nama sukubangsa yang mendiami wilayah kepulauan Maluku, termasuk juga yang
mendiami deretan kepulauan di timur pulau Papua, dan bagian timur kepulauan Nusa
Tenggara. Berbatas di bagian barat dengan pulau Sulawesi, di sebelah timur dengan
pulau Papua, di selatan dengan negara Timor Leste serta Australia, di utara dengan
kepulauan negara Philipina. Suku-bangsa Alifuru - secara garis besar agar tidak
mengulang, merupakan Ras Melanesia)1, yang bahkan bila diurut secara geografis ada
keterkaitan ras serumpun dengan suku-bangsa di kepulauan Palau, Samoa, Nauru dan
lainnya yang mendiami wilayah kepulauan di Samudera Pasifik. Menurut para ahli
sejarah dan antropologi mengatakan demikian setelah membandingkan dan
mempertimbangkan berbagai hal kesamaan dan perbedaan ras, bahasa, kehidupan
sosial, dan budaya, diantara suku-bangsa tersebut menurut hasil pengamatan atau
penelitiannya. Seperti itu masih diyakini hingga saat ini oleh orang Maluku keturunan
suku-bangsa Alifuru.
Kepustakaan sumber data yang akurat dan pasti tentang Alifuru tidak dapat ditemukan
secara lengkap, baik secara tertulis ataupun melalui hal-hal bukti kebendaan yang
menerangkan jejak-jejak awal sejarah keberadaan sukubangsa Alifuru yang mendiami
kepulauan Maluku saat ini. Sama sekali tidak dapat ditelusur secara detail sejak awal
mula keberadaannya sebagaimana bangsa-bangsa lain, kecuali melalui informasi lisan
orang per orang. Melalui informasi penuturanlah kemudian melahirkan data tulisan
sejak adanya kehadiran bangsa lain dari luar kepulauan Maluku. Melalui literature yang
1
telah ada, keberadaan sukubangsa Alifuru mula dibukukan kurang-lebih abad ke-16,
yang ditulis oleh para penulis bangsa Eropa.
Bangsa China di daratan benua Asia yang bertetangga dengan kepulauan Maluku dan
dikenal sebagai bangsa penjelajah samudera sejak masa sebelum perhitungan tahun
Masehi. Dalam literaturnya hanya diketahui keterangan sebatas penggunaan rempahrempah, yang antara lain menerangkan tentang cengkeh, sekalipun tidak secara spesifik
menjelaskan secara detail lokasi serta kondisi masyarakat dimana cengkeh itu berada.
Setidaknya itu yang bisa saya dapatkan sedikit pedoman setelah membaca tulisan
dengan judul Jejak China di Maluku yang ditulis oleh Elifas Tomix Maspaitella)2. Tulisan
tersebut cukup istimewa dan aktual, karena merujuk pada beberapa buku yang pernah
ditulis, walau tidak dalam konteks khusus mengulas tentang sejarah sukubangsa Alifuru.
Tetapi ada banyak hal yang termuat dan setidaknya mengindikasikan petunjuk, tentang
jejak lain sebagai informasi dan pedoman menelusur sejarah sukubangsa Alifuru lebih
jauh ke belakang. Tidak semata Nederlanscentris kata penulis di atas.
Kecuali itu, terdapat cahaya berbeda sejarah sukubangsa Alifuru, juga versi mitologis,
lokus Supa-Maraina Gunung Murkele)3, tetapi lebih merangkum dan menjelaskan
mulai dari tanjung Sial di barat hingga tanjung Siritoun di timur pulau Seram. Pieter
Jacob Pelupessy dalam Esurium Orang Bati, Disertasi Doktor telah dibukukan, adalah
hasil dari 23 tahun (1985-2008) pengabdian beliau meneliti kebradaan Orang Bati, subsukubangsa Alifuru, patut diapresiasi maksimal segenap Orang Maluku. Bahwa ada
pencerahan, perspektif baru, yang memungkinkan ditemukan rangkaian yang hilang
atau menjadi jalur yang lebih melebar untuk menelusur lebih luas dan dalam pada yang
mungkin masih samar, begitupun peluang menuju kesesuaian untuk menemukan
kebenaran sesungguhnya dari misteri sejarah perjalanan sukubangsa Alifuru.
sukubangsa lain. Namun demikian ada kebaikannya yaitu pada ikatan persaudaraan dan
persahabatan yang tak mudah dianeksasi, sekali terkait untuk selamanya.
Sejauh ini sejarah awal mula keberadaan sukubangsa Alifuru, versi terpublikasi selama
ini umumnya dipahami berasal dari suatu tempat di bagian paling barat pulau Seram
yang disebut Nunu-Saku, terletak di hulu sumber tiga sungai besar yaitu Tala, Eti dan
Sapalewa. Pemahaman merujuk kepada sumber-sumber penulisan sebelumnya yang
diketahui ditulis oleh para penulis bangsa asing bermula sejak adanya kehadiran
pendatang bangsa-bangsa asing dari luar kepulauan Maluku di abad pertengahan
Masehi, baru sekitar empat hingga lima abad yang lalu, itulah yang dijadikan referensi
pembenaran sejarah Alifuru.
Sejarah Alifuru hanya berpatokan kepada satu bagian tempat tertentu dari luasnya
wilayah pulau Seram. Lalu bagaimana dengan wilayah lain di pulau Seram, Alifuru pulau
Buru dan juga pulau Halmahera, ketiganya merupakan pulau terbesar di kepulauan
Maluku. Dalam sejarah ratusan tahun penjajahan oleh bangsa-bangsa Eropa, mereka
berhasil menguasai paling banyak seper-empat dari area pulau Seram, hanya yang
terdapat di bagian ujung barat dan sebagian pesisir selatan. Begitupun sama seperti oleh
kerajaan-kerajaan dari utara kepulauan Maluku, sebelum bangsa Eropa.
Sebaliknya, keyakinan turun-temurun oleh sukubangsa Alifuru khususnya yang hingga
saat ini masih berdiam di pedalaman hutan dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian
tengah pulau Seram, maupun sebagian yang telah bermukim di pesisir pantai selatan
dan bagian timur pulau Seram. Mereka percaya nenek-moyang Alifuru, lahir dari gunung
Murkele dan menjalani kehidupan awalnya di wilayah bernama Supa-Maraina. Tempat
ini berada di dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian timur laut gunung tertinggi di
pulau Seram dan kepulauan Maluku yaitu gunung Binaya (3027meter.dpl).
Masyarakat yang ada di perbukitan dan kaki pegunungan Manusela bagian selatan,
hingga pesisir pantai selatan pulau Seram, khususnya di wilayah Teluk Telutih
(Tounlutih ujung/tanjung putih - buih ombak) mulanya adalah penyebaran dari SupaMaraina, dan dari kelompok dengan komunitas terbesar.
Ketika menyebar dari Supa-Maraina di dataran tinggi pegunungan Manusela, mereka
lebih memilih untuk menuju wilayah selatan, karena lebih bisa menghindari ancaman
dan serangan terus-menerus orang-orang asing dari arah utara, maupun dari barat yang
selalu melewati laut utara pulau Seram. Wilayah bagian utara topografinya tidak
strategis dari sisi keamanan untuk didiami, selain kesulitan untuk memantau pendatang
dari luar, wilayah utara cenderung datar hingga pesisir. Sehingga ribuan tahun pesisir
pantai utara tidak pernah ditempati, baru beberapa ratus tahun belakangan ini setelah
kehadiran orang-orang dari kerajaan-kerajaan di utara kepulauan Maluku. Kondisi
3
berbeda dengan pantai selatan yang berbukit bergunung dan curam, sangat
menguntungkan dari sisi pemantauan dan pertahanan terhadap musuh dari luar pulau.
Alifuru Selatan atau disebut juga Upao Malia-mato, diperkirakan pada abad ke-15,
kehadiran penyiar agama Islam yang diantar atau datang bersama Alifuru Nunu-Saku
dari Huamual, yaitu dari mata-rumah Wala, Mahu, Lesi, Tuni, Moni, Peisina, dan IhaTansailo)4. Sebagian Upao Malimato kemudian masuk menganut Agama Islam, tetapi
tetap masih bermukim menyebar di pedalaman. Hingga saat penjajah Belanda telah
menguasai Maluku dan dengan kepentingan politik Hongi-nya di abad ke-17, yang
membutuhkan banyak tenaga lokal untuk perang, tebang dan tanam cengkeh dan pala,
maka terjadi semacam pemaksaan untuk dimukimkan di pesisir pantai, maka
terbentuklah pemukiman pertama di pesisir selatan teluk Telutih dengan nama
Namasina. Tentang Sejarah Namasina akan penulis jelaskan dilain tulisan.
Supa-Maraina terletak di dataran tinggi pegunungan Manusela, menyatu dengan gunung
Murkele Besar dan Murkele Kecil sebagai area mitologi sukubangsa, adalah merupakan
situs atau tempat keramat yang paling dihormati dan dilindungi. Kedua gunung tersebut
masih tetap terjaga dan tidak tersentuh atau dimasuki oleh orang luar. Tidak diijinkan
untuk siapapun orang luar atau sembarang orang, jangankan menginjakan kaki di
tempat itu, mendekatinyapun tidak diperkenankan, bila nekad nyawa taruhannya.
Hanya bisa oleh mata-rumah tertentu, dan harus terlebih dahulu melalui prosesi ritual
adat sumpah sirih-pinang, untuk memastikan benar-tidaknya yang bersangkutan
memang berasal dari tempat dimaksud, barulah dapat menjelajahi dan menjejakkan
kaki di dua gunung tersebut.
Sakralnya gunung Murkele (besar dan kecil) bagi sukubangsa Alifuru khususnya di
Seram bagian tengah adalah keniscayaan yang tidak dapat dinafikan, walaupun telah
lama menganut agama-agama samawi, Islam atau Kristen. Gunung Murkele oleh yang
mengakar mitologi Alifuru, masih dipercaya sebagai tempat lahirnya Manusia Alifuru,
nenek-moyang suku bangsa Alifuru. Sampai pun Orang Bati atau manusia ilang-ilang
dan komunitas yang selama ini dianggap bisa pergi kemana saja dengan cara terbang,
sebagai salah satu sub-sukubangsa Alifuru yang mendiami gunung Bati pegunungan di
bagian paling timur pulau Seram, gunung Murkele merupakan tempat paling utama
dikeramatkan selain gunung Bati, karena diyakini adalah tempat asal usul Manusia Bati,
nenek-moyang Orang Bati)6.
Di dataran tinggi pegunungan Manusela yang sekarang telah menjadi bagian dari area
Taman Nasional Manusela, terdapat pemukiman yang sejak ribuan tahun lalu telah ada,
seperti kampung atau negeri Manusela, Maraina, Serumena tiga kampong besar tertua,
dan banyak lagi perkampungan kecil. Masih sebagaimana jaman dahulu, lingkungan
4
dimana mereka berada tetap terjaga dan lestari hingga kini, dan bukan hal yang perlu
dipertanyakan. Tempat asal Manusia Alifuru, nenek-moyang sukubangsa Alifuru
menjadi alasan utama dalam ritme kehidupan menempati wilayah ini, sehingga ragam
keburukan dan ambisi keduniaan diminimalisir melalui kearifan untuk selamanya
menjaga, melindungi, diselaraskan dengan kebaikan alam, karena dipercaya telah
memelihara dan mengantar kehidupannya hingga kini.
Beta tidak bermaksud mengatakan hanya Supa-Maraina sebagai satu-satunya tempat
asal-usul sukubangsa Alifuru dan menyepelekan atau mengabaikan Nunu-Saku, tetapi
dari rangkaian pemahaman mempelajari penulisan sejarah sukubangsa Alifuru sejauh
ini, sepertinya ada satu dua matarantai yang terlewatkan atau hilang, sehingga sejarah
sukubangsa Alifuru masih dibaca terputus-putus. Nunu-Saku di barat, dan SupaMaraina di tengah - timur pulau Seram, keduanya aikon awal sejarah sukubangsa Alifuru
secara mitologi, tapaknya bakas tampa kaki, masih harus terus ditelusur, apakah tapak
langkah maju atau berjalan mundur, agar ditemui pemiliknya, siapa dia dan dimana
sesungguhnya berada.
Bahasa Alifuru
Sukubangsa Alifuru sangat kaya dengan perbendaharaan bahasa komunikasi, saat
ini setidaknya terdapat 117 bahasa lokal yang masih digunakan dari yang pernah ada
lebih 130-an bahasa lokal)7. Terdapat masing-masing bahasa komunikasi di setiap area
komunitas suatu wilayah tertentu, sehingga sangat banyak bahasa setempat yang
ditemui pada semua pemukiman masyarakat atau orang-orang sukubangsa Alifuru
diseluruh kepulauan Maluku. Ada perbedaan dialek dalam irama masing-masing bahasa,
tetapi sebagian besar bahasa memiliki kesamaan pengertian. Dialek atau irama dan
tekanan ucap berbahasa dan pengaruh tambahan pada awalan, imbuhan maupun
akhiran kata ketika berbahasa, memunculkan anggapan ada perbedaan. Ternyata tidak,
bila secara saksama dan detail diteliti, apalagi pada bahasa tanah, kental dan padu
penggunaan bahasa yang hampir sama persis di semua tempat kediaman kumunitas
sukubangsa Alifuru.
Dari sekian banyak bahasa yang dipergunakan sebagai sarana atau alat komunikasi
bercakap dalam kehidupan sosial diantara mereka, terdapat hanya ada satu jenis bahasa
khusus yang tidak dapat dipercakapkan atau tidak untuk digunakan sebagai bahasa
kumunikasi dua arah, yaitu Bahasa Tana(h) atau Kapata, di wilayah pulau Seram bagian
tengah-selatan disebut juga dengan Talili.
kepada nenek-moyang Alifuru dengan cara menyanyi dan menari, oleh karena diyakini
sebagai tempat asal-usul lahirnya nenek moyang suku-bangsa Alifuru. Yang terakhir ini,
tari-tarian sambil bernyanyi, mengarah kepada perbendaharaan adat upacara ritual
Alifuru, seperti tari Maku-maku, tari Pukare)9, tari Toti )10, Kahua)11 dan beberapa tarian
lainnya, bukanlah tarian biasa sebagaimana dikenal tari cakalele sebagai tari perang
karena tidak menggunakan nyanyian hanya irama pukulan tifa. Tetapi tari maku-maku,
pukare, toti, ditarikan dengan diiringi nyanyian, diselenggarakan dalam suatu upacara
ritual adat karena kebutuhan. Isi nyanyian dalam bahasa tanah (kapata) yang
mengandung kisah dan pesan sejarah, nasehat bijak, puji-pujian kepada nenek-moyang
dan alam lingkungannya dan penghotmatan kepada sang Penguasa manusia serta alam
semesta.
Contoh lain, Manusela atau Mansela. Terdiri dari dari dua kosa kata, Manu - man dan
sela. Manu atau man artinya burung dan sela artinya sisir - menyisir. Burung yang
terbang menyisir rendah ke tanah atau pepohonan. Manusela disematkan untuk
menyebut wilayah dataran tinggi di tengah-tengah pulau Seram, masih satu area dengan
Supa_Maraina, yang sangat kaya oleh melimpahnya keberadaan jenis burung-burung
cantik dan indah khas Wallacea, birds of paradise)12. Burung-burung ini memang liar,
tetapi senang hinggap di cabang dan ranting pepohonan yang dekat dari tanah, ketika
terbangpun secara rendah menyisir permukaan tanah. Itulah Manusela.
Supa-Maraina, apapun artinya dalam terjemahan penulis di atas, tidak bermaksud
dapat mempengaruhi apalagi untuk merubah keyakinan terhadap posisi tempat
dimaksud, tetap saja tempat bersejarah, yang dipercaya sebagai lokasi awal asa-usul
Manusia Alifuru, nenek-moyang sukubangsa Alifuru.
Sejarah masa lalu sukubangsa Alifuru hanya dapat ditelusur dan diketahui melalui
sumber lisan(oral story). Dalam penafsiran sejarah berdasarkan perekaman dari sumber
lisan atau penuturan, bisa saja bergeser bahkan berbeda makna dan berbeda dari
maksud, sehingga kehati-hatian dengan telaah lebih dalam, dapat meminimalisir
kekeliruan suatu informasi atas suatu rekaman lisan peristiwa sejarah. Mengetahui latar
belakang penutur, kemampuan daya ingat dan struktur bertutur, merupakan cara cerdas
mengukur kualitas informasi atau keterangan yang disampaikan. Kelemahan oral story,
selalu ada pada kurang dan lebih-nya, oleh banyak sebab.
Sarana utama sebagai pengantar mengetahui dan memahami lebih baik sejarah Alifuru,
adalah bisa berbahasa salah satu dari sekian banyak bahasa lokal sukubangsa Alifuru,
pelajari dan cakaplah berbahasa Alifuru, terutama oleh anak-cucu masyarakat Alifuru di
sebagian negeri-negeri yang saat ini telah lenyap bahasa lokalnya.
Beta mengulang lagi sekadar mengingat, bahwa kerancuan dan kekeliruan pemahaman
mengenal identitas penduduk asli Maluku, setidaknya sejarahnya bermula dari dan demi
kepentingan kolonialisme bangsa Belanda di Maluku. Politik ekonomi Hongi - Tochten)14,
untuk memonopoli perdagangan komoditas cengkeh di pertengahan abad ke-17,
disertai dengan menjalankan falsafah politik kotor dan tidak beradab ; devide at impera,
pecah belah dan kuasai. Bukan hanya menguasai wilayah, orang, dan sumber hidup
ekonomi penduduk, tetapi juga merubah perjalanan sejarah tentang identitas dan
jatidirinya, pranata adat, budaya dan sistem kepemimpinan ribuan tahun, sengaja dan
terencana diganti, dirubah, hingga dilenyapkan.
Pilihan kepada orang Maluku (suku-bangsa Alifuru) saat itu, yang mau bergabung
dengan Belanda akan mendapat berbagai hak dan keistimewaan, serta yang paling
bergengsi adalah mendapat predikat dan stempel lebih beradab, pintar, bersih, dan
maju. Bagi yang tidak akan dipandang dan dijuluki sebagaimana kalimat di atas.
Masyarakat Alifuru terpecah-belah dalam pengaruh dan kungkungan Belanda, hingga
melahirkan anggapan salah, bahkan masih hingga kini, yang sebenarnya telah menghina
diri sendiri.
Virus politik penganuliran dan pembodohan oleh bangsa Belanda disuntikkan secara
sengaja dan berkesinambungan ke segenap persendihan dan otak masyarakat orang
Maluku. Kemudian terpelihara lalu dijangkitkan secara sadar dan diluaskan wabahnya,
diendemikkan, diinformasikan dan bahkan dikukuhkan kepada para cendekiawan
peneliti pendatang dari luar Maluku yang dating untuk menulis tentang sejarah Alifuru,
baik di masa lalu, bahkan dikemudian hari hingga saat ini.
Belakangan ini terdapat beberapa fenomena menarik dikalangan masyarakat Maluku
Alifuru, yang menganggap diri telah pintar, bersih dan lebih modern, kebalikan dari
gambaran di awal sub judul tulisan ini, ternyata ketika menyelenggarakan upacara adat
mereka, nyata dan tanpa malu-malu mempraktekkan tata cara upacara adat sukubangsa
Alifuru, identitas dan budaya yang sudah pernah dengan sadar telah dihina dan
disingkirkan. Mungkinkah ini pertanda telah kembalinya ingat setelah sadar selama ini
ternyata telah kehilangan identitas sehingga merasa tidak mengenal lagi jatidirinya,
semoga demikian, tetapi harus apa adanya alias jujur.
Dalam fenomena lain, sekarang masyarakat Maluku sedang dalam proses pengembalian
identitas jati diri sebagai sukubangsa Alifuru. Lembaran-lembaran baru sejarah ditulis,
dikarang, lalu dipublikasikan. Meluas hingga komunitas geneologis pada masing-masing
mata-rumah, bahkan ada dalam satu mata-rumah bisa lebih dari satu versi sejarah.
Cenderung mengagungkan dan melebih-lebihkan secara sepihak matarumah, soa, negeri
atau wilayah masing-masing, sementara versi akurat dan lengkap mungkin saja masih
10
M.Thaha Pattiiha )*
---------------------------------------------------------)*Pemerhati Alifuru, berdomisili di Kota Depok.
11
Sumber ;
1) - Stephanie Lawson, Melanesia (CS) - The History and Politics of an Idea, The Journal of Pacific History Vol.48, Issue 1, 2013.
- Foreign bodies : Oceania and the science of race 1750-1940 /editors: Bronwen Douglas, Chris Ballard. ANU(The Australian
National University) E Press, by E-mail.
2) Elifas Tomix Maspaitella; Jejak China di Maluku, http://kutikata.blogspot.co.id/2010/05/jejak-dina-di-maluku.html
3) Pieter Jacob Pelupessy ; Eseriun Orang Bati, hal. 96 dan 167, Universitas Kristen Satya Wacana,
item: http://repository.uksw.edu/handle/123456789/736
4) Arsyad Leuli(Wolu), Sejarah Perjalanan Guru Leuli di Telutih, penuturan Ambon 1995.
5) Abdullah Rinjani Tehuayo, Tutur Sejarah matarumah Kapitang Tehuayo, Telutih Baru 1990
6) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96 dan 167, idem
7) Bahasa, Profil Investasi Provinsi Maluku hal.9, BKMD Provinsi Maluku 2005
8) Bahasa Tana(h)-Kapata; https://plus.google.com/+MThahaPattiiha/posts/Bftp8qCyr6v
9) Pukare, upacara ritual-vulgar dan liar, (tari & nyanyi)waktunya malam hari tanpa penerangan. Ket.pesertaSN,1996.
10) Toti adalah tarian persembahan ( perang)Kapata diringi tifa, penari laki-laki. A. Kumkelo(Laimu), Bekasi 2007.
11) Kahua, upacara ritual persembahan(tarian & nyanyi) mengawali pembangunan rumah atau pemukiman. Ket.SN,1996
12) Zonasi Taman Nasional Manusela, Kab.Malteng.Prov.Maluku hal.1, Balai Taman Nasional Manusla, 2011.
13) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96 dan 167, idem.
14) Hany Tuarissa, AGAMA, BUDAYA DAN ADAT NEGERI TIHULALE http://kartope.blogspot.co.id/2014/03/agama-budaya-dan-adat-negeri-tihulale.html
15) http://www.everyculture.com/knowledge/Spices.html
12