nampaknya keliru. Adalah tidak mungkin bahwa penduduk Kei Besar bertumbuh lebih dari 350 persen, sedangkan penduduk Kei Kecil hanya meningkat sebanyak 13,9 persen. Menurut sensus tahun 1930 itu, jumlah total penduduk Kei adalah 38.518. Sensus tahun 1971 menghitung penduduk Kepulauan Kei telah tumbuh hampir dua setengah kalinya dari tahun 1930. Total jumpal penduduk saat itu adalah 94.346. Hampir dua pertiganya (60.616 jiwa) tinggal di pulau Kei Kecil dan 33.730 jiwa tinggal di Pulau Kei Besar. Data penduduk tahun 2000, menunjukkan jumlah penduduk Kepulauan Kei telah mencapai 120.151 jiwa, 78.902 tinggal di Kecamatan Kei Kecil dan sisanya di Kecamatan Kei Besar (Badan Pusat Statisik Kab. Maluku Tenggara 2003). Dari segi kesukubangsaan, bisa dipastikan sampai tahun 1930an lebih dari 90 persen penduduk Kei adalah orang Kei sendiri. Bersamaan dengan perkembangan perniagaan dan politik nasional, arus migrasi keluar maupun masuk Kei pasti meyebabkan komposisi kesukubangsaan penduduk Kei berubah. Pada saat ini, mungkin penduduk Kei hanya 70 persen saja yang merupakan orang Kei, sisanya adalah suku-suku bangsa yang datang dari berbagai tempat di Indonesia baik dari provinsi Maluku sendiri maupun dari luar Maluku. Di antara suku-suku bangsa lain itu, misalnya Oran g Jawa, Bugis, Buton, Makassar dan lain-lain. Sistem Kepercayaan/Agama. Sistem kepercayaan tertua yang dianut oleh orang Kei adalah apa yang disebut oleh Riedel (1886, 220) sebagai Alivuru atau pagan. Dari deskripsi van Hovell (1890) dan Riedel (1886), tampaknya sistem kepercayaan ini adalah sejenis animisme. Dewa Matahari dan Bulan adalah pusat dari pemujaan dalam 5 sistem kepercayaan ini. 1 Sekarang, jika kita bertanya apa agama mereka kepada orang Kei, tak seorangpun akan menjawab bahwa agama mereka adalah animisme. Meskipun mungkin sekelompok kecil penduduk Kei Tanimbar masih menganut unsur-unsur penting kepercayaan ini, mereka akan lebih mengasosiasikan diri sebagai penganut Hindu. 2
Namun demikian, perlu dicatat bahwa sebenarnya unsur-unsur dari sistem kepercayaan ini masih banyak dianut dan dipraktekkan pada kalangan luas bahkan pada mereka yang secara formal menganut Islam, Katolik dan Protestan. Misalnya, kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan adanya ruh-ruh penjaga di tempat-tempat tertentu dan ritual yang terkait dengan kepercayaan ini masih dianut dan dipraktekkan oleh mereka yang beragama Islam, Protestan maupun Katolik. Islam adalah agama kedua tertua di kepulauan Kei. Tidak terlalu jelas kapan tepatnya Islam mulai dianut oleh Orang Kei, van Hovell (1890, 120) mencatat belum ada muslim sebelum tahun 1864. Namun demikian, pada tahun 1887, dia menduga bahwa penduduk yang memeluk agama Islam telah mencapai 5.893 orang (hampir 30 persen dari jumlah total penduduk saat itu). Sperti tempat lain di Indonesia, Islam diperkenalkan ke Orang Kei melalui perdagangan. Orang Arab, Makasar dan Bugis adalah orang-orang yang membuka jaringan perdangangan ke Kei. Beberapa di antara mereka memilih untuk menetap dan kawin mawin di Kei. Dengan cara inilah Islam diterima oleh sebagian orang Kei. Pada awal abad XX, Agama Katolik dibawa masuk ke Kei. Datangnya misi Katolik telah ditarik oleh permintaan seorang pengusaha kayu dari Jerman, Adolf Langen, yang menyurati pusat misi Katolik di Batavia (sekarang Jakarta). Langen meyakini bahwa Katolik dapat menyelamatkan orang-orang Kei pagan dari dominasi Muslim di sana. Karena keyakinan ini, Langen mengirim surat kepada pusat misi Katolik untuk mengenalkan Katolik di Kei. Keyakinan Langen ini juga dirasakan oleh van Hovell (1890) yang dikirim oleh pemerintah Belanda untuk memverifikasi kebenaran permintaan
1 Lihat Reidel (1886), van Hovell (1890) and Barraud (1979, 1990) untuk informasi lebih detail tentang kepercayaan/agama. 2 Saat pemerintah Orde Baru hanya mengakui hanya lima agama di Indonesia, yakni Katolik, Protestan, Islam, Budha dan Hindu, orang-orang ini mengasosiasikan menyebut mengakui diri mereka beragama Hindu. 6 Lagen. Kedua orang ini mengatakan bahwa Muslim cenderung mengeksploitasi, memanipulasi dan mengenalkan kebiasaan buruk kepada orang Kei pagan. (van Hevell 1890; Schreurs 1992). Dengan ijin pemerintah Belanda, misi Katolik Pusat mendirikan sebuah misi di Langgur, Kei Kecil, yang kemudian menjadi salah satu pusat kegiatan misionaris di Indonesia Bagian Timur. Terakhir, misi Protestan tiba juga di Kepulauan Kei. Misi protestan mencoba mengajak kaum pagan yang belum memeluk Islam maupun Katolik untuk memeluknya. Karena Katolik berbasis di Kei Kecil yang oleh karenanya memulai misi mereka dengan meng- Katolikkan orang Kei Kecil, setidaknya pada awal masuknya, misi Protestan pergi ke Kei Besar dan memulai penyebaran agama itu di sana. Dari segi demografis, komposisi Muslim, Protestan, Katolik, pagan dan agama lain tergambarkan pada table 1. Tampak pada table, bahwa pemeluk pagan hamper semuanya telah berganti agama. Populasi Muslim selalu lebih besar dari jumlah pemeluk Katolik maupun Protestan. Namun demikian setidaknya sejak 1930, penduduk Muslim telah lebih kecil dari jumlah gabungan pemeluk Kristen dan Katolik. Sementara itu, pemeluk Katolik selalu lebih banyak dari umat Protestan. Table 1: Penduduk Kei berdasarkan Agama (1887- 1984) Muslims Protestan Katolik Lainnya Total 1887 5,893 - - 14,137* 20,030 1915 12,000 3,000 8,000 7,000* 30,000 1930 20,000 11,000 13,000 6,000* 50,665 1984 41,175 25,530 33,241 821 72,515 Sumber : diadaptasi dari Laksono (1990, 26 and122) Catatan: *Pagan, Hindu and Buddha (sebagian di antaranya masih Pagan).
7 C. Konsep Asal-usul (Origin) dan Struktur Asal (Origin Structure)
Toom dalam bahasa Kei adalah hal paling penting yang harus kita bahas jika kita ingin menjelaskan konsep asal-usul (origin) dan struktur asal (origin structure) pada masyarakat Kei. Demikian, karena toom atau apa yang biasa kita sebut narrative of origin atau origin narrative, adalah sejarah lisan yang menjelaskan proses pembentukan sebuah domain tradisional atau unit kesatuan sosial dan wilayahnya. Orang Kei percaya bahwa semua yang terekam dalam narrative origin adalah peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Peristiwa-peristiwa ini sangat penting karena ia menjelaskan proses terjadinya dunia sosial budaya mereka. Bagi orang Kei, toom adalah sejarah asal- usul mereka. Oleh karenanya, toom merupakan rujukan utama untuk menjelaskan struktur asal mereka, menjelaskan status orang dan objek dalam hubunganya dengan orang atau objek lain. Pentingnya toom tidak hanya untuk menjelaskan status orang dan objek pada masa lalu, tetapi juga menjelaskan posisi mereka pada dunia kontemporer saat ini. Memperhatikan isinya, ada dua kategori origin narrative di Kepulauan Kei. Kategori pertama adalah narrative yang menjelaskan pertemuan antara pendatang (immigrants) dengan orang asli (indigenous) Kei. Narrative kategori ini menjadi rujukan dalam penjelasan struktur asal terkait hubungan antara Kelompok atau Kaum Bangsawan (Mel) dengan Orang Merdeka (Ren). 3 Kategori yang kedua adalah narrative yang menjelaskan pertemuan dua atau lebih kelompok pendatang. Narrative seperti ini menjadi acuan dalam menjelaskan hubungan antara kelompok-kelompok kerabat (fam) yang berbeda tetapi berada dalam satu kaum, pada utamanya di dalam Kaum Bangsawan (Mel). Paparan berikut akan memberikan beberapa contoh dari narrative tersebut di atas dan memperlihatkan bagaimana narrative ini dipakai untuk (1) menjelaskan hubungan antara Kaum Bangsawan (Mel) dan Orang Merdeka (Ren) serta (2) menjelaskan distribusi kekuasaan di dalam dan di antara kelompok di atas. Contoh pertama adalah narrative yang dikenal oleh seluruh orang Kei. Sementara contoh kedua adalah narrative khusus
3 Orang Kei mengenal tiga kelompok sosial dalam stratifikasi sosial mereka yakni kaum atau Kelompok Bangsawan (Mel), Orang Medeka (Ren) dan Budak (Iri). Tulisan ini lebih memfokuskan pada hubungan dua kelompok disebut pertama saja. 8 pada komunitas Desa (Negeri) Dullah Laut di Pulau Dullah Laut, Kepulauan Kei Kecil (Gambar 1). Meskipun peristiwa-peristiwa detail pada contoh kedua hanya berlaku dan diakui pada komunitas Desa Dullah Laut, tema besarnya, yakni pertemuan antara para pendatang adalah tema yang umum dimiliki komunitas desa-desa lain di Kei. Karenanya cerita ini bisa merupakan contoh untuk kategori cerita kedua. Versi singkat dari narrative kategori pertama adalah sebagai berikut: Orang Kei percaya bahwa penduduk asli (indigenous) Kei adalah mereka yang muncul dari tanah atau laut di sekitar mereka. Orang-orang asli ini bisa merupakan orang yang berasal dari binatang dan tanaman yang tumbuh di kepuauan Kei. Orang-orang inilah yang menempati Kei pertama kali. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tanah maupun laut di Kepulauan Kei. Oleh karenanya, mereka berhak untuk bergelar Tuan Tanah (Tuan Tan). Secara ketegorial mereka disebut sebagai kelompok Ren. 4 Kelompok Ren yang terkenal adalah Ren Vuar Tel (Ren dari tiga gunung), Ren Kerbau Hungar Narnar Naa Vulurtel and Ren Tamarlor (Temar Vut). Suatu saat, pendatang yang berasal dari berbagai tempat seperti Bali, Sumba, Ternate, Jailolo, Luang dan lain-lain 5 tiba di Kei dan berjumpa dengan Tuan Tan. Karena berbagai alasan, para pendatang ini diterima dan masuk menjadi bagian dari masyarakat Kei. Renyaan (1990, 3) dalam bukunya Sejarah Adat Kei mencatat bahwa berbagai versi narrative dalam kategori ini menyebutkan bahwa para pendatang ini berkarakter pintar, berani, dan karakteristik unggul lainnya. Karakteristik ini telah mengantarkan mereka untuk selalu menang dalam berbagai kontes dengan penduduk asli. Beberapa versi malah menyebutkan, karena karakteristik unggul ini lah orang-orang asli mengundang para pendatang untuk tinggal bersama dan memimpin (memerintah) mereka. Versi yang lain menyebutkan bahwa integrasi para pendatang dengan orang asli terjadi berdasarkan kesepakatan mengenai distribusi kekuasaan di antara mereka. Orang asli menguasai hal-hal yang terkait dengan hak atas wilayah (tanah dan laut), sementara pendatang mendapatkan kekuasaan yang terkait dengan urusan pemerintahan. Menariknya, meskipun kedua versi masih menganggap bahwa orang asli masih berhak atas gelar Tuan Tan, tetapi
4 Sebenarnya ada narrative yang menjelaskan bahwa beberapa kelompok orang asli Kei bisa juga menjadi Kelompok Bangsawan (Mel), namun demikian, kaum bangsawan menganggap cerita itu sebagai kekecualian saja artinya tidak umum. 5 Tempat asal dari para pendatang ini terekam dalam nama-nama kelompok mereka seperti Mel Bal Sumbau yang berarti kelompak dari Bali dan Sumba, Mel Luang Maubes yang berarti kelompok dari Luang dan Pulau Maubes, Mel Delo-Ternat yang berarti kelompok dari Jailolo and Ternate).
9 versi pertama menjadikah ini hanya sebagai gelar saja tanpa kekuasaan nyata. Narrative persi pertama ini hanya memahami Tuan Tan sebagai mereka yang tahu tentang wilayah/teritori komunitas yang bersangkutan. Sementara narrative versi kedua memahami Tuan Tan sebagai mereka yang memiliki kekuasaan atas hal-hal terkait wilayah/territori dari komunitas yang bersangkutan. Selanjutnya, menurut Renyaan (1990, 3), posisi sebagai penguasa pemerintahan menjadikan pada pendatang sebagai Kelompok Bangsawan (Me), pemuka atau pemimpin (diru) dan sebagai mereka yang berbicara (wawaat) serta pembagi (ham wang). Seperti telah disebutkan terdahulu, narrative seperti ini menjadi rujukan utama dari penjelasan mengenai hubungan antara Kaum Bangsawan (Mel) dengan Orang Merdeka (Ren) yang tidak lain adalah hubungan orang asli (indigenous) dengan pendatang yang telah diintegrasikan menjadi orang Kei. Menariknya, pada umumnya, Kaum Bangsawan dan Orang Merdeka mempercayai versi atau internpretasi yang berbeda, untuk tidak mengatakan yang kontradiktif. Kelompok Orang Merdeka percaya bahwa struktur dari hubungan mereka dengan Kaum Bangsawan adalah sederajat atau horizontal dengan distribusi kekuasaan yang jelas. Kaum Bangsawan memiliki kekuasaan politik yang oleh karenanya berhak untuk memimpin pemerintahan, seperti halnya hak menjadi kepala desa (negeri) dengan gelar orang kaya atau memimpin federasi negeri (Ratschaap) dengan gelar Rat. Sementara itu, kekuasaan yang menyangkut territori atau kewilayahan ada di tangan Orang Merdeka (Ren). Diyakini, dari perspektif Orang Merdeka, bahwa gelar Tuan Tan adalah bukti dari hak-hak kewilayahan ini. Sebaliknya, Kaum Bangsawan meyakini argumen yang berbeda mengenai struktur hubungan Mel dan Ren. Dari perspektif mereka, adalah jelas bahwa sejak pertemuannya dengan orang asli, bahkan sebelum di antara kedua kelompok bernegosiasi, pendatang sudah digambarkan berstatus lebih unggul dari pada Ren. Bagi Mel, posisi mereka sebagai pemimpin adalah jaminan bahwa mereka lebih tinggi dari pada Tuan Tan, lepas dari arti apapun yang melekat pada gelar itu. Nampaknya, keyakinan bahwa mereka lebih tinggi dari pada Ren lah yang membuat kaum bangsawan ini menekankan kejelasan batas sosial antara kaumnya dengan kelompok lain, terutama Ren, pada narrative tentang Hukum Larvul Ngabal (Hukum Darah Merah dan Tombak dari Bali). Menurut beberapa narrative, Hukum Larvul Ngabal adalah satu set dari aturan-aturan yang dibuat pada dua 10 pertemuan Kaum Bangsawan. Pada saat itu para bangsawan menyadari bahwa masyarakat Kei berada pada jaman kekacauan atau dalam bahasa popular sekarang disebut sebagai jaman jahiliah. Jaman itu ditandai dengan banyaknya terjadi perampokan dan perjinahan. Untuk mengatasi kondisi demikianlah, melalui dua pertemuan itu, kaum bangsawan bersepakat untuk menciptakan dan menegakkan Hukum Larvul Ngabal yang berbunyi: 1. Uud entauk na atvunad (Kepala kita berada di atas leher kita) 2. Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihargai, diagungkan) 3. Uil nit enwil rumud (Kulit terbuat dari tanah membungkus badan kita) 4. Lar nakmot na rumud (Darah berada dalam tubuh kita) 5. Rek fo kilmutun (Perkawinan harus selalu dilakukan dengan benar sehingga kesuciannya terjaga) 6. Morjain fo mahilin (Tempat wanita untuk dihargai, diagungkan) 7. Hira ini fo ini, it did fo it did (Punya mereka adalah milik mereka, punya kita adalah milik kita) Menurut pemahaman orang Kei, aturan-aturan dalam Hukum Larvul Ngabal ini dapat dikasifikasikan kedalam tiga kategori. Pertama adalah aturan-aturan yang mengangkat tema yang sama yakti prinsip-prinsip umum berperilaku. Hukum-hukum dalam kategori ini disebut Hukum Nevnev. Dalam rumusan Hukum Larvul Ngabal, hukum Nevnev adalah hukum no 1 sampai 4. Hal yang menarik, dengan menggunakan tubuh manusia bagian atas sebagai analogi, isu yang pertama kali diangkat adalah kepala sebagai bagian utama yang mengontrol semua bagian dari tubuh manusia. Konsep utama yang lahir dari analogi ini adalah kewajiban yang tak terbantahkan untuk mematuhi dan mengagungkan para pemimpin. Dalam bahasa agama, ini mengacu pada kewajiban menyembah tuhan (duad). Dalam dunia sosial, kepala atau pemimpin adalah Kaum Bangsawan (Mel), yang oleh karenanya Orang Merdeka (Ren) dan Budak (Iri) berkewajiban untuk mentaati dan mengagungkannya. Hukum yang kedua, ketiga dan ke empat, menguatkan hukum yang pertama dengan menggambarkan kewajiban spesifik untuk menghargai kehidupan (hukum No. 2), tidak membicarakan perilaku buruk orang 11 lain (hukum No. 3) dan tidak menyerang (secara fisik) orang lain (hukum No. 4). Hukum No. 5 dan 6 disebut Hukum Hanilit mengatur masalah perempuan dan perkawinan. Issu penting dalam konteks ini adalah masalah siapa boleh mengawini siapa. Satu-satunya jawaban atas pertanyaan ini adalah endogami kaum: kaum bangswan harus kawin sesamanya, Orang Merdeka mengawini anggota kelompok Orang Mardeka, demikian dengan Kaum Budak (Iri) mereka sama sekali tidak boleh mengawini orang di luar kelompoknya. Perkawinan yang melenceng dari ketentuan ini akan terkena hukuman. Hukuman yang paling tinggi, pengusiran, akan diberikan jika laki-laki dari Kaum Ren, apalagi Iri, menikahi perempuran dari Kaum Bangsawan. Persoalan sexual harassment yang diatur oleh hukum No. 6 adalah juga berkenaan dengan batasan kelompok/kaum. Hukuman dari sexual harassment --yang melingkupi penghamilan, menyentuh tubuh perempuan dan yang lainnnyadi antara orang dalam satu kelompok sosial bisa ditawar-tawar, namun demikian perilaku yang sama tetapi dilakukan oleh laki- laki dari Kaum Budak kepada perempuan Ren, apalagi Bangsawan (Mel) atau laki-laki Ren kepada perempuan Bangsawan akan dihukum berat. Sebaliknya, sexual harassment yang dilakukan oleh laki-laki Bangsawan harus ditutupi atau tidak dipersoalkan. Perlakuan yang berbeda ini menunjukkan bahwa Hukum Nevnev sebenarnya lebih menaruh perhatian pada persoalan batas sosial antar kaum dari pada meletakkan pengaturan umum berperilaku. Hukum No. 7, mengatur issu khusus, yakni kepemilikan. Hukum ini disebut sebagai Hawear Balwirin. Menariknya, hukum inipun tidak hanya mengatur tentang kepemilikan barang seperti tanah, rumah, pakaian atau perhiasan, tetapi ia juga mengatur batasan sosial. Ohoitimur (1983, 64) mencatat bahwa versi komplit dari hukum ini adalah: Hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did, mel fo mel, ren fo ren, iri fo iri, teen fo teen, yanyanat fo yanyanat, yaan fo yaan, warin fo warin. (Punya mereka adalah milik mereka, punya kita adalah milik kita, Kaum Bangsawan (Mel) adalah Bangsawan (Mel), Orang Merdeka (Ren) adalah Orang Merdeka (Ren), Kaum 'Budak (Iri) adalah Kaum Budak (Iri), orang tua dalah orang tua, anak-anak adalah anak-anak, yang kakak adalah kakak, yang adik adalah adik). Penyebutan nama kaum pada versi lengkap Hukum Hawear Balwirin ini jelas sekali mengarisbawahi pentingnya batas antar kelompok sosial yang ada di Kepulauan Kei. 12
Ide pokok yang ingin ditunjukkan pada paparan mengenai Hukum Larvul Ngabal di atas adalah bahwa, setelah mendeklarasikan kedudukan lebih tinggi sebagai pemimpin, Kaum Bangsawan menarik batas sosial yang jelas yang membedakannya dengan kelompok Orang Biasa (Ren) dan Kaum Budak (Iri). Dua kelompok teakhir berkewajiban untuk tunduk, taat dan menghormati Kaum Bangsawan seperti diatur dalam Hukum Nevnev. Batas sosial ini dipertegas dengan larangan kawin lintas kaum, bahkan penghukuman yang serius terhadap sexual harassment lintas kaum (Hukum Hanilit). Tertutupnya pintu untuk berkawin campur berarti tertutup pula kesempatan mengendornya batas sosial antar Bangsawan, Orang Merdeka dan Budak. Sekarang kami ingin melanjutkan tulisan ini dengan menjelaskan contoh dari narrative kategori kedua yakni narrative yang menjelaskan pertemuan orang-orang pendatang pada satu wilayah tertentu dan bagaimana narrative ini digunakan untuk menjelaskan origin structure di komunitas yang bersangkutan. Untuk keperluan ini, kami akan menngambil contoh narrative yang berlaku di Desa (Negeri) Dullah Laut yang tinggal di Pulau dengan nama yang sama (Gambar 1). Semua orang di Dullah Laut sepertinya setuju kalau dikatakan bahwa kelompok kerabat (fam) Henan adalah fam yang pertama mendirikan pemukiman di Pulau Dullah Laut. 6
Sebagai kelompok pemukim pertama, mereka berhak atas gelar dan posisi Tuan Tan. Gelar ini mengindikasikan bahwa mereka adalah pemilik tanah dan lautan di dan sekitar pulau itu. Sebagai Tuan Tan, semua hal yang terkait dengan masalah kewilayahan, misalnya jika seseorang akan membuka kebun, haruslah dikonsultasikan dan mendapat ijinnya. Sebagai Tua Tan, Henan juga dianggap memiliki hubungan spiritual dengan tanah dan lautan yang menjadi wilayah dari komunitas Dullah Laut. Henan juga dianggap memiliki hubungan khusus dengan kekuatan gaib yang menjadi penunggu atau penghuni wilayah mereka. Dengan posisi ini, Henan tidak hanya dibutuhkan karena pengetahuannya tentang wilayah komunitas itu, tetapi juga karena dia bisa berkomunikasi dengan dunia gaib yang hidup dan melindungi wilayah Dullah Laut, sebuah kekuatan
6 Riedel (1886, 218) mencatat bahwa penduduk pertama Pulau Dullah Laut dilahirkan dari pohon pinang. Namun demikian dia tidak menyebutkan bahwa mereka adalah fam Henan. 13 yang juga harus dimintakan restunya pada saat-saat tertentu. Sayangnya, kelompok kerabat (fam) ini dinyatakan telah hilang. 7 Ada dua versi versi narrative yang menceritakan alasan menghilangnya fam Henan. Versi mengatakan bahwa orang-orang dari fam Henan yang memiliki ciri fisik pendek dengan telinga besar seperti telinga gajah, terdesak oleh pada imigran dan masuk ke dalam hutan yang pada akhirnya mengisolasi diri dan berubah menjadi orang ilang-ilang. 8 Sementara versi kedua menjelaskan bahwa Henan yang menjadi orang ilang-ilang hanyalah Henan dari Kaum Ren, sementara Henan dari Mel hilang karena keturunannya memang habis. Cerita tentang Henan ini sangat penting bagi kelompok kekerabatan (fam) lain yang ada di Dullah Laut. Mengapa demikian, karena hilangnya Henan sebagai Tuan Tan menyebabkan Dullah Laut menjadi Pulau tak bertuan. Keadaan ini membuka kesempatan bagi fam yang lain untuk berebut klaim penguasaan atas wilayah Dullah Laut. Cerita hilangnya Henan juga menhilankan kemungkinan terjadinya kontestasi antara Kelompok Bangsawan (Mel) dan Orang Merdeka (Ren) seperti yang diceritakan pada narrative kategori pertama. Hal ini terjadi karena pemegang jabatan Tuan Tan tidak ada lagi, dengan demikian perebutan antara kekuasaan kewilayahan dan pemerintahan antara kedua kelompok tidak terjadi. Ini berarti, di Dullah Laut, kekuasaan kewilayahan secara otomatis ditransfer dari kelompok Ren yang hilang ke kelompok bangsawan. 9
Dengan demikian kekuasaan kewilayahan dan pemerintahan digabungkan menjadi satu issu dan berada di bawah penguasaan pemimpin pemerintahan Desa. Oleh karenanya, posisi kepala dan perangkat desa menjadi objek kontestasi yang sangat penting. Karena posisi kepemimpinan harus selalu merujuk pada struktur asal (origin structure), maka narrative of origin kategori kedua, yakni narrative yang menjelaskan pertemuan antara kelopok pendatang menjadi sangat penting.
7 Sebuah narrative yang menyatakan hilangnya Tuan Tan yang asli terdapat pada komunitas Desa Ohoitel (Laksono 1990, 101). 8 Dalam persepsi orang Dullah Laut, orang ilang-ilang bukanlah mahluk jadi-jadian atau setan. Mereka adalah manusia bisa, tetapi, karena suatu alas an, mereka mengisolasi diri ke dalam dunia yang tidak tampak oleh orang kebanyakan. Namun demikian, orang ilang-ilang dipercayai sebagai tidak bisa mati dan sakti. 9 Van Hovell (1890, 132) mencatat transfer kekuasaan seperti ini telah terjadi beberapa tahun sebelum dia berjalan ke Kepulauain ini pada bulan Oktober dan November 1887. 14 Klaim sebagai pendatang pertama ke Dullah Laut diajukan, melalui narrative versi masing-masing, oleh dua pasang fam yakni Henan(2) 10 -Rahaded and Yamko-Lumevar. Klaim mereka didasari narrative yang menjelaskan kedatangan leluhur mereka di Dullah Laut. Narrative Henan(2)-Rahaded fam berawal dari Desa Haar yang terletak di pantai timur bagian utara pulau Kei Besar. Diceritakan bahwa seekor naga yang mengamuk telah menyebabkan penduduknya meninggalkan desa tersebut. Untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh naga tersebut, Bad dan Sam, dua orang dari penduduk desa, berlayar ke arah utara, melalui Tanjung Burang yang terletak di ujung pulau itu, kemudian berbelok ke arah Barat daya. Pada akhirnya, mereka berlabuh di Pantai Pulau Dullah Laut. Menurut versi kedua narrative ini, Bad dan Sam diterima oleh Henan. Bad tinggal di sana, kawin mawin dan menciptakan kelompok kerabat (fam) yang bernama Rahaded. 11 Sementara itu, Sam diadopsi oleh kelompok kerabat Henan karena sedikitnya jumlah individu anggota fam ini. Dengan demikian, saat keturunan Henan yang asli habis, Sam melanjutkan keberlangsungan fam ini. Bagi Henan(2) dan fam Rahaded fam narrative ini adalah bukti dari kehadiran mereka sebagai pendatang pertama di Dullah Laut. Seperti disebutkan dalam narrative ini, moyang mereka yang bernama Sam dan Bad diterima oleh Henan asli yaitu Tuan Tan dari Dullah Laut. Lebih jauh, diadopsinya Sam oleh Henan asli, tidak hanya meningkatkan asosiasi mereka dengan Henan, tetapi juga menggambarkan adanya hubungan khusus andara kedua pendatang dengan Henan asli. Status Henan(2) sebagai pendatang pertama juga didukung oleh narrative lain yang menceritakan kedatangan moyang fam Raharusun-Rahawarin. Moyang dari fam ini dipercayai dating dari Luang, bagian lain dari Maluku. Mereka pada awalnya pindah dari Luang dan tinggal di Langgiar Fer di bagian selatan Pulau Kei Besar, kemudian pindah ke Tetoat di Pulau Kei Kecil. Wabah diare memaksa mereka untuk meninggalkan
10 Henan dalam narrative ini adalah Henan kedua. Henan pertama adalah fam Tuan Tan yang telah hilang seperti dijelaskan terdahulu. 11 Orang dari fam ini menganggap bahwa nama Rahaded, yang berasal dari kata rahan dan ded, berarti rumah yang mengawali (pioneer). Sementara dari fam lain mengartikannya sebagai rumah yang berada di seberang jalan. 15 Tetoat. 12 Berlayar ke arah utara, moyang Raharusun-Rahawarin berlabuh di sebuah perairan dangkal (met) di dekat Pulau Dullah Laut. Untuk menghindari wabah itu, mereka hidup di atas perahu selama tiga bulan. 13 Pada akhirnya, mereka ditemukan oleh sepasang suami istri dari fam Henan(2) yang bernama Sertut Renan (ibunya Sertut) and Sertut Yaman (bapaknya Sertut). Kedua orang ini mengundang mereka yang tinggal di perahu untuk bergabung bersama tinggal di Pulau Dullah Laut. Untuk menunjukkan niat mereka yang baik, kedua orang dari Henan itu memberikan Pulau Moa, sebuah pulau di belakang Dullah Laut, dekat dengan tempat boat berlabuh, sebagai hadiah (satwaha) kepada para pendatang itu. Percakapan antara mereka, terekam dalam sebuah nyanyai adat yang berbunyi: Henan: It yaaw waruh mehe at bahaok umat antal o dan be at her ardofa, it tes atdok did nuhu tanat, nuhutanat ohoi Duroa (Kami hanya berdua, mencari orang lain untuk hidup bersama kami di Pulau dan Tanah yang disebut ohoi Duroa [Dullah Laut]) Raharusun: Ooo am yaaw wartil am takloen amtav nuhu Tetoat, we lo mama amba haok mang rir nuhu atau tanat am her vo amnes amdok am ames ohoi nuhu ain mehe (Kami tiga bersodara, pindah dari Tetoat, mencari pulau orang lain atau tanah di mana kami bisa tinggal dan hidup bersama) Henan: Am her il imdok fo ites at dok famehe yu nau amna mo mam nuhu tanat oo mam ohoi meman Duroa ooooo (Kami meminta anda untuk datang dan tinggal bersama di pulau/tanah kami yang bernama Duroa [Dullah Laut]) Raharusun: Im bir ohoi bir woma naa te waaed ooo? (Apakah kampung anda punya pusat?) Henan:
12 Van Hovell (1890,153) mencatat bahwa epidemi seringkali memaksa orang untuk meningggalkan kampungnya dan membentu kampung baru di tempat lain. 13 Sebagai penanda peristiwa ini, perairan tempat berlabuh itu disebut Ibun vuantil (ibun = dasar atau rumput laut, vuantil = tiga bulan) 16 Woma meman Varne Harmas oooo (Nama pusatnya adalah Varne Harmas ooo) Raharusun: Bir ngur meman aka ooooo (Apakah nama pasir anda?) Henan: Ngur Lak Laver ooo (Ngur Lak Laver ooo) Raharusun: Bir tahait meman aka ooo (Apa nama air lautnya?) Henan: Tahait Sir Dabro (Tahait Sir Dabro) Raharusun: Bir nam meman aka ooo (Apa nama laut dalamnya?) Henan: Nam Ngil Ublay ooo (Nam Ngil Ublay) Masyarakat Kei menanggap lagu seperti ini sebagai bukti paling kuat dari kebenaran sebuah narrative. Kebenaran apa yang dibuktikan oleh lagu ini? Yaitu, kebenaran Henan sebagai tokoh yang sangat berpengaruh/berkuasa. Hal ini ditunjukkan dengan undangannya terhadap moyang Raharusun-Rahawarin. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau kewenangan saja yang bisa mengundang orang lain untuk tinggal bersama mereka. Cerita bahwa Henan memberikan Raharusun sebuah pulau sebagai hadiah, memperkuat hal ini. Tambahan pula, jawaban-jawaban Henan terhadap pertanyaan-pertanyaan nama-nama adat dari wilayah Dullah Laut juga menunjukkan pengetahuan yang luas dari Henan mengenai wilayahnya. Pengetahuan ini tentu hanya dimiliki oleh orang yang memang punya kewenangan atas wilayah Dullah Laut. Lagu ini juga menunjukkan asosiasi Henan dengan pusat kampung yakni Woma Varne Harmas. 17 Keseluruhan itu menjadi dasar yang kuat bagi Henan untuk mengklaim bahwa mereka adalah fam pemimpin desa (negeri) yang disebut sebagai warmiming. Narrative yang berasal dari fam Yamko-Lumevar 14 menjadi sumber klaim yang berbeda atas Dullah Laut. Konflik antara Kelompok Bangsawan (Mel) dan kelompok yang dianggap lebih rendah telah memaksa Varne dand istrinya (Amav Ohoiwutun), moyang dari fam Yamko, untuk pindah dari Uv di Pulau Kei Kecil. Mereka menemukan bahwa Awear, suatu tempat di bagian utara Pulau Dullah Laut sebagai tempat yang bisa dihuni, oleh karenanya mereka tinggal di sana. Mereka kemudian memiliku dua anak yang bernama Yabken Nibmas and Lumas. Anak pertama dilahirkan dengan gigi emas, karenanya kemudian menjadi pandai emas dan tempat tinggalnya juga diberi nama sama dengan profesinya Vaan Fomas (vaan = goa, fomas = tukang emas). Narrative ini berlanjut dengan menceritakan kedatangan moyang fam lain dan hubungannya dengan Yamko. Terusir dari Pulau Banda, Kabirmoyang dari fam Nuhuyanan berlabuh di Wada Iyuwahan, suatu tempat di bagian utara Pulau Dullah Laut, (Gambar 2). 15 Karena kondisi pantainya tidak memungkinkan untuk dihuni, Kabir melanjutkan perjalanannya ke Pulau Wara Fangohoi, sebuah pulau yang terletak sebelah Timur Dullah Laut. Pulau ini kemudian diganti namanya menjadi Pulau Rumadan (Rumah Orang Banda). Kabir ditemukan oleh Varne. Dia kemudian diundang untuk bergabung tinggal di Awear. Kabir menyetujuinya. Varne kemudian mengawinkan Kabir dengan anaknya yang bernama Lumas. Berawal dari penggalan waktu ini, sebuah pemukiman (ohoi), mulai terbentuk. Dipimpin oleh Varne, keturunannya bersama keturunan Kabir mendirikan sebuah perkampungan. Pertama, lokasi perkampungan ini adalah di Vaan Fomas, kemudian pindah ke arah lebih darat, sebuah tempat yang bernama Tenantua. Bersamaan dengan perkembangan jumlah
14 Fam Yamko dan Lumevar dianggap berasasal dari moyang adik kakak, karenanya mereka disebut sebagai fam adik-kakak. Sama seperti Fam Henan asli, fam Lumevar juga habis, tidak ada keturunannya. 15 Sebuah batu yang bebentuk mirip kerang besar di Wada Iyuwahan diyakini sebagai bekas alat transportasi Kabir dari Banda. Oleh karenanya, batu ini dianggap sebagai bukti perjalanannya dan bukti kenenaran narrative ini. 18 penduduk, Tenantua menjadi terlalu kecil. Ahkirnya mereka berpindah beberapa kilometer ke arah selatan dan mendirikan kampung baru di situ. Di pemukiman terkahir ini, Varne diabadikan sebagai nama pusat kampung. Fragmen cerita ini digunakan oleh fam Yamko sebagai dasar klaim mereka atas posisi penting atau pemimpin di Pulau Dullah Laut. Nama pusat Desa, Woma Varne, adalah bukti kuat dari kebenaran cerita dan karenanya sekaligus menjadi bukti kuat dari posisi penting mereka. Dalam hal ini, mereka meyakini bahwa pemberian nama pusat kampung tersebut memang sengaja untuk mengingat posisi Varne sebagai Hilaay (yang besar) atau pemimpin. Vaan Fomas and Tingivan adalah juga bukti dari posisi penting mereka. Tingivan adalah sebuah relief berbentuk wajah yang terletak di dinding sebuah batu cadas di pantai. Relief terseubtr diyakini sebagai wajah seorang pembantu Varne. Hal lain yang juga dapat dijelaskan oleh narrative ini adalah posisi Yamko yang lebih tinggi dari fam Nuhuyanan. Dua narrative di atas jelas menjadi sumber legitimasi dari masing-masing fam untuk mengklaim posisi penting mereka. Keduanya sama-sama kuat dan bisa menyebabkan masalah kepemimpinan di Dullah Laut tidak terpecahkan. Menariknyan, ada fragmen narrative lain yang menjadi penengah dari dua versi di atas. Fragmen ini mengakui bahwa kedua pasang fam di atas (Henan-Rahaded dan Yamko-Lumevar) sebagai pendatang pertama di Pulau Dullah Laut. Hal ini dimungkinkan karena diceritakan bahwa moyang kedua pasang fam ini menguasai bagian yang bebeda dari Pulau Dullah Laut. Henan-Rahaded, Raharusun-Rahawarin, yang secara berkelompok disebut Ohoiroa, tinggal dan menguasai bagian selatan dari Pulau Dullah Laut dengan nama pusat kampong Woma Hermas. Yamko-Lumevar, Nuhuyanan (dan kemudian Songyanan), yang disebut kelompok Fauur, mendiami dan menguasai bagian utara dari pulau yang sama, dengan Woma Varne sebagai nama pusat kampung mereka. Kedua kelompok ini, membangun dan menguasai kampung dan wilayahnya masing-masing. Pada saat mereka menyadari bahwa di bagian lain pulau itu ada kelompok lain yang tinggal, mereka pun mendirikan batas berupa pagar batu (lutur). Pada akhirnya, perkawinan campur antara kedua kelompok dan ancaman serangan yang 19 datang dari orang-orang di luar pulau, telah mengarahkan mereka untuk bergabung, menyatu. Untuk alasan ini, mereka masing-masing meninggalkan tempat pemukimannya dan membuat pemukiman baru bersama di tempat yang pada saat ini disebut Kampung Serani (Ohoisaran). Setelah bergabung kedua kelompok ini menamakan diri kelompok Ohoiroa Fauur. Peristiwa penggabungan ini merupakan rujukan penting dalam sejarah orang Dullah Laut karena sejak saat ini kekuasaan kewilayahan dan pemerintahan dibagi secara bersama di antara kedua kelompok yang terdiri dari delapan fam ini. Dengan ini, semua keputusan yang terkait dengan masalah-masalah kewilayahan dan pemerintahan harus diputuskan bersama oleh ke delapan fam Ohoiroa Fauur. Narrative ini telah merubah arah wacana kepemimpinan di Dullah Laut dari wacana yang berbasis pada issu pendatang pertama atau disebut sebagai founder focused ideology (Bellwood 1996) ke wacana yang menekankan pentingnya kecakapan perseorangan atau personal achievement ideology. Maksud dari personal achievement adalah kesuksesan seseorang dalam memainkan peranan pada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Dullah Laut. Wacana alternatif ini telah mengangkat orang-orang yang tadinya sub- ordinat ke dalam posisi-posisi pimpinan. Untuk memperjelas poin ini, kami akan menggunakan contoh narrative berikut: Bal Ulab Nuhuyanan dikenal sebagai pengawal dari hukum yang mengatakan: an vehe an hov vehe ngoan, an leak an hov leak tutu, an it vaha an hov yer tetan ([mereka yang mendayung] harus mendayung dengan sisi tajamnya, mereka yang mendorong perahu dengan tongkat panjang] harus menggunakan tongkatnya secara terbalik, [siapa yang mau mengeringkan perahunya] harus mengeringkan dengan punggung serokannya). Hukum ini menekankan pada aturan terhadap orang-orang yang berurusan dengan komunitas ini untuk tunduk dan menghormati komunitas lokal dan pimpinannya. Bal Ulab Nuhuyanan sangat kuat dan strik dengan hukum ini. Tiada satupun yang melanggar dapat lolos dari hukumannya. Itu sebanya dia mendapat gelar anvitik sarab ribat naa bad maar (halilintar dari utara). Arnuhu, seorang rat (raja) dari Danar di bagian selatan Pulau Kei Kecil, menganggap Bal Ulab sebagai orang yang berbahaya tetapi juga sebagai sekutu yang baik. Karena pertimbangan itu, raja mengirim penghargaan yang berupa medali berbentuk bulan yang disebut mas a yam vot. Melalui pemberian medali ini, raja Danar bermaksud mengangkat Bal Ulab Nuhuyanan sebagai raja untuk wilayah Dullah Laut dan sekitarnya, dan tentu saja menjadi sekutu Danar. Karena pertimbangan bahwa Dullah Laut adalah Pulau yang Kecil, Bal Ulab Nuhuyanan menolak mengangkatan ini dan 20 menyarankan pemberian a yam vot ke pemimpin di Pullau Dullah Darat. Usulan ini diterima raja Danar, maka Baldu Wahadat seorang pimpinan dari Dullah Darat diangkat menjadi raja (rat). 16
Narrative ini menunjukkan kepintaran dan keberhasilan seorang yang bernama Bal Ulab. Apresiasi terhadap kecakapan tokoh ini telah mengangkat derajat fam Nuhuyanan. Dengan dasar narrative ini Bab Ulab dan keturunannya pada fam Nuhuyanan mendapat hak untuk menjadi pemimpin di Dullah Laut. Sekarang, marilah kita melihat bagaimana origin structure yang diceritakan dalam narrative ini diwujudkan dalam pengorganisasin pemerintahan di desa (negeri) Dullah Laut. Seperti dijelaskan di muka, orang Dullah Laut menganggap bahwa pemilik kekuasaan tertinggi di desa adalah Ohoiroa Faur, yaitu kelompok fam yang moyangnya terlibat pada proses pembentukan desa ini. Pengambilan keputusan mengenai hal-hal penting di desa yang biasanya diselenggarakan melalui musyawarah, haruslah dihadiri oleh wakil-wakil dari fam yang tergabung dalam Ohoiroa Fauur. Merekalah secara bersama yang akan berdiskusi dan mengambil keputusan. Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, Ohoiroa Fauur mendelegasikan kekuasaannya kepada perangkat desa yang di antaranya terdiri dari Kepala Desa (Orang Kaya), Panglima Perang, Imam dan Kepala Kampung (Gambar 3). Jabatan-jabatan ini juga diduduki oleh wakil-wakil dari fam yang tergabung dalam Ohoiroa Fauur itu (Gambar 3). Dengan demikian terlihat jelas bahwa pemerintahan desa dijalankan melalui pola kepemimpinan bersama dari mereka yang merepresntasikan Ohoiroa Fauur. Pola seperti ini adalah wujud penterjemahan langsung dari origin structure yang diceritakan pada narrative of origin mereka.
16 Raja Ibra terdahulu, Moh. Fagi Renwarin (Renwarin, tanpa tahun) dan Ohoitimur (1983, 55) menuliskan narrative yang mirip, namun Raja Dullah saat ini menolak kebenaran versi ini. 21
D. Penutup Penjelasan tentang konsep asal usul (origin) dan struktur asal (origin structure) pada Orang Kei yang telah dipaparkan pada tulisan ini perlu mendapat dua catatan akhir. Catatan pertama terkait dengan konsepsi mengenai multiple origin, dan catatan kedua terkait dengan proses installing the outsider inside (Fox 1995) atau ddalam bahasa Sahlin (1985) disebut sebagai stranger kings. Untuk yang pertama, jelas sekali bahwa Orang Kei, meyakini bahwa mereka berasal dari tempat dan moyang yang berbeda-beda. Satu sumber yang dikenal adalah tanah dan laut di Kepulauan Kei sendiri. Dari tempat inilah telah terjelma manusia Kei Pertama. Sumber yang lain adalah daerah-daerah yang dekat maupun jauh dari kepulauan Kei sendiri seperti Bali, Sumba, Luang, Jailolo and Ternate dan lain-lain. Dari tempat-tempat inilah asalnya para moyang yang kemudian menurunkan orang Kei saat ini. Menganalisa kajian-kajian Antropologi yang memperhatikan masalah asal-usul, Fox (1995, 216), mengatakan bahwa the Austronesian tolerate or, rather relish the notion of multiple origins. Dengan demikian, apa yang kita jelaskan di Kei merupakan satu contoh tambahan mengenai anutan konsepsi ini pada masyarakat Melayu. Selanjutnya, jika kita kembali ke pertanyaan Masinambow yang ditulis pada awal paparan ini, kemiripan ciri-ciri Orang Kei dengan masyarakat Melayu menambah indikasi bahwa Melayu atau Austronesia mungkin bisa dikatakan merupakan satu kesatuan masyarakat yang terintegrasi. Catatan kedua, berkenaan dengan proses installing outsider inside, sekali lagi apa yang kita catat dari narrative of origin dan realitas politik tradisional di Kei, karakteristik seperti ini adalah juga khas orang Austronesia. Dengan mennganalisasi hasil kajian Sahlins (1985) di Fiji, beberapa studi di Indonesia Bagian Timur (lihat misalnya Traube 1989, Mc William 1990 and 1980, 1988), Fox (1995) menyatakan bahwa proses installing outsider inside adalah tema yang sama dari narrative of origin pada masyarakat Austronesia. Lebih dari itu, melalui analisa tentang struktur asal (origin structure), ditemukan pula bahwa pada kesatuan-kesatuan masyarakat ini, posisi kepemimpinan umumnya dipegang oleh para pendatang yang diintegrasikan menjadi 22 bagian masyarakat setempat. Begitulah, meskipun ada kontestasi antara Kaum Bangsawan (Mel) dengan Orang Merdeka (Ren) tentang kewenangan territorial (apakah tetap di Ren sebagai Tuan Tan atau di Mel, kaum penguasa baru), kedua kelompok sepakat bahwa pimpinan pemerintahan ada di tangah Kaum Bangsawan yang pendatang. Tradisi inilah yang disebut Sahlins (1985) sebagai tradisi stranger kings. Terakhir, sebagai penutup dari tulisan ini, kami ingin mengatakan bahwa konsepsi asal- usul (origin) dan dan struktur asal (origin structure) pada Masyarakat Kei bukanlah suatu tradisi masa lampau yang sudah mati, tetapi ia masih tetap dipakai dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Coba saja perhatikan pasangan-pasangan yang menikah saat ini, hampir bisa dipastikan mayoritas dari mereka adalah pasangan yang berasal dari kaum yang sama. Jika pun menemukan pasangan yang berasal dari kaum yang berbeda, perhatikan reaksi kerabat dan anggota masyarakat di sekitar mereka. Hampir pasti mereka akan menjadi bahan cemoohan atau bahkan hukuman sosial yang lebih berat. Hal ini terjadi karena mereka dianggap telah melanggar ketentuan yang menjadi dasar mempertahankan struktur asal (origin structure) seperti telah digariskan oleh tradisi dan direkam dalam narrative. Sama pula, jika kita mengamati siapa-siapa yang menjadi pimpinan pada semua lembaga modern di Kepulauan Kei. Lihatlah, siapa yang menjadi pemimpin pada lembaga-lembaga pemerintahan baik pada level desa, kecamatan, bahkan sampai kabupaten dan kota. Sama seperti halnya kasus pasangan perkawinan, hampir bisa dipastikan, kita tidak akan menemui pimpinan yang berasal dari Orang Merdeka apalagi kaum Budak. Di dalam kantor-kantor itu kita hanya akan menemukan para pemimpin yang berasal dari Kaum Bangsawan Kei atau pemimpin dari suku bangsa lain yang berarti bukan orang Kei. Begitulah, konsep origin dan origin structure masih menjadi rujukan dari pola-pola hubungan masyarakat Kei saat ini.
23 F. Dattar Pustaka Barraud, C. 1979. Tanebar-Evav : une societe de maisons tournee vers le large. Cambridge England: Cambridge University Press. . 1990. Kei Society and The Person: An Approach through Childbirth and Funerary Rituals. Ethnos 55 (III-IV): 215-231. Bellwood, P. 1996. Hierarchy, Founder Ideology and Austronesian Expansion. Dalam J. J. Fox and C. Sather (Ed.). Origins, ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Dept. Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University. Hal. 18-40 Berhitu, 1987. Laporan Perkembangan Pelaksanaan U.U No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kei Besar: Camat Kei Besar. Bezemer, T.J. (Ed.) 1921. Beknopte Encyclopaedie van Netherlandsch-Indie. 's- Gravenhage: M. Nijhoff. Fox, J.J. 1980. Models and methapors: comparative research in Eastern Indonesia. Dalam J.J. Fox (Ed) The flow os life: eassays on Eastern Indonesia. Cambridge: Harvard University Press. Hal. 323-333. .1995. Austronesian Societies and Their Transformations. Dalam Belwood, Fox and Tryon (eds.). The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives. Canberra: Dept. Anthropology, ANU. Pp. 214-228. .1995a. Installing the 'Outsider' Inside: The Exploration of an Epistemic Austronesian Cultural Theme and Its Social Significance. Paper read at First European Association for Southeast Asian Studies Conference: "Local Transformations and Commons Heritage in Southeast Asia", at Leiden. . 1996. Introduction. Dalam J. J. Fox and C. Sather (eds) Origin, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography, Canberra: Dept. Anthropology and the Comparative Austronesian Project, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. Hal. 1-17. Kantor Statistik Kab. Maluku Tenggara. 1993. Kecamatan Kei Kecil Dalam Angka. Tual: Kantor Statistik Maluku Tenggara. . 1995. Maluku Tenggara Dalam Angka 1995. Tual: Kantor Statistik Maluku Tenggara. Laksono, P.M. 1990. Wuut ainmehe nifun, manut ainmehe tilor (Eggs from one fish and one bird): A study of the maintenance of social boundaries in the Kei Islands. Ann Arbor: UMI Dissertation Information Service. Masinambow, E.K.M. 2004. Masyarakat Austronesia: Fakto atau Fiksi? Dalam 24 Masinambow. at all (Ed.). Polemik tentang Masyarakat Austronesia: Fakta atau Fiksi? Jakarta: LIPI and Dept. of Education. Hal. 1-9. McWilliam, Andrew. 1989. Narrating the gate and the path: place and precendence in southweast Timor. Unpublish Ph.D thesis. Canberra: The Australian National University. Ohoitimur, Y. 1983. Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Suatu Study Antropologi Budaya Pastoral, Theology, Sekolah Tinggi Seminari Pineleng, Manado. Rahawarin, A. 1959. Sejarah Nama-nama Pemegang Kekuasaan Pemerintahan dalam Daerah Ubohoifak/Englarang Sejak Zaman Purbakala s/d Kedudukan Penjawat di Dullah/Pulau-pulau Kei (Componi) Sampai Kini di Englarang. Kei Besar. Renyaan, P.H. 1990. Sejarah Adat Kei. Langgur. Riedel, J.G.F. 1886. De sluik-en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua. Gravenhage: M. Nijhoff. Sahlins, Marshall. 1985 The Stranger-King; or, Dumzil among the Fijians in Islands of History, pp.73-103. Chicago: The University of Chicago Press. Schreurs, P.G.H. 1992. Lanjutan Karya St. Fransiskus Xaverius: Kebangkitan Kembali Misi Katolik di Maluku 1886-1960. Ambon: Pusat Pastoral Keuskupan Amboina. Traube, Elizabeth. 1989. Obligations to the source. Dalam D. Maubury-Lewis and U. Almagor (Ed.). The Attraction of opposites: thought and society in a dualistic mode. Ann Arbor: University of Michigan Press. Hal. 321-344. Van Hovell, G.W.W.C. 1890. De Kei - Eilanden. Tijdschrift voor het Indische Taal -, Land- en Volkenkunde 33 (2):102-159. 25
Gambar 1. Kepulauan Kei
Ga Pulau Dullah La Sek 26 mbar 2. aut dan Pulau-pu kitarnya ulau 27
Ohoiroa Fauur Kepala Desa (Orang Kaya) Rahaded/Nuhuyanan Imam Nuhuyanan Panglima Perang Rahawarin Kepala Kampung (Bapak Soa) Raharusun/Rahawarin Warga Desa Arah kewenangan mengatur Gambar 3. Struktur Pemerintahan Desa Dullah Laut