Anda di halaman 1dari 90

BAB I : PATRIOTISME TIMBUL DI MALUKU

"Polawan repu, pisi repu" berarti cengkih banyak, uang banyak. Demikianlah
berkumandang di bandar-bandar di Maluku dan dinegeri- negeri penghasil cengkih dan pala.
Cengkih dan pala membawa kemakmuran bagi rakyat. Pedagang-pedagang Jawa, Melayu,
Makasar, Arab, Gujarat, Keling, Cina pergi datang. Kapal-kapal layar mengarungi dan
berpapasan di lautan bebas Nusantara dari barat ketimur, dari timur kebarat; semuanya giat
dalam suatu perniagaan nasional dan internasional. Itulah keadaan dalam abad ke-15 sampai
dengan abad ke-17.
Sudah sejak masa Kerajaan Sriwijaya, Kediri dan Majapahit, gudang rempah-rempah,
Maluku, menarik pedagang-pedagang.dari bagian barat Nusantara. Maluku adalah satu-satunya
daerah di dunia pada waktu itu yang menghasilkan cengkih dan pala. Di bandar-bandar Hitu,
Banda, Ternate, Tidore terdengar berbagai bahasa dan logat. Berbagai macam orang yang ber-
pakaian beraneka ragam dan beraneka warna, yang berkulit sawo matang bercampur dengan
yang berkulit hitam dan yang berkulit kuning langsat. Yang berambut keriting bersenggol
senggolan dengan yang berambut kejur atau berombak atau yang berjenggot atau berkumis tebal.
Ada yang berperawakan tinggi berhidung mancung, ada yang pendek berhidung pesek dan ada
pula yang sedang bentuk tubuhnya.
Di pelabuhan-pelabuhan terapung-apung dan terolengoleng riak gelombang atau berlayar
kian kemari mengangkut atau menurunkan muatan, bermacam kapal, kora-kora, arombai, biduk,
perahu bercadik atau tanpa cadik. Bermacam potongan layar yang beraneka warna dan
bermacam bendera memeriahkan suasana di pelabuhan. Di sebelah sini orang timbang-
menimbang cengkih dan pala, di sebelah sana tukar- menukar rempah-rempah dengan kain,
beras, tembikar, barang tembaga terutama gong, senjata api dan lain- lain. Di kejauhan sana
pedagang Cina menawarkan barang-barang porselin yang sangat berharga dan mahal. Berjenis
burung berkicau dalam sangkar di bawah pohon-pohon yang rindang seolah-olah memanggil-
manggil si pembeli. Lalu lalang manusia sangat ramai. Para bangsawan, orang kaya, penguasa-
penguasa sibuk dengan timbang- menimbang, tawarmenawar, jual-beli, transaksi, pengawasan
dan lain- lain. Mereka dibantu oleh bawahan atau para budak. Melalui tangan-tangan mereka
cengkih dan pala diperjualbelikan dan perdagangan dilakukan. Ada kalanya mereka memonopoli
pembelian rempah-rempah lalu ditumpukkan di rumah-rumah mereka di dekat atau di bandar.
Perdagangan ini sangat menguntungkan mereka. Tetapi juga bagi petani-petani cengkih
dan pala perdagangan nasional dan internasional ini membawa pula kemakmuran. "Goyang
cengkih, ringgit gugur" kedengaran di kebun- kebun cengkih dan pala dan di negeri- negeri
pesisir. Ibarat pohon cengkih yang berbuah digoyang-goyang saja, gugurlah ringgit bagi
kehidupan rakyat.
Besar pula laba yang diperoleh pedagang-pedagang asing itu. Mereka merupakan
penghubung atau perantara antara daerah Maluku dengan Nusantara bagian barat, dengan dunia
Asia bagian barat, Afrika Utara dan Eropa.
Mahalnya cengkih dan pala di pasaran dunia bukan karena ongkos produksi yang tinggi
akan tetapi karena biaya pengangkutan melalui jalan dagang yang sangat panjang dari timur
kebarat, perdagangan yang berpindah tangan di tiap-tiap bandar, pajak impor transit ekspor yang
tinggi dan keuntungan-keuntungan yang dipetik oleh pedagang-pedagang perantara. Risiko yang
besar, karena mengarungi lautan, yang kerap kali bergelombang buas, bahaya banyak laut dan
penyamun. Betapa mahal harga rempah-rempah itu.
Di Maluku harga satu sentenar (50 kg) satu sampai dua dukat (satu dukat = uang emas
Belanda = f 5,25), di Malaka sudah berharga sepuluh dukat. Kapal Spanyol "Victoria", yang
berhasil mengangkut cengkih langsung dari Ternate ke Eropa pada tahun 1521, menjualnya
dengan keuntungan dua ribu lima ratus persen. 1).
Perdagangan rempah-rempah membawa kemakmuran bagi kerajaan-kerajaan di Afrika
Utara dan Laut Tengah. Seorang Eropa menulis "Sulit bagi kita dewasa ini untuk membayangkan
betapa perdagangan rempah-rempah dalam abad ke-14 dan ke 15 bisa menjadi dasar bagi masa
gemilang sesuatu peradaban, bukan saja di Mesir tetapi juga di kerajaan-kerajaan kecil di Italia.
Seorang penulis lain mencatat pada waktu itu perdagangan rempah-rempah yang melalui Kairo
saja, dihitung dengan nilai emas absolut, berharga kira-kira empat ratus dua puluh ribu pound
sterling setiap tahun.2)
Dalam tahun 1600 produksi cengkih di Maluku Utara setiap tahun tiga ribu bahar dan di
Ambon seribu seratus bahar (satu bahar rata-rata lima ratus pon). Produksi bunga pala (fuli) dua
ribu lima ratus dan pala dua ribu delapan ratus dua puluh lima bahar. Ekspor pala, fuli, cengkih
setahun rata-rata dua ribu tujuh ratus ton (satu ton = seribu lima ratus pon).3). Ini berarti uang
yang beredar di Maluku yang ada di tangan pedagang dan petani cengkih dan pala, ada kira-kira
empat puluh lima ribu sampai delapan puluh satu ribu dukat setahun. Suatu jumlah yang pada
waktu itu sangat besar, apalagi dibayar dengan mata uang emas.
Inilah keadaan semasa berkembang kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia seperti Ternate,
Tidore, Malaka, Demak, Banton, Aceh dan Makasar. Di Maluku Utara pada waktu terdapat dua
kerajaan besar, Ternate dan Tidore. Dua kerajaan lain, Bacan dan Jailolo, telah mundur
kekuasaannya. Sedangkan di Maluku Tengah terdapat suatu sistem ketatanegaraan yang teratur
rapi dalam "republik-republik negeri", yaitu tiap negeri atau desa mempunyai pemerintahan yang
teratur pula. Republik-republik kecil itu bersifat demokratis dan mempunyai ikatan teritorial
genealogic berarti rakyatnya mempunyai wilayah hidup tertentu dan hidup dalam ikatan
kekerabatan menurut keturunan. Kepala pemerintahan negeri disebut raja, patih atau orang kaya,
yang dipilih oleh rakyat dalam suatu musyawarah besar tua-tua adat. Raja didampingi oleh suatu
dewan pemerintahan negeri yang disebut "saniri negeri".
Perniagaan menimbulkan suatu pergaulan nasional, suatu pergaulan antar suku di Maluku.
Berdatangan orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Makasar, Bugis dan Buton. Ada yang datang ber-
dagang, ada pula yang datang menyiarkan agama Islam. Ada yang menetap di bandar-bandar.
Kampung Pala Jawali, Sol Jawa dan kampung Makasar di Kota Ternate, Soa Badi. Kota Ambon,
Desa Maspait dan Kota Jawa di Pulau Ambon, menunjukkan adanya suatu pergaulan antar suku
Indonesia, yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Asimilasi yang timbul, terutama di
Ternate, Tidore, Bacan dan Hitu memperkuat unsur-unsur pergaulan nasional Indonesia di
daerah Maluku. Dan pergaulan itu sangat penting dalam menghadapi orangorang asing dari
Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Mereka datang keMaluku dan
menimbulkan banyak masalah politik social dan ekonomi selama beberapa abad lamanya.

1.1 Patriotisme, Benang Merah Dalam Perjuangan Rakyat . Maluku


Dalam sejarah rakyat Maluku, sejak dari abad ke-16, terlihat seutas benang merah, yaitu
perlawanan yang maha hebat menentang kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa. Kisahnya
mulai dengan kedatangan orang-orang Portugis.
Pada suatu hari dalam tahun 1512, tiba-tiba rakyat di berbagai tempat seperti di Banda, di
negeri-negeri dipesisir Jazirah Hitu diPulau Ambon. diTernate dan Tidore, terkejut karena
melihat kapal-kapal layar berbentuk besar-besar mendekati pelabuhan mereka. Turunlah orang-
orang bule, di antara mereka ada orang berambut pirang. Itulah orang-orang Portugis yang
menginjak kakinya di bumi Maluku. Mereka datang dari jauh, sesudah berlayar berbulan-bulan
lamanya, mengarungi samudera luas, melalui Tanjung Harapan, menuju ke Asia terus ke
Indonesia dan masuklah kegudang rempah-rempah. Masuklah pula ke Maluku Utara orang-orang
Spanyol, yang melalui ujung Amerika Selatan tiba di Philipina dan akhirnya buang sauh di
Ternate dan Tidore.
Mereka datang untuk mencari bahan dagangan yang sangat terkenal dan mahal di Eropa,
yaitu cengkih dan pala. Betapa rakyat Hitu, Banda, Ternate dan Tidore cemas mendekati mereka
yang turun kedarat itu. Penuh kecurigaan, karena telah mendengar cerita-cerita dari pedagang-
pedagang Melayu dan Jawa. Betapa sultan-sultan menerima mereka, berhati-hati, tetapi
kemudian lebih terbuka clan akhirnya bersahabat. Celakanya bagi rakyat Maluku, tetapi untung
bagi orang-orang asing itu, bahwa pada waktu itu Kerajaan Ternate hidup bermusuhan dengan
Kerajaan Tidore. Kedua kerajaan itu sedang saling berebut kekuasaan, saling berebut jalan
perdagangan; saling berebut pulau-pulau yang menghasilkan cengkih dan pala; saling hancur
menghancurkan angkatan lautnya. Lalu sultan-sultan itu mencari kawan dan bersahabatlah
dengan orang-orang Eropa itu. Sultan Ternate bersabat dan mengadakan perjanjian dengan
orang-orang Portugis. Sultan Tidore mengundang orang Spanyol masuk ke dalam wilayah
kerajaannya.
Portugal dan Spanyol, yang saling berperang dan bermusuhan di Eropa, beruntung
mendapat kawan di gudang rempah rempah, Maluku. Permusuhan mereka berlangsung juga di
situ. Peperangan, yang tak berhenti- henti antara Ternate dan Tidore, masing- masing dibantu oleh
sekutunya, melemahkan kedua kerajaan itu. Perdagangan makin mundur, armada dagang makin
hancur, uang negara makin habis, rakyat makin menderita. Sedangkan sikap orang-orang asing
itu makin congkak, makin angkuh, makin tidak sopan dan makin tidak mengindahkan kekuasaan
sultan-sultan. Tuntutan-tuntutan mereka makin menjadi-jadi, Mereka memperkuat kedudukan
dan kekuasaan dengan jalan mendirikan benteng-benteng batu, mula-mula dengan seizin sultan,
tetapi akhirnya tanpa persetujuan lagi. Armada mereka makin banyak dan kuat. Serdadu-serdadu
Portugis makin bertambah.
Lambat laun Ternate dan sekutu-sekutunya berhasil melemahkan Tidore, dan Spanyol.
Dengan demikian kelihatan seolah-olah Ternate keluar sebagai pemenang. Tetapi itu semuanya
semu belaka. Kemenangan itu dibayar sangat mahal, karena sebenarnya melemahkan kerajaan
itu sendiri, sedangkan sahabat karibnya berhasil bercokol di benteng-benteng batu di ibukota dan
wilayahKerajaan Ternate.
Dari situ Portugis mulai melancarkan siasat untuk lebih melemahkan lagi kekuasaan
Ternate. Turut campur tangannya orang-orang asing itu dalam soal-soal pemerintahan dan soal -
soal rumah tangga kraton, usaha untuk menguasai sendiri perniagaan, penyebaran agama
Kristen-Katholik, keserakahan untuk mengambil untung sebesar besarnya, akhirnya
menimbulkan bencana. Sultan Hairun perintahkan rakyatnya untuk mengangkat senjata dan
mengusir bekas sekutunya.
Bukan saja di Maluku Utara, tetapi juga di Hitu, Ambon, Seram dan Lease, Portugis
berhasil bercokol di dalam benteng benteng batu. Juga di daerah-daerah itu agama Kristen dise-
barkan. Pertentangan dan peperangan timbul pula dan menyeret rakyat Maluku ke dalam kancah
perpecahan. Ada yang memihak Ternate, ada pula yang memihak Portugis. Pedagang dan pelaut
Jawa, Makasar, Melayu, yang merasa terancam dan terdesak karena monopoli Portugis,
membantu rakyat. Celakanya bukan saja peperangan melawan Portugis berkecamuk tetapi juga
perang antara rakyat Kristen melawan rakyat Islam. Campur baur heroisme dengan kekejaman
dari kedua belah pihak. Darah mengalir membasahi bumi Maluku. Patriot-patriot dan pahlawan-
pahlawan tanpa nama berguguran. Sultan Hairun menjadi korban kekejaman Portugis. Putranya,
Sultan Baat Ullah, berhasil mengusir Portugis dari Ternate, mereka berpindah ke Ambon. Perang
melawan Portugis dilanjutkan di situ, dipimpin oleh Hitu dan dibantu armada Jawa.
Peperangan yang berlangsung bertahun-tahun itu melemahkan semua pihak baik Portugis
maupun Ternate, Tidore, Hitu, Banda dan pedagang-pedagang Indonesia sendiri. Pada saat
kelemahan pihak lawan maupun kawan, suatu hari dalam tahun 1600 muncul sebuah armada
asing yang lain. Anak buahnya bule, berambut pirang atau putih kekuming-kuningan, bermata
biru atau hijau seperti mata kucing, besar-besar bentuk tubuhnya. Itulah pelaut dan pedagang
Belanda. Bangsa Belanda bermusuhan juga dengan Portugal dan Spanyol di Eropa, Jadi ketika
mereka muncul di perairan Maluku mulailah mereka membantu rakyat Hitu untuk mengusir
Portugis. Tetapi Hitu diikat dulu dengan perjanjian untuk menjual rempah-rempah hanya kepada
orang asing yang baru itu. Mereka diperbolehkan membuat benteng batu. Karena Portugis sudah
lemah, dengan mudah Belanda melenyapkan kekuasaan mereka dari Maluku dalam tahun 1605
untuk selama- lamanya. Tetapi bukan Hitu yang memperoleh keuntungan. Bukan Hitu yang
mengambil alih kekuasaan Portugis, tetapi Kompeni Belandalah yang sekarang mengganti
Portugis. "Kompania Wolanda", begitulah mereka dikenal di kalangan rakyat, bercokol di
Benteng Victoria di Ambon.
Sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, mereka memperkuat armadanya, membuat
benteng batu di mana- mana, membuat perjanjian dengan raja, patih, orang kaya dan sultan untuk
memonopoli perdagangan cengkih dan pala dan memonopoli pelayaran dan pengangkutan di
laut. Perjanjian itu mengikat rakyat dan kepala-kepalanya. Orang Belanda ternyata tidak lebih
baik dari orang Portugis. Perniagaan rakyat tidak lebih maju. Rakyat tidak bebas lagi menanam
cengkih dan pala. Cengkih hanya boleh ditanam di Ambon dan Lease dan Pala di Banda. Jika
ternyata hasil rempah-rempah terlalu banyak di pasar dunia, diadakan pelayaran hongi untuk
memusnahkan pohon-pohon cengkih dan pala. Sultan-sultan Ternate, Tidore, dan Bacan diikat
dengan kontrak. Mereka berjanji untuk memusnahkan kebun-kebun cengkih dan pala di dalam
daerah kekuasaan mereka. Sebagai ganti rugi mereka menerima sejumlah uang setiap tahun dari
kompeni. Tetapi rakyat tidak menerima apa apa, hanya kemelaratan. Ekonomi rakyat dikuasai
orang-orang bule dari negeri dingin itu. Rakyat yang memproduksi untuk pasaran dunia, nasional
maupun internasional, merasa pahit getirnya pemerintahan orang asing yang baru ini. Pedagang-
pedagang Indonesia dan asing lainnya dihalau sama sekali dari perairan Maluku.
Bukan itu saja. Kekuasaan raja-raja, sultan-sultan, kepala kepala adat dan lain- lain lembaga
pemerintahan rakyat dipersempit, dikurangi dan akhirnya dilenyapkan. Kompania Wolanda turut
campur dalam segala bentuk pemerintahan, sampai ke negeri-negeri. Dengan perjanjian dan
berbagai peraturan akhimya Kompeni bertuan di Maluku. Monopoli, kerja paksa atau kerja rodi,
penyerahan wajib hasil cengkih dan pala, hongi dan berbagai hukuman badan adalah ciri khas
dari pemerintahan Kompeni.
Kegelisahan dan keresahan rakyat makin menjadi-jadi. Pengekangan, penindasan,
pemerasan dan lain- lain praktek keserakahan tidak tertahankan lagi. Rakyat yang mempunyai
harga diri dan ingin hidup bebas dan merdeka di tanah tumpah darahnya sendiri, pada waktunya
akan mengangkat senjata untuk menghancurkan penindas-penindas dan pemeras-pemeras rakyat.
Tifa peperangan dipalu, bunyi tiupan "kulit bid " (lokan) tanda perang sahut menyahut,
parang dan "salawaku" (perisai) bergerincing, tari "cakalele" (tari perang) membangkitkan
semangat perlawanan. Tanda seluruh rakyat Maluku akan menyambung nyawanya di medan
laga.

1.2 Pahlawan-pahlawan Berguguran


Maka dalam. tahun 1609 rakyat Banda mengangkat senjata membunuh serdadu serdadu
Belanda, disusul dengan serangan balasan dari pihak Kompeni. Inilah permulaan dari
peperangan melawan Belanda di Maluku, yang tidak habis-habisnya, sampai kekuasaan
Kompeni berakhir sekitar tahun 1800.
Menyusul rakyat di Jazirah Leitimor di Pulau Ambon dalam tahun 1616, lalu menjalar ke
seluruh Maluku. Mega mendung meliputi rakyat Banda, ketika mereka berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman monopoli Belanda. Gubernur Jenderal Coen menyerang rakyat Banda dengan
kekuatan yang jauh lebih besar dan alat perang yang jauh lebih modern. Kekejaman berlaku.
Patriotisme dan heroisme mengiringi pahlawan-pahlawan Banda tanpa nama ke alam baka.
Pembunuhan rakyat Banda secara besar-besaran dalam tahun 1621 itu, disusul dengan
penangkapan dan pengusiran rakyat asli dari tanah tumpah darahnya, merupakan lembaran
terhitam dari permulaan sejarah Belanda di Indonesia. Lalu pulau itu diisi dengan penghuni baru
yaitu orang-orang Belanda pegawai Kompeni dengan turunnya. Mereka membuka perkebunan
pula dan dikenal sebagai kaum perkenier. Budak-budak didatangkan untuk bekeria bagi mereka.
Api peperangan terus berkobar. Armada Ternate di bawahpimpinan "kimelana" (wali)
Hidayat dan Leliato, yang berpusat di Luhu (Seram. Barat), terlibat dalam pertempuran
melawan. Kompeni. Menjalar peperangan itu ke Ambon dan Lease.
Rakyat Hitu, yang semula bersekutu dengan Kompeni, lambat laun menderita kerugian
karena cengkeraman monopoli. Perdagangan dan pelayaran mereka mengalami kemunduran
besar, kesejahteraan rakyat makin menjadi buruk. Kebebasan di laut untuk berhubungan dengan
pelaut dan pedagang Jawa, Makasar, Melayu dan lain- lain pedagang Asia dikekang. Mau tidak
mau timbul bentrokan dengan Belanda, yang akhirnya menyebabkan berkecamuk perang mati-
matian untuk mempertahankan hak- hak rakyat atas tanah tumpah darahnya. Kapitan Kakiali dan
Tulukabessy, didampingi oleh pahlawan-pahlawan Hitu, memimpin Perang Hitu, yang
berlangsung secara total selama dua belas tahun. Mereka harus membayar patriotisme dan
heroisme dengan jiwa raga mereka. Johan Pais, seorang pemimpin yang berpengaruh besar di
kalangan rakyat Kristen di Leitimor, harus menebus aktivitas perlawanannya dengan jiwa
raganya juga.
Dalam Kerajaan Ternate dan Tidore rakyat bergolak. Kompeni bertindak tanpa ampun dan
menaklukkan sultan-sultan dengan perjanjian yang merugikan rakyat. Kimelaha-kimelaha
Ternate dan Tidore di Seram, tidak mau tunduk pada perjanjian-perjanjian itu. Berkali-kali
mereka bertempur melawan Kompeni. Dalam perang Hoamual, seluruh rakyat Seram, Buru,
Boano, Manipa, dan Lease terbakar oleh keganasan api peperangan. Tetapi sekalipun rakyat
mendapat bantuan besar dari tentara Makasar, ternyata persenjataan Kompeni di darat maupun di
laut jatuh lebih kuat dari persenjataan rakyat. Armada perang rakyat yang terdiri atas kora-kora
besar kecil, berjenis arombai-perang tidak dapat mengimbangi kapal-kapal perang kompeni,
yang dipersenjatai dengan meriam- meriam dan lain- lain senjata. Keras dan ganas tindakan
Gubernur ke Vlamingh van Oudshoorn. Rakyat tidak akan lupa "jenderal halilintar" ini, ternyata
dari cerita-cerita rakyat yang masih hidup di Nusa Ina (pulau ibu = seram). Dia bertindak
melakukan deportasi, yaitu pemindahan rakyat secara paksa dan secara besar-besaran. Dua belas
ribu rakyat di Jazirah Hoarnual clan pulau-pulau di sekitarnya dipindahkan dari tanah air mereka
yang subur dan penuh kebun-kebun cengkih. Sesudah itu kebun-kebun mereka itu dibakar
semuanya. Yang beragama Islam dipindahkan ke Jazirah Hitu dan yang beragama Kristen ke
Jazirah Leitimor di Pulau Ambon. Raja-raja mereka diasingkan ke Batavia. Rakyat Islam dari Iha
(Saparua) dipindahkan untuk mengisi Hoamual. Manipa diisi dengan rakyat dari pulau-pulau:
Kelang, Boano dan Ambalau. Dari Lease diangkut rakyat untuk mengisi pulau yang telah
dikosongkan.
Sungguh nasib yang malang diderita oleh rakyat Maluku Tengah. Hubungan dengan tanah
dan kampung halaman menu-rut adat dihancurkan. Hubungan kerabatan dan darah dimusnahkan.
Rakyat dicerai beraikan, disebar-sebarkan di tanah yang bukan milik mereka, di daerah yang
asing bagi mereka. Putuslah hubungan dengan kebun-kebun cengkih, sumber hidup mereka.
Mulailah lagi dari permulaan mereka harus mengusahakan tanah di tempat kediaman yang baru
itu atau mengusahakan mata pencaharian yang lain. Tujuh sampai delapan tahun diperlukan
sebelum pohon-pohon cengkih memberi hasil. Dibanyak tempat timbul perselisihan antara
mereka yang baru dipindahkan dengan penduduk asli karena masalah tanah. Tidak begitu
mudah memperoleh tanah di tempat yang baru itu, terutama di Jazirah Hitu dan Leitimor.
Mereka menjadi terlalu sibuk dengan mengatur hidup sehari- hari dari pada memikirkan perang
lagi. Apalagi semua pemimpin mereka sudah ditangkap dan dibuang ke luar Maluku. Inilah
keadaan yang dikehendaki oleh de Vlamingh dan penguasa-penguasa Belanda.
Sampai akhir abad ke-17 masih, ada peperangan berkobar di Seram Timur, Ternate dan
Buru. Seratus tahun lamanya rakyat diberbagai pulau silih berganti memerangi Kompeni,
sekalipun tidak sehebat seperti bagian pertama abad itu. Betapa banyak rakyat yang tewas
selama dua abad bertempur melawan orang-orang Portugis dan Belanda. Betapa banyak
pahlawan Yang gugur menyirami buminya dengan darahnya. Kemiskinan timbul di mana- mana.
Perniagaan rakyat mati. Tanam paksa dan penyerahan paksa cengkih dan pala serta pajak yang
berat menghancurkan kesejahteraan rakyat Maluku. Menurut catatan para ahli, diperkirakan pada
akhir abad ke-18, penduduk Maluku Tengah telah berkurang dengan 100.000 orang, yaitu 2/3
dari jumlah pada awal abad ke-17. Jumlah produksi cengkih berkurang dari 3,5 juta pon menjadi
1 juta .4 )
Rakyat Maluku memasuki abad ke-18 dengan keadaan politik sosial dan ekonomi yang
sangat parah. Dalam abad itu perhatian Kompeni telah dialihkan ke Pulau Jawa. Hasil pertanian
dan perkebunan seperti padi, kopi, gula, dalada benang, nila dan kayu lebih menguntungkan
Belanda dalam perdagangan Asia. Sekalipun Kompeni tidak melepaskan monopolinya di
Maluku, namun rempah-rempah dari Maluku tidak lagi menentukan hidup matinya Kompeni.
Bandar bandar seperti Ambon, Hitu, Ternate, Tidore makin sepi dan makin mundur. Semua
kekuasaan tunduk pada pemerintahan Kompeni. Masih ada beberapa kali di dalam abad itu
bangsawan-bangsawan Ternate dan Tidore mencoba mengangkat senjata, tetapi sultan-sultan
tidak berdaya lagi. Dengan demikian terlaksanalah perintah pucuk pimpinan VOC atau Kompeni
di Negeri Belanda, untuk menaklukkan raja-raja dan rakyat Maluku "dengan traktat atau dengan
kekerasan."
Tetapi lambat laun timbul kemunduran dalam tubuh Kompeni. Perubahan politik di Eropa
memunculkan Inggris dan Perancis sebagai kekuasaan maritim yang besar dan kuat. Kekuatan
mereka terasa pula di Asia, juga di Indonesia. Disamping itu tubuh Kompeni makin rapuh. Salah
urus, keserakahan pegawai-pegawainya, korupsi yang merajalela dan lain- lain kecurangan,
mempercepat keruntuhan VOC pada akhir abad ke-18, Jajahannya di Asia beralih ke tangan
pemerintah Belanda. Perebutan kekuasaan diIndonesia antara Belanda dan Inggris berakhir
dengan jatuhnya Maluku untuk masa tujuh tahun (1796 - 1803), kemudian tujuh tahun lagi
(1810-1817) ke dalam tangan Inggris. Peristiwa inilah membuka lembaran baru dalam sejarah
perjuangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessia alias Kapitan Pattimura.
BAB II : THOMAS MATULESSIA ANAK LEASE

0, Saparua tempat bersejarah eee


bersejarah bagi kami anak anak Maluku eee
tempat berjuang Pattimura dan kawan eee
untuk menghalaukan penjajah dari tanah Maluku eee
sioh mako nau anak kona eeee
Pattimura gagah dan perkasa sioh
sudahlah gugur jadi bunga bangsa

2.1 Alam Maluku Membentuk Manusianya.


Demikianlah lagu anak-anak Maluku, mengenangkan suatu peristiwa dalam sejarah
perjuangan rakyat Nusa Ina, Ambon dan Lease (pulau-pulau, Saparua dan Nusalaut). Dari Nusa
Ina, pulau Ibu atau Seram, terpancar penduduk Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut. Dari
daerah tiga batang sungai, Eti, Tala dan Sapalewa, bergeraklah penduduk dari gunung dan hutan
ke pesisir, menyeberangi lautan, menghuni pulau-pulau sebelah selatan Seram Barat. Itu terjadi
beberapa ribu tahun Yang lalu. Kapan...? Tidak diketahui orang dengan pasti.
Ibarat seorang ibu melindungi anak-anaknya demikian letak Pulau-pulau itu di tengah-
tengah Kepulauan Maluku. Terpesona tiap-tiap pengunjung yang menyusuri pesisir pulau itu.
Alangkah indahnya kebun lautnya, penuh aneka ragam karang berwarna dan bintang-binatang
laut. Berjenis ikan beraneka warna, berombongan atau sendiri-sendiri, dengan indah dan lincah
berenang kian kemari. Sekali-sekali tiba-tiba terpencar atau menghilang, karena muncul seekor
ikan atau binatang laut yang ganas. Kemudian muncul lagi dari balik batu karang atau dari
lubang-lubang batu.
Setiap sudut atau setiap tanjung mempunyai daya tarik tersendiri. Pantai-pantai dengan
pasir putihnya berkilau-kilauan di bawah terik matahari. Disana-sini dilindungi oleh pohon nyiur
atau ketapang. Hutan- hutan bakau merupakan tempat berteduh dan bersembunyi ikan- ikan
pantai. Pada malam terang bulan berpantulan cahaya yang redup. Riak gelombang dan alun
bergulung gulung, berpecahan dan melampiaskan buihnya membasahi pasir putih yang halus.
Dari balik pohon pohon sayup sayup kedengaran bunyi tifa dan petikan gitar atau ukulele
mengiringi lagu lagu yang merayu-rayu. Di situlah ada negeri. Penduduknya tengah beristirahat
sesudah bekerja keras pada siang hari mencari ikan, berkebun atau berladang, berburu, mencari
hasil hutan dan sebagainya.
Di kejauhan kelihatan hutan- hutan sagu, sumber pokok makanan rakyat. Dataran pulau-
pulau yang tidak begitu luas sampai ke lereng gunung ditanami dengan pohon-pohon nyiur,
durian, kenari, mangga, langsat, gandaria, rambutan, manggistan dan lain- lain pohon buah-
buahan. Terbentang di bawah pohon pohon yang rindang itu kebun cengkih dan pala. Hutan di
Seram masih rawan ditumbuhi rumpun sagu, berjenis-jenis kayu-kayuan, rotan, pohon damar
dan lain- lain. Berjenis binatang dan bermacam burung berkeliaran dihutan-hutan.
lklim di Maluku sangat keras. Panas terik di musim kemarau membakar kulit manusia.
Petani, pemburu ataupun nelayan biasanya berkulit hitam, karena terik matahari yang membara
di badannya. Hujan lebat di musim penghujan, disertai angin kencang dan badai, menuntut daya
tahan yang kuat dari tiap-tiap manusia. Adakalanya hujan terus menerus berhari- hari, deras
berseling gerimis. Tak tampak sang matahari berhari- hari.

Ombak menghempas dan menghantam tepi pantai. Bergemuruhlah hantaman ombak di


tanjung tanjung atau ditepi pantai yang berbatu karang. Pelaut dan nelayan ragu-ragu keluar
labuhan. Arus deras yang berbahaya bisa menyebabkan orang terbawa kelaut terbuka, kemudian
menemui ajalnya. Lautan Maluku sangat kaya akan ikan seperti cakalang, taniri, ikan layar, ikan
hiu, ikan babi (lumba- lumba) dan seribu satu macam ikan lain dan binatang laut. Berjenis kulit
bia atau lokan bertaburan di pantai-pantai. Isinya menambah protein penduduk.
Letak geografis pulau-pulau yang berat, keadaan iklim yang keras, lautan yang sering
bergolak, hutan yang lebat, melahirkan manusia- manusia Seram, Ambon dan Lease, yang tegap -
tegap dan kekar, pemberani, tabah tahan penderitaan, wanita maupun lelakinya. Sekalipun
makanannya sagu dan ubi, tetapi dibumbui dengan sayur dan kelapa atau kenari, ikan dan daging
hewan buruan, menjadikannya orang yang kuat ditempa alam. Manusia- manusia yang kuat
pisiklah yang mampu hidup dalam iklim dan alam sedemikian.
Iklim dan alam pun membekas dalam dirinya. Ibarat laut yang tenang, tiba-tiba diganggu
angin, bergolaklah lautan, mendidih, bergelombang setinggi gunung. Demikianlah pula watak
orang Seram, Ambon dan Lease. Cepat naik darah, jika diganggu atau haknya dilanggar atau
tidak diindahkan. Kemarahannya cepat menggelombang, ia memukul, mengamuk sampai-sampai
bisa membunuh. Keras hatinya, keras kepalanya bukan main. Seringkali sulit dikuasai.
Alam yang indah serta laut yang biru, beralun, bergelombang, hutan dan gunung yang yang
hijau, menjadikannya orang yang riang gembira, berdendang dan menari, memuji- muji tanah
tumpah darahnya, Maluku "manis eeee."
Tetapi alam pula kerap kali menjadikan orang malas. Alam yang kaya, yang seolah olah
menyediakan kebutuhan. hidup di depan hidung, menjadikan manusia "harap gampang" artinya
tidak memikirkan hari esok atau hari kemudian. Cukuplah dipikirkannya hari kini. Ia mencari
hanya untuk hari ini saja. Untuk apa bersusah-payah? Ibarat "lempar tongkat ke dalam tanah dan
keluarlah ubi hari esok," kata orang Seram. Begitu subur tanah di situ, atau "pergi kelaut,
timbalah, dan kau akan peroleh ikan untuk satu tanuar (satu kali makan)."

2.2 Thomas Anak Haria


Dalam iklim semacam itulah lahir seorang anak laki- laki, bernama Thomas, dari keluarga
Matulessia. Ia dilahirkan dalam tahun 1783 di negeri Haria. Perkawinan Frans Matulessia dan
Fransina Silahoi melahirkan dua orang anak laki- laki saja, Johannis Thomas. 1)
Datuk-datuk keluarga Matulessia berasal dari Seram. 'Turun-temurun mereka berpindah ke
Haturessi (sekarang Negeri Hulaliu). Kemudian seorang moyang dari Thomas berpindah
keTitawaka (sekarang Negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang menetap di Itawaka, ada
yang berpindah ke Ulath, ada yang kembali menetap di Hulaliu dan ada yang berpindah ke
Haria. Yang di Haria menurunkan ayah dari Johannis dan Thomas 2) ,ibu mereka berasal dari Siri
Sori Serani.
Thomas tidak kawin dan tidak berketurunan. Perkawinan Johannis menurunkan keluarga
Matulessy, yang sekarang berdiam di Haria, ahli waris yang memegang surat pengangkatan
kapitan Pattimura sebagai pahlawan nasional. Di rumah keluarga itu pula disimpan pakaian,
parang dan salawaku dari pahlawan Pattimura. Keluarga Matulessia beragama Kristen Protestan.
Nama Johannis dan Thomas diambil dari Alkitab. Keluarga atau mata-rumah Matulessia
terpancar dari mata-rumah Matatulessi (ma = mati; tula = dengan; lessi = lebih). Nama itu ke-
mudian berubah menjadi Matulessia.
Di dalam 'Proklamasi Haria" tertera nama Thomas Matulessia. Sepucuk surat dikirim
Thomas kepada raja-raja di Seram, ditandatanganinya dengan nama Thomas Matulessia.
Menurut beberapa orang yang berfam (nama famili) Matulessy, sesudah Perang Pattimura,
Belanda tidak mau menerima raja, patih, murid, pegawai, serdadu atau agen polisi, yang
bernama Matulessia. Fam itu harus diganti, lalu ada keluarga yang berganti fam menjadi
Matulessy atau Matualessy. Ada pula yang tetap memakai nama Matulessia. Di Hulaliu keluarga
itu mengganti namanya menjadi Lesiputih, artinya putih lebih, yang mengandung makna orang
putih yang menang. Pada tahun 1920, atas rekes dari keluarga tersebut, Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum memutuskan mengizinkan keluarga Lesiputih memakai nama Matulessy lagi.
Negeri Haria di Pulau Saparua terletak di sebuah teluk yang indah, terang sepanjang tahun,
kecuali jika angin barat bertiup. Tempat persinggahan kora-kora dan "arombai" atau perahu-
perahu yang datang dari Ambon dan Haruku ke Saparua. Pada saat itu musim hujan, laut Banda
bergolak, sehingga Teluk Saparua tidak dapat dimasuki. Teluk dan laut di sekitar Haria karya
akan ikan dan mengundang rakyat untuk turun ke laut. Menangkap ikan adalah pencarian rakyat
Haria.
Dipantai berderet-deret perahu-perahu nelayan, arombai (rembaya) kecil besar, yang
mempunyai haluan dan buritan melengkung naik. berukiran warna-wara. Arombai, yang wajib
disediakan untuk keperluan Kompeni berderet-deret di sabuah (=hubungan terbuka, yang
atapnya ditopang oleh tiang-tiang kayu). Disana sini kelihatan kora-kora yang sudah menua, ada
pula yang sudah rapuh, karena tidak dipergunakan lagi, sesuai dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh Kompeni beberapa tahun yang lalu. Teluk Haria penuh dengan sero.
Tanah di balik Negeri Haria berbatu karang, tidak baik untuk bercocok tanam. Hutan jati
menutupi daratan dan gunung berbatu itu. Melengkung sepanjang pesisir selatan dan tenggara
Teluk Haria sampai ke gunung, ada tanah yang subur. Di sini rakyat berkebun dan berladang. Di
sini terdapat kebun kebun cengkih dan pala. Tanah ini berbatasan dengan tanah Negeri Booi.
Di tengah-tengah negeri, dekat dengan pelabuhan berdiri sebuah gereja. Bangunan itu
dibangun oleh rakyat sebagai tempat menyembah Allah, untuk memperkenalkan agama Kristen
Protestan, yang masuk dan disebarkan oleh orang-orang Belanda beberapa puluh tahun yang
lalu. Didekatnya letak sebuah "baeleo" (balai musyawarah rakyat). Di sini tempat musyawarah
raja dengan seluruh "saniri negeri" dan tua-tua adat. Di sini pula tempat anak negeri membawa
berjenis persembahan sebagaimana telah ditentukan oleh adat-istiadat secara turun-temurun.
Di dekat baeleo berdiri rumah raja. Raja dipilih dalam, suatu musyawarah besar. Kompeni
mengeluarkan peraturan agar bisa turut campur tangan dalam penentuan calon raja, patih atau
orang-kaya, sehingga seorang raja bisa saja dipecat atau diangkat tanpa musyawarah atau
persetujuan rakyat. Hal ini terjadi jika raja tidak ketat mengawasi pelaksanaan peraturan
monopoli, kerja rodi dan lain- lain.
Sebuah sekolah rakyat berdiri tidak jauh dari gereja. Tempat anak-anak belajar agama,
berhitung, dan membaca. Biasanya seorang guru sekolah merangkap juga guru injil, penyebar
agama dan pemelihara kehidupan rohaniah rakyat. Guru adalah orang kedua sesudah raja.
Pengaruhnya sangat besar. Rakyat sangat menghormatinya. Keadaan yang sama terdapat di
Negeri Porto yang berbatasan dengan Haria. Rakyat Porto adalah rakyat nelayan, petani dan
pemburu. Tanah pertanian dibalik negeri itu luga dan subur.

2.3 Cengkeraman Monopoli dan Kerja Rodi


"Mungare" dan "jujaro " (= pemuda dan pemudi) Porto dan Haria tegap-tegap badannya.
Kekar dan kuat-kuat perawakannya. Pemuda-pemuda pelaut, nelayan dan pendayung itu besar -
besar lengannya, lebar- lebar dadanya. Badan yang kehitam hitaman, terbakar karena sinar
matahari dilaut, rambut keriting atau berombak, mata kemerah-merahan kena uap laut yang asin
dan tajam, itulah mungare- mungare sebaya dengan Thomas.
Masa kanak-kanak Thomas tidak diketahui orang. Ia seorang anak biasa di antara
ratusan.anak rakyat Haria dan Porto. Dia seorang anak Lease senasib dengan beribu-ribu anak
dari ketiga pulau itu, yang hidup dalam kekurangan karena cengkeraman monopoli Kompeni.
Semasa kecil dia melihat orang orang sekampungnya, termasuk ayah, paman, dan saudara
saudaranya, dipaksakan untuk kerja rodi. Di samping itu ada kerja kuarto. Kompania Wolanda
memerlukan dan mengerahkan tenaga rakyat untuk berjenis pekerjaan, suatu sistem kerja paksa
atau rodi. Dia mengalami pengerahan berpuluh laki- laki senegeri untuk mendayung arombai,
mengangkut balok-balok kayu dari hutan Seram dan Lease untuk berjenis keperluan Kompania.
Kayu-kayu yang berat dan keras, seperti kayu besi, kayu nani kayu lenggoa harus diangkut ke
Ambon. Tiap negeri diwajibkan menyerahkan sebuah atau lebih arombai untuk keperluan
pengangkutan Kompeni. Rakyatpun diwajibkan mendayung atau rnengayuh arombai itu dan
perahu pos, yaitu perahu yang mengangkut dan mengambil surat-surat bagi kepentingan residen
di Haruku atau Saparua ke dan dari Ambon. Atau untuk mengangkut residen dalam perjalanan
dinasnya. Melalaikan pekerjaan rodi itu berarti menerima risiko hukuman badan, dipanggil oleh
residen ke Saparua, diikat pada tiang lalu dicambuk dengan rotan. Yang berani melawan dirantai
dan dimasukkan ke dalam kamar gelap di dalam benteng Duurstede. Sekalipun ada ditentukan
pembayaran, biasanya amat rendah, tetapi adakalanya pendayung pendayung itu dibayar, ada
kalanya tidak. Itu tergantung dari pada mental pegawai-pegawai Kompeni, karena ada yang
serakah, korup dan pemeras.
Raja-raja diharuskan menyerahkan kayu, kapur dan lain- lain bahan bangunan kepada
Kompeni dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak. Adakalanya datang perintah untuk
memperbanyak tanaman cengkih, karena ada kekurangan cengkih di pasaran dunia. Tiga empat
tahun kemudian belum lagi pohon-pohon itu berbuah, diperlukan waktu tujuh sampai delapan
tahun untuk berbuah, datang perintah pohon-pohon itu harus ditebang, dimusnahkan atau dibakar
karena produksi cengkih sudah berlebihan. Ini yang disebut "ekstirpasi, " yang mematikan
pencaharian rakyat.
Raja, patih atau orang-orang kaya sebagai kepada pemerintahan negeri harus mengawasi
kerja kwarto dan rodi, menyediakan arombai, mengerahkan tenaga pendayung dan mengawasi
peraturan monopoli. Negeri- negeri diwajibkan menyerahkan sejumlah rempah-rempah, yang
sudah ditentukan oleh Kompeni, setiap tahun dengan bayaran yang rendah sekali atau sama
sekali tidak dibayar, Inilah contingenten, semacam pajak dibayar natura (hasil bumi). Ada lagi
lain macam pajak yaitu "penyerahan wajib" yang disebut verplichte leverantien. Raja atau sultan
diikat dengan perjanjian untuk menyerahkan sejumlah rempah-rempah kepada Kompeni dengan
harga yang telah ditetapkan. Tetapi di dalam praktek kerap kali kedua macam pajak itu dicampur
baurkan. Ada kalanya contingenten itu dibayar sedangkan verplichte leverantien, tidak dalam
praktek keduanya tidak dapat dipisahkan atau dibedakan, sehingga kerap kali rakyat di Seram,
Ambon dan Lease dikenakan sekaligus kedua macam pajak itu. 3)
Tetapi monopoli hanya dapat dipertahankan dengan bedil dan meriam. Oleh karena itu
tangan besi Kompeni sangat terasa di negeri-negeri. Kompeni berusaha mati- matian mencegah
perdagangan bebas antara rakyat dengan pedagang-pedagang Jawa, Makasar, dan Melayu.
Perdagangan rakyat antar pulau diperkenankan, tetapi semua pedagang harus mendapat pas dari
Kompeni. Berkali-kali pedagang-pedagang dari luar Maluku itu mencoba mendobrak blokade
kapal-kapal Belada. Mereka dikejar dan jika tertangkap dihancurkan kapal-kapalnya. anak
buahnya ditangkap dan dihukum. Rakyat yang mengadakan perdagangan dengan pedagang-
pedagang itu dicap "penyelundup," didenda atau dihukum badan.
Para raja diwajibkan mengawasi secara cermat, agar jangan ada rempah-rempah yang
dijual kepada siapa pun, atau dibawa pohon-pohon cengkih dan pala yang dilarikan ke luar
daerah Maluku. Jika ini terjadi hukuman berat akan dijatuhkan atas para raja. Setiap tahun raja-
raja dari Ambon, Lease, Buru, Seram Barat dan pulau-pulau di sekitarnya harus menyerahkan
arombai atau kora-kora ke Benteng Victoria di Ambon, dengan pendayung-pendayungnya untuk
pelayaran hongi. Raja negeri harus turut serta sebagai nakoda di arombai yang beranak buah
kira-kira tiga puluh enam orang. Bayaran tidak ada, hanya "masnait" (=anak buah arombai)
diberi bekal berupa beras, dendeng dan sopi (=minuman keras yang dibuat dari enau). Peraturan
hongi sudah ditetapkan dan dijalankan secara ketat dan keras, diawasi langsung oleh gubernur.
Sebelum berangkat peraturan itu dibacakan dulu dalam bahasa Melayu di hadapan raja-raja yang
turut serta. Pelayaran itu memakan waktu beberapa minggu dengan tujuan melaksanakan
ekstirpasi, memburu pedagang-pedagang asing yang masuk ke perairan Maluku, menghukum
suku-suku yang sering menyerang kapal-kapal Kompeni atau mengamankan sesuatu daerah
kerusuhan.

2.4 Mungare- mungare Lease


Dalam suasana semacam inilah Thomas makin menjadi dewasa, makin mengertilah ia
betapa berat beban rakyat. Ia sendiri tidak luput dari tugas-tugas kuarto dan rodi. Bersama
dengan kakaknya, Johannis dan kawan-kawannya seperti Hermanus dan Bastian Latupeirissa,
Marawael Hattu, Jeremias dari Haria dan pemuda Nanlohy, Latumaliallo, Tetelepta, Sahertian
dan lain- lain dari Porto, diperintahkan pada waktu-waktu tertentu oleh bapa raja Haria dan Porto
untuk mendayung arombai ke Ambon atau mengangkut residen. Mereka diperintahkan
mengambil kayu di Seram dan mengangkutnya ke Benteng Victoria di Ambon.
Pada kesempatan semacam itu Thomas bertemu dengan kakak beradik Pattiwael dari Tiow
dan Saparua, Philip dan Lukas Latumahina dari Paperu, pemuda-pemuda dari Hatawano, Ulath,
Ouw, Booi dan dari lain- lain negeri. Kerap kali mereka berlomba kecepatan arombai dari Seram
ke Ambon atau sekembalinya dari Ambon ke Saparua. Arombai mereka melaju cepat membelah
ombak dan gelombang, menentang arus dan angin, dengan ayunan kayuh serentak seirama
dengan bunyi tifa dan gong. Para masnait berbadan hitam, kekar dan atletis bermandikan
keringat dan percikan air laut, bersorak-sorak menambahkan semangat tanding. Dengan
demikian cepatlah mereka tiba di tempat tujuan.
Sekali-sekali di kala arombai mereka berputar haluan untuk masuk Teluk Ambon,
melewati tanjung Alang dan Nusaniwe, gerakan kayuh diperlambat diiringi oleh "kapata" (=lagu
dalam bahasa tanah = bahasa daerah) yang merdu dan tenang seirama dengan Teluk Ambon
yang tenang dan indah. Dikejauhan tampak Gunung Nona, dibelakangnya lagi muncul gunung
Sirimau melindungi Negeri Soya. Samar-samar kelihatan Kota Ambon, jauh di belakang teluk
dalam. Diliputi kabut, tampak Gunung Salahutu di Jazirah Hitu.
Beramai-ramai mendekati Benteng Victoria lalu buang sauh di Labuan Honipopu. Di situ
muatan diturunkan sambil di awasi pegawai Kompeni. Para Masnait turun ke darat dan ber-
istirahat beberapa hari di Ambon. Bandar Ambon cukup ramai, kota kecil tetapi rapi dan teratur.
Banyak lagam bahasa terdengar di situ. Kota itu didiami oleh penduduk dari berbagai negeri di
Pulau Ambon yang dikumpulkan oleh Kompeni dan mendirikan kampung-kampung di sekitar
Benteng Victoria. Di kota itu berdiam juga suku-suku bangsa Ternate, Bugis, Bali, Timor dan
Irian. Juga orang-orang asing, seperti orang Eropa, Benggala, Papanga dan Cina.
Di sini mereka bertemu dan bermalam pada kawan-kawan. Mereka mendengar bermacam
khabar, mereka diberitahukan tentang bermacam peraturan dan tindakan yang diambil oleh
Kompeni. Mereka mendengar tentang kerusuhan-kerusuhan di berbagai negeri. Mereka
mendengar tentang sikap angkuh dari pegawai-pegawai Kompania, kecurangan-kecurangan,
pemerasan terhadap rakyat, tingkah laku dan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat, yang
tidak sesuai dengan usaha para pendeta dan guru injil yang giat menyebarkan moral agama
Kristen yang mereka anut, yaitu kasih sayang terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Tetapi jangan dikira pemuda-pemuda Lease ini adalah orang-orang yang halus perangai
dan budi, sopan-santun dan taat. Pekerjaan mereka yang berat, alam yang keras, menjadikan
mereka manusia-manusia yang keras pula, keras kemauan, keras hati, keras kepala, keras dan
kasar dalam tindak-tanduk, keras suara, kasar dalam pembawaan dan lekas naik darah. Mereka
mengutuk perbuatan dan tindakan dan pemerasan Kompania. Dendam kusumat membara di
dalam hati mereka, mendengar berita dan cerita dari kawan-kawan mereka. Reaksi mereka ter-
hadap sesuatu masih menurut naluri alamiah, terutama Alifuru dari Seram. Masih terlalu singkat
waktu bagi agama Kristen untuk menembus jiwa mereka, untuk mengubah manusia alam ini,
melepaskan mereka dari ikatan kepercayaan dan adat istiadat yang animistic, magic, penuh
tahyul, guna-guna dan lain- lain. Sinar agama belum berhasil mengubah ahlak Alifuru itu.
Sekalipun demikian rakyat patuh pada agama dan rajin ke gereja. Mereka merasa ada sesuatu inti
kebenaran dan norma norma yang berlainan dengan apa yang mereka warisi dari nenek moyang
mereka. Dan inilah yang sedang mereka kejar setapak demi setapak.
Thomas dan kawan-kawannya bukan mungare- mungare yang mudah diperintah. Sering
terjadi keributan di dalam negeri. Sering terjadi perkelahian antara pemuda senegeri atau antar
negeri. Naluri berkelahi ini diwarisi dari nenek moyang mereka, orang-orang Alifuru, dipertebal
lagi oleh pertumpahan darah antar suku dan peperangan melawan orang asing sejak dari
kedatangan orang Portugis, jadi hampir tiga ratus tahun sudah. Alasan perkelahian itu
bermacam- macam seperti perebutan gadis, bertanding mengadu kekuatan, kekalahan dalam
lomba arombai, perselisihan batas tanah petuanan antara dua negeri. Raja bertindak keras dan
menghukum yang membandel.
Sering pula mungare dan jujaro mengadakan keramaian disertai tari- tarian, cakalele (= tari
perang), berkapata, berdendang dan berpantun, diiringi oleh tifa dan totobuang (semacam jajaran
kenong), genderang, gong, dan lain- lain alat musik. Minuman tuak dan sopi menghangat
suasana. Tua muda, lelaki perempuan, kecil besar turut bergembira. Adu ketangkasan
mempergunakan parang dan salawaku, panah dan tombak, sering terjadi. Adu gulat dan adu
berkelahi tidak ketinggalan.
Dalam upacara penting seperti pengangkatan raja, memperbaiki baeleo atau gereja,
mengangkat atau memanas "pela", perkawinan raja atau anak raja, rakyat Siri Sori Islam, yaitu
pela Negeri Haria, turut menghadiri dan meramaikan upacara itu. Pela datang menyumbang
ramuan, tenaga, hasil kebun, dan ladang. Dalam suasana "masohi" (=gotong-royong) rakyat
negeri-negeri itu bantu membantu dalam duka dan suka, juga dalam peperangan. Suasana
diramaikan pula oleh "jujaro" dan mungare dari Porto, Tiow, Saparua, Paperu dan Booi, negeri-
negeri yang berdekatan dengan Haria. Keramaian sering pula dihadiri oleh pembesar dan
pegawai Belanda. Sekali-sekali residen juga hadir. Tidak ketinggalan para informan dilepaskan
di tengah-tengah rakyat untuk memasang telinga menangkap keluhan atau komplotan yang
mungkin sedang direncanakan. Tuak dan sopi, adakalanya jenever dari negeri dingin, yang di-
hadiahkan oleh pegawai Belanda, kerap kali membocorkan rahasia yang mempunyai akibat
buruk bagi rakyat.
Pada hari- hari tertentu residen mengadakan keramaian. Raja-raja diundang ke Saparua.
Rakyat turut meramaikan suasana dengan bermacam perlombaan antar negeri, bermacam tarian
diperlihatkan. Inilah ksesempatan pula bagi residen, komandan militer dan lain- lain petugas
Belada untuk menegaskan lagi cara-cara pelaksanaan monopoli, pemberantasan "penye-
lundupan," pemungutan pajak pelaksanaan kuarto dan lain- lain. Ini pula kesempatan untuk
memberi hadiah kepada raja-raja yang berjasa kepada Belanda dan menghardik raja-raja yang
berkepala batu.
Lease tidak mudah diperintah. Penulis-penulis Belanda dan para residen dalam laporan
mereka, mengakui sendiri bahwa rakyat Lease adalah rakyat yang paling "lastig" (=memusing-
kan) "woelig" (= bergolak) dan geneigd tot verzet = cenderung untuk berontak). Pulau Saparua
spant de kroon, artinya paling atas dalam membangkang, baru menyusul Pulau Haruku, Nusa
laut terhitung yang paling lunak. Rakyat Haria, Porto dan Tuhaha paling berkepala batu, paling
sulit dengar dengaran, paling sulit menuruti perintah.

2.5 Inggris kekuasaan Baru


Pada waktu Thomas berumur tiga belas tahun terjadi pergantian pemerintahan. Pada suatu
hari pada akhir bulan Pebruari tahun 1976, residen memerintahkan kepada raja Saparua supaya
satu arombai disiapkan untuk mengangkutnya ke Ambon, karena dipanggil oleh gubemur
Cornabe. Berangkatlah ia dengan komandan militer dan pengawalnya ke ibu kota.
Sekembalinya, para masnait menyiarkan kabar bahwa ada kesibukan yang luar biasa di Ambon.
Kapal-kapal perang Inggris berlabuh di pelabuhan. Mereka melihat bendera Inggris berkibar di
Benteng Victoria, sedangkan tentara Inggris berbaris dan berpatroli di jalan-jalan.
Beberapa hari kemudian nelayan-nelayan dari Haria dan Porto melihat kapal-kapal
berbendera, Inggris menuju ke Saparua. Juga rakyat Booi, yang negerinya terletak di lereng
gunung, melihat kapal-kapal itu. Apa gerangan yang terjadi........?
Permulaan bulan Maret raja-raja, patih dan orang kaya dari Pulau Haruku diundang oleh
residen ke Benteng Zeelandia diNegeri Haruku dan dari Pulau Saparua dan Nusalaut diundang
oleh residen Saparua ke Benteng Duurstede. Tentu ada sesuatu yang penting yang terjadi. Raja-
raja, patih dan orangkaya dari Pulau Saparua dan Nusalaut, disertai saniri masing masing , pada
hari yang ditentukan, berdatangan ke ibu kota karesidenan Saparua. Ada pula rakyat dari
berbagai negeri yang datang ke Saparua. Mereka ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Dari jauh telah kelihatan bendera Inggris berkibar di Duurstede. Beberapa kapal
berbendera Inggris berlabuh di dekat benteng itu.
Tuan-tuan raja, patih, orang kaya dan saniri negeri dari Pulau Saparua dan Nusalaut,
begitulah ujar tuan residen membuka pertemuan. Sejak tanggal 17 Pebruari terjadi pergantian
pemerintahan. Pemerintahan Inggris telah mengambil alih pemerintahan atas gubernemen
Ambon dan Banda. Dan pada hari ini saya akan menyerahkan kekuasaan atas Pulau Saparua dan
Nusalaut kepada utusan Kompeni Inggris. Demikianlah melalui juru bahasa seorang Belanda,
hadirin mendengar penjelasan dari residen dalam bahasa Melayu.
Komandan Inggris sebagai utusan dari Laksamana Pieter Tarnier gubernur Inggris di
Ambon, melalui juru bahasanya, menerangkan bahwa di Eropa, jauh dari sini sedang mengamuk
peperangan antara Inggris dan Perancis. Negeri Belanda diduduki oleh Perancis, sedangkan raja
Willem V melarikan diri ke Inggris, dan berdiam di kota kecil Kew dekat London. Raja itu telah
mengeluarkan instruksi dalam "warkat Kew" supaya semua jajahan Kompeni Belanda di Afrika
dan Asia diserahkan kepada Inggris. Jadi hari ini dia akan mengambil alih kekuasaan dari residen
Belanda." Selanjutnya ia katakan bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama lagi akan
dikeluarkan peraturanperaturan berhubung dengan penggantian pemerintahan itu. Ulu
berakhirlah pertemuan itu.
Hadirin bangkit berdiri bersalaman dengan kedua penguasa itu lalu keluar turun dari
Benteng Duurstede. Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pe-
ngetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mengerti
pergolakan yang sedang terjadi di sana. Sedangkan residen dan para pegawai Kompeni sendiri
tidak bisa mengerti situasi yang timbul. Komunikasi begitu sulit, perjalanan dari Eropa ke
Maluku memakan waktu kurang lebih satu tahun, tidak memungkinkan mereka mengetahui apa
yang terjadi. Bagaimana dengan Batavia..? Apakah Inggris juga menguasai Jawa..?
Gegerlah rakyat di negeri- negeri Lease mendengar penjelasan dari kepala-kepala mereka.
Rakyat bertanya-tanya apa yang akan dibawa oleh pemerintah yang baru itu. Apakah mereka
akan lebih baik dari Kompeni Belanda? Ataukah akan lebih buruk lagi? Suatu hal yang mereka
sadar benar adalah bahwa kekuasaan Belanda di Ambon dapat juga dipatahkan oleh suatu
kesatuan kecil. Kiranya ini suatu kesempatan baik bagi rakyat untuk mengangkat senjata
menghancurkan kekuasaan orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari kaum penjajah.
Kekuatan Inggris di Ambon tidak seberapa, karena sebagian sedang dikerahkan untuk
merebut Banda. Rakyat Hitu melihat hal ini lalu mengangkat senjata di bawah pimpinan raja
Seit, Ulupaha Tua, menyerang Benteng Victoria. Ancaman itu hampir raja berhasil, kalau bala
bantuan Inggris tidak tiba pada waktunya dari Banda. Ulupaha Tua dan pemimpin-peimpin Hitu
mengalami nasib buruk, seperti nenek moyang mereka dalam abad ke-16 dan 17. Mereka
dihukum mati gantung.4) Mereka berkorban untuk kemerdekaan yang mereka inginkan kembali.
Tetapi di negeri- negeri lain rakyat rupanya tidak siap untuk mengangkat senjata. Terbetik
berita bahwa hati pemuda pemuda yang panas, didinginkan oleh pemuka-pemuka gereja dan
guru- guru. Risiko masih terlalu. besar. Orang dikejutkan oleh tindakan Inggris terhadap raja Seit.
Keadaan belum masak.
Sementara itu setapak demi setapak, Inggris mulai menyusun pemerintahannya. Para
risiden diangkat menggantikan residen Belanda. Pegawai-pegawai Kompeni Belanda tetap
bekerja sesuai dengan instruksi dari raja mereka Willem V. Mulailah peraturan-peraturan tiba
dinegeri- negeri. Raja dan rakyat mulai melihat cuaca yang terang. Bulan berganti bulan, tahun
berganti tahun. Peraturan Kompeni Belanda berganti dengan peraturan Kompeni Inggris.
Peraturan monopoli diperlunak, kerja kwarto dan rodi diperingan, rakyat diberi lebih banyak
kebebasan untuk berdagang, ekstirpasi dihentikan dan hongi dihapus.
Tujuh tahun lamanya rakyat Seram, Ambon dan Lease merasa bahwa ada sesuatu berkah
yang turun atas mereka. Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebunkebun
cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap
penyelundupan Inggris bertindak keras juga.
Sementara itu Thomas dan kawan-kawannya makin menjadi dewasa. Penghapusan pas
menjamin kebebasan bergerak. Pemuda pemuda Haria ini sering pergi pulang Ambon Saparua.
Di ibu kota banyak yang didengar, banyak berita yang mereka dapati. Antara lain bahwa Belanda
masih tetap bertahan di Ternate. Gubernur di sana tidak mau tunduk pads instruksi raja dan tidak
mau menyerah kepada Inggris. Baru nanti ketika pada tahun 1801 Ternate diserang oleh Inggris,
dengan bantuan Sultan Nuku dari Tidore, maka runtuhlah kekuasaan Komnania Wolanda.

2.6. Kompania Wolanda Kembali lagi


Dalam tahun 1802 rakyat mendengar berita bahwa terjadi lagi perubahan pemerintahan.
Dari Ambon datang kabar bahwa Inggris dan Belanda telah mengadakan perjanjian. Maluku
akan dikembalikan lagi kepada Belanda. Gegerlah rakyat di negeri- negeri. Apakah hal ini benar-
benar akan terjadi?
Bulan Maret 1803 raja-raja dan patih dari Pulau Saparua dan Nusalaut diundang lagi ke
Benteng Duurstede. Sekali lagi mereka menyaksikan penyerahan pemerintahan. Kali ini dari
Inggris kepada Belanda. Kompania Wolanda telah kembali. Tujuh tahun lamanya rakyat hidup
damai, lepas dari berbagai tekanan monopoli, kerja rodi, ekstirpasi dan hongi. Lenyaplah
harapan akan kesejahteraan di negeri- negeri. Inggris telah pergi. Suatu bangsa yang berlainan
perangai, budi, tingkah laku dari pada orang-orang Belanda. Dalam tujuh tahun itu rakyat belajar
menghargai dan mengerti apa kebebasan itu sebenarnya. Kekejaman Kompania Wolanda akan
terulang lagi. Sampai kapan? Ya, sampai kapankah kekejaman itu akan berlangsung? Mungkin
untuk selama- lamanya. Jiwa rakyat tertekan lagi. Suasana menjadi mendung di negeri- negeri.
Apakah ada yang akan mencoba melawan dan mengangkat senjata? Apa jawaban kaum muda?
Apa jawaban Thomas dan kawan-kawannya? Apa jawaban putra-putra Saparua yang terkenal
pemberani dan pembangkang? Rupanya keadaan belum masak. Belum ada orang yang berani
muncul sebagai pemimpin untuk memimpin rakyat melawan penjajah Belanda. Jadi kembalilah
Belanda berkuasa. Sekalipun secara resmi Kompeni telah mati dan semua miliknya, termasuk
jajahannya, dikuasai oleh Pemerintah Belanda, akan tetapi rakyat tidak mengetahui dan tidak
mengerti akan hal ini. Yang terbayang di mata mereka hanya kekejaman Kompania Wolanda
akan kembali lagi.
Thomas dan kawan-kawannya mengalami hal ini kembali. Residen Belanda Kruipenning,
mengumumkan bahwa peraturan peraturan yang ditetapkan oleh Inggris ditiadakan. Peraturan
Zaman Kompeni akan berlaku lagi. Dan karena peperangan di Eropa mengamuk lagi, maka
Pemerintah Belanda memerlukan uang. Uang itu harus datang dari rakyat. Dan untuk itu
peraturan monopoli harus dijalankan kembali. Bukan main kegoncangan yang timbul di
kalangan rakyat. Pemuda-pemuda di berbagai negeri menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak ber-
daya. Demikian pula raja-raja patih. Contingenten dan verplichte leverantien mulai dipungut
kembali. Keda rodi terulang lagi. Perdagangan bebas dilarang. Sistem pas dikenakan lagi bagi
rakyat yang bepergian.
Karena peperangan antara Belanda dan Inggris berulang lagi dalam tahun 1803 itu, maka
kapal-kapal perang Inggris berhasil memutuskan hubungan antara Batavia dan Maluku. Kas
pemerintahan Belanda di Ambon menjadi kosong. Tidak ada uang yang dikirim dari Batavia
untuk membayar kaum militer dan pegawai-pegawai. Juga tidak untuk membayar rakyat yang
menyetor verplichte leverantien. Lalu pemerintah mencari kesuatu sistem keuangan yang belum
pernah dikenal rakyat. Dikeluarkannya uang kertas. Secara paksa diedarkan dan rakyat
diharuskan menerimanya. Akibatnya rakyat memboikot pemerintah. Pasar-pasar menjadi kosong
dan kebutuhan sehari-hari menjadi mahal. Hal ini sangat merisaukan kaum militer. Lalu
pemerintah mencari akal lain. Rakyat dikenakan "penyerahan wajib" daging ayam, rusa, babi
hutan, minyak goreng dan lain- lain, dibayar dengan harga rendah.5 )
Dalam. tahun 1808 rakyat mendengar berita tentang tibanya seorang gubernur jenderal
baru di Batavia. Namanya Daendels. Katanya ia dikirim raja Belanda, adik kaisar Perancis yang
bernama Napoleon. Nama ini sudah sering didengar rakyat dari orang Inggris. Inggris bercerita
mengenai perang besar di Eropah antara Inggris dan sekutunya melawan Perancis. Tetapi apa hu-
bungannya dengan rakyat di Maluku, tidak dimengerti dan disadari oleh penduduk. Baru sesudah
kapal-kapal dari Batavia menembus blokade Inggris dan membawa perintah untuk Gubernur
Maluku Cransen mulailah rakyat di negeri-negeri menjadi gelisah, terutama kaum mudanya.
Anak buah orang Belanda dan pelaut-pelaut Jawa dan Makasar, yang bekerja di kapal-kapal
Belanda itu membawa kabar bahwa Daendels disebut rakyat Jawa "Jenderal Guntur," karena dia
memerintah dengan tangan besi. Seluruh pulau Jawa dijadikan benteng pertahanan untuk
menghalau pendaratan tentara Inggris. Pegawai-pegawai sipil distreliterisasikan dan tunduk pada
hukum dan undang undang militer. Rakyat dikerahkan secara besar-besaran untuk membuat
pertahanan. Siapa membangkang ia dihukum berat
Tangan besi itu akan menimpa pula rakyat di Ambon dan Lease. Instruksi tiba dari
Daendels. Gubernur dan komandan militer harus mengerahkan tenaga kaum muda jika perlu
secara paksa, untuk dijadikan militer dan dikirim keJawa. Pemerintahan harus direorganisir
sehingga komandan militer harus bertanggung jawab penuh atas pertahanan. Rakyat harus
dikerahkan dan bahan-bahan disediakan untuk membuat benteng pertahanan 6)
Pengumuman dikeluarkan. Raja-raja patih dipanggil oleh residen. Timbul kegoncangan di
negeri-negeri. Di antara pemuda pemuda ada yang meninggalkan negeri dan menyingkir ke
hutan. Mereka tidak sudi dijadikan serdadu Belanda, apalagi dikirim ke Jawa. Rakyat dikerahkan
untuk menebang kayu, menyediakan bahan-bahan bangunan dan lain- lain dan mengangkutnya ke
tempat-tempat tertentu untuk membuat benteng pertahanan, jika ada bayaran, tidak berarti sama
sekali karena sangat rendah. Rakyat mengeluh dan memprotes. Mereka membandingkan
pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Inggris. Tetapi raja-raja patih diancam sehingga
mereka bertindak keras pula terhadap rakyat yang berani melawan.
Setahun kemudian raja-raja mendengar bahwa telah terjadi perselisihan antara Gubernur
Cransen dengan komandan militer dalam pelaksanaan instruksi Daendels. Akibatnya keduanya
dipecat oleh "Jenderal Guntur" dan diperintahkan berangkat ke Batavia. Gubernur Ternate,
Wieling, dipindahkan ke Ambon untuk mengganti Cransen. Dengan pemindahan ini,
gubernemen Temate dihapus dan Maluku Utara diletakkan' langsung dibawah gubernur Ambon.
Tetapi alangkah terkejutnya rakyat Ambon, sebab beberapa bulan kemudian tentang berita dari
Benteng Victoria, bahwa gubernur baru itu telah membunuh diri. Berita ini tersiar sampai ke
negeri-negeri. Ternyata Wieling tertekan jiwanya. Dia merasa tidak bisa mengatasi kekuasaan
militer. Menghadapi ancaman serbuan armada Inggris, ia menjadi bingung, takut dihukum oleh
tangan besi gubernur jenderal di Batavia, lalu memutuskan untuk berpamitan dengan dunia yang
fana ini 7) "Berbaringlah ia dengan damai." Sedang penggantinya, Gubernur Heukevlugt, akan
menghadapi tugas yang berat.
Kekurangan uang kontan menyebabkan Daendels mernerintahkan supaya diadakan
penghematan di segala bidang, kecuali untuk pertahanan. Gubernur mengeluarkan instruksi su-
paya rakyat di tiap-tiap negeri membayar sendiri guru- gurunya. Sampai saat itu Kompenilah
yang membayar guru-guru. Bayaran itu tidak seberapa, tetapi berarti besar bagi guru- guru.
Belum lagi diambil langkah selanjutnya, gaji guru telah dihentikan. Guru-guru tidak sudi hidup
dari belas kasihan rakyat. Rasa angkuh mereka untuk menerima sedekah dari rakyat, menye-
babkan dalam waktu singkat mereka hidup merana. Dapat dimengerti bila kegelisahan timbul di
semua negeri Kristen. Timbullah kebencian yang mendalam dalam kalbu guru-guru itu terhadap
Belanda. Karena besar pengaruh mereka dikalangan rakyat dan kebencian itu tidak
disembunyikan, maka bertambah membara kebencian rakyat terhadap Pemerintah Belanda. 8)

2.7 Tiupan Angin Kebebasan


Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Pada tanggal 16 Pebruari 1810, untuk kedua
kalinya rakyat Kota Ambon menyaksikan sebuah armada Inggris memasuki Teluk Ambon.
Kapten Tucker mendarat dengan satu pasukan berkekuatan empat ratus orang tanpa ada
perlawanan dari pihak Belanda.
Satu kesatuan mendarat di Wainitu. Satu kesatuan lagi bergerak ke Batu gantung. Di sini
terjadi pertempuran singkat. Belanda mempertahankan diri di atas sebuah bukit, tetapi akhirnya
menyerah. Keesokan harinya bendera putih dinaikkan di Benteng Victoria tanda Belanda
menyerah. Komandan Militer Belanda Kolonel Filz adalah seorang komandan yang lemah. Ia
tidak bersemangat sama sekali untuk bertempur. Tanggal 19 Pebruari Gubernur Heukevlugt
menandatangani pedanjian penyerahan Ambon dan daerah bawahannya kepada Inggris. 9)
Banda pun diserang dan dengan mudah jatuh ke tangan Inggris. Ternate baru diserang
bulan Agustus dan menyerah pada tanggal 31 Agustus 1810. "Tidak dapat disangkal, bahwa
serdadu-serdadu Belanda di sini, sama seperti di daerah lain di Nusantara, tidak berjuang dengan
tekad yang menjadi ciri khas dari kesatuan-kesatuan Belanda di masa lampau. Mereka
mengalami demoralisasi karena pertikaian aliran-aliran politik pada waktu itu dan tidak
mempunyai minat untuk mempertahankan regim baru itu," demikian tulis seorang Inggris.
Untuk kedua kali Maluku jatuh ke tangan Inggris. Untuk kedua kali timbul harapan bagi
rakyat Ambon, Lease dan Seram akan perbaikan hidup. Menarik pelajaran dari masa
pendudukan yang pertama, segera Pemerintah Inggris mengeluarkan pengumuman dan peraturan
yang disiarkan kepada raja-raja, patih dan rakyat. Maksudnya untuk mendapat dukungan dan
simpati rakyat, sehingga tercegah timbulnya perlawanan bersenjata.
Diberitakan kepada-segenap rakyat Maluku, bahwa Belanda sebagai suatu bangsa sudah
lenyap dan tidak akan bangkit lagi. Negara Belanda sudah dimasukkan ke dalam Kekaisaran
Perancis. Jadi untuk selanjutnya rakyat Maluku akan diperintah oleh bangsa Inggris.' 10) Hal ini
sangat mempengaruhi Thomas dan kawan-kawannya di Lease. Mereka mengalami lagi perubah-
an dan tindakan Pemerintah Inggris dan menyambut.baik semuanya itu. Pertama-tama tunggakan
gaji guru-guru segera dibayar dan keadaan yang sudah-sudah dipulihkan. Kedua, verplichte
leverantien dihapus, rempah-rempah dibayar kontan dan harga bahan pakaian diturunkan.
Ketiga, kerja rodi diperingan, sedangkan upah para pekerja kuarto dari satu menjadi tiga
"Ropijn".
Selama pemerintahan Inggris berjalan banyak uang beredar dalam masyarakat. Disamping
"ropijn" beredar juga mata uang "matten", sedangkan uang kertas ditiadakan. Karena pegawai-
pegawai dan kaum militer Inggris bergaji cukup tinggi dan banyak mengeluarkan uang,
bertambah banyak pula uang dalam sirkulasi. Hasil produksi rakyat dibayar cukup wajar.
Kesejahteraan dipertinggi lagi dengan pembentukan satu korps militer Ambon, sebesar lima
ratus orang, yang bergaji cukup tinggi dan berseragam baik. Gaji mereka dapat membantu
keluarga dan sanak-saudara mereka di negeri- negeri. .
Pemerintahan negeri diperlunak. Raja-raja dan patih tidak diperbolehkan menghukum
rakyat. Yang bersalah harus diajukan kepada pemerintah. Jika rakyat mengadukan rajanya kepa-
da Pemerintah Inggris, karena sesuatu tindakan yang tidak benar atau tidak adil, kerap kali
kepala itu dipecat tanpa didengar lagi, seperti terjadi dengan raja-raja Pelau, Kailolo dan Aboru.
11)
Kebebasan ini, terutama kebebasan kaum muda dinegerinegeri, mempunyai akibat buruk bagi
Belanda bila nanti mereka kembali lagi sesudah Pemerintah Inggris berakhir.

2.8 Sersan Mayor Thomas Matulessia


Kebebasan bergerak dipergunakan oleh Thomas dan pemuda-pemuda Lease untuk
sewaktu-waktu berkayuh ke Ambon. Ketika dikeluarkan pengumuman memanggil pemuda-
pemuda untuk masuk tentara Inggris. Thomas dan kawan-kawannya segera mendaftarkan diri.
Mereka tidak ragu ragu karena dalam peraturan penerimaan ditentukan bahwa mereka hanya
akan berdinas di Ambon. Sesudah dipenuhi syarat-syarat penerimaan, diperiksa kesehatan dan
diuji kemampuan masing- masing menerima lima ratus orang, termasuk Thomas Matulessia dari
Haria. Korps Ambon disusun dan dimasukkan ke dalam asrama di Ambon. Mereka dibayar
cukup tinggi dan berseragam yang baik. Berbagai macam latihan dan keterampilan memperguna-
kan senjata api mereka pelajari selama dalam ketenteraan Inggris. Latihan perang-perangan,
pendaratan diberbagai pantai yang berombak dan tidak, berkarang atau berpasir putih, adalah
latihan-latihan yang sungguh dipersiapkan untuk menangkis dan menyerang musuh. Karena
perang antara Inggris melawan Belanda dan Perancis masih berkecamuk, maka pemerintah
Inggris di Maluku tetap siap siaga. Oleh karena itu sesudah latihan- latihan dasar selesai
kesatuan-kesatuan korps itu disebarkan ke berbagai pulau.
Thomas Matulessia telah menjadi seorang laki- laki dewasa, tegap dan kekar kuat
badannya. Ia menunjukkan kecakapan, keterampilan dan pimpinan yang melebihi kawan-
kawannya. Oleh karena itu cepat ia naik pangkat. la diangkat menjadi pemimpin kawan-
kawannya, dari sersan kemudian menjadi sersan mayor. Ia seorang pemberani, wataknya keras,
kerap kali tindakannya juga keras terhadap anak buahnya. Pengalaman ini bagi Thomas sangat
berguna di kemudian hari. Tidak disangka oleh Thomas dan kawan-kawannya bahwa masa dinas
militer dalam angkatan perang Inggris ini akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam memberi
pimpinan kepada rakyat di masa yang akan datang. Kebencian mereka terhadap Belanda menja-
dikan mereka prajurit-prajurit yang bertekad bulat untuk menghancurkan Belanda. Tetapi mereka
tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Rasanya tidak banyak mereka ketahui
dan mengerti tentang pergolakan politik dan jalannya peperangan di Eropa. Melalui komandan
militer, Thomas dan korpsnya mendengar bahwa Gubernur Jenderal Daendels sudah berangkat
meninggalkan Jawa. Janssens, penggantinya telah menyerahkan kekuasaan kepada Gubernur
Jenderal Inggeris Raffles. Seluruh Nusantara sekarang dikuasai oleh Inggris.
Sedikit-dikitnya Thomas sudah berumur duapuluh tujuh tahun ketika ia memasuki
ketentaraan Inggris. Pada suatu hari ia berkenalan dengan seorang cantik yang di dalam
tubuhnya mengalir darah Eropa. Namanya pun menunjukkan dia turunan negeri dingin. Itulah
Elisabeth Gassier. Suami Elisabeth adalah Eliza Titaley. Perpisahan mereka terjadi dengan
paksa, karena Eliza diangkut ke Pulau Jawa sebagai tentara Belanda. Terputuslah hubungan
suami- isteri karena angkatan laut Inggris memutuskan semua hubungan antara Jawa dan Ambon.
Ketika Thomas berkenalan dengan Elisabeth, wanita ini bekerja sebagai pembantu rumah
tangga pada keluarga White, syahbandar Pelabuhan Ambon. Percintaan kedua orang muda ini
terjalin selanjutnya, tanpa ada perkawinan. Elizabeth inilah yang dikemudian hari selalu
menyertai Thomas dan terus- menerus mendorong Thomas untuk melawan Belanda.12).
Kebencian dan rasa dendam yang membara dalam sanubarinya terhadap Belanda adalah akibat
dari pemutusan hubungan secara paksa dengan suaminya.
Demikianlah kehidupan Thomas selama hampir tujuh tahun dalam ketentaraan Inggris.
Sekalipun Inggris memerintah dengan lunak menurut prinsip liberal, tetapi terjadi pula
pembunuhan terhadap residen Inggris di Saparua. Menurut orang Inggris residen itu bertindak
terlalu keras terhadap penyelundupan. Tetapi orang Belanda mengatakan bahwa tindak-
tanduknya yang tidak senonoh terhadap seorang gadis cantik di Saparua menyebabkan ia
menjadi korban pembunuhan. Pemerintah Inggris menuduh Raja Ulath, Jeremias Latuihamalo
alias Salemba, sebagai biang keladi. Ia ditangkap, diadili lalu dibuang ke Madras. Setelah masa
pembuangannya, ia kembali ke Saparua dan berdiam di Porto, negeri asalnya. Salemba inilah
yang akan memainkan peranan penting dan mendampingi Thomas sebagai penasehat dalam
perang melawan Belanda.
Pada umumnya, selama masa pemerintahan Inggris rakyat di Seram, Ambon dan Lease
hidup lega, damai dan tenteram terlepas dari bermacam- macam tekanan monopoli selama tujuh
tahun.
BAB III KAPITAN PATTIMURA PEMIMPIN PERANG
PEMBEBASAN RAKYAT

3.1 Maluku Berpindah Tangan


Dentuman meriam silih berganti susul- menyusul di medan pertempuran Waterloo di Belgia
pada tanggal 18 Juni 1815. Pertempuran itu menentukan nasib Napoleon Bonaparte dengan
kekaisaran Perancisnya. Pertempuran itu menentukan pula masa depan negara-negara Eropa
yang sedang saling menghancurkan. Perancis kalah. Sebab itu lawan- lawannya berkumpul di
Wiena pada tahun itu juga untuk mengatur kembali tata kehidupan bernegara dari bangsa-bangsa
Eropa yang telah diobrak- abrik oleh Napoleon, dan di situ pula diatur kembali milik dan status
jajahan di Asia.
Tanpa disadari dan tanpa diketahui apa yang terjadi di belahan bumi yang jauh itu, rakyat
Maluku melanjutkan hidupnya, menghirup udara yang lebih bebas di bawah pemerintahan
Inggris yang mau mengerti dan mengatur kehidupan rakyat lebih baik daripada kekuasaan
sebelumnya. Tetapi setahun sesudah pertempuran di Waterloo itu, datang berita bahwa Maluku
harus diserahkan kembali kepada Belanda. Ada apa sebenarnya? Inggris, yang keluar sebagai
pemenang harus melaksanakan Traktat London, yang dibuatnya dengan Belanda dalam tahun
1814. Traktat London! Itulah sumber penyerahan kembali Indonesia kepada Belanda. Sumber
yang dikukuhkan dalam musyawarah bangsa-bangsa Eropa di Wiens.
Setahun kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1816, ketika bendera Union Jack diturunkan
dan dikibarkan triwarna merah putih biru di Balai Kota Batavia disaksikan oleh Letnan Gubernur
Inggris John Fendall dan para Komisaris Jenderal Belanda. Elout, Buyskes dan van der Capellen,
barulah terlaksana Traktar London.
Berita penyerahan itu sampai juga di Ambon, kemudian tersiar keseluruh pelosok daerah
Maluku. Berita itu menggemparkan rakyat di negeri- negeri Seram, Ambon dan Lease. Bukankah
orang Inggris pernah menyiarkan berita bahwa Belanda tidak akan kembali lagi? Bahwa sebagai
suatu bangsa, riwayat Belanda sudah berakhir? Kalau memang benar Belanda akan kembali,
masih sudikah rakyat menerima nasibnya seperti dahulu, hidup lagi dalam cengkeraman
monopoli?
Apa yang berkecamuk di dalam hati sanubari Thomas ketika ia mendengar berita itu, sulit
diduga. Sehari- harian ia bermuram- muraman saja. Kebenciannya terhadap Belanda digelorakan
lagi oleh Lisbeth, begitulah Elisabeth disapakan sehari- hari. Kiranya dapat dimengerti bahwa
Lisbeth mendorongnya untuk bertindak. Thomas mempunyai anak buah. Mengapa tidak
menggunakannya pada saat Belanda Kembali? Tetapi keadaan belum masak, saat belum tiba.
Disiplin militer terlalu meresap dalam diri Thomas dan korpsnya untuk bertindak di luar
kehendak opsir-opsir atasannya. Ia masih harus menurut perintah.
Tanggal 18 Maret 1817, pagi-pagi benar Thomas telah menggerakkan kesatuannya ke
berbagai tempat. Daerah pelabuhan dan pantai pendaratan di dekat Benteng Victoria dijaga
keras. Beberapa hari sebelumnya pimpinannya telah mengumpulkan komandan-komandan
pasukan dan menerangkan kepada mereka situasi yang timbul karena Traktat London. Dalam
beberapa hari lagi akan tiba suatu eskader Belanda membawa Gubernur Belanda dan
pengiringnya. Mereka akan disertai pula oleh sepasukan tentara. Jadi pasukan Thomas harus
bersiapsiap untuk bertugas bila eskader itu telah kelihatan diTanjung Alang. Benar juga apa yang
terjadi pagi itu. Pagi itu rakyat Alang dan Nusaniwe menyaksikan suatu iring- iringan kapal
Belanda sebanyak tujuh buah, terdiri atas kapal perang dan kapat pengangkut, memasuki Teluk
Ambon. Rakyat di pesisir teluk berbondong-bondong lari ke pantai untuk menyaksikan eskader
itu. Beberapa buah kapal perang Inggris angkat sauh lalu berlayar menuju eskader itu. Sesudah
pertukaran tandatanda penghormatan maritim dan tembakan penghormatan, menyusurlah kapal-
kapal itu ke Ambon. Berhadapan dengan Benteng Victoria berdentum meriam- meriam tanda
penghormatan dari kedua belach pihak. Lalu kapal-kapal membuang sauh.
Di dekat pelabuhan dan pantai sekitar benteng, rakyat Ambon berkerumun menonton
dengan diam dan cemas menyaksikan apa yang sedang dan akan terjadi. Dentuman meriam
mengundang rakyat dari daerah pegunungan bergegas-gegas turun ke pantai. Sekoci-sekoci
diturunkan dari kapal untuk mengangkut Komisaris Engelhard dan van Mideelkoop ke darat
diikuti para pembesar militer dan sipil disertai keluarga masingmasing dan para komandan kapal.
Dalam suatu upacara resmi, Martin, residen Inggris bersama para pembesar menyambut
rombongan itu.
Sersan Mayor Thomas dan beberapa kawannya memperhatikan situasi secara sungguh-
sungguh. Kapal-kapal itu menarik perhatian mereka. Bertanya di sana-sini dari anak buah kapal
dan memperoleh keterangan bahwa armada Belanda itu terdiri atas kapal perang Maria
Reygersbergen, dipimpin komandan Overste J. Groot; Nassau dengan komandan Sloterdijk;
Lversten dengan komandan Kapten Laut PM. Dietz dan beberapa buah kapal pengangkut
Swallow, Salambone dan Malabar. Jugs diperoleh kabar bahwa ada sepasukan tentara yang
berkekuatan kira-kira delapan ratus orang. Mereka sebagian besar terdiri atas orang-orang Jawa,
yang baru direkrut. Pada hari- hari berikutnya Thomas dan pasukannya mengalami kesibukan
menghadapi berakhirnya tugas mereka di dalam ketentaraan Inggris.
Persiapan penyerahan kekuasaan pada hari- hari berikutnya menyibukkan para pembesar
dari kedua belah pihak. Perundingan pelaksanaan Traktat London menghasilkan persetujuan
pada tanggal 14 Maret dan baru ditandatangani pada tanggal 24 Maret, oleh Martin, Engelhard
dan van Middelkoop. Tanggal 20 Maret Burfhgraaff dilantik sebagai residen di Hila dan
keesokan harinya sebaggai residen Larike. Pada hari itu juga Jr. van den Berg dilantik sebagai
residen Saparua.
Pada tanggal 25 Maret, tanggal serah terima kekuasaan. Rakyat Ambon menyaksikan
upacara penurunan bendera Inggris dan penaikan bendera Belanda. Penurunan Union Jack
disambut oleh Nassau dengan tiga puluh tiga tembakan meriam, sedangkan sebuah kapal Inggris
membunyikan dua puluh satu tembakan. Dari Benteng Victoria berdentum tembakan yang sama
jumlahnya sebagai tanda penghormatan dan terima kasih. Kemudian tri warna merah-putih-biru
dinaikkan dengan sambutan tembakan meriam yang sama pula jumlahnya dari kedua kapal
perang tadi dan Benteng Victoria. Sesudah itu van Mideelkoop dilantik sebagai gubernur
Maluku. Lalu disusul dengan penyerahan kekuasaan dari Residen Martin kepada Van
Middelkoop dan Engelhard. Dalam menyusun dan menjalankan pemerintahan gubernur itu
didampingi oleh Engelhard. Pada hari itu juga Uijtenbroek dilantik sebagai residen Haruku.
Seluruh upacara diadakan di Batugajah, di tempat kediaman residen Inggris. Sehabis upacara
serah terima, proklamasi penyerahan dibaca di depan umum dan disaksikan oleh raja-raja patih
yang memenuhi undangan residen Inggris dan rakyat Ambon yang berdiri di luar gedung
upacara.
Serah terima kekuasaan itu disusul dengan penggantian penjagaan di pos-pos militer dan
marine. Thomas dan kawan kawan menyerahkan tugas mereka kepada pasukan Jawa. Masih
muda-muda mereka itu. Tetapi alangkah lucunya. Pasukan Jawa ini tidak dilengkapi sebagai
layaknya pasukan. Mereka belum diberi pakaian seragam. Mereka masuk pos-pos hanya
bercelana pendek dan berbadan telanjang.1) Pandangan ini tidak menguntungkan Belanda di mata
masyarakat. Kenyataan ini menurunkan penilaian rakyat terhadap kualitas tentara Belanda.
Lebih- lebih lagi mereka pernah menyaksikan kekalahan tentara Belanda beberapa tahun yang
lalu oleh sepasukan kecil tentara Inggris.
Tanda buruk menimpa Belanda di siang hari, yaitu ketika rakyat Ambon menyaksikan tri
warna diturunkan setengah tiang. Apa gerangan yang terjadi? Tersiar kabar bahwa Kapten Laut
PM Dietz, komandan kapal perang Evertsen yang pagi itu bertolak ke Banda, meninggal dunia
ketika mendekati Tanjung Alang. Jenazahnya diturunkan dengan sekoci dan didayungkan
kembali ke Kota Ambon.
Sore hari rakyat menyaksikan kesedihan orang-orang Belanda yang menguburkan opsir
mereka itu. Kebetulan pada saat itu terlihat di langit beberapa gumpalan awan yang aneh bentuk-
nya. Rakyat yang masih penuh tahyul menyiarkan desa-desus bahwa kematian Dietz dan gejala
alam itu adalah pertanda buruk bagi Belanda. Berita ini seolah-olah ditiup angin ke seluruh
pelosok dan mulailah orang-orang meramalkan keruntuhan Kompania Wolanda. Setelah
penyerahan itu, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai residen Ternate.
Demikianlah dalam waktu yang singkat pimpinan pemerintahan pusat di Ambon maupun di
daerah diambil alih oleh pemerintah Belanda dan berkibarlah kembali bendera merah-putih- biru
di setiap benteng, pusat kekuasaan kaum penjajah.
Untuk kesekian kali sultan-sultan, raja-raja dan patih serta rakyat Maluku mengalami
perubahan kekuasaan. Kembalinya Belanda telah menjadi kenyataan.

3.2 Demobilisasi "Korps Limaratus"


Bagaimana dengan status Thomas dan kawan-kawannya sekarang? Pada waktu Traktat
London disusun, Pemerintah Inggris menawarkan Korps Ambon dari Thomas kepada Belanda
tetapi ditolak. Karena Belanda berpendapat bahwa nanti bila Maluku telah dikembalikan toh
akan ada pengerahan pemuda pemuda Ambon untuk menjadi sedadu. Dalam artikel 11 Traktat
London ditetapkan agar supaya residen Inggris di Ambon merundingkan pengoperan Korps
Ambon ini dengan gubernur Belanda. Akan tetapi di dalam surat perjanjian penerimaan serdadu
Ambon yang dibuat dengan Inggris dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris
berakhir di Maluku, maka serdadu-serdadu harus dibebaskan, sehingga mereka berkebebasan
penuh untuk memilih memasuki dinas militer kekuasaan baru itu atau tidak. Berdasarkan hal ini
anggota-anggota Korps Ambon menuntut keluar dari dinas militer Inggris. Thomas dan kawan-
kawannya tidak mau dioperkan begitu saja sebagai barang dagangan. Para komisaris menolak
keinginan Korps Ambon ini.2) Tetapi residen Martinlah yang berkuasa atas mereka. Sesudah
tanggal 24 Maret is menandatangani suatu seruan memanggil semua anggota Korps Ambon
untuk berkumpul di Kota Ambon. Berduyun-duyun dan beramai-ramai diiringi tifa dan
totobuang dengan menggunakan arombai-arombai yang dihiasi daun kelapa dan bendera-
bendera, datanglah mereka dari pulau-pulau ke ibu kota.
Rakyat berlari- lari ke pantai Teluk Ambon, bergembira ria dan kagum melihat lelaki- lelaki
yang tegap-tegap, kekar, gagah dengan seragam militer Inggris, berkayuh masuk Pelabuhan
Ambon diiringi irama tifa, gong dan totobuang. Suatu pameran kekuatan otot-otot yang memikat
hati, menggetarkan hati gagis-gadis Ambon yang senang berkhayal. Terpikat hati mereka ketika
"Korps Lima Ratus" sehari kemudian berdefile dihadapan residen dan para opsir Inggris, para
pembesar dan opsir Belanda disaksikan oleh ratusan rakyat Ambon baik dari kota maupun dari
negeri dan gunung-gunung. Bangga pula Residen Martin berhadapan untuk penghabisan kali
dengan hasil gemblengan Inggris selama tujuh tahun. Kata perpisahannya sungguh mengesankan
Thomas dan kawan-kawannya. Tanda mata dibagi-bagikan. Tetapi yang lebih penting lagi bagi
seorang militer yang didemobilisasikan ialah penyerahan surat bebas oleh residen Inggris kepada
masing- masing anggota korps. Surat itu rnengangkat mereka ke status "borgor. " Bukan saja
mereka, tetapi juga anggota keluarga mereka mengecap kesenangan dan keuntungan dari status
itu.
Sebagai seorang "borgor" (dari kata Belanda: bungur) yang memiliki surat bebas
(vrijbrief), mereka memperoleh status sosial yang lebih bebas dan lebih tinggi dari pada anak
negeri biasa. Mereka dibebaskan dari berbagai jenis kerja-paksa dan kerja kuarto. Didalam
pemerintahan kota atau negeri, mereka, diletakkan di bawah perintah seorang sersan lingkungan
(sergeant wijkmeester). Mereka tidak tunduk pada raja atau patih. Mereka tidak boleh dihukum
oleh kepala negeri, tetapi hanya oleh residen, dan dengan cara yang berlainan dari pada anak
negeri biasa.
Setelah upacara selesai dan ditutup dengan defile, para anggota korps ini diserbu oleh
sanak-saudara, pemuda dan pemudi, kawan-kawan dan kenalan. Pada malam harinya Thomas
dan kawan-kawan mengadakan pesta perpisahan dengan rakyat Ambon. Para opsir dan prajurit
Inggris diundang pula. Semalam suntuk rakyat Ambon turut berpesta. Lagu- lagu berkumandang
diudara. Dendang-berdengang pantun-berpantun saling berbalasan. Tifa dan totobuang
mengiringi lagu- lagu "mungare" dan "jujaro". Jalan-jalan menjadi ramai. Di sana-sini ada
rombongan yang berjalan terhuyung-huyung, beroleng ke sana kemari, bersorak-sorai, dan
berteriak-teriak sebagai tanda bahwa mereka terlalu banyak berkenalan dengan "air kata-kata"
yaitu tuak dan sopi, anggur atau jenever. Sehari dua lagi mereka yang berasal dari Lease tinggal
di Ambon untuk berbelanja; membeli keperluan hidup, hadiah dan lain- lain bagi anak isteri,
kekasih, sahabat dan kaum kerabat. Habislah sudah gratifikasi (uang demobilisasi) dua bulan gaji
dari balatentara Inggris. Mereka pergunakan pula kesempatan untuk berpamitan dengan kawan
kawan mereka orang Inggris.
Pada saat berangkat ke Lease, Thomas dan kawan-kawannya diantar oleh kawan-kawan
kepelabuhan menaiki arombai masing- masing. Berpamitanlah mereka dengan ibukota Ambon
dan rakyatnya. Beberapa kali arombai-arombai berputar-putar di teluk kemudian terjadi suatu
pandangan yang sangat menarik. Rakyat di sepanjang Teluk Ambon menyaksikan suatu perlom-
baan adu tenaga mengayuh arombai menuju ke teluk dalam. Tifa gong mengiringi irama kayuh.
Sorak-sorai bergembira putra-putra dari Lease ini memperlihatkan kerja otot-otot yang kekar.
Ketika kapal-kapal Belanda tiba, para masnait bersoraksorak berteriak-teriak mengejek
Kompania Wolanda. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara Belanda sekarang dengan Kom-
pania dahulu. Mereka tidak menyembunyikan kebencian mereka sepanjang jalan bila berpapasan
dengan kapal Belanda.
Setiba di Negeri Baguala (Paso) mereka memikul arombai mereka, berjalan kira-kira lima
belas menit melalui genting tanah (pas), kemudian menurun ke Teluk Baguala. Dari situ mereka
melanjutkan perjalanan ke Lease. Jalan ini adalah jalan yang terpendek dan lebih aman dari
Ambon ke Lease dan sebaliknya, sehingga dihindari jalan panjang yang berombak dan
bergelombang di Tanjung Alang dan Nusaniwe. Lomba arombai mempercepat perjalanan ke
negeri masing- masing. Yang pertama tiba adalah arombai dari negeri- negeri di Pulau Haruku.
Dari jauh kawan-kawannya dari Saparua dan Nusalaut melihat mereka disambut oleh anak
negeri, sanak-saudara dan sahabat. Semua orang ingin mengetahui apa yang sudah terjadi di
Ambon. Ketika memasuki Teluk Haria tifa dan gong mengiringi perlombaan antara arombai
Haria dan Porto disertai soraksorai dan teriakan para masnait. Rakyat kedua negeri itu berlarilari
ke pantai ingin menyaksikan Lomba arombai itu. Lomba arombai antara kedua negeri itu selalu
menarik perhatian, karena telah menjadi tradisi dan permainan rakyat. Kalah atau menang silih
berganti Haria dan Porto menjadi saingan bebuyutan. Perlombaan sore hari itu di teluk yang
begitu tenang dan sungguh mengasyikkan. Tua-muda, kecil-besar, semuanya turut bersorak-
sorak. Perahu-perahu kecil besar yang ada di darat tergesagesa didorong ke laut dan turut
berlomba- lomba mendekati arombai-arombai yang sedang bertanding itu.
Haluan diputar dan peralahan-lahan mereka menuju ke pantai. Thomas dan kawan-kawan
disambut oleh rakyat dengan riang gembira. Semua orang ingin mendengar kabar dari Ambon,
Bagaimana dengan Inggris? Sudah berangkat atau belum? Apakah betul-betul Belanda sudah
kembali? Ada kapal perang Belanda? Berapa banyak? Tentara Belanda kuat atau lemah.
Begitulah bertubi-tubi rombongan eks prajurit Inggris itu dijhujani dengan berjenis pertanyaan.
Peluk mesra antara Thomas dengan ibu dan sanak-saudaranya. Akhirnya mereka bersatu kembali
sesudah berpisah beberapa tahun. Malam harinya mereka bersatu kembali sesudah berpisah
beberapa tahun. Malam harinya mereka disambut oleh bapa raja, tuan guru dan saniri negeri.
Bala rakyat memenuhi halaman rumah raja. Para bekas prajurit itu menceritakan pengalaman
mereka dan kejadian di Ambon. Sampai jauh malam orang berkumpul di rumah-rumah
mendengar cerita, obrolan dan dongeng. Pada hari Minggu gereja penuh sesak. Tuan guru
menaikkan doa ke hadriat Allah, mengucapkan syukur akan kembalinya para bekas prajurit itu
bersatu lagi dengan kaum-keluarganya. Suasana yang sama di Haira dan Porto itu terjadi juga di
lain- lain negeri di Lease.
3.3 Kesan dan Beban
Beberapa hari kemudian, pada akhir bulan Maret terdengar dentuman meriam silih-
berganti. Datangnya dari Teluk Saparua. Ada apa? Perang lagi? Rakyat Haria bertanya-tanya.
Ternyata hanya tembakan penghormatan, tanda Residen van den Berg tiba dengan kapal perang
di Saparua. Sehari dua lagi akan diadakan timbang-terima pemerintahan. Sekali lagi raja-raja
patih dan orang-kaya dari Pulau Saparua dan Nusalaut menuju ke Kota Saparua atas undangan
residen Inggris untuk menyaksikan timbang-terima dengan van den Berg. Ini adalah yang
terakhir kalinya mereka menyaksikan penggantian kekuasaan. Sesudah itu tidak pernah lagi ada
kekuasaan asing lain menggantikan Belanda.
Di Ambon pasukan Inggris, pegawai sipil dan para pembesar bergegas-gegas untuk
meninggalkan Ambon. Kali ini untuk selama- lamanya. Residen Martin akan menyusul
kemudian, karena masih ada hal- hal yang hares diselesaikan dengan Middelkoop dan Englehard.
Inggris meninggalkan berbagai kesan di hati rakyat. Pada rakyat Negeri Seit diwarisi kebencian
karena Ulupaha, pahlawan tua, telah dihukum mati oleh Pemerintah Inggris dalam tahun 1796.
Banyak juga orang yang tewas dan dihukum mati pada waktu itu. Penduduk lain mendapat kesan
bahwa Pemerintah Inggris sungguh-sungguh memperhatikan penderitaan rakyat. Berbagai
peraturan yang dikeluarkan dan dijalankan meringankan rakyat.
Memang Inggris meninggalkan kesan yang menonjol dibandingkan dengan Kompeni.
Bentuk pemerintahan tidak banyak berubah. Tetapi pikiran-pikiran yang maju dan bebas dirasai
oleh rakyat. Urusan keuangan membawa ketenangan di kalangan masyarakat. Pegawai-
pegawainya berwatak dan sungguh-sungguh. Kepala-kepala pemerintahan seperti gubernur, para
residen dan para opsir, di samping gaji, menerima juga tunjangan yang wajar, sehingga
pemerasan terhadap rakyat dapat dijauhkan.2)
Pada awal masa pemerintahan Engelhard dan van Middelkoop melaporkan ke Batavia apa
yang mereka alami.
"Monopoli rempah-rempah dimana- mana mengalami kemunduran dan terancam akan
punah. Karena semasa pemerintahan Inggris perniagaan swasta di Maluku begitu berkembang,
sehingga Amboina dapat dikatakan menjadi bandar penimbunan hasil dari seluruh perdagangan
di bagian timur Jawa. Kapal-kapal dari barat Nusantara membawa kesana pakaian, candu
barang-barang buatan Eropah, yang dapat dibeli dengan murah, sesudah pelayaran dari Inggris
ke Indonesia menjadi bebas. 4)
Jadi perbedaan ini sangat menyolok. Sampai kedatangan orang Inggris, rakyat hanya
mengenal Kompeni. Sekarang mereka merasa kehilangan suatu pemerintah yang mempunyai
ide-ide yang maju dan bebas. Engelhard menulis kepada Flout di Batavia sebagai berikut:
Berbagai adat kebiasaan orang Inggris, yang berbeda dengan adat kebiasaan kita, tak dapat
tiada meninggalkan bekas, yang tidak menguntungkan kita di Maluku. Pada rakyat ditinggalkan
prinsip-prinsip yang lain sama sekali.5)
Apa yang dibawa oleh orang-orang Belanda yang kembali ke Maluku? Dari kantor
gubernur dikeluarkan bermacam- macam putusan yang merehabilitasi peraturan-peraturan di
zaman Kompeni. Monopoli berlaku lagi. Perdagangan bebas dilarang dan tindakan diambil
terhadap pedagang-pedagang yang melanggarnya. Kembali mereka dicap "penyelundup",
Tindakan Gubernur Middelkoop dalam bidang keuangan sangat menggelisahkan, baik pegawai-
pegawainya sendiri dan kaum militer maupun rakyat. Karena tidak ada uang, maka diedarkan
kembali uang kertas yang sangat dibenci itu. Tindakan itu tidak terpuji dan tidak disetujui oleh
Engelhard oleh karena kantor penukaran belum diorganisasi dan dibuka. Walaupun demikian
dilaksanakan juga. Tindakan ini menjadi permulaan pertengkaran antara kedua pembesar itu.
Uang kertas dalam kenyataannya tidak bisa ditukar. Di seluruh Indonesia Timer hanya ada tiga
buah kantor penukaran .6)
Rakyat menjadi makin gelisah. Mereka menolak menerima uang kertas itu. Mereka teringat
kembali akan pengalaman di zaman Daendels. Di dalam peredaran dan simpanan mereka masih
ada uang ropijn Inggris dan uang matten Spanyol, perak dan emas. Tetapi celakanya bagi rakyat
di Saparua, jika uang kertas itu ditolak, si penolak ditangkap oleh residen lalu dihukum cambuk
dengan rotan. Sebaliknya jika rakyat membeli sesuatu di gudang atau toko gubernemen dan
membayar dengan uang kertas, pegawai residen tidak bersedia menerimanya. Mereka diharuskan
membayar dengan uang perak.
Lain lagi pendirian Residen Berkhoff di Banda tanggal 9 April dia menulis surat kepada
gubernur Maluku seperti berikut:
"Saat ini saya merasa tidak berwewenang untuk mengesahkan pembayaran dengan uang
kertas, tanpa ada sesuatu pengumuman yang mendesak atau tanpa ada sesuatu jaminan.
Tanpa itu dikhawatirkan akan timbul ketidak percayaan dan mungkin agitasi. Apa lagi
pengalaman di mass lampau di wilayah ini meninggalkan bekas yang mendalam,7)

Jujurkah? Beranikah? Mungkin! Mungkin pula ada motif yang lain, yaitu membela rakyat
Belanda dan turunannya yang menghuni Kepulauan Banda. Maklumlah, masyarakat Banda
bukan masyarakat kulit hitam, jadi untuk apa mereka harus disusahkan?
Lagi- lagi keluar perintah untuk kerja rodi. Rakyat diharuskan membuka kebun cengkeh
dan pala untuk kepentingan gubernemen. Saparua telah mulai dengan penanaman pala sebanyak
tujuh ratus lima puluh pohon, yang dibebankan kepada rakyat. Penanaman pala ini dilakukan
sebagai percobaan, karena sampai saat ini hanya Banda yang diizinkan menanam pala. Belum
lagi selesai pekerjaan ini datang lagi perintah untuk membuka kebun kopi. Kayu diperlukan oleh
gubernemen dalam jumlah yang banyak untuk tonggak-tonggak pangkalan angkatan laut, untuk
memperbaiki kerusakan berat pada benteng, rumah sakit tentara, gedung-gedung di Banda dan
pos-pos di Leitimor. Kapal perang "Nassau" memerlukan kayu bakar dua ratus vadem dan
Reybersbergen tiga puluh enam vadem (per vadem enam kaki kubik, berharga empat ropijn).
Sekalipun harga telah ditentukan, tetapi pembayarannya sangat seret. Rakyat negeri negeri yang
langsung diperintah dari benteng Nieuw Victoria mengalami keseretan yang menjengkelkan.
Tanda penyerahan kayu diterima dari opsir zeni. Dari orang ini ke superintendent atau pengawas
umum pemerintahan negeri untuk disetujui, kemudian- ke pemegang buku untuk diberi fiat, baru
dapat diambil uangnya di kantor keuangan.') Urusan yang berbelit-belit dan birokratis ini
memakan waktu berhari- hari, kadang-kadang berminggu- minggu. Kesempatan terbuka bagi
pegawai-pegawai untuk memotong di sini, mengurangi di sang dan memeras lagi. Maklumlah
pegawai-pegawai itu masih banyak dari rezim lama, yaitu rezim Kompania Wolanda, yang
terkenal dengan korupsi dan pemerasan. Di daerah-daerah residen baru boleh membayar,
sesudah mendapat izin dari gubernur untuk mengeluarkan sejumlah uang yang disetujuinya,
lebih mendongkolkan lagi, dibayar dengan uang kertas. Dalam rangka kerja paksa komandan
militer memerintahkan tiap negeri supaya menyediakan dua buah arombai dengan masnaitnya
untuk pelayaran secara teratur ke pos Baguala, kewajiban ini melanjutkan ketentuan lama semasa
Kompania yang sudah dihapus oleh Inggris.
Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa gubernur pernah membela nasib rakyat terhadap
begitu banyak tuntutan dari fihak militer. Jika gubernur berhasil mendapatkan serdadu untuk
berdinas di Maluku saja, maka komandan militer tidak menyetujuinya. la berpendapat bahwa
seorang serdadu dapat dikirim kemana saja diperlukan oleh gubernemen.') Ini yang ditentang
oleh rakyat, Pemuda-pemuda tidak mau masuk dinas militer untuk diangkut ke Jawa. Tantangan
ini yang memusingkan Residen van den Berg. Apalagi menghadapi rakyat Saparua dan Nusalaut
yang sudah dipengaruhi oleh Thomas dan kawan kawannya, bekas prajurit-prajurit Inggris, yang
banyak terdapat di negeri- negeri.
Inilah kegagalan Engelhard yang mengeluarkan instruksi untuk merekrut serdadu Ambon
bagi Jawa. Belanda memer- lukan empat ratus orang. Hanya tigapuluh tiga orang memasuki
dinas militer, memenuhi panggilan itu. Itu pun sebagian besar orang-orang Jawa yang berdiam di
Ambon.") Kewajiban rakyat seolah-olah tidak habis- habis. Dendeng, ikan kering dan garam
harus pula diserahkan kepada gubernemen. Bertambah berat tugas rakyat. Bertambah gelisah
seluruh rakyat Ambon, Lease dan Seram.
Di negeri-negeri tersiar kabar bahwa sekolah-sekolah akan ditutup. Terutama di Saparua
isyu ini menambah kegelisahan masyarakat. Di sini tersiar kabar bahwa guru- guru akan diber-
hentikan dan anak-anak akan disekolahkan dikota Saparua. Benarkah hal ini? Dalam suratnya
kepada para komisaris di Ambon tertanggal 15 April Residen van den Berg menulis bahwa
persekolahan akan hancur sama sekali jika Pemerintah Belanda tidak membayar para guru
seperti di zaman Kompeni. Pemerintah Perancis (Daendels) dalam tahun 1810 telah
menghentikan pembayaran gaji guru-guru dan memerintahkan rakyat tiap-tiap negeri untuk
membayar guru- guru mereka. Tindakan itu sangat merugikan. Oleh karena itu residen tidak akan
mengadakan perubahan apapun.'')
Inilah nasihat residen kepada para komisaris sebagai jawaban atas surat mereka mengenai
rencana untuk mempersatukan sekolah-sekolah di ibukota Keresidenan Saparua. Mereka hendak
mengikuti contoh pemerintah Inggris yang mempersatukan sekolah-sekolah kecil di sekitar kota
dalam satu sekolah besar di Kota Ambon. Bukan maksud para komisaris untuk memperbaiki
pendidikan, tetapi untuk menghemat uang negara, sehingga beban sekolah-sekolah yang tidak
digabungkan dapat ditanggung oleh negeri masing- masing.'') Advis residen ini adalah pendapat
yang bijaksana. Ini berarti guru-guru akan tetap menerima gaji mereka. Tetapi hal ini tidak
diketahui oleh rakyat. Residen tidak dapat mengatasi isyu-isyu yang telah tersiar di dalam
masyarakat Saparua dan Nusalaut. Jadi akhirnya tuduhan rakyat terhadap pemerintah Belanda,
bahwa gubernemen akan menutup sekolah-sekolah clan akan memecat guru-guru, harus dipikul
oleh van den Berg.
Saparua adalah pulau yang terpadat penduduknya, kirakira dua belas ribu orang, dan
tanahnya tersubur. Oleh karena itu hasil produksi cengkih juga sangat besar. Kata orang Belanda
"Saparua is het neusje van de zalm" (Saparua adalah hidung ikan zalm). Hidung ikan zalm
adalah bahagian yang paling enak. Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling
basah, paling enak untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain- lain tindakan yang tidak
halal. Itulah sebabnya mengapa bekas Gubernur Jenderal Siberg mengusulkan kepada para
komisaris jenderal untuk mengangkat keponakannya, van den Berg, sebagai residen Saparua.'')
Thomas Matulessia sadar bahwa kebencian rakyat Saparua dan Nusalaut makin meningkat
karena residen dan pegawai pegawainya menjalankan instruksi dari gubernur dengan keras.
Tanpa kebijaksanaan, dengan sikap seorang ambtenar penjajahan yang otoriter, tanpa pengertian
terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan terhadap manusia Lease. Tindakan-tindakannya
sangat menyakitkan hati, misalnya, residen memaksa rakyat membuat garam untuk gubernemen,
suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Residen mengadakan perjalanan keliling untuk cacah jiwa yang ada hubungan dengan
kerja rodi dan pajak. Siapa tidak muncul atau terlambat datang dicambuk dengan rotan. Dalam
kesempatan berkeliling itu ia memerintahkan kaum borgor untuk kerja paksa. Siapa yang hendak
bebas harus memberi uang sogok kepada residen. Tetapi residen mempunyai alasan. Dalam masa
berakhir pemerintahan Inggris terjadi manipulasi dengan surat bebas. Surat itu dapat dibeli dari
pegawai-pegawai Inggris. Maklumlah para pemuda dan kaum lelaki sudah jemu dengan kerja
rodi, kerja kuarto dan berjenis-jenis kewajiban. Jadi mereka cari jalan apa raja untuk
mendapatkan surat bebas itu. Pencatatan jiwa penduduk itu menimbulkan pula kecurigaan di
antara kaum lelaki. Mereka khawatir dipaksa memasuki tentara Belanda lalu diangkut ke Jawa.
Yang selalu menggelisahkan mereka ialah apabila mereka dibawa ke Jawa, Siapa yang akan
memberi makan dan memelihara anak- isteri dan orang tua mereka? Itulah sebabnya, setiap kali
residen datang, banyak laki laki yang meninggalkan negeri pergi ke hutan.
Sering residen menuntut, mengadili, menjatuhkan vonis dan menghukum sendiri orang-
orang yang bersalah. Tanga pemeriksaan yang teliti dan adil, orang yang bersalah dihukum berat,
dipukul dengan rotan atau dihukum kurungan dalam kamar gelap di benteng. Kaum borgor yang
bersalah sering dicambuk dengan rotan dengan cara seperti mencambuk anak negeri. Mereka
diikat pada tiang atau pohon kemudian dicambuk. Menurut peraturan seorang borgor harus
ditiarapkan di alas bangku baru dipukul dengan tali pengganti rotan. Dua orang kawan Thomas,
yaitu Anthone Rhebok dan Philip Latumahina, keduanya borgor dan berusia sekitar tigapuluh
lima dan empat puluh tahun dicambuk seperti orang biasa.
Dalam waktu yang begitu pendek, belum sampai sebulan setengah, van den Berg telah
menyulut sumbu dinamit bagi meledaknya suatu revolusi rakyat yang paling berdarah. Dinamit
kebencian berpuluh-puluh tahun terhadap penjajah Belanda tidak dapat lagi ditahan lagi dan
meledaklah.

3.4 Gerakan Kemerdekaan


Suasana pada umumnya menjadi tegang segera setelah timbang terima kekuasaan. Rakyat
Ambon, Lease, Scram Barat dan Selatan memikul beban yang berat jika dibandingkan dengan
rakyat Seram Timur, Goram dan pulau-pulau sekitarnya. Rakyat disitu tidak langsung dikuasai
oleh pegawai dan militer Kompeni. Mereka lebih beruntung. Mereka lebih beban bergerak dan
berdagang dengan orang asing. Mereka tidak merasa akibat ekstirpasi dan hongi Kompeni.
Jadi di dalam jiwa rakyat Ambon, Lease, Seram Barat dan Selatan tertanam keinginan
besar untuk melepaskan diri dari Belanda. Tetapi adat istiadat yang mengikat mereka pada raja-
raja patih, tindakan keras dari Kompeni yang mengakibatkan/memaksanakan mereka tunduk,
pengaruh besar dari guru sekolah dan guru injil, mencegah rakyat untuk mengangkat senjata
pada waktu-waktu yang lampau. Tetapi runtuhnya kekuasaan Kompeni oleh suatu pasukan keeil
Inggris pada tahun 1796, kemudian terulang lagi pada tahun 1810, membuka mata rakyat bahwa
kekuasaan Belanda dapat dihancurkan dengan senjata. Jadi sudahlah tiba waktunya untuk
merencanakan perebutan kekuasaan dengan kekerasan senjata.'')
Suasana di Kota Ambon. Segera sesudah penyerahan para eks militer Inggris menolak
masuk tentara Belanda. Mereka mulai mempengaruhi orang-orang buangan gubernemen yang
telah dibebaskan dan bekas budak-budak Kompeni. Juga sebagian kaum borgor yang tidak
berpenghasilan menggabungkan diri dengan mereka. Kota Ambon mulai dikacaukan dengan per-
mainan judi, gangguan keamanan, pencurian, perkelahian dan lain- lain tindakan kekerasan.
Pasukan penjagaan kota dan polisi yang berpatroli diserang di jalan-jalan. Semua fihak
mengeluh. Pemerintah menjadi pusing.'')
Pada saat yang sama datang laporan dari Residen Hila bahwa ada orang-orang dari
pegunungan dan hutan yang mengganggu keamanan di jalan raya. Untuk mengatasi gangguan
itu, gubernur mengeluarkan pengumuman:
Dalam jangka waktu tiga bulan semua eks prajurit Ingris, para penganggur dan orang asing
tanpa pekerjaan atau tanpa Surat keterangan dari kepala negeri, harus mencari pekerjaan di kota
Ambon, atau masuk tentara Belanda atau pulang ke negeri masing- masing. Jika tidak mereka
akan ditangkap dan diangkut ke Banda.16 )
Ke Banda berarti kerja paksa sebagai budak di perkebunan gala kaum pertikelir. Karena
ancaman ini banyak di antara mereka yang meninggalkan kota Ambon, antara lain keSaparua.
Bertambahlah di situ potensi yang militant yang dapat diperlukan bagi suatu perang rakyat.

Pada tanggal 4 April delapanpuluh orang laki- laki dari Jazirah Hitu mengadakan suatu
rapat rahasia di hutan petuanan Liang. Mereka bermusyawarah selama empat hari. Pada tanggal
9 April sekali lagi limapuluh orang berkumpul selama tiga hari di tempat yang sama. Di sini
mereka menentukan sikap untuk mengangkat senjata memerangi Belanda. Mereka bersumpah
setia secara khidmat seraya memutuskan untuk mengirim surat kepada rakyat di Seram dan
Haruku, mengajak rakyat bangkit untuk melepaskan diri dari pemerintahan Belanda.'') Sesudah
musyawarah itu para penghubung berangkat ke negeri- negeri di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku.
Di Pelau seorang tua, Kapitan Suwara Patti dihubungi agar siap menerima kedatangan
orang-orang Hitu. Kapitan itu pergi pula ke Liang untuk menghubungi kapitan-kapitan disana.
Dari Haruku khabar rencana Liang itu tersiar pula ke Hulaliu, dari sana di bawa orang
menyeberang selat ke Haria.
Raja lepas dari Hulaliu dan Pelau mendengar rencana ini. Mereka menuju ke ibu kota
karesidenan, Haruku, dan melaporkannya kepada Residen Uitenbroek. Tanggal 25 April residen
menulis surat kepada gubernur di Ambon dan melaporkan hal itu. Tetapi gubernur tidak begitu
percaya akan laporan itu. Sekalipun demikian, van Middelkoop memerintahkan Overste
Krayenhoff, komandan militer seMaluku, untuk menempatkan seorang sersan, seorang kopral
dan enam orang serdadu di Benteng Hoorn di Pelau. Uitenbroek juga diperintahkan untuk me-
nyelidiki hal itu selanjutnya. Dikirim pula seregu serdadu untuk menduduki Hitulama. Dua orang
secara terpisah, dikirim ke Liang melalui jalan yang berbeda, untuk menyelidiki keadaan di situ
dan untuk mengetahui apakah kapitan Suwara Patti berada di Liang. Tanggal 26 April kedua
pesuruh itu kembali dan melaporkan bahwa keadaan di Liang tenang-tenang Baja dan kapitan
Suwara Patti ticlak berada di situ. Laporan ini cocok dengan laporan Residen Hila tanggal 30
April, yang juga menerima surat dari gubernur untuk menyelidiki keadaan di Liang. Menurut
penyelidikan dua orang petugasnya keadaan di Liang tenang, malahan rakyat sangat gembira
dengan kembalinya Belanda. Hanya orang kaya lepas dari Liang yang dicurigai.
Residen Haruku melaporkan pada tanggal 5 Mei, bahwa menurut penyelidikannya tidak
ada tanda-tanda ketidak puasan dan rencana pemberontakan di kalangan, rakyat Pelau dan Kai-
lolo. Lagi pula berita adanya komplotan antara rakyat kedua negeri itu dengan rakyat Liang tidak
benar sama sekali. Sedangkan kapitan Suwara Patti adalah seorang penduduk Pelau yang sudah
tua, tidak berdaya lagi dan tidak mengetahui apa-apa. la tidak pernah pergi ke Liang. Berita ini
diperkuat lagi oleh seorang pesuruh gubernur yang dikirim ke sana untuk menyelidiki keadaan.
Kemudian Residen Haruku mengirim raja lepas Pelau dan Hulaliu tersebut ke Ambon
untuk menghadap Gubernur. Kedua orang itu memberi laporan bahwa ada keresahan di kalangan
rakyat. Laporan mereka tidak dipercayai oleh van Middlekoop dan Engenhard. Mereka
mencurigai kedua raja itu, karena mereka menduga bahwa kedua raja itu memberi laporan palsu
dengan perhitungan akan diangkat kembali menggantikan raja sekarang yang diangkat oleh
Inggris. Hal semacam itu pernah terjadi. Ketika tahun 1803 Pemerintah Belanda mengambil alih
kekuasaan dari Inggris ada beberapa raja yang telah dipecat Inggris diangkat kembali. Raja Pelau
clan Hulalui ditangkap dan dipenjarakan. '')
Palsukah laporan- laporan itu? Benarkah tidak ada kegelisahan dan kebencian serta rencana
perlawanan di kalangan masyarakat terhadap Belanda? Pimpinan Belanda di Ambon ber-
pendapat tidak ada apa-apa. Kalau begitu rakyat di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku sangat
waspada. Pengalaman di waktu lampau menjadikan mereka sangat hati- hati. Terlambat pembesar
Belanda sadar bahwa berita tentang rencana Liang itu memang benar, ketika rakyat Saparua
mengangkat senjata disusul oleh rakyat di Pulau Haruku dan Jazirah Hitu.

3.5 Rencana Saparua 9)


Pada akhir April 1817 suasana di negeri- negeri di Pulau Saparua dan Nusalaut makin
menjadi tegang dan panas. Bermacam berita menggelisahkan rakyat, antara lain bahwa kaum le-
laki akan dipaksakan untuk memasuki tentara Belanda dan akan dikirim keBatavia. Berita ini
bersumber pada pengumuman van Middelkoop, yang seperti disebut di atas menyebabkan bekas
prajurit Inggris dan orang-orang borgor yang menganggur meninggalkan Ambon dan berpindah
ke Saparua.
Philip Latumahina, seorang bekas juru tulis Residen van den Berg, menyiarkan berita itu
ke mana- mana. Sebagai seorang borgor ia pernah dicambuk dengan rotan oleh residen bersama
dengan Anthonie Rhebok dengan alasan berkelahi. Kemudian ia diberhentikan. Philip tidak
pernah lupa akan penghinaan itu.
Selama itu terdapat pula berita dari Hulailu mengenai rencana Liang. Thomas dan adiknya
hampir setiap malam mengumpulkan kawan-kawan mereka untuk membicarakan situasi yang
makin memburuk. Ibu Thomas yang sudah tua hanya menggeleng-geleng kepala saja. la tidak
pernah mencegah anak-anaknya dan pemuda-pemuda Haria lainnya, yang sudah menjadi bapak-
bapak itu, untuk melancarkan suatu rencana bersenjata menghancurkan kekuasaan Belanda.
Patih Haria, Jeremias Leihitu, mencium adanya kegelisahan. Haria adalah pintu masuk-
keluar Pulau Saparua, dan sering dilalui oleh pegawai dan serdadu Belanda ke Ambon dan
sebaliknya. Patih yang tidak menguasai rakyatnya mudah diketahui dan dihardik residen. Tetapi
Patih Haria tidak berani bertindak terhadap Thomas dan kawan-kawannya, lebih- lebih mengingat
status borgor dari orang-orang itu.
Malam tanggal 2 Mei serombongan laki- laki berkumpul lagi di rumah Thomas dan
Johannis. Saatnya telah tiba untuk bertindak. Besok setiap pemuda Haria harus dikerahkan. Kita
berkumpul di Wailunyo, demikian Johannis. Enam orang beta tugaskan untuk mengerahkan
orang-orang dari Haria, berkata Thomas. Semua harus membawa senjata. Keesokan harinya
Johannis Matulessia, Nikolas Pattinasarany, Jeremias Tamaela, Marawael Hattu, Bastian
Latupeirissa dan Hermanus Latupeirissa berkeliling rumah-rumah di Haria untuk mengajak
setiap pemuda berkumpul di Wailunyo, hutan petuanan Haria yang berbatasan dengan petunaan
Tiow dan Paperu. Kesibukankesibukan di Haria itu diketahui pula oleh orang-orang Porto.
Bergegas-gegas dan berbondong-bondong kaum lelaki Haria dan Porto menuju ke Wailunyo.
Seratus orang laki- laki yang tegap, berorot kekar, penuh dengan kebencian terhadap Belanda,
berkumpul di hutan itu. Ada yang bersenjata api, ada yang bersenjata parang dan salawaku ada
yang bersenjata panah dan tombak, semuanya bersiap-siap, waspada kalau-kalau pertemuan telah
diketahui residen.
Musyawarah tanggal 3 Mei itu dibuka oleh Hermanus Latupeirissa dengan doa. Dalam
keadaan yang menentukan ini, seratus orang itu sadar bahwa sebagai manusia mereka
memerlukan bimbingan Ilahi dalam menghadapi kesukaran-kesukaran yang akan timbul. Di atas
bahu Thomas dan kawan-kawannya terletak suatu tanggung jawab yang berat sekali. Jiwa raga
mereka pertaruhkan dalam mengambil prakarsa untuk menghancurkan kekuasaan kolonial
Belanda. Olen karena itu diperlukan dari kelompok seratus orang laki- laki itu tekad yang
sebulat-bulatnya, karena pertaruhan adalah jiwa raga mereka, keluarga mereka, anak isteri
mereka dan seluruh rakyat. Sebab itu dengan khidmat, sesuai kebiasaan masyarakat adat di Lease
yang penuh regilio-magis, mereka bersumpah saling setia. Kutukan "tete nenek moyang" akan
menimpa barang siapa yang mengingkari sumpah setia itu.
Thomas, Johannis dan kawan-kawannya mengemukakan keberatan-keberatan terhadap
Pemerintah Belanda. Sudah terlalu berat beban rakyat. Dengan berapi-api isi hati kelompok
seratus itu dicurahkan, penuh kebencian dan nafsu membunuh. Akhirnya diputuskan untuk
menghancurkan Benteng Duurstede di Saparua dan membunuh semua orang yang berada di
dalamnya. Barang siapa mengingkari putusan itu akan dibunuh beserta keluarganya. Dalam,
waktu singkat, ibarat ditiup angin, tersiar rencana Wailunyo ke seluruh pelosok Lease. Suasana
perang mulai meliputi rakyat. Senjata api dikeluarkan; parang, tombak dan anak panah diasah.
Sudah terlalu lama rakyat menunggu-nunggu saat ini.
Bagaimana sikap raja-raja, patih dan orang-kaya? Pendirian mereka terbagi-bagi. Ada yang
menyetujui rencana itu, ada yang tidak memperlihatkan sikap tetapi diam-diam menyetujui, ada
pula yang menolaknya. Thomas dan kawan-kawannya mengawasi gerak-gerik Patih Haria.
Setiap hari ia bertemu dengan residen..Datang berita dari Siro-Sori Serani bahwa juga raja negeri
itu, Honannis Salomo Kesauly, setiap hari menemui residen. Apa gerangan yang mereka
bicarakan? Sudahkah mereka membuka rahasia Wailunyo kepada residen? Tak ayal lagi, kedua
orang ini membahayakan rencana rakyat. Harus disingkirkan, begitulah pendapat Thomas dan
Johannis.
Pada tanggal 9 Mei, ke-enam orang tadi berkeliling lagi di rumah-rumah di Haria dan
memanggil kaum lelaki dan mungare untuk berkumpul lagi di Wailunyo. Kali ini sekitar seratus
orang pula berkumpul di situ. Tiupan kulit bia (siput), tanda rapat akan dimulai, membelahi
udara dan menyebabkan bulu roma berdiri. Thomas memimpin rapat ini. la membuka rapat
dengan bersembahyang. Suatu tanda bahwa kelompok seratus sungguhsungguh berada dalam
keadaan tekanan jiwa yang maha hebat dan berat. Apa pun yang akan mereka lakukan Tuhan
akan beserta dengan mereka, melindungi rakyat dan mengampuni mereka. Demikianlah Thomas
menutup doanya.
Sesudah itu hadirin mengajukan pertanyaan siapa akan memimpin mereka, siapa yang akan
diangkat menjadi kapitan. Dengan ketetapan hati dan kebulatan tekad, sambil menatap hadirin,
dengan sinar mats yang berapi-api, yang memancarkan tanggung jawab yang besar dengan
mengacungkan kelewangnya, berserulah Thomas Matulessia bahwa dia akan menjadi kapitan.
Dia akan memimpin kawan-kawannya dan akan mengerahkan suatu armada laut terdiri dari
arombai-arombai. Benteng akan diserang dan dihancurkan. Tuan "Fetor " akan dibunuh.
Serentak bersoraklah kelompok seratus orang itu. Thomas Matulessia laki- laki kabarisi!
Dan, menggemalah sorakan itu ke seluruh pelosok pulau-pulau di maluku dari abad ke abad
hingga kini. Sorak-sorai orang-orang itu menggetarkan dan membelah udara di hutan Wailunyo
clan disambut dengan bunyi tifa, gong, tiupan kulit bia dan genderang perang. Berkelompok
serentak mereka melakukan tari cakalele. Sungguh sangat emosional.
Setelah itu musyawaran dilanjutkan. Persoalan patih Haria clan raja Siri Sori Serani
dikemukakan. Kedua kepala negeri itu dicurigai karena hubungan mereka dengan residen yang
dilakukan hampir setiap hari. Olen karena itu musyawarah memutuskan untuk membunuh kedua
kepala negeri itu. Putusan diambil untuk mengirim kurir ke semua negeri di Lease, memanggil
semua laki- laki untuk musyawarah besar di hutan Saniri diSaparua, berbatasan dengan hutan
Siri-Sori dan Tuhaha, pada tanggal 14 Mei.
Sementara rakyat di negeri- negeri mempersiapkan suatu peperangan, bagaimana keadaan
di Benteng Duurstede? Residen mendapat laporan yang saling bertentangan. Ada yang melapor-
kan tentang adanya persiapan perlawanan, tetapi ada.pula yang membantahnya. Van den Berg
tidak menguasai bahasa daerah, lagi pula ia tidak mengerti dialek bahasa Melayu Ambon dengan
baik. Juru tulisnyalah, Ornek, seorang Indo, banyak mengetahui tentang gerak-gerik dan suasana
rakyat. la dan kawan-kawan sekerjanya bertanggung jawab atas banyak tindakan residen yang
dilakukan berdasarkan saran mereka. Apakah Patih Haria telah memberitahukan residen tentang
rencana Wailunyo itu? Hukuman mati telah diputus dalam musyawarah rakyatnya. Akan tetapi
dia belum, diapa-apakan. Mungkinkah dia memberi laporan yang menenteramkan residen?
Mungkinkah ia sendiri setuju dengan rencana rakyatnya? Mungkinkah ia mengelabui mata tuan
Fetor?
Seorang pria Haria, Pieter Matheus Souhoka, melapor kepada residen betapa bencinya
rakyat terhadap Belanda dan bahwa suatu perlawanan bersenjata sedang dipersiapkan. Untuk
mengetahui kebenaran berita itu van den Berg mengundang raja Booi dan Nolot kebenteng.
Tetapi kedua raja ini menyangkal berita itu. Benarkah mereka tidak mencium dan tidak me-
ngetahui gerak-gerik rakyatnya? Ataukah mereka takut akan dibunuh? Ataukah merekapun
hendak mengelabui mata residen? Souhoka harus membayar laporannya itu dengan cambukan
rotan. Tetapi dua hari kemudian "nyora" Raja Nolot bertamu pada Nyonya van den Berg. Sambil
minum kopi ia memberitahukan bahwa laporan Souhoka itu benar adanya. Sebab di negerinya
setiap hari kaum lelaki mengadakan rapat dan sedang menyiapkan senjata untuk menyerang
Belanda. Berita ini pun tidak dipercayai oleh van den Berg dan komandan pasukannya. Kelalaian
ini akan mereka bayar dengan jiwa mereka.
Raja Siri-Sori Serani dan raja Amet tidak berani melaporkan gerakan rakyat itu kepada
residen. Mereka takut diketahui oleh rakyatnya dan dibunuh. Apalagi vonis di Wailunyo telah
dijatuhkan atas raja Siri-Sori. Tetapi secara diam-diam mereka berangkat ke Ambon dan
melaporkan kepada gubernur rencana Saparua itu. Juga kali ini pembesar Belanda tidak percaya
pada laporan kedua raja itu. Raja Amet disuruh pulang, sedangkan raja Siri Sori ditahan di
Ambon.
Benteng Duurstede di Saparua lambang kekuasaan Belanda. (foto museum siwa-limaAmbon).

3.6 Runtuhnya Benteng Duurstede; Sambutan Oleh Hitu


Hari Rabu tanggal 14 Mei. Pagi-pagi benar, setiap pemuda di semua negeri berkeliling,
memalu tifa, meniup kulit bia (siput), memanggil rakyat untuk berangkat ke hutan Saniri meng-
hadiri musyawarah benar rakyat desa. Cuaca mendung pagi itu, karena musim penghujan sudah
mulai, meramalkan kesuraman Yang akan meliputi Saparua pada hari-hari yang akan datang.
Dari segenap penjuru rakyat Hunimua (Saparua), Nusahalawani (Nusalaut) dan Haruku menuju
ke tempat musyawarah. Kaum lelaki dan mungare bersenjatakan senjata api dan berjenis senjata
tajam, mendaki gunung diikuti oleh kaum ibu dan jujaro yang membawa bekal, air, tuak dan
sopi. Tidak banyak orang berbicara, gelak-tawa tidak kedengaran. Air muka para pendaki
gunung itu memancarkan apa yang terkandung dalam kalbu mereka. Kesungguhan dan kebulatan
tekad untuk berjuang. Para kapitan bermunculan memimpin pasukan dari negeri masing- masing.
Kapitan Thomas Matulessia memimpin pasukan dari Haria. Tampak pula raja-raja dan patih dari
berbagai negeri jugs hadir beberapa orang guru.
Di tempat musyawarah tampak tokoh-tokoh yang akan memainkan peranan penting dalam
pertarungan melawan penjajah: Johannis Matulessia dan Anthone Rhebok dari Saparua, Philip
Latumahina dengan adiknya Lukas dari Paperu, Said Perintah dari Siri-Sori Islam, kakak beradik
Pattiwael dari Tiow. Lukas Selano kapitan dari Nolot, Lukas Lisapialia alias, Aron kapitan dari
Ihamahu, pemuda Titaley dari Saparua, kapitan Aipasa dari Tuhaha, kapitan Nanleita dan
Henanussa dari Booi dan kapitan Watimury alias Kakirussi dari Porto.
Bunyi tiupan kulit bia panjang ......... tiga kali berturut-turut. Hening.........., sunyi
senyap ........... semua terpaku pada tempatnya masing- masing. Masing- masing dengan
pikirannya sendiri-sendiri menunggu apa yang akan datang. Seorang kepala adat muncul di
tengah-tengah rakyat. Berserulah ia dalam bahasa tanah (bahasa daerah) mengundang segenap
rakyat untuk memperhatikan apa yang akan dikemukakan di dalam musyawarah yang penting
ini. Kemudian naiklah suaranya berseru kepada datuk-datuk Hunimua, Nusahalawano dan
Haruku untuk menyertai anak cucunya dalam waktu yang genting itu. Itulah adat kebiasaan
rakyat yang masih belum terlepas dari alam animisme. Seorang guru maju ke tengah lingkaran
manusia yang berkumpul itu. Semua orang berdiri, kepala ditundukkan. Bergemalah suarau guru
itu menaikkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Mahakuasa, inendoakan keteguhan iman bagi
para pemimpin rakyat, keampunan bagi segenap rakyat, yang pada detikdetik ini berada di
ambang pintu perjuangan kemerdekaan. Kemudian kapitan Thomas Matulessia maju kedepan
dan memimpin musyawarah besar itu. Suaranya bergema di hutan belantara, membentangkan
keberatan-keberatan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Waktu sudah tiba untuk
membebaskan rakyat. Benteng Duurstede harus diserang, besok atau lusa. Semua orang Belanda
harus dibunuh, semua penghuni benteng harus dimusnahkan. Juga mereka yang mengkhianati
perjuangan rakyat ini. Segenap rakyat harus mempersiapkan semua jenis senjata yang dapat
dipakai. Bahan makanan harus dikumpulkan.
Tangga-tangga kayu atau bambu harus disiapkan untuk menyerang benteng. Untuk
perjuangan besar ini diperlukan persatuan. Segala perselisihan antar negeri harus dilenyapkan;
permusuhan antara "patasiwa " dan "patalima " harus ditiadakan.
Banyak orang berbicara, kapitan-kapitan, tua-tua adat, kepala-kepala negeri, guru-guru,
kepala-kepala mungare; semuanya berapi-api, emosional, semuanya memuntahkan kebencian
dan kemarahan mereka terhadap Wolanda, yang sudah bertahuntahun ditahan dan disimpan,
malahan ditekan. Akhirnya dalam suatu upacara adat yang khidmat, tegang mendirikan bulu
roma, semua hadirin bersumpah saling setia satu terhadap yang lain. Barang siapa yang berani
berkhianat akan digantung pada dua batang pohon yang berdiri disitu. Suasana kemudian
menjadi riuh rendah, bersorak-sorai pasukan-pasukan diikuti oleh cakalele. Tifa gong dan
genderang dipalu, balas membalas, disambut dengan lagu- lagu perang, sampai jauh petang.
Sementara itu para kapitan berunding mengatur siasat penyerangan terhadap Benteng Duurstede.
Rencana Saparua telah dibulatkan, tidak ada lagi jalan keluar atau mundur. Rencana harus
dilaksanakan malam itu juga. Revolusi pembebasan rakyat telah dimulai.
Dari tempat musyawarah itu pasukan dari Hatawano, SiriSori, Ulat, Ouw, dan Booi,
menuju ke Porto. Jam Sembilan malam mereka tiba, disertai banyak ribut, tifa-tifa dipalu,
bercakalele mereka sepanjang jalan, sehingga rakyat Haria dan Porto berbondong-bondong
dengan obor yang menyala-nyala menuju Pelabuhan Porto. Di situ arumbai dan kayu-kayu
gubernemen, yang telah siap untuk diangkut ke Ambon, disita. Juga sebuah arombai pesanan
residen, yang tidak dibayar olehnya sesuai dengan harga yang telah disepakati, disita.
Keesokan harinya, tanggal 15 Mei, residen yang pagi-pagi benar menerima laporan tentang
tindakan rakyat di Porto, segera menaiki kudanya dan menuju ke Porto seorang diri. Mungkin
pada sangkanya, jika ia sendiri seorang wakil raja Belanda, muncul, maka rakyat yang
membandel itu akan mundur dan menjadi tenang. Tetapi setiba di Haria dia mengalami keadaan
yang gawat. Mula- mula ia singgah di rumah patih Haria untuk meminta laporan mengenai
kejadian malam sebelumnya. Tetapi rakyat, yang mengetahui kedatangannya mencari untuk
membunuhnya. Terpaksa ia disembunyikan. Tergesa-gesa ia menulis surat kepada komandannya
di Saparua yang berbunyi: "Sersan datanglah segera dengan dua belas orang bersenjata lengkap
untuk membebaskan saya. Seluruh rakyat berontak. Datanglah segera." Surat itu dibawa oleh dua
orang laki- laki Haria. Seterima surat itu juru tulisnya, Ornek, disertai beberapa orang, segera
menuju keHaria. Tetapi di Hitaupu mereka disambut oleh tembakan pasukan rakyat. Tangan
Ornek kena peluru. Melihat begitu banyak orang bersenjata, ia tergesa-gesa kembali. Dengan
dikawal dua puluh orang borgor, seorang kopral dan dua belas prajurit, untuk kedua kalinya,
Ornek menuju Haria. Turut pula raja Amet. Tetapi setiba di tempat yang sama, terjadi tembak
menembak yang ramai. Tangan seorang prajurit Belanda hancur kena tembakan. Pasukan
Belanda diserang pasukan rakyat yang besar jumlahnya. Sebab itu Ornek memerintahkan
pasukan mundur kembali lagi ke Saparua.
Sementara itu rakyat Haria dan Porto mencari residen untuk dibunuh. Thomas yang baru
kembali dari pos depan memerintahkan supaya residen dilepas dan diantar ke Saparua.
Berbondong-nondong laki- laki dari Haria dan Porto mengantar tuan Fetor sampai kedepan
benteng. Juga Thomas turut serta. Di antara jalan residen harus menelan ejekan dan hinaan.
Mengapa Thomas ini tidak mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh residen? Ada
dugaan bahwa ia tidak menghendaki rakyat Haria dan Porto dipersalahkan negeri lain karena
membunuh residen. Tindakan itu harus dilakukan bersama-sama dengan cara menyerang
benteng. Mungkin juga ia tidak sampai hati membunuh residen yang sudah tidak berdaya, tidak
bersenjata dan tidak dikawal. Membunuh lawan di medan laga adalah soal lain bagi seorang
prajurit.
Segera sesudah van den Berg berada kembali di Duurstede, ia memerintahkan untuk
mengadakan persiapan guna menghadapi segala kemungkinan. Sebelumnya, ditengah jalan ia
telah melihat sendiri betapa bergelora semangat perang rakyat. Nyonya van den Berg dan Ornek
melaporkan kepada residen bahwa mereka sudah mengirim surat keAmbon memberitahukan
kejadian pagi itu. Surat Ornek ditujukan kepada gubernur, sedangkan surat nyonya van den Berg
ditujukan kepada pamannya. Isinya memberitahukan bahwa rakyat Saparua telah berontak.
Suaminya telah ditangkap dan dibunuh. Itulah surat terakhir yang diterima oleh para pembesar di
Ambon mengenai orang-orang Belanda dan pasukannya di Saparua.
Segera Residen berusaha mengirim surat ke Ambon liwat Paperu. Usaha itu gagal karena
orang-orang yang disuruhnya mencari arombai di Paperu ditembak di jalan. Mereka tidak
kembali lagi ke benteng. Risakotta, guru di Porto, yang bersama-sama Patih Haria mengantar
residen masuk ke dalam benteng, kembali pada petang hari. Setiba di Tiow Patih Haria tidak
mau lagi kembali ke negerinya karena takut dibunuh. Guru Risakotta inilah yang mencatat
kejadian-kejadian dalam peperangan melawan Belanda. Catatannya itu dikenal dengan nama
Rapport Porto. Pada malam harinya Anthone Rhebok dan Philip Latumahina mengunjungi
residen. Thomas telah memberi instruksi kepada kedua orang itu agar mencatat apa yang ada di
dalam benteng itu. Kekuatan dan jumlah tentara, persenjataan mereka, berapa meriam yang ada
dan kegiatan apa yang sedang dilakukan.
Anthone Rhebok, seorang borgor dari Saparua, adalah bekas serdadu Kompeni. la sudah
berumur empat puluh tahun, berbadan besar dan sangat kuat. Parasnya menyinarkan batin yang
kuat tetapi perangai yang lemah- lembut. Philip Latumahina, juga seorang borgor, berbadan besar
dan gemuk. Berotot kekar dan berbadan kuat, berasal dari Paperu. Pernah ia menjadi juru tulis
residen van den Berg. Kedua orang ini membenci van den Berg karena mereka pernah dicambuk
dengan rotan oleh residen sendiri. Tetapi malam itu mereka harus melupakan semua itu. Van den
Berg agak curiga, terkejut dan ragu-ragu menerima kedua orang itu. Tetapi sesudah mereka
menasihati residen supaya berhati- hati dan bertindak bijaksana dan jangan memakai kekerasan,
maka residen berbalik menjadi berbesar hati. Anggur dikeluarkan dan mereka minum bersama.
Residen minta maaf atas hukuman yang dilakukan terhadap keduanya beberapa waktu yang lalu.
Malahan Latumahina diizinkan tidur dalam benteng pada malam itu. Sedang Rhebok diminta
untuk mengantarkan sepucuk surat kepada rakyat Siri-Sori untuk menentramkan mereka, karena
kegelisahan yang timbul, disebabkan raja mereka ditahan di Ambon. Rhebok bersedia dan ketika
ia akan berangkat residen menjabat tangannya. Tetapi surat itu tidak pernah disampaikannya. Ia
menuju ke pasar Saparua dan menempelkan surat itu di sebuah tiang. Latumahina memper-
gunakan kesempatan malam itu untuk mengumpulkan keterangan yang diperlukan. Pagi-pagi
benar ia meninggalkan benteng. Sungguh residen bertindak naif dan sangat tidak waspada.
Bukankah ia sudah diperingati oleh raja Siri-Sori Serani, patih Haria, raja Amet dan guru
Risakotta? Hari itu ia sangat tidak hati- hati. Ketidak-waspadaan ini akan mengakibatkan maut
meraih seluruh isi benteng itu.
Benteng Duurslede dihuni oleh residen beserta istri pegawai dan tiga orang anaknya, Juru
Tulis Ornek, seorang sersan, dua orang artileris, dua orang kopral dan sepasukan serdadu serta
sejumlah orang borgor. Pada malam itu sersan Verhagen berhasil menyelamatkan putrinya,
Maria yang berusia 13 tahun yang beribu seorang pribumi. Melihat keadaanya yang sudah ga-
wat, pada malam hari, sesudah air surut, maka anak yang telah dihitamkan wajahnya itu
diturunkan dengan tali disebelah selatan benteng keatas pantai berkarang. Berlarilah Maria ke
sanak saudara ibunya. Sampai tahun 1886 ternyata Maria masih hidup.
Malam itu terjadi ketegangan yang besar dalam benteng. Demikian pula di luar benteng
suasana sangat sibuk dan tegang. Subuh tanggal 16 Mei, pasukan rakyat telah siap sedia untuk
menyerang benteng. Tetapi siapa yang akan memimpin mereka? Aneh, tidaklah rakyat memilih
seorang kapitan, seorang panglima, dalam musyawarah besar kemarin dulu? Mengapa pada
waktu itu Thomas Matulessia tidak diangkat oleh para kapitan? Apakah mereka mau beroperasi
sendiri-sendiri? Belumlah mereka menaruh kepercayaan kepada laki- laki dari Haria itu?
Pada pagi itu, saat mereka menghadapi peristiwa genting itu, tidak ada seorang kapitan
yang berani mengambil pimpinan. Apakah Thomas tidak mengetahui rencana penyerangan pada
pagi itu? Mengapa ia tidak hadir? Thomas berada di negerinya, Haria, hanya lima kilometer dari
Saparua. Saat genting itu merupakan saat yang menentukan, namun Thomas tidak berada di
tengah pasukan rakyat.
Wakil-wakil rakyat dan para kapitan, kira-kira lima puluh orang banyaknya,
bermusyawarah pada pagi itu untuk mamperbincangkan siapa yang akan memimpin mereka.
Beberapa orang berseru bahwa Thomas Matulessia adalah pemimpin yang telah terpilih di hutan
Wailunyo. seorang kepada "soa" dari Negeri Tuhaha menyambut dan mengusulkan supaya
Thomas Matulessia diangkat sebagai kapitan untuk memimpin penyerangan dan perjuangan
selanjutnya. Karena dia telah memimpin rapat rapat sebelumnya dan mempunyai kecakapan
militer, berani, perkasa, jujur dan beriman kuat, rapat menerima usul itu.
Demikianlah pada pagi buta itu Thomas Matulessia diangkat menjadi kapitan dan panglima
perang tentara rakyat untuk memimpin rakyat dalam perang kemerdekaan yang akan dicetuskan
pada pagi itu. Rapat mengutus empat orang berangkat ke Haria guna memberitahukan Thomas
tentang keputusan itu, lalu membawanya ke Saparua. Mereka menemui Thomas, Johannis, kakak
beradik Latuperissa dan lain- lain kawan sedang membicarakan berbagai masalah. Utusan
mengemukakan putusan musyawarah dan mengajak Thomas untuk ke Saparua. Sesudah Thomas
dan kawan-kawan yakin akan kesungguhan wakil- wakil rakyat yang mengangkatnya sebagai
panglima perang, maka berangkatlah ia dengan kawan-kawannya disertai utusan- utusan itu ke
Saparua pada waktu fajar menyingsing.
Pasukan-pasukan menyambutnya dengan sorak-sorai, teriakan-teriakan yang menggetarkan
udara pada pagi hari itu dan mengejutkan penghuni benteng. Anthonie Rhebok menemui
Thomas. Tadi malam ia telah memberi laporan tentang pertemuannya dengan residen kepada
Thomas dan kawan-kawannya. Tidak lama kemudian Philip Latumahina datang. Ia baru saja
keluar dari benteng. Ia memberi laporan tentang situasi di dalam benteng. Kapitan-kapitan
dikumpulkan. Kapitan Thomas Matulessia berdiri menengadah ke langit. Semua orang berdiri
menundukkan kepalanya. Guru kepala dari Saparua, J. Sahetappy, memanjatkan doa ke hadapan
hadirat Allah, memohon kekuatan dan ketabahan bagi pasukan-pasukan, yang akan mengadakan
serangan umum terhadap Duurstede. Kemudian Kapitan Matulessia dan para kapitan mengatur
siasat penyerangan. Pasukan-pasukan dibagi dalam satuan-satuan kecil dipimpin oleh seorang
kapitan atau oleh seorang bekas prajurit. Bekas serdadu Kompeni dan Inggris yang sudah terlatih
baik dijadikan inti penyerangan. Banyak juga pasukan yang bersenjatakan bedil. Pasukan-
pasukan mulai bergerak mengepung benteng. Tangga-tangga disiapkan.
Sementara itu van den Berg dan Sersan Verhagen mengawasi gerakan rakyat pada pagi itu
dari benteng. Pasukan telah disiapkan sejak malam hari. Matahari sudah semakin tinggi, tetapi
belum lagi ada serangan. Dari berbagai negeri berdatangan pasukan-pasukan rakyat, lengkap
dengan berbagai senjata. Dari benteng tidak ada tembakan, meriam pun membisu. Semuanya
tunggu- menunggu. Tiba-tiba .......... lihatlah.......... Beratus-ratus mata ditujukan ke benteng.
Bendera putih sedang dinaikkan.
Belanda menyerah? Suatu siasatkah? Sudahkah van den Berg terpengaruh oleh nasihat
Rhebok dan Latumahina tadi malam? Utusan Belanda datang menemui Kapitan Matulessia,
minta berunding. Tetapi panglima perang dan kapitan-kapitan telah membulatkan tekad.
Perundingan ditolak, utusan disuruh kembali.
Pada tengah hari segala sesuatu sudah siap. Putusan dijatuhkan, komando diberikan:
serang...!!! serbu...!!! Bedil diletuskan, cakalele disertai teriak-teriakan yang mendirikan bulu
roma membelah angkasa. Berlari- lari pasukan-pasukan menyerbu benteng. Pasukan Belanda
menyambutnya dengan tembakan yang gencar. Meriam- meriam memuntahkan peluru yang
menyebarkan maut di kalangan para penyerbu. Sampai dua kali serangan dipukul mundur. Untuk
ketiga kali datang lagi serangan. Tangga disandarkan, tali-temali dengan kaitan dilemparkan ke
atas tembok benteng dan mulailah pasukan menaiki benteng dari berbagai jurusan. Udara
bergetar dengan letusan beratus bedil, sahut-menyahut dari kedua belah pihak, disertai teriakan -
teriakan yang seram.
Van den Berg muncul di atas benteng, melambai- lambaikan sepotong kain putih dalam
usahanya yang terakhir untuk menyelamatkan isi benteng itu. Sebuah peluru menembus pahanya
menyebabkan ia terpelanting ke bawah. Sementara itu Kapitan Matulessia dan pasukannya tiba
di atas benteng dan menyerbu masuk, menyerang musuh. Melihat penyerbuan yang begitu galak
dan residen yang tergeletak di tanah dan disangka sudah mati, berlarilah pasukan Belanda yang
masih hidup ke luar melalui tembok benteng. Tetapi alangkah sedih nasib mereka. Di luar rakyat
telah siap menunggu. Nyawa mereka dihabiskan. Di dalam benteng terjadi adegan yang sama.
Perlawanan yang gigih diberikan oleh lawan yang bertahan. Tetapi akhirnya mereka dihabiskan
karena kekuatan dan jumlah pasukan rakyat yang begitu besar. Ornek clan kakaknya disertai raja
Amet berhasil meloncat keluar benteng lalu lari dengan perahu, tetapi mengalami nasib yang
mengerikan. Mereka diburu oleh pasukan yang berjaga di laut dan diseret ke darat. Maut lalu
merenggut nyawa mereka.
Setelah keadaan agak mereda berbaliklah Kapitan Matulessia mencari van den Berg. Masih
tergeletak di tanah, belum tewas ia. Matulessia memerintahkan beberapa orang menyeretnya ke
sebuah tiang, lalu diikat. Guru Sahetappy dipanggil. Berdoalah untuk tuan Fetor, perintah
Kapitan Matulessia. Sementara itu beberapa juru tembak telah siap. Begitu doa selesai, kelewang
panglima diangkat, bedil-bedil meletus serentak dan tamatlah riwayat seorang kepala pemerintah
yang lalim, yang menyebabkan begitu banyak perbuatan ngeri dan begitu banyak korban yang
jatuh. Ia pun harus menebus kelaliman pemerintah kolonial dengan jiwanya. Nyonya van den
Berg dan dua orang putranya serta seorang putrinya diketemukan bersembunyi di gudang
cengkih. Mereka diseret ke camping mayat residen dan mautpun merenggut nyawa mereka.
Sesudah benteng itu jatuh dan semua musuh tewas, muncul Salomo seorang budak asal
Paperu, bekas pelayan residen, dengan seorang anak residen yang bernama Jean. Ia dibungkus
dengan sehelai kain karena kepala dan telinganya terpotong pedang. Setelah anak itu dihadapkan
pada Kapitan Matulessia, berkumpullah para kapitan dan para penasihat di ruang jaga untuk
menentukan nasib anak itu. Pasukan mendesak agar ia dibunuh saja. Tetapi Salomon Pattiwael,
seorang tua anggota keluarga patih Tiow, maju ke depan dan memohon supaya anak itu jangan
dibunuh, tetapi diserahkan kepadanya untuk dirawat dan dipelihara. Sejenak Thomas berpaling
memandang para hadirin. Terharu juga ia melihat anak kecil yang tidak berdaya dan berlumuran
darah itu. Kemudian Thomas memutuskan dan berkata: "Ini suatu tanda bahwa Tuhan tidak
menghendaki anak ini dibunuh. Janganlah seorang berani mengangkat pedangnya menyentuh
anak ini. Siapa pun yang berani ia akan dibunuh bersama seluruh keluarganya". Berbalik kepada
Salomon Pattiwael, Thomas memerintahkan: "Bawalah anak ini dan peliharalah dia baik-baik. 11)
Luputlah Jean Lubert van den Berg dari maut. Suatu episode yang berdarah telah berlalu.
Kemenangan telah dicapai tetapi dengan pengorbanan baik lawan maupun kawan.
Kapitan Matulessia memberi perintah mengumpulkan raja-raja dan patih pada keesokan
harinya di Saparua. Mereka dihadapkan pada pilihan: memimpin rakyat dalam perjuangan atau
mengalami nasib seperti tuan Fetor dan raja Amet. Sejak hari itu semua kegiatan harus ditujukan
dan dipusatkan pada perang pembebasan rakyat. Raja-raja dan patih harus turut serta ber-
tanggung jawab. Demikian perintah panglima perang, Kapitan Thomas Matulessia. Kemudian
raja-raja diperintahkan bersama sama rakyat menguburkan mayat-mayat musuh.
Sesudah benteng dibersihkan, panglima perang memerintahkan untuk memaku semua
meriam yang ada, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Bedil-bedil dan peluru dibagi-
bagikan. Gudang yang penuh dengan cengkih ditutup. Cengkih itu kemudian sangat berguna
untuk membelanjai peperangan. Sesudah benteng diperiksa dengan teliti, ternyata bahwa hanya
ada sisa satu tong mesiu meriam.12) Kemudian pintu-pintu benteng itu ditutup dengan palang
besi. Tidak pernah benteng itu dipakai oleh pasukan rakyat sebagai benteng pertahanan rakyat.
Benteng itu dianggap tidak dapat dipergunakan karena tidak ada mesiu meriam. Bertahan di
benteng itu berarti menjadi bulan bulanan tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda
yang pasti akan muncul. Mungkin ini benar. Tetapi dilihat dari segi strategi pertahanan dengan
direbutnya kembali benteng itu oleh Belanda di kemudian hari, pertahanan rakyat di Saparua dan
Tiow menjadi sulit.
Segera para kapitan dikumpulkan. Siasat harus diatur, karena Belanda tentu akan datang
menyerang dalam waktu beberapa hari lagi. Pimpinan perang harus disusun. Kapitan Matulessia
mengangkat Anthonie Rhebok menjadi kapitan dan wakilnya. Philip Latumahina ditetapkan
sebagai letnan. Kapitan Lukas Selano alias Huliselan, Kapitan Aron dan Kapitan Aipassa di-
tetapkan menjadi kapitan pertahanan di Hatawano. Pertahanan di jazirah tenggara Saparua
ditugaskan pada Said Perintah, Pieter Titaley dari Ouw dan Kapitan Lusikoy dari Ulath.
Kapitan Matulessia mengirim Surat kepada semua raja-raja dan patih serta orang kaya di
Lease, Ambon dan Seram. Ia bentangkan sebab-sebab rakyat Lease memulai suatu perang mela-
wan Belanda dan merebut Benteng Duurstede. Hubungan pimpinan rakyat di Saparua dengan
Hitu berlangsung melalui Hulaliu, Pelau dan Kailolo. Dengan demikian apa yang terjadi di Sa-
parua diketahui pula oleh raja-raja dan patih dan kapitan-kapitan di Jazirah Hitu. Serentak
dengan perlawanan di Saparua, rakyat di jazirah itu mengangkat senjata. Di bawah pimpinan
Kapitan Ulupaha dari Seit rencana Liang dilaksanakan. Kapitan yang telah berusia kira-kira
delapan puluh tahun itu sangat berpengaruh. Keluarganya senantiasa menentang kaum penjajah.
Kakaknya pernah mengangkat senjata memerangi Pemerintah Inggris dalam tahun 1796, yang
dibayarnya dengan jiwanya.
Seit menberi komando. Rakyat Seit, Asilulu, Uring, Wakasihu dan Larike menyerang
benteng Belanda di Larike dan mengepungnya. Pada saat yang sama Hila diserang. Residen
Burghgraaff kena tembak. Tetapi tidak semua kepada negeri berada di fihak rakyatnya. Pada
waktu Hila diserang, para orang kaya Seit dan Lima melarikan diri ke Kota Ambon. Van
Middelkoop mencurigai mereka karena mereka meninggalkan anak- istri. Alasannya baru
diketahui kemudian sewaktu keamanan sudah dipulihkan kembali. Pejabat residen Hila dalam
laporannya kepada gubernur, menasihatkan supaya kedua orang kaya itu ditahan. Gubernur
memerintahkan penangkapan kedua orang kaya itu. Juga raja Mamala, yang pada waktu itu
berada di Batumerah dicurigai. Ia pun ditawan. Dua orang lainnya yaitu para orang kaya Uring
dan Asilulu sudah meninggalkan negeri mereka sebelum rakyat mengangkat senjata. Van
Middelkoop menganggap mereka bersalah meninggalkan tempat tugas karena desa-desus atau
karena takut atau karena berhubungan dengan pasukan rakyat. Selain itu mereka tiba di Ambon
tanpa membawa keluarga mereka yang ditinggalkan di Lebelehu dan Lima. Sebab itu mereka
pun ditawan. 23)

3.7 Drama di Waisisil


Kenyataannya pemerintah di Ambon panik. Sebab sampai kini laporan- laporan yang
masuk tidak dipercayai oleh para komisaris dan komandan militer. Baru sesudah menerima
suarat dari Scriba Ornek dan Nyonya van den Berg pada tanggal 16 Mei mereka terkejut.
Kelalaian mereka menyebabkan seluruh isi Benteng Duurstede menjadi korban. Rapat antara.
para Komisaris diadakan tergesa-gesa dengan Letnan Kolonel Krayenhoff dan Overste Verheull,
komandan "Evertsen". Verheull mengusulkan supaya segera dikirim kapal-kapal perang ke
Saparua. Ia sendiri siap sedia untuk memimpin eskader itu. Usul itu disetujui. Tetapi sementara
Verheul mengadakan persiapan, datang perintah dari para komisaris untuk membatalkan rencana
itu sebab Residen Martin dan para opsir Inggris menasihatkan para komisaris supaya jangan
mengirim kapal-kapal keSaparua. Mereka mengatakan, dalam musim penghujan laut Banda di
sebelah selatan Pulau Ambon dan Lease sangat bergolak dan berbahaya. Lagi pula para
komisaris pun berpendapat kapal-kapal perang diperlukan untuk menjaga ibukota, walaupun
wakyat di Leitimor kelihatan tidak akan mengangkat senjata. Dengan adanya pemusatan tentara
di Ambon dan kapal-kapal perang berjaga-jaga, sedangkan banyak kaum borgor tetap setia
kepada Pemerintah Belanda, maka Leitimor tidak mengikuti jejak Saparua dan Hitu.
Sidang diadakan lagi dan Overste Krayenhooff ditugaskan untuk menyusun suatu pasukan
ekspedisi ke Saparua yang akan dipimpin oleh Mayor Beetjes. Sementara persiapan diadakan
keesokan harinya. Di tengah-tengah kesibukan berpamitan dengan Residen Martin yang akan
meninggalkan Ambon, datang berita tentang peristiwa penyerangan Benteng Duurstede. Martin
yang diberitahu merasa heran bagaimana mungkin peristiwa itu bisa terjadi? Pada tanggal 17
Mei itu, tiba berita dari Hila tentang penyerangan rakyat di daerah itu. Bala bantuan di bawah
pimpinan Walraven segera dikirim ke Hila. Malam hari terlihat nyala api di arah Hila. Kemudian
menyusul berita bahwa dari Seram datang pasukan untuk membantu rakyat.
Ekspedisi Beetjes terdiri atas pasukan infantri Belanda dipimpin oleh Kapten Staalman dan
Letnan Verbruggen, sedangkan pasukan infanteri Jawa dipimpin Letnan Abdulmana. Pasukan
marinir dari kapal perang Eversten dan Nassau dipimpin oleh letnan- letnan laut Munter de Jong,
Scheidius, Musquetier, Rijk Ian de Jeude. Raja Siri-Sori Serani turut pula dalam expedisi tu. la
diizinkan untuk kembali ke negerinya, mungkin karena para komisaris mengira ia dapat
menentramkan rakyatnya dan selanjutnya dapat ia memainkan peranan untuk membantu pasukan
Belanda.
Orang kaya Batumerah diikutsertakan untuk tugas tertentu. Sebelum ekspedisi yang terdiri
atas 300 orang itu berangkat, diadakan inspeksi. Engelhard merasa sangat bangga dengan paukan
dan persenjataannya. Tanggal 3 Juni ia menulis Surat kepada iparnya, yaitu eks Gubernur
Jenderal Siberg, di Batavia: 'Saya mengakui bahwa belum pernah saya melihat suatu korps
seindah detasemen ini." Dengan disaksikan rakyat Ambon dan didahului oleh korps genderang
dan musik, ekspedisi itu berjalan ke Passo (Baguala). Setiba di situ pada petang hari ternyata
hanya tersedia delapan perahu kecil dan dua arombai. Musqetier diperintahkan berangkat lebih
dahulu dengan sepasukan kecil menuju Haruku. Di sana ia harus mempersiapkan sejumlah
arombai untuk mengangkut pasukan lainnya dari Passo ke Saparua.
Beetjes melanjutkan perjalanan ke Suli. Tengah malam mereka tiba. Pasukannya sudah
sangat letih. Juga di sini tidak ada arombai. Apakah rakyat Suli juga sudah mendengar berita dari
Saparua dan diam-diam berpihak pada pasukan rakyat? Kenyataannya tidak ada arombai
walaupun Suli ada sebuah negeri nelayan. Pasukan bermalam dan keesokan harinya meneruskan
perjalanan ke Negeri Tial, tidak jauh dari Suli. Di sini Beetjes menyita dua puluh arombai dan
perahu dan memerintahkan rakyat untuk menyeberangkan pasukannya ke Haruku. Waktu untuk
berkemas dan lautan yang berombak menyebabkan ekspedisi baru tiba pada tanggal 19 Mei di
Haruku. Untuk memperkuat Benteng Zeelandia di Negeri Haruku, Beetjes meninggalkan lima
puluh lima orang pasukannya, karena berdasarkan laporan- laporan yang dulu sampai di Ambon,
pasti rakyat Haruku akan bangkit. Kemudian sebagian pasukannya berjalan kaki menuju Pelau
dan sebagian lagi diangkut melalui laut. Keduanya bertemu lagi di Pelau, dan raja Pelau telah
diperintahkan untuk menyediakan arombai. Pada malam hari seluruh ekspedisi bertolak dengan
sepuluh buah arombai besar dan kecil. Orang kaya Batumerah ditugaskan untuk mengepalai
arombai yang memuat mesiu, makanan dan air minum. Dua arombai dipersenjatai masing-
masing dengan sebuah meriam kapal kecil yang bisa berputar (draaibas). Tetapi perjalanan yang
begitu lama, turun-naik arombai dan perahu, kemudian jalan kaki tanpa istirahat, serta
gelombang laut yang memabukkan, menyebabkan pasukan sangat letih dan kehilangan semangat
bertempur.
Berita tentang gerakan ekspedisi Beetjes tiba di markas besar Kapitan Matulessia. Tanggal
18 Mei ia menyeberang ke Hulaliu dan menggerakkan rakyat mengatur penyerangan dan per-
tahanan. Pada waktu arombai mulai dikumpulkan di Pelau, pengamat-pengamat rakyat segera
berlari- lari menuju ke Hulaliu untuk memberitahukan hal itu kepada para kapitan di sana. Berita
itu kemudian diseberangkan ke Haria, markas besar Panglima Matulessia. Segera para kurir
dikirim ke mana- mana untuk menggerakkan para pejuang menuju ke Saparua. Juga ke Seram
dikirim kurir-kurir.
Tanggal 20 Mei, pukul enam pagi, tampak armada Beetjes menyeberang dari Hulaliu
menuju Tanjung Hatuwakane diujung barat Teluk Haria. Pasukan rakyat telah bersiap-siap di
Porto dan Haria, di darat maupun di laut. Eskader arombai rakyat di Teluk Haria bersiap-siap
menunggu kedatangan eskader Beetjes. Tetapi sekitar pukul delapan ternyata eskader Belanda
mengarah ke Saparua. Segera Kapitan Matulessia memerintahkan pasukan Haria ke Urputi untuk
menjaga daerah Urputi sampai ke Paperu. Pasukan yang terdiri atas kaum borgor, kebanyakan
eks prajurit Kompeni dan Inggris mengikuti Matulessia ke Saparua untuk menunggu pasukan
Beetjes. Pukul sembilan pagi tiba pasukan dari Seram di Haria, masing- masing dari Rumakai dan
Tihulale. Mereka segera menuju ke Saparua.")
Pasukan rakyat yang telah berkumpul kira-kira seribu orang, diperintahkan untuk
mengambil posisi di sepanjang pesisir Teluk Saparua dan di dalam benteng Duurstede. Komando
tertinggi dipegang oleh Kapitan Matulessia dan Anthone Rhebok. Bukan main riuh-rendah pagi
itu di pantai dan negerinegeri Tiow dan Saparua. Genderang perang berbunyi bertalutalu.
Cakalele menghangatkan suasana perang dan mempertinggi semangat tempur. Teriakan dan
pekikan Alifuru dari Seram melengking mendirikan bulu roma. Lagu- lagu perang berkumandang
di udara. Semua siap tempur.
Kira-kira pukul sepuluh kelihatan armada Beetjes memasuki Pelabuhan Saparua. Didepan
pelabuhan Paperu armada itu memutar haluan kesebelah timur, kearah Benteng Duurstede.
Tetapi pasukan tidak didaratkan. Haluan diarahkan ke Waihenahia, kira-kira seperempat jam
sebelah timur benteng. Pasukan rakyat berlari- lari ke tempat itu. Tetapi ekspedisi tidak bisa
mendarat karena ombak yang besar bergulung-gulung. Kembali haluan diputar menuju Paperu.
Eskader Beetjes memutar haluan ke Waisisil, suatu tempat antara Paperu dan Tiow. Beetjes me-
nyiapkan pasukannya untuk mendarat. Pasukannya dibagi dalam tiga divisi. Ketiga-tiganya akan
bergerak menyusur pantai menuju keBenteng Duurstede. Divisi pertama dipimpin oleh Letnan
Verbruggen, disertai Kadet 't Hooft yang membawa bendera tri warna untuk dikibarkan di
benteng. Divisi kedua dipimpin Staalman dan akan menyusul pasukan di bawah komando
Beetjes.
Daerah pantai Waisisil berawa-rawa penuh hutan belukar dan bakau. Melihat gelagat dari
ekspedisi yang menuju lagi ke Paperu, segera Kapitan Thomas Matullesia dan Anthone Rhebok,
mengerahkan pasukannya ke Tiow dan Waisisil. Sebagian terdiri atas pasukan dari Seram. Di
hutan belukar dan semak semak Waisisil pasukan mengambil posisi. Diduga pasukan Beetjes
akan bergerak kejurusan benteng. Jika demikian maka pasukan rakyat ditugaskan untuk
menyerang pasukan Beetjes dari belakang memotong jalan kembali ke eskader. Penembak -
penembak situ ditugaskan untuk menembak opsir-opsir. Jika mereka tewas anak buahnya akan
menjadi kacau.
Di pantai tempat pendaratan tidak tampak kegiatan. Suasana sunyi-sunyi saja. Beetjes
memberi perintah untuk mendarat. Tetapi begitu pasukannya terjun ke laut, meletuslah berpuluh-
puluh bedil dari balik hutan belukar dan tewaslah puluhan serdadu. Tembakan balasan dengan
meriam keril datang dan arombai. Tetapi banyak serdadu tidak segera dapat mempergunakan
bedilnya, karena peluru dan mesiu menjadi basah sebab pasukan mendarat secara tergesa- gesa.
Sekalipun demikian pasukan Verbruggen berhasil maju. Dua kali dia dipukul mundur dengan
meninggalkan banyak korban. Staalman, Beetjes dan Abdulmana berusaha maju terus dengan
pasukannya, sekalipun banyak korban yang jatuh. Pasukan Belanda terdesak. Ada yang
terlempar ke laut dan banyak yang mati tenggelam atau mati tertembak.
Beetjes memberi perintah untuk mundur. Pala saat itulah jalannya dipotong oleh pasukan
Anthone Rhebok. Terjadi pertempuran mati- matian, seorang melawan seorang. Banyak pasukan
Belanda terjun ke laut dan mencoba menyelamatkan diri dengan jalan berenang. Malang bagi
pasukan Beetjes karena arombai-arombai tidak ada lagi. Tidak ada pasukan angkatan laut yang
ditugaskan untuk menjaga eskader itu. Para penjaga yang ada dan para masnait Pelau menjadi
takut lalu melarikan diri dengan arombai-arombai. Sementara itu air telah pasang sehingga
banyak serdadu terpaksa harus berenang. Tetapi mereka terus diburu oleh perenang-perenang
rakyat dari Alifuru dan Seram. Tewaslah mereka dipotong dengan kelewang atau perang. Begitu
pula nasib Beetjes dan para opsirnya. Raja SiriSori Serani dan Salomon Kesauly yang turut
mendarat belum lagi menginjak pantai telah tertembak dan tewas seketika. Empat arombai dapat
melarikan diri menuju ke Ambon.
Hancurnya tentera Beetjes di pantai Waisisil (Di museum maritim di Rotterdam disimpan
beberapa lukisan Verheull, komandan kapal perang Evertsen ").

Satu tiba tanggal 21 Mei dengan kira-kira tigabelas orang dan yang satu lagi dengan kira-
kira lima puluh orang tenggelam sewaktu keluar Teluk Saparua. Semua orang mati tenggelam.
Arombai lain yang dipimpin oleh orang kaya Batumerah dengan muatan mesiu, makanan dari air
juga tidak selamat. Pada saat pendaratan orang kaya itu tidak bersedia turut serta. Pada waktu
yang sangat kritis orang kaya itu dengan anak buahnya melarikan arombai mereka menuju ke
Ambon. Karena dicurigai, maka setiba di Ambon ia ditawan. Kemudian tiba lagi sebuah arombai
dengan duapuluh orang. Dari kurang lebih tigaratus orang serdadu dan opsir Belanda yang
selamat hanya kira-kira tigapuluh orang. Sungguh suatu kekalahan besar dan suatu tamparan
yang hebat bagi para komisaris, pimpinan militer dan angkatan laut Belanda.
Tiada ayal lagi siasat Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya berhasil gemilang. Ini diakui
pula oleh ahli- ahli militer Belanda di kemudian hari. Mereka menilai kekalahan Beetjes itu
sebagai suatu kesalahan militer yang besar. Mayor itu sebelum pendaratan tidak mengadakan
manoeuvers, yaitu siasat pendaratan semu di berbagai tempat untuk mengelabui lawan, tidak
melakukan siasat serangan, dan tidak membentuk basis untuk mundur dalam keadaan terjepit.
Kesalahan itu menyebabkan pasukannya hancur dan berpuluh-puluh senjata jatuh ke tangan
pasukan rakyat. Karena kesalahan strategi itu mayat mayor Beetjes dan pasukannya tergeletak di
Pantai Waisisil dan terapung-apung di laut. Di antara mereka tergeletak juga mayat pasukan
rakyat. Ada pula yang luka- luka. Pasukan Nusalaut tiba terlambat. Para kapitan mereka dihardik
dan dimaki- maki oleh panglima perang. Sebagai hukuman mereka ditugaskan untuk menanam
mayat- mayat pasukan Belanda dalam sebuah lobang yang besar. Mayat pasukan rakyat dibawa
pulang ke negeri masing- masing. Pertempuran berakhir kira-kira pukul duabelas, jadi hanya satu
jam bertempur. Suatu kemenangan yang gilang-gemilang. Kira-kira pukul tiga siang dua orang
tua, Sahuleka dan Lukas Souhoka, disertai banyak orang Haria membawa pulang seorang
tawanan Belanda. Sambil bersorak-sorak, mereka membawanya mengelilingi "baeleo" .
Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan. Kira-kira pukul lima Kapitan Thomas Matulessia tiba
disertai pasukan Haria clan Porto. Mereka juga membawa seorang tawanan."")
Van Hamer dan Leidemeyer, demikian nama kedua orang tawanan itu, sangat beruntung,
karena mendapat pengampunan dari Kapitan Matulessia. Yang satu karena memperlihatkan tan-
da rajah di tangannya dan mengaku orang Inggris. sedangkan yang lain adalah pemukul
genderang dan penjahit yang kebetulan diperlukan oleh panglima perang. Keduanya kemudian
berdinas langsung di bawah pengawasan Kapitan Matulessia sampai Saparua direbut kembali
lalu mereka dibebaskan.

Makam de Haas di pantai Waisisil. Leman dua E.S. de Haas tewas dalam ekspedisi Beetjes 1817. Konon
dibawah kubur ini dimakamkan kembali dalam tahun 1884 sejumlah besar kerangka pasukan Belanda
yang tewas (foto penulis sebelah kiri 1976).

Malam itu rakyat Tiow dan Saparua bergembira ria. Api unggun menerangi setiap
lapangan dan pantai. Rakyat berkumpul mengelilingi pasukan-pasukan yang baru pulang,
berdendang dan menari. Lagu- lagu kemenangan berkumandang di udara. Tuak dan sopi
menghangatkan suasana dan membumbui cerita cerita pertempuran. Anak-anak dan para remaja
mengerumuni pasukan mendengar berbagai cerita bagaimana musuh, Kompania Wolanda
dihantam dan dihancurkan. Kesibukan di pantai Waisisil sampai dini hari menandakan pasukan
dari Nusalaut bekerja keras menguburkan mayat- mayat. Dibanyak negeri rakyat bersukaria.
"Kompania Wolanda sudah mati," begitulah berkumandang teriakan dan sorak-sorakan. Rakyat
Haria dan Porto tidak ketinggalan. Semalam suntuk orang berdendang dan menari. Pemuda-
pemuda Haria membanggakan diri bahwa rencana yang mereka cetuskan di Wailunyo terlaksana
dengan baik.

3.8 Proklamasi Haria


Dibalik pintu rumah kediaman ibu Matulessia, istri Johannis sibuk melayani Thomas,
Johannis, Anthone Rhebok, Philip Latumahina, Jeremias Latuhamallo, Lukas Lisapaly, Patti
Saba, Said Parintah dan lain- lain anggota pimpinan perang. Tuak, sopi, jenewer, anggur
dihidangkan. Pisang rebus dan goreng ubi, keladi dan lain- lain makanan dihidangkan. Wajah -
wajah kaum lelaki yang berkumpul itu nampak kesungguhan dan tekad yang bulat. Mereka
sedang rnemperbincangkan rencana selanjutnya. Tiga rencana penting dibicarakan, dan harus
dilaksanakan dalam waktu singkat. Pertama, musyawarah besar raja-raja dan patih di Haria 26
Mei ditetapkan sebagai hari musyawarah. Dalam pertemuan itu akan dibahas keberatan-kebe-
ratan terhadap pemerintah Belanda dan sebab-sebab rakyat mengangkat senjata. Thomas dan
beberapa kawan ditugaskan untuk membuat satu konsep. Kedua, serangan terhadap benteng
"Zeelandia" di Haruku. Haruku merupakan jembatan loncatan bagi Belanda untuk menyerang
Saparua. Oleh karena itu pulau itu harus dibersihkan dari pasukan Belanda, kemudian dijadikan
kubu pertahanan untuk menangkis pukulan balasan, yang pasti akan datang dalam waktu yang
singkat. Ketiga, seluruh Pulau Saparua harus dijadikan benteng pertahanan. Disemua negeri
harus dibuat kubu-kubu pertahanan, juga disepanjang jalan. Dipantai-pantai dan jalan-jalan yang
strategis harus dibuat lubang dengan ditanami bambu runcing dan ditutupi dengan rumput.
Seluruh rakyat harus dikerahkan untuk membuat pertahanan, karena Belanda pasti akan datang
menyerang. Semua arombai, kora-kora dan perahu harus disiapkan untuk melawan armada
Belanda dan menghalau pendaratan pasukan musuh.
Keesokan harinya para kurir dikirim ke semua negeri di Lease, Seram Barat dan Selatan
dengan surat dan perintah. dari Panglima Perang Thomas Matulessia kepada semua raja-raja dan
patih serta para kapitan. Juga utusan dikirim ke Jazirah Hitu untuk menghubungi Kapitan
Ulupaha. Kepada semua raja dan patih dari Saparua dan Nusalaut diserukan untuk datang
berkumpul dan bermusyawarah di "baeleo" Haria pada tanggal 26 Mei. Para raja dan patih serta
kapitan-kapitan di Pulau Haruku supaya bersiap-siap untuk mengadakan serangan terhadap
Benteng Zeelandia dan menghancurkannya serta memusnahkan serdadu Belanda di benteng itu.
Kepada raja-raja dan para kapitan dari Seram Barat dan Selatan diserukan supaya segera datang
ke Hulaliu melalui Haria untuk memperkuat pasukan rakyat di Haruku.
Minggu itu sangat sibuk, pasukan-pasukan dari segenap penjuru membanjiri Haria menuju
ke Hulaliu. Di situ didirikan markas komando pertahanan rakyat untuk Pulau Haruku. Kapitan
Lukas Selano diangkat menjadi komandan dengan stafnya Kapitan Lukas Lisapaly dan Kapitan
Pattisaba. Sebagai tanda pengangkatan panglima Matulessia menghadiahkan sebilah pedang
kepada Kapitan Lukas Selano.
Sementara persiapan diadakan di Pulau Haruku, Senin tanggal 26 Mei raja-raja dan patih
tiba di Haria untuk bermusyawarah. Ramai sekali negeri itu. Di baeleo telah berkumpul rakyat
Haria, Porto dan pasukan yang sedang menuju ke Hulaliu, antara lain dari Kamarian (Seram
Barat). Musyawarah besar ini sangat penting artinya. Sesuai dengan adat kebiasaan, tua-tua adat
dari Haria, didampingi oleh raja mereka, membuka musyawarah besar yang dihadiri oleh raja-
raja dan patih dari Honimua (Saparua) dan Nusalaut dengan didampingi tua-tua adat mereka.
Kapitan Matulessia hadir lengkap dengan stafnya. Raja-raja clan patih dari Pulau Haruku tidak
turut serta, karena harus memimpin rakyatnya mempersiapkan serangan terhadap Benteng
Zeelandia.
Guru kepala J. Sahetappy dari Saparua mempersilahkan hadirin berdiri lalu memanjatkan
doa syukur kehadapan Tuhan Yang Mahakuasa seraya mendoakan keselamatan bagi segenap
rakyat dalam perjuangan mereka melawan kelaliman penjajah. Dalam iklim dan suasana
kemenangan yang gilang-gemilang, setiap mata kemudian ditujukan kepada Kapitan Thomas
Matulessia, pahlawan mereka. Berdirilah Thomas Matulessia, disambut oleh sorak-sorai rakyat
yang berkumpul. Dengan tegas dan berapi-api, Kapitan Matullesia membentangkan apa
sebabnya rakyat mengangkat senjata melawan Pemerintah Belanda. Keberatan-keberatan yang
disusun bersama stafnya, diajukan ke hadapan musyawarah itu untuk dipertimbangkan. Dua hari
pemimpim-pemimpin rakyat bertukar pikiran dan berbincang bincang yang kadang-kadang
dalam suasana tegang dan panas. Akhirnya selesailah naskah akhir yang kemudian
ditandatangani oleh semua raja-raja dan patih. Tanggal 29 Mei diumumkan "Proklamasi Haria"
yang terdiri atas empatbelas macam keberatan dan diakhiri dengan pengkukuhan Thomas
Matulessia sebagai kapitan panglima perang serta dibubuhi tanda tangan oleh duapuluh satu
orang raja-raja dan patih sebagai wakil rakyat. Bunyi proklamasi tersebut adalah sebagai berikut:

Proklamasi Haria "')


Bersama ini kami dari Pulau Hunimua dan Nusalaut memberi pertanggungan jawab menurut
kebenaran. Segala sesuatu terjadi karena Kapitan Thomas Matulessia, yang kami muliakan,
dan raja-raja patih dan rakyatnya, sudah terlampau menderita akibat kekejaman Pemerintah
Belandax), sebagai terbukti di bawah ini :
1. Mengenai agama: pemerintah Belanda bermaksud memecat guru-guru dan menghancurkan
agama Kristen.
2. Pemerintah Belanda bermaksud hendak memisah semua laki- laki dari anak istrinya dengan
cara paksa dan mengirim mereka keBatavia. Yang menolak perintah itu akan dirantai.
3. Kami, rakyat, tidak dapat mempergunakan uang kertas dalam hidup sehari- hari. Jika kami
menolak untuk menerimanya dari gubernemen, kami dihukum keras. Lagi pula, jika kami
hendak membeli sesuatu dari gudang/toko gubernemen dan hendak membayar dengan
uang kertas itu, pemerintah tidak mau menerimanya, kami harus membayar dengan uang
perak.
4. Kami banyak melakukan pekerjaan berat untuk gubernemen, akan tetapi tidak menerima
upah untuk hidup.
5. Untuk pekerjaan semacam itu, kami terima bayaran bertahun-tahun dari pemerintah Inggeris
dan pemerintah itu menghormati agama kami. Oleh karena itu pada waktu itu rakyat taat
dan hidup damai, akan tetapi ketika orang Belanda datang untuk memerintah kami,
terhapuslah segala- galanya itu. Oleh sebab itu rakyat sakit hati dan menentang pemerintah.
Akan tetapi residen segera menjadi marah dan menembak dengan meriam dan senapan,
lalu kami menjadi sakit hati dan mulai menentang orang semacam itu.
6. Residen juga memerintahkan kami membuat garam, dengan maksud menjualnya. Akan
tetapi sejak dahulu sampai sekarang kami belum pernah melakukan pekerjaan itu untuk
gubernemen. Oleh karena itu kami merasa tidak senang.
7. Residen berkeliling di Saparua dan Nusalaut untuk melakukan cacah jiwa. Mereka yang
tidak segera datang untuk mencatat namanya dan nama-nama anggota keluarganya dipukul
dengan rotan sekeras kerasnya. Lagi pula, dahulu kepala dati harus membayar hanya 2 Str
(ringgit Spaance inatten), tetapi sekarang mereka harus membayar 6 Str. Karena
gubernemen bermaksud mengambil terlalu banyak untung dari rakyat yang miskin, maka
rakyat merasa tidak senang.
8. Mengenai orang-orang borgor di berbagai negeri pada waktu pencatatan jiwa, Residen
memerintahkan dengan tegas agar mereka bekerja untuk gubernemen di bawah
pengawasan raja-raja Patih. Mereka yang ingin dibebaskan dari pekerjaan itu harus
membayar sejumlah uang kepada Residen. Oleh karena itu mereka merasa tidak senang.
9. Jika ada rakyat yang mengadu rakyat lain, Residen tidak pernah memeriksa perkara mereka.
Mereka yang terakhir datang untuk mengajukan pengaduan dihukum dan dirantai,
sebagaimana telah terjadi.
10. Kami tidak bisa dibayar empat gulden (rupiah) untuk mengantar pos ke Seram.
11. Untuk mengantar pos keAmbon dan kantor-kantor di sekitarnya, kami dibayar dua gulden
(rupiah). Itu sangat menyakitkan hati kami.
12. Pemerintah Belanda memerintahkan kami menyerahkan ikan, garam, tanpa bayaran, tetapi
tidak membebaskan kami dari pekerjaan rodi lainnya, agar kami bisa melakukan pekerjaan
tersebut.
13. Lagi pula walaupun kami tidak sempat memelihara kebun-kebun cengkih dan kopi toh
kami masih diperintahkan untuk membuka kebun-kebun pala. Hal ini menyakitkan kami
laki- laki dan perempuan yang diharuskan bekerja berat untuk gubernemen.
14. Hal- hal tersebut diatas dinyatakan dengan benar. Jika pemerintah Belanda hendak
memerintah kami, harus dilakukan dengan damai dan baik, sebagaimana dilakukan oleh
orang-orang Inggeris, yang menepati janji mereka. Tetapi jika pemerintah Belanda tidak
memerintah kami sebagaimana mestinya, maka kami akan memerangi mereka untuk
selama- lamanya.
Juga kami kepala-kepala negeri serta rakyat, tidak memilih kapitan kami tersebut di atas
menjadi pemimpin kami, akan tetapi itu ditunjuk oleh Yang Maha Tinggi.

Saparua, 29 Mei 1817


BAB IV : PASANG SURUT PERJUANGAN
4.1 Panik di Kalangan Belanda
Sementara rakyat Lease, Seram Barat dan Selatan merayakan kemenangan di Waisisil dan
bersorak-sorai: "Tuan Kompania Wolanda sudah mati", dan rakyat Hitu turut menyambut dengan
suatu serangan. Maka panik besar mulai meliputi Pemerintah Belanda di Ambon. Kekalahan
pasukan Beetjes dan tewasnya begitu banyak opsir dan anak buah mengejutkan seluruh aparatur
pemerintahan. Para komandan militer dan marine tidak dapat mengerti bagaimana hal itu bisa
terjadi. Yang pasti mereka salah memperhitungkan kekuatan rakyat. Mereka salah perhitungan
dan meremehkan strategi dan taktik Kapitan Thomas Matulessia dan bekas anggota-anggota
"Korps Lima Ratus", gemblengan Inggris. Mengapa kapal-kapal perang tidak dipergunakan?
Mengapa putusan semula, yaitu pengiriman kapal-kapal perang, dibatalkan? Mengapa gubernur
dan Engelhard menerima nasihat para pembesar Inggris? Akibatnya sikap saling menyalahkan
mulai dilontarkan satu pembesar kepada yang lain. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Bukankah Gubernur van Middelkoop dan Engelhard serta Overste Krayenhofr Bukankah mereka
adalah pucuk pimpinan pemerintahan? Tetapi justru di pucuk pimpinan pemerintahan itu timbul
kekacauan. Gubernur tidak bisa bekerja sama dengan Komisaris Engelhard. Kedua pembesar ini
senantiasa bercekcok. Van Middelkoop yang berwatak kekanak-kanakan, impulsif dan naif,
selalu menimbulkan kejengkelan pada Engelhard. Kerap kali gubernur mengeluarkan putusan
tanpa minta nasihat atau tanpa disetujui oleh Engelhard. Kedua-duanya tidak bisa mengelakkan
tanggung jawab kepada pemerintah pusat di Batavia. Laporan mengenai kekalahan di Waisisil
harus dikirim kepada para komisaris jenderal, di Batavia. Tindakan harus diambil. Keadaan di
Haruku dan Jazirah Hitu makin menggelisahkan.
Sesudah Duurstede jatuh dan rakyat di Jazirah Hitu mengangkat senjata, datang berita-
berita tentang ketidak puasan rakyat di mana- mana. Maka sadarlah pemerintah di Ambon akan
kekhilafan mereka. Dalam keadaan gelisah itu, pada tanggal 20 Mei, gubernur mengeluarkan
suatu pengumuman yang berbunyi seperti berikut:')
Mendengar: bahwa ada orang-orang yang bermaksud jahat, yang menyiarkan berita bahwa
pemerintah Belanda sekarang ini tidak akan membayar kayu dan lain- lain bahan bangunan, yang
diserahkan kepada gubernemen; mengenai orang-orang Kristen, yang guru- gurunya akan
dihentikan; mengenai umat Islam, yang katanya dipaksa untuk memeluk ajaran Kristus, akhirnya
bahwa akan adanya paksaan untuk masuk dinas militer, sebagaimana terjadi di masa
pemerintahan tuan-tuan Gubernur Cranssen dan Wielingen;

Memutuskan: atas nama Pemerintah Belanda, memberi jaminan:


1. bahwa tidak boleh ada penyerahan kecuali dengan bayaran seperti terjadi di masa
pemerintahan Inggris dan seperti ditentukan oleh keputusan kami tanggal 12 April 1817 ;
2. bahwa mengenai persekolahan umat Kristen, tidak akan ada perubahan dan tidak akan ada
pemberhentian guru- guru;
3. bahwa dalam soal agama tidak akan ada paksaan, tetapi baik kepada umat Kristen maupun
umat Islam, diberi jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan;
4. bahwa gubernemen tidak bermaksud untuk memaksakan penduduk masuk dinas militer
untuk dikirim ke Batavia dengan kekerasan dan sewenang-wenang, menceraikan mereka
dari keluarga mereka, akan tetapi pengerahan menjadi serdadu dilaksanakan secara bebas
dan disertai imbalan gaji yang wajar. Khususnya terhadap mereka yang pernah secara
sukarela memasuki dinas militer sebagai suatu mata pencaharian di masa pemerintahan
Inggris yang baru raja berhenti, dikandung maksud untuk mengalihkan mereka ke dalam
dinas Yang Mulia Raja Belanda, sehingga dengan demikian terlepaslah mereka dari
pengangguran dan akan memperoleh jaminan hidup yang tetap dan terhindarlah mereka
dari perbuatan jahat dan pemerasan terhadap keluarga mereka atau menjadi beban
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka; dan
5. bahwa terhadap yang tidak mau memasuki dinas militer, akan dianjurkan secara lunak dan
dipergunakan cara yang tepat, supaya mereka kembali ke negeri mereka masingmasing,
agar di sana mereka bisa hidup tentram dan damai dan dengan jalan bekerja diladang
memperoleh hidup bagi mereka dan anak-anaknya.
Sekalipun isi pengumuman ini bermaksud baik, tetapi luka yang sudah berpuluh tahun,
disebabkan cengkraman monopoli, ekstirpasi dan hongi, tidak bisa diobati dengan kata-kata yang
merdu. Kata pepatah Belanda: Wie wind zaalt, zal ook wind oogsten (Mereka yang menabur
angin, akan menuai angin pula). Orang-orang Belanda dalam dinas Kompeni menabur angin ri-
but, sekarang anak cucunya yang berwujud diri van Middelkoop, Engelhard, van den Berg dan
Beetjes menuai angin ribut pula, yaitu revolusi rakyat.
Kehancuran pasukan Beetjes, yang beritanya tiba sehari sesudah pengumuman di atas,
yaitu pada tanggal 12 Mei, melenyapkan sama sekali harapan dan Middelkoop dan Englhard,
seperti terkandung dalam pengumuman itu. Pemerintah Belanda menjadi sungguh-sungguh
panik.

4.2 Tindakan Belanda


Haruku terancam. Fort Zeelandia bisa mengalami nasib yang sama seperti Benteng
Duurstede. Krayenhoff diperintahkan untuk mengambil tindakan militer. Tanggal 22 Mei satu
pasukan, terdiri dari tiga puluh orang, dibawah pimpinan kadet Scheidius, dikirim keHaruku.
Sebelumnya Beetjes telah meninggalkan lima puluh lima orang serdadu untuk memperkuat
Benteng Zeelandia ketika ia menuju ke Saparua beberapa hari yang lalu. Pertahanan Residen
Haruku Uitenbroek dan Komandan Benteng, Musquetier, berada dalam keadaan lemah. Jatuhnya
Benteng Duurstede, hancurnya ekspedisi Beetjes dan berita berita tentang ancaman serangan
pasukan Pattimura, menyebabkan mereka mengirim kurir ke Ambon untuk minta bantuan.
Kadet Scheidius tiba hari itu juga di Haruku. Sedangkan atas permintaan Uitenbroek dan
Musquetier, pemerintah di Ambon minta bantuan Wilson, kapten kapal perang Inggris, Swalow,
untuk mengangkut bala bantuan ke Haruku. Tanggal 23 Mei Swalow tiba dengan duabelas orang
serdadu, senjata dan mesiu.
Engelhard juga minta bantuan kepada bekas residen Inggris di Ternate, Mackenzie, yang
pada waktu itu berada di kapal perang Nautilus di Pelabuhan Ambon dalam perjalanan keBeng-
gala. Mackenzie maupun Kapten Kapal Hepburn menolak permintaan itu. Surat Engelhard tidak
dibalas. Malahan Mackenzie menjadi marah pada Kapten Wilson. Kapten itu harus memper-
tanggung jawabkan perbuatannya di Benggala nanti. Ketika beberapa waktu kemudian para
komisaris jenderal di Batavia mengirim protes kepada pimpinan Inggris di Benggala, protes itu
ditolak, bahkan para pembesar sangat marah karena ada kapal perang Inggris yang membantu
Belanda memerangi rakyat Maluku.
Sementara itu di hari- hari berikutnya Benteng Zeelandia terus- menerus menerima bantuan
dari Ambon. Musquetier yang sering sakit digantikan oleh Kapten Infantri PL. Driel. Kepanikan
yang terjadi karena malapetaka di Waisisil mendesak Pernerintah Belanda untuk mengerahkan
orang-orang di Kota Ambon untuk menjadi serdadu. Kaum borgor dipanggil untuk masuk dinar
ketentaraan. Delapan ratus orang diterima, diantaranya tiga ratus orang dipersenjatai dengan
bedil dan yang sisanya dengan tombak. Hakim RN Cateau van Rosevelt, bekas letnan kelas satu
pada kapal perang Nassau diangkat menjadi komandan. Duaratus limapuluh sampai tigaratus
orang sukarelawan terdiri atas pegawai-pegawai negeri rendahan, diterima. Seratus di antara
mereka dipersenjatai dengan senapan sedangkan yang lain ditempatkan di bagian artileri.
Empatpuluh orang Benggala yang ditinggalkan Inggris dikerahkan untuk menjadi polisi dan
berpatroli dengan berkuda.
Di negeri- negeri di Leitimor telah ada tanda-tanda bahwa rakyat akan mengikuti jejak
rakyat Saparua dan Jazirah Hitu. Oleh karena itu Belanda menggerakkan pasukannya untuk
mengawasi penduduk negeri. Meriam- meriam kapal perang Evertsen dan lain- lain mengancam
rakyat. Pasukan-pasukan Belanda dikirim ke Baguala (Paso), Hila, Hitu Lama dan Liang, untuk
memperkuat pos-pos tentara agar dapat menahan serangan Ulupaha. serangan pasukan Ulupaha
terhadap Hila berhasil ditahan dan dipukul mundur. Salah seorang pemimpin pasukan rakyat di
sang tertangkap dan kemudian digantung agar menjadi contoh bagi rakyat. Tetapi semangat
rakyat tak kunjung padam.

4.3 Genderang Perang Bertalu-talu di Haruku


Kapitan Lukas Selano, Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron dan Kapitan Pattisaba mulai
melakukan persiapan-persiapan untuk melancarkan serangan terhadap Benteng Zeelandia. Ada
halangan-halangan dari beberapa pihak. Laporan komandan wilayah Haruku yang disampaikan
ke markas besar di Haria menyebabkan Pattimura memerintahkan agar patih Hulaliu dan Aboru,
guru- guru dari Hulaliu, Aboru dan Wassu datang ke Haria. Tanggal 22 Mei mereka tiba. Rupa-
rupanya mereka ini sering menghalangi persiapan perang yang sedang dijalankan. Pattimura
marah; mereka dihardik dan diumpat, bahkan ada pula yang dipukul. Panglima perang ini bukan
seorang yang lunak. la bertindak keras terhadap siapa saja yang menghalang halangi perjuangan.
Sementara itu bala bantuan rakyat mengalir ke Haruku. Tanggal 26 Mei limapuluh delapan
orang tiba dari Kamarian (Seram) di Haria pada saat musyawarah raja-raja-patih sedang
berlangsung di baeleo, sehingga mereka sempat menyaksikan musyawarah itu. Pattimura
kemudian memerintahkan agar mereka menuju ke Hulaliu, yang letaknya kira-kira seperempat
jam berperahu dari Haria dan Porto.
Keesokan harinya, kira-kira pukul sepuluh, tiba diHaria pasukan lainnya dari Seram, yaitu
dari Iha Luhu, Latu, Hualoi dan Amahai. Tengah hari pukul tiga tibalah raja Iha, Patih Latu,
Orang-Kaya Sepai dan dua orang kaya dari Teluk Elpaputih dengan seratus orang pasukan.
Pasukan Alifuru ini segera diberangkatkan ke Hulaliu pula.
Pukul lima sore, atas perintah Pattimura, raja Pelau, Patih Hulaliu dan orang kaya Kaibobu
tiba di Haria. Mereka membuat suatu kesalahan, sehingga harus menelan kemarahan Pattimura.
Mereka dihardik, ada yang dipukul dan diancam akan ditembak oleh orang-orang Haria yang
mengepung mereka.2) Tindakan tindakan Pattimura terhadap raja-raja dan patih yang masih ragu-
ragu memimpin rakyat melawan Belanda sungguh keras.
Sementara pasukan rakyat mengalir ke Hulaliu. Kapitan Selano dan stafnya menggerakkan
pasukan-pasukan untuk menduduki dan memperkuat Hulaliu, Kariu, Pelau, Kailolo, Oma,
Ruhumoni dan Kabau. Seregu kecil serdadu Belanda yang menjaga Benteng Hoorn di Pelau
tidak sanggup mempertahankan diri. Mereka semuanya tewas. Dari Kabau ke Negeri Haruku
hanya lima kilometer. Di sini pasukan-pasukan disiapkan menunggu perintah penyerbuan.
Pattimura dan stafnya menyeberang ke Hulaliu untuk memeriksa persiapan-persiapan. Sesudah
itu ditetapkan tanggal penyerangan terhadap Benteng Zeelandia.
Kini pasukan rakyat di Pulau Haruku berjumlah kira-kira dua ribu orang. Seribu orang dari
Seram, lima ratus dari Saparua dan lima ratus dari Haruku. Rakyat di tiap negeri sibuk mem-
bantu pasukan dengan menyediakan makanan, minuman, dan perumahan. Para kapitan sibuk
mengatur pasukannya. Semangat tempur sangat tinggi. Suasana makin tegang dan panas. Satuan
satuan mulai menyusup masuk ke dalam hutan di sekitar Negeri Haruku. Kapitan Selano dan
stafnya memindahkan markasnya di sekitar Benteng Zeelandia. Belandapun telah bersiap-siap.
Sekitar duaratus orang mempertahankan benteng itu. Meriam meriam telah siap. Mereka telah
mengetahui kekuatan rakyat. Belanda sangat berhati- hati, karena tidak menghendaki terulangnya
nasib "Duurstede".
Jum'at 30 Mei, pagi-pagi benar terlihat kegiatan luar biasa di kalangan pasukan rakyat.
Kapitan Selano membagi pasukannya dalam tiga divisi. Tujuhratus di antaranya bersenjata bedil;
yang lain tombak, anak panah, kelewang dan parang. Benteng akan diserang dari tiga jurusan.
Pada pagi itu Belanda pun telah berjaga-jaga. Kelihatan serdadu-serdadu bersandar pada tembok
di bagian atas benteng menunggu serangan rakyat. Tepat pukul dua siang komando serangan
diberikan. Teriakan dan sorakkan dari Alifuru Seram melengking memecahkan kesunyian diikuti
dengan teriakan tari perang cakalele. Dengan pakaian perang yang menyeramkan mereka keluar
dari tiga jurusan. Beratus ratus bedil meletus segera dibalas dari benteng, disusul oleh tembakan
meriam yang gencar. Di sang-sini korban luka- luka di antara pasukan rakyat mulai jatuh. Makin
mendekati benteng makin hebat dan gencar tembakan musuh. Serangan pertama kali ini dipukul
mundur.
Kapitan Selano memberikan perintah menyusup barisan lagi. Untuk kedua kalinya datang
serangan. Tembak- menembak semakin seru. Meriam- meriam memuntahkan peluru mautnya.
Serdadu-serdadu Belanda tetap bertahan di belakang tembok benteng. Untuk kedua kalinya
serangan ini dipukul mundur. Pasukan rakyat semakin panas dan bernafsu. Sekali lagi serangan
diadakan, tetapi kali ini pula pasukan rakyat tidak berhasil mendekati benteng. Untuk ketiga
kalinya serangan itu dipukul mundur. Banyak juga korban yang jatuh, Di pihak Belanda ada
yang luka- luka. Tidak diketahui berapa banyak serdadu musuh yang mati tertembak. Sesudah
komandan stafnya berunding menimbang-nimbang keadaan, maka dikeluarkan perintah supaya
serangan ini dihentikan, dan sore hari Adrian Rajawane, seorang pengintai dari Kariu, tertangkap
oleh Belanda. Ia disiksa secara ganas sehingga terpaksa membuka rahasia. Dikatakannya bahwa
duaribu orang akan mengadakan serangan pada tanggal 2 Juni yang akan datang. Serangan akan
dilakukan dari lima jurusan antara pukul duabelas dan tiga siang. Kemudian Van Driel
mengambil tindakan. Rajawane dibawa ke Ambon. Bala bantuan diminta lagi dari Komandan
Kravenhoff. Pemerintah Belanda mengirim tahanan serdadu berupa para rekrut baru.
Sementara itu kegagalan serangan disampaikan ke Haria. Kapitan Pattimura menjadi
marah. Ia mengumpat clan memaki maki. Lalu dikirim kurir ke Nusalaut dengan perintah supaya
segera pasukan dikirim ke Haria. Tanggal 31 Mei, pasukan tiba. Pattimura memilih delapan
orang untuk dikirim keHaruku. Begitu banyak pasukan mengalir keHaruku, sehinggga memer-
lukan organisasi yang baik, disiplin yang baik, pengaturan dan perumahan, keamanan bagi kaum
wanita dan gadis-gadis remaja. Kapitan Selano dan Aron terkenal sebagai kapitan-kapitan yang
keras dan tegas. Tidak segan-segan mereka menghukum mereka yang bersalah.
Tanggal 2 Juni tiba. Belanda berjaga-jaga, tetapi sepanjang hari tidak terjadi apa-apa.
Malam hari penjagaan diperketat. Tetapi semalam itu pun tidak ada serangan. Baru keesokan
harinya dari berbagai jurusan pasukan-pasukan bergerak mengadakan serangan. Cakalele dengan
sorak-sorai dan teriakan disambut oleh tembakan meriam yang gencar. Tiga jam lamanya per-
tempuran berlangsung, kemudian pasukan rakyat mundur.
Apa sebabnya benteng tidak diserbu? Dengan kekuatan manusia yang begitu besar pasti
benteng itu akan jatuh, sekalipun korban mungkin akan besar. Belanda sendiri tidak mengerti
mengapa tidak ada penyerangan terhadap benteng. Kadet Scheidius dalam buku hariannya
mencatat:
Sangat mengherankan bahwa dengan kekuatan manusia yang begitu besar, mereka
tidak berusaha mengadakan penyerbuan, sehingga dengan jumlah yang besar itu bisa
membanjiri pertahanan kami. Andai kata hal itu terjadi, tamatlah riwayat serdadu-
serdadu kami. Allah menjauhkan hal itu. 3)
Kapitan Lukas Selano memerlukan konsultasi dengan kapitan Pattimura dan stafnya.
Tanggal 4 Juni, kira-kira pukul enam pagi, ia menyeberang ke Haria clan membawa serta tiga
orang yang luka- luka. Kepala markas besar ia melaporkan situasi serangan yang lalu.
Pukul sepuluh datang pasukan dari berbagai negeri di Saparua ke Haria. Kapitan Pattimura
memilih delapan puluh orang untuk memperkuat para pejuang di Haruku. Lalu Kapitan Selano
berangkat dengan pasukan itu kembali ke posnya.1) Keesokan harinya ia kembali ke Haria
bersama Patih Aboru, Patih Wasuu, Raja Pelau, orang kaya Kaibobu, dan orang kaya Ruhumoni.
Mereka melaporkan bahwa ada di antara rakyat Haruku dan Oma yang berusaha mengadakan
perundingan dengan musuh. Pattimura menjadi sangat marah. Ia menghardik kepala kepala itu
dan memerintahkan untuk mencegah dan menolak perundingan apapun) Hukuman mati
ditembak bisa dijatuhkan terhadap barang siapa yang mencoba mendekati musuh atau berunding.
Kepala-kepala itu diperintahkan segera kembali dan memimpin rakyat mereka dengan baik.
Sementara itu Benteng Zeelandia diperkuat lagi menjadi tiga ratus orang ditambah dengan
tujuhpuluh orang borgor. Kapal perang Inggris Swallow kelihatan di perairan Haruku dan turut
membantu Belanda. Tanggal 9 Juni pasukan rakyat kembali mengadakan serangan umum, tetapi
kali ini pun dipukul mundur. Sekali lagi tanggal 14 Juni serangan dilakukan dari tiga jurusan.
Tetapi ternyata pertahanan benteng terlalu kuat untuk dipatahkan. Lagi pula Swallow turut
memuntahkan peluru meriamnya ke tengah pasukan rakyat yang datang menyerbu, sehingga
korban berguguran.
Siasat memecah belah sekarang dipakai oleh Belanda. Ferdinandus, raja negeri Haruku,
dipergunakan musuh untuk siasat ini. la diutus kenegeri Oma guna berunding dengan pemimpin
pemimpin pasukan rakyat dan raja Oma ditandu karena sudah berusia lanjut disertai duabelas
orang. Tibalah raja itu di Oma dengan membawa bendera putih. Raja Oma, guru sekolah dan
para kapitan menerima rombongan itu. Berkumpullah mereka dibaeleo disaksikan pasukan
rakyat Oma. Sesudah diadakan upacara adat perundingan dimulai, raja Haruku mengemukakan
maksud kedatangannya. la datang sebagai utusan Belanda membawa pesan dari Residen
Uitenbroek supaya raja Oma berangkat keHaruku dan menyerahkan diri kepada Belanda. Si tua
ini memperhitungkan usianya yang telah lanjut itu sebagai jaminan agar orang Oma dan rajanya
akan menuruti nasihatnya. Tetapi alangkah salah perhitungannya. Bukan main amarah hadirin
dan pasukan rakyat. Ini berarti suatu pengkhianatan. Raja Ferdinandus clan rombongannya
disergab lalu dibunuh. Hanya empat orang berhasil lolos clan melarikan diri keHaruku serta me-
laporkan kejadian itu kepada residen dan komandan Zeelandia.
Pembunuhan itu merupakan tantangan bagi Belanda. Van Driel dan Uitenbroek mengambil
keputusan untuk menghukum rakyat Oma dan rakyat di negeri lain yang berdekatan dengan
Negeri Haruku. Pasukan Belanda dikerahkan menyerang Oma. Pertempuran hebat terjadi. Tetapi
akhimya pertahanan rakyat dapat dipatahkan. Rakyat menyingkir kehutan dan gunung. Dari
tempat itu mereka menyaksikan asap api mengepul naik keudara. Setiap rumah musnah dibakar
habis oleh tentara musuh. Sesudah itu Belanda mundur lagi ke benteng.
Dari Haruku menyusur pantai kapal perang kovert Iris. Di kawasan Ruhumoni pasukan
didaratkan. Musuh ditangkis, pertempuran sengit pun terjadi. Dentuman meriam dari korvet Iris
memaksakan pasukan rakyat mundur dari kedua negeri itu. Rakyat meninggalkan negerinya
masuk ke hutan-hutan. Peristiwa di Oma terulang. Habislah terbakar rumah-rumah rakyat oleh
musuh yang kemudian menarik diri ke kapal.
Tindakan pembakaran dan pemusnahan negeri sangat dipuji Komisaris Engelhard.
Malahan dalam khayalannya ia ingin melihat kemusnahan rakyat. Ini ternyata dalam suratnya
bertanggal 19 Juni yang dikirimkan kepada gubemur Belanda, Tielenius Krijthoff di Makasar,
yang antara lain berbunyi:
Berkahkah bangsa ini memberontak. Dalam tahun 1812 mereka juga sudah membunuh
seorang Residen Inggris, demikian pula di Hila. Jadi untuk menjamin keamanan untuk
selama- lamanya saya setuju supaya semua orang yang sudah dewasa dibunuh dan harus
dijalankan dengan hati- hati agar kaum pemberontak tidak berkesempatan untuk melarikan
diri .6)

Alangkah bejatnya moral seorang pembesar yang menamakan diri berasal dari bangsa yang
beradab, yang ditugaskan untuk memerintah rakyat. Penuh nafsu pembunuhan. Jawaban rakyat
adalah memerangi Belanda sampai merdeka atau mati.
Sementara itu apa yang terjadi dimarkas besar? Pattimura dan stafnya tidak senang melihat
kegagalan kapitan-kapitan dan raja-raja di Haruku. Sering ia marah- marah jika tiba berita yang-
tidak menyenangkan dari pulau itu. Pikirannya berputar putar. Apa sebabnya pasukan yang
begitu besar tidak berhasil merebut Benteng Zeelandia? Pada tanggal 16 Juni orang-orang
Hulaliu membawa raja Oma, guru sekolah Oma, lima orang laki- laki dan seorang anak kecil
laki- laki, semuanya berasal dari Negeri Haruku. Raja Oma melaporkan peristiwa yang terjadi
dengan raja Haruku. Kapitan Pattimura menjadi sangat marah. Demikian pula orang-orang Haria
yang berada di markas besar. Orang-orang Haruku itu dipukul dan diancam untuk dibunuh.
Siang hari pukul duabelas, tanggal 18 Juni, ketika Pattimura berada di baeleo, datang
orang-orang Aboru dengan sepucuk surat damai. Rupanya dari pihak Belanda. Setelah memba-
canya, Pattimura menolak menjawab surat itu. Dilemparkan surat itu ketanah lalu berkata kepada
orang-orang Aboru itu agar mengembalikan surat itu kepada pengirimnya. Orang-orang itu
memungut surat itu lalu kembali ke Aboru.
Peristiwa pengkhianatan raja Haruku, yang diikuti serangan Belanda terhadap Oma, Kabau
dan Ruhumoni mencemaskan Kapitan Pattimura dan stafnya. Mereka menyeberang ke Hulaliu
untuk berunding dengan para komandan dan kapitan-kapitan setempat. Semua berpendapat
bahwa pertahanan Belanda di benteng sudah sangat kuat, ditunjang oleh kapal-kapal perang. Jadi
sudah sulit untuk merebut benteng itu. Kapitan Selano, Aron dan Pattisaba diperintahkan untuk
menyusun barisan pertahanan Pulau Haruku. Belanda memang tidak berhasil diusir dari Haruku.
Selalu saja terjadi kontak senjata dengan musuh yang beroperasi dari benteng. Keadaan ini
berlangsung sampai bulan Oktober.
Berhari-hari rakyat di Pulau Saparua sangat sibuk. Tua muda lelaki perempuan, semua giat
mengangkat batu karang, tanah dan pasir untuk membuat kubu-kubu pertahanan di negeri
masing- masing. Kubu-kubu merupakan pagar batu, tinggi enam dan tebal empat kaki. Dengan
peluru meriam empatpuluh delapan pon kubu itu tidak dapat ditembus. Kapitan Pattimura dan
pembantu-pembantunya berkeliling mengawasi pembuatan kubu-kubu itu. Anthone Rhebok
ditugaskan menyeberang ke Nusalaut untuk mengatur dan mengkoordinasi pertahanan di sang.
Kapitan Paulus Tiahahu ditetapkan sebagai komandan pasukan di Nusalaut.

4.4 Belanda Mencari Penyelesaian


Melihat keadaan di Haruku yang tidak bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata,
Pemerintah Belanda berdaya- upaya supaya mendapat kontak dengan Panglima Perang Pattimura.
Untuk sementara status quo di Haruku dipertahankan seperti keadaannya sekarang. Van
Middelkoop dan Englehard berunding dengan pemimpin angkatan darat dan laut. Ekspedisi baru
akan dikirim ke Pulau Saparua. Kali ini tiga buah kapal perang dengan anak buahnya disiapkan
untuk diberangkatkan ke Hatawano, bagian utara Pulau Saparua. Maria Reygersbergen, Iris dan
The Dispatch merupakan inti ekspedisi itu. The Dispatch adalah kapal perang Inggris yang turut
membantu Belanda. Ekspedisi itu dipimpin Overste Groot, kapten kapal Reygersbergen.
Engelhard menggariskan tujuan dari ekspedisi itu. Pertama, mencari kontak dengan
pimpinan perang rakyat untuk memperoleh keterangan mengenai sebab mereka mengangkat
senjata melawan Belanda. Kedua, mendarat di Hatawano, di mana terdapat lima buah kampung
dan mendudukinya, untuk memutuskan hubungan antara rakyat didaerah itu dengan pimpinan
perang yang ada di Saparua dan Haria serta melemahkan kekuatan pasukan rakyat. Hari Rabu,
tanggal 4 Juli, kapal kapal perang itu bertolak meninggalkan Pelabuhan Ambon. Di antara
pasukan yang dibawa terdapat tiga puluh enam orang Ambon borgor dan sejumlah awak kapal
Bugis. Ombak, angin menghantam ketiga buah kapal itu di Tanjung Nusawine. Setelah melewati
tanjung itu kapal-kapal itu menuju ke Haruku. Laut Banda sebelah selatan Kepulauan Lease
mengamuk dalam musim penghujan ini. Terpaksa kapal-kapal itu harus menyusun Selat Haruku,
kemudian Selat Seram lalu mengarahkan haluannya ke Hatawano. Pasukan rakyat di sebelah
barat dan utara Haniku berjaga-jaga ketika melihat ke tiga buah kapal perang itu. Mereka
bersiap-siap kalau-kalau ada pendaratan di daerah mereka. Para kurir diperintahkan untuk
memberi tahukan markas besar di Haria tentang gerakan kapal-kapal musuh. Pengintai pengintai
dilaut dan didarat membawa pula laporan tentang gerakan kapal-kapal itu.
Tanggal 9 Juli pagi ekspedisi Belanda itu tiba di perairan ujung utara Hatawano dan mulai
memutar- mutar menyusur pantai Nolot dan Itakawa. Kedatangan kapal-kapal perang itu segera
diberitahukan ke mana- mana. Juga kemarkas besar di Haria. Pasukan-pasukan rakyat bersiap-
siap di hutan-hutan ditepi pantai. Rakyat telah menyingkir meninggalkan negeri karena pasti
negeri mereka akan ditembaki. Tetapi pukul sepuluh meriam- meriam mulai memuntahkan peluru
mautnya ke berbagai kampung dan memusnahkan banyak rumah rakyat. Tembakan-tembakan itu
berlangsung hampir empat jam lamanya. Pasukan-pasukan rakyat membalas tembakan itu
dengan bedil ketika kapal kapal perang itu makin mendekati pantai. Badan kapal kena hujan
peluru.
Segera sesudah markas besar menerima kabar dari Hatawano, Pattimura mengirim kurir ke
semua negeri di Saparua dan memerintahkan para kapitan dan pasukannya bergerak keHata-
wano. Pattimura dan staf berpindah ke Saparua dan mendirikan markas besarnya di ibukota
keresidenan itu. Jarak antara Jazirah Hatawano dan Saparua kira-kira tujuh sampai duabelas kilo-
meter. Keesokan harinya, pukul Sembilan pagi, kapal-kapal perang mengulangi lagi tembakan-
tembakan. Dibalas kembali oleh pasukan-pasukan rakyat. Beberapa orang pemberani muncul di
pantai sambil berteriak: "Ayo Belanda, kalau berani, mari turun ke darat."
Sementara itu The Dispatch berpatroli di perairan antara Seram. dan Hatawano untuk
mencegah bala bantuan dari Seram. Tanggal 11 Juli tembakan-tembakan meriam diulangi dan di-
jawab oleh tembakan bedil yang lebih seru lagi. Muncul lagi beberapa laki- laki dipantai dan
berteriak: "Hai Belanda, mari turun kedarat ambil hadialmu, bawalah juga kaptenmu untuk ganti
Mayor Beetjes yang sudah mati itu." Malam hari kelihatan kesibukan di kapal-kapal. Orang
sedang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh tembakan kaum pejuang, ketika
kapal-kapal itu terlalu rapat ke pantai.
Tanggal 12 Juli pagi Reygersbergen dan Iris melepaskan tembakan lagi. Tetapi akhirnya
Overste Pool, kapten Iris radar bahwa tak berapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh tem-
bakan-tembakan itu, kecuali rumah-rumah rakyat yang rusak. Tetapi kerugian diantara pasukan
rakyat tidak ada sama sekali. Rakyat berlindung di balik kubu-kubu batu yang sulit ditembus
peluru meriam. Sedangkan Belanda telah memboroskan begitu banyak peluru, tanpa hasil apa-
apa. Tidak nampak adanya percobaan pendapatan. Rupa-rupanya Overste Groot tidak mau
mengambil resiko terulangnya malapetaka Beetjes. Dari pantai kelihatan sekoci diturunkan dari
Iris. Overste Pool turun menuju Reygersbergen untuk menemui Groot. Sesudah bertukar pikiran
mengenai hasil tembakan meriam, ia mengusulkan agar tembakan itu dihentikan raja. Groot
menyetujuinya lalu memerintahkan agar tembakan meriam dihentikan.
Komandan Groot beralih pada siasat lain. Kepada seluruh rakyat Saparua ia menulis
sepucuk surat yang berbunyi: 1)

Sudah tiba saatnya untuk mengakhiri perlawanan kalian, jadi kami memberikan waktu dua
puluh empat jam untuk kalian insyaf kembali. Kompeni sekarang sudah mengetahui bahwa
kalian diperlakukan sewenang-wenang oleh residen. Oleh karena itu baiklah kalian
memilih suatu perutusan dan mengirim mereka kekapal saya, sehingga dapatlah mereka
kemukakan keinginan kalian. Dan saya berjanji, Kompeni akan memenuhi keinginan
kalian yang wajar. Bendera putih, mulai sekarang, akan terus berkibar dari kedua kapal
perang selama dua puluh empat jam. Dan sesudah waktu itu berlalu, tanpa ada sesuatu
putusan dari fihak kalian untuk menyerah, maka permusuhan akan dilanjutkan lagi. Kalian
tidak usah khawatir akan nasib perutusan yang akan datang ke kapal itu. Mereka akan
bebas dan tanpa cedera apapun akan diturunkan ke darat lagi.

Surat itu diikat pada sepotong tongkat bersama dengan sehelai bendera putih. Kira-kira
setengah dua siang di ”Maria Reygersbergen” dan ”Iris” dinaikkan bendera putih disertai dengan
satu kali tembakan penghormatan. Pada saat yang sama sebuah sekoci diturunkan dari Iris,
dikayuh oleh awak kapal Bugis menuju ke darat. Setiba di pantai seorang mandor yang
ditugaskan meloncat dari sekoci serta membawa tongkat berbendera putih itu dengan surat yang
terikat pada ujungnya. Kira-kira sepuluh menit ia menunggu, tetapi tidak ada seorang pun yang
muncul. Para kapitan yang mengawasi gerak- gerik musuh dari balik hutan dan semak sangat
waspada dan berhati- hati. Mereka mencurigai tindak-tanduk kapal-kapal perang musuh. Tetapi
mereka pun tidak terburu-buru untuk menembak awak kapal yang menuju ke darat itu. Seorang
berteriak supaya mandor itu datang ke kampung. Akan tetapi karena hal itu bertentangan dengan
perintah komandannya, maka ia menancapkan tongkat itu di pasir, meloncat kembali ke dalam
sekoci lalu berkayuhlah awak kapal itu kembali ke Iris.
Tidak lama kemudian seorang laki- laki muncul dari balik hutan dan mengambil tongkat
itu. Sekira setengah jam kemudian seorang pemuda tampil ke pantai lalu berteriak kekapal:
"Kami telah membaca surat itu. Jangan lagi menembak kami". Dari kapal terdengar teriakan,
tidak akan menembak. Lalu pasukan rakyat muncul di pantai, semuanya bersenjata bedil.
Seorang kapitan, panglima pasukan rakyat Hatawano digotong dengan tandu lalu diletakkan di
atas pantai.
Pada petang hari, pukul lima, kelihatan kapal-kapal perang itu mengangkat jangkar seraya
mendekati pantai. Hal ini mencurigai rakyat. Mereka berteriak: "Hai itu tidak jujur". Memang
komandan Groot merencanakan untuk mendekati pantai sedapat mungkin dan membuang
jangkar, dengan maksud jika ada terjadi tembakan dari darat segera meriam- meriam akan
memuntahkan pelurunya dan pasukan akan didaratkan. Kelihatan seorang awak kapal mencoba
melepaskan bendera putih dari kusutan ikatan tali haluan kapal. Melihat hal ini berteriak pasukan
rakyat: "Hai jangan turunkan bendera itu". Mereka mengira bendera putih akan diturunkan tanda
penembakan akan dimulai lagi.
Para - kapitan dan raja-raja memerlukan waktu untuk menjawab surat Belanda itu. Rakyat
perlu mengetahui isinya. Dan Pattimura perlu segera diberitahukan. Oleh karena itu sesudah
matahari terbenam muncul seorang laki- laki lalu berteriak kekapal: "Surat itu akan dibaca di
semua gereja negeri- negeri pada hari Minggu tanggal 13 Juli. Jawaban akan diberikan baru pada
hari Senin lusa. Sampai hari itu kami minta penundaan jawaban." Overste Groot tidak menjawab.
Pada malam hari Belanda mengadakan perondaan mengelilingi kapal perang dengan sekoci-
sekoci yang dipersenjatai. Pasukan Pattimura mengawasi gerak-gerik mereka. Pada waktu
pengawal kapal berteriak: "Semuanya beres", maka disambut oleh pasukan rakyat: "Jaga, jaga"
berarti "awas, awas". Semalam suntuk kedua belah pihak intai- mengintai.
Segera sesudah surat itu diterima, disalin oleh tiap raja dan dikirim, ke negeri- negeri. Kurir
dikirim ke Saparua membawa surat itu kepada Pattimura dan stafnya. Malam itu juga pimpinan
perang mengadakan perundingan. Kurir dikirim kembali dengan perintah agar tidak mengirim
utusan ke kapal, tetapi memancing kapten kapal turun ke darat.
Hari Minggu, tanggal 13 Juli lonceng gereja berdentang mengundang anak-anak Allah
datang menyembahnya. Suasana pada pagi itu dilima Negeri Hatawano penuh ketegangan dan
kekhawatiran akan tembakan meriam dari kapal perang. Rakyat turun dari gunung dan keluar
dari hutan untuk berbakti. Gereja gereja penuh sesak. Sesudah khotbah selesai dan doa dinaikkan
untuk mohon perlindungan Allah Yang Mahakuasa dalam perjuangan menentang kelaliman
Belanda, maka surat Overste Groot itu dibaca. Dengan tenang rakyat mendengar isinya. Surat itu
akan dibalas sesudah musyawarah di baeleo Nolot sehabis kebaktian.
Raja-raja dan patih, para kapitan dan tua-tua adat yang ada di Hatawano segera berkumpul
dibaeleo Nolot setelah kebaktian gereja. Musyawarah diadakan untuk menentukan sikap
berdasarkan instruksi dari Panglima Perang Pattimura. Segala kemungkinan diperhitungkan.
Akhirnya disusun sepucuk surat sebagai balasan atas surat Overste Groot, yang berbunyi:1)
Kami telah menerima surat tuan dan mengerti isinya. Kami tidak mempunyai perahu untuk
datang ke kapal. Tetapi jika kapten bersedia turun kedarat untuk bermusyawarah dengan
kami dibaeleo akan sangat menyenangkan kami. Kalau tidak kirim kepada kami orang-
orang Ambon bergor dan orang-orang hitam saja.
Tertanda,
Kapitan-kapitan dari Seram, Saparua dan Nusalaut

Pukul sebelas seorang lelaki muncul di pantai. Ia membawa sepotong kayu dengan surat itu
diikat pada bendera putih. Kayu itu ditancapkan di pasir lalu menghilang dibalik belukar. Dari
kapal perang Iris diturunkan sekoci, dikayuh oleh beberapa awak kapal kedarat. Surat itu diambil
clan diantarkan kepada Overste Groot.

4.5 Perundingan di Hatawano


Overste Groot berhasrat besar dalam usahanya mencari perdamaian. Ia mengetahui bahwa
alasan tidak ada perahu hanya tipuan belaka, sekalipun banyak arombai dan perahu perahu sudah
rusak ditembaki oleh kapal-kapal perangnya. Kapten Pool diundang ke kapal Reygersbergen.
Kedua kapten itu berunding dan mempertimbangkan surat dari para kapitan itu. Sekalipun
ultimatum dua puluh empat jam itu sudah berlalu, tetapi diputuskan tidak akan melanjutkan
permusuhan. Utusan akan dikirim ke darat esok harinya. Letnan Ellinghuyzen, komandan
pasukan pendaratan, dan Letnan Christiaansen, seorang pandu laut yang pandai berbahasa
Melayu, ditugaskan untuk berunding dengan pimpinan rakyat. Sesudah pembicaraan kedua
komandan itu selesai, Overste Groot mengirim surat kepada para kapitan di Jazirah Hatawano.
Surat itu disampaikan dengan cara seperti sehari yang lalu. Isinya memberitahukan bahwa ia
sendiri tidak bisa datang, tetapi ia akan mengutus seorang opsir disertai pandu Christiaansen.
Tetapi dimintanya agar para utusan diterima dan diperlakukan secara terhormat. Dan oleh karena
selama itu tidak akan ada sekoci bergerak dari kapal ke darat perahu pun tidak boleh ada yang
menuju kelaut.
Seterima surat itu, para kapitan, raja-raja dan patih, tuatua-adat dan saniri-saniri negeri
yang masih menunggu di baeleo, membicarakan isinya. Diputuskan untuk mengirim surat itu ke-
pada Panglima Perang Pattimura di Saparua dan menunggu instruksinya. Jeremias Latuhamallo
alias Solemba penasihat Kapitan Pattimura turut memainkan peranan dalam musyawarah ini.
Ketika markas besar di Haria mendapat laporan bahwa ada kapal-kapal perang Belanda menuju
ke Hatawano, Pattimura telah memerintahkan supaya Solemba berangkat ke Hatawano. Ia
ditugaskan sebagai penghubung untuk memberitahukan semua kejadian kepada panglima
perangnya.
Tanggal 11 Juli Solemba menulis surat kepada Pattimura dan menganjurkan supaya
Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron ditarik dari Haruku dan dikirim ke Hatawano.') Sehari
kemudian Kapitan Aron tiba di Hatawano untuk memperkuat pimpinan perang. Menghadapi
perundingan yang penting raja Porto mengirim surat kepada Pattimura. Sebagai pengantar surat
Overste Groot jugs menasihati Pattimura dan permbantu-pembantunya agar tetap melanjutkan
perjuangan melawan Belanda.")
Pukul dua siang, hari Minggu itu, seorang lelaki muncul di pantai lalu berteriak kekapal
Reygersbergen bahwa surat Belanda sudah dikirim ke Saparua dan besok baru akan diterima
jawabannya. Kemudian ia menghilang di balik semak-semak. Setelah terima surat itu segera
Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya berunding. Dipertimbangkan untuk mengajukan kebe-
ratan-keberatan yang tercantum dalam "Proklamasi Haria" Tujuh keberatan digariskan dalam
surat yang akan disodorkan kepada utusan Belanda. Menjelang malam hari kurir membawa
instruksi- instruksi untuk pimpinan perang diHatawano.
Pagi, Senin tanggal 14 Juli. Di pantai orang telah sibuk. Dua buah tiang bendera putih
ditancapkan di pasir. Beberapa anggauta pasukan pengawal ditempatkan pada masing- masing
tiang. Melihat hal ini Overste Groot memerintahkan pandu Christiaansen supaya berkayuh ke
darat untuk menanyakan maksud para pejuang. Diberitahukan kepadanya bahwa utusan Belanda
ditunggu kedatangannya pukul sepuluh. Pandu itu kembali dan melaporkan berita itu kepada
komandan Groot. Sementara itu sebuah meja dan dua buah kursi diletakkan diantara dua buah
tiang itu.
Pukul sepuluh Ellinghuyzen clan Christiaansen dengan sekoci turun ke darat. Para kapitan
dan para pengawal yang ada di pantai menerima mereka dengan sikap yang dingin, angkuh dan
menantang. Ketika para utusan itu duduk di kursi, mereka dikerumuni para kapitan dan
pengawal-pengawal pantai. Kapal-kapal perang bersiap-siap memuntahkan peluru jika terjadi
sesuatu dengan para utusan Belanda. Perundingan dimulai. Kepada para utusan disodorkan tujuh
keberatan yang berbunyi: '')

1. Dalam menjalankan ibadah kami dihalangi oleh gubernemen;


2. Kami sangat tidak senang dengan uang kertas yang dikeluarkan oleh gubernemen. Kami tidak
bisa menggunakannya di gereja untuk membantu orang yang kekurangan, karena uang kertas
itu tidak dapat dimasukkan ke dalam peti derma;
3. Sesudah uang kertas itu beredar, tuan fetor tidak mau menerii- nanya, tetapi kalau kami mau
membayar kepada gubernemen, selalu dituntut uang perak;
4. Tuan fetor, mengancam, jika ada orang yang menolak uang kertas, dia akan dirantai clan
dikirim ke Batabia sebagaiorang tahanan, tetapi kalau orang itu membayar dengan uang
perak, is akan dibebaskan lagi;
5. Tuan fetor menuntut dari kaum borgor dan rakyat biasa supaya surat bebas mereka diserahkan
kepadanya, tetapi sesudah diserahkan tuan fetor tidak mau mengembalikannya, kecuali jika
ditebus dengan lima puluh ringgit uang perak Spanyol atau enam puluh ringgit uang tembaga;
6. Rakyat diharuskan menyerahkan ikan, garam dan dendeng, tanpa pembayaran; dan
7. Untuk berbagai pekerjaan dan penyerahan wajib bahan bangunan, yang dahulu dibayar oleh
gubernemen Belanda clan Inggris, sekarang dilakukan tanpa bayaran.

Sesudah kedua opsir itu membaca dengan teliti isi keberatan rakyat itu dan meminta
penjelasan seperlunya, maka bertanya mereka kepada para pemimpin rakyat: "Syarat apa yang
kalian inginkan untuk berdamai?" Salah seorang pemimpin mengemukakan: "Kirimlah dari
Batavia dua orang pendeta untuk memimpin ibadah dan jema'at". Hadirin menyokong
permintaan ini. Karena tidak ada lagi yang hendak diperbincangkan, kedua belah pihak
menyetujui bahwa keberatan-keberatan itu akan disampaikan kepada gubernur. Dan agar
terpelihara saling pengertian yang telah timbul, untuk sementara waktu, bendera putih tetap
dikibarkan didaratan dan dikapal perang.
Sebelum kedua opsir itu kembali kekapal, mereka menerima sepucuk surat untuk
disampaikan kepada komandan Groot. Pukul sebelas kedua utusan itu tiba kembali dikapal lalu
melaporkan hasil perundingan mereka kepada Kapten Groot dan Kapten Pool. Groot membuka
surat yang dibawa oleh para utusan. Surat itu berasal dari raja-raja Negeri Ihamahu, Itawaka,
Nolot, Tuhaha dan Paperu. Mereka minta supaya Christiaansen dikirim ke Saparua untuk
berunding dengan Kapitan Pattimura. Komandan Groot mengemukakan hal ini kepada
Christiaansen. Pandu ini tidak berkeberatan karena menurut pendapatnya cara para utusan
diterima memperlihatkan niat yang yang baik. Christiaansen secara suka rela akan berangkat ke
Saparua. Mungkin karena Christiaansen pernah menjadi pandu semasa pemerintahan Inggris di
Ambon. Jika demikian ia mengharapkan dapat bertemu dengan bekas prajurit gemblengan
Inggris, antara lain dengan Thomas Matulessia, yang mungkin sudah dikenalnya. Oleh karena itu
ia berani berangkat sendiri dan harapan missinya akan berhasil. Akhirnya komandan Groot dan
Pool menyetujui pengiriman ini.
Sesudah perundingan di Pantai Hatawano selesai, hasilnya diberitahukan kepada para
kapitan dan raja-raja serta patih. Segera hasil itu disampaikan juga kepada Kapitan Pattimura.
Juga dilaporkan tentang permintaan raja-raja dan patih untuk mengirim Christiaansen ke
Saparua. Christiaansen dilengkapi dengan surat-surat untuk panglima perang di Saparua. Pukul
tiga siang ia berangkat dan berkayuh dengan sebuah perahu berbendera putih dari labuhan
Hatawano ke Pantai Ihamahu. Kedatangannya sudah diketahui oleh pasukan rakyat yang berjaga
jaga di pantai. Beberapa orang pemuda mengantarnya berjalan kaki ke Saparua, yang memakan
waktu kira-kira sejam setengah.
Markas besar di Saparua bertempat di sebuah bangsal besar di lapangan. Anthone Rhebok
dan Latumahina menerima utusan Belanda itu. Sesudah surat-suratnya diperiksa lalu ia diantar-
kan kehadapan Pattimura. Sekarang ia berhadap-hadapan dengan Thomas Matulessia, orang
yang banyak disebut-sebut sebagai panglima perang. Sikap Pattimura menerima utusan itu tegas
sebagai seorang panglima perang, tetapi dengan cara yang patut sebagai seorang militer yang
berpendidikan. Tanya-jawab terjadi mengenai maksud kedatangannya. Kemudian Pattimura
mengulangi keberatan-keberatan yang telah disampaikan di Hatawano. Karena lancar berbahasa
Melayu Christiaansen bisa mengerti sebab-sebab rakyat mengangkat senjata dan menangkap isi
hati para pemimpinnya.
Selesai pembicaraan, malam telah tiba, Pattimura menganjurkan supaya Christiaansen
bermalam Baja di markas karena keselamatannya bisa terancam jika ia kembali dalam gelap
gulita malam itu. Tetapi jika ia mau mengirim berita kepada komandannya, seorang kurir akan
membawanya ke Hatawano. Christiaansen dibawa ke sebuah rumah, lalu menulis sepucuk surat
kepada komandannya. Antara lain ia melaporkan bahwa sikap Pattimura dan stafnya wajar
seperti seorang militer yang cukup ramah. Oleh karena itu Overste Groot dianjurkan supaya
mengirim seorang opsir dan seorang kadet ke Saparua sesuai permintaan Pattimura. Surat itu
kemudian diantarkan ke Hatawano dan Sesudah diteriakkan dari pantai, datanglah seorang awak
dengan sekoci lalu mengambilnya.
Setelah isinya dipertimbangkan oleh komandan Groot, malam itu juga seorang opsir,
Boelen namanya, diperintahkan berangkat ke Ambon dengan sebuah barkas. Setibanya tanggal
16 Juli pagi, Boelen menghadap van Middelkoop melaporkan apa yang terjadi di Hatawano
seraya menyampaikan keberatan keberatan rakyat terhadap gubernemen. Dilaporkan pula apa
yang ditulis oleh Christiaansen. Gubernur kemudian mengemukakan keinginannya untuk hadir
pada perundingan selanjutnya di Hatawano. Keinginannya itu dicantumkan pula dalam suratnya
kepada Overste Groot.
Sementara itu kirim- mengirim surat secara teratur terjadi antara Christiaansen dengan
komandannya. Pattimura menginginkan agar raja-raja dan patih bertemu dengan komandan
Groot pada tanggal 19 Juli didaratan Hatawano. Untuk itu supaya komandan mengirimkan
seorang opsir ke Saparua guna menjemput raja-raja. Groot dan Pool memutuskan untuk me-
ngirim seorang opsir lagi memenuhi permintaan Pattimura, sekaligus ia dapat mempergunakan
kesempatan untuk melihatlihat gerak-gerik pasukan rakyat dan para pemimpin mereka serta
persenjataan yang mereka miliki. Pilihan jatuh pada Letnan Feldman yang pandai berbahasa
Melayu. la berangkat tanggal 17 Juli keSaparua sebagai utusan Belanda. Surat van Meddelkoop
dibicarakan oleh komandan dengan para opsirnya.
Mereka memutuskan untuk mengirim sebuah surat kepada van Middelkoop. Keinginan
gubernur itu tidak dapat diterima dengan alasan bahwa Pattimura clan stafnya hanya mau
berunding dengan utusan yang dikirim dari Batavia.
Apa yang terjadi dengan Feldman? Dari Pelabuhan Hatawano ia diantar ke pantai Ihamahu
pada pukul delapan pagi dengan sekoci berbendera putih. Segera sesudah mendarat, enam orang
pengawal pantai mengantarnya keNegeri Ihamahu. Dari sini keenam orang itu membawanya
dengan perahu nelayan, meliwati sebuah tanjung, lalu mendaratlah mereka. Dari pantai itu
mereka berangkat ke Saparua. Feldman membawa sepotong tongkat berbendera putih. Sepanjang
jalan mereka bertemu dengan rombongan pasukan pengawal yang turut serta menggabungkan
diri, sehingga makin besar rombongan itu menjadi kira-kira enam puluh orang jumlahnya. Setiba
di perbatasan Saparua, Feldman diperintahkan agar menunggu. Seorang pengawal perbatasan
diperintahkan untuk memberitahukan kedatangan utusan Belanda itu kepada Pattimura.
Ketika pengawal itu tiba di markas, Kapitan Pattimura sedang berada di tengah sebuah
pasukan yang besar jumlahnya. Berita disampaikan. Setengah jam kemudian Pattimura menuju
ke perbatasan diikuti oleh pasukan rakyat. Feldman sangat terkejut ketika dari jauh kedengaran
sorak-sorai pasukan-pasukan yang muncul dari hutan-hutan. Semuanya menuju ke arahnya
dengan senjata bedil, kelewang, tombak, panah dan lain- lain. Didepan Pattimura berjalan
sepasukan Alifuru yang datang mengancam Feldman dengan tombak. Kapitan Pattimura
biasanya dikelilingi oleh pasukan pengawal penembak jitu. Kapitan itu berpakaian sederhana
saja seperti pasukannya. Dua buah pistol bergantungan pada pinggangnya dengan kelewang di
tangannya.
Dengan cahaya mata penuh penghinaan, Pattimura memandang utusan itu. Kemudian
tanpa bicara ia membali lalu memberi isyarat supaya Feldman mengikutinya. Setiba di markas
besar Feldman tidak melihat Christiaansen karena pandu itu telah berangkat kembali ke
Hatawano. Untuk menakut-nakuti Feldman, ia diperintahkan berdiri di depan bangsal, dikelilingi
oleh pasukan-pasukan yang mengancamnya. Beberapa waktu kemudian Pattimura menyuruh
orang menanyakan Feldman tentang maksud kedatangannya ke Saparua. Feldman mengatakan
bahwa ia datang memenuhi keinginan Kapitan Matulessia sendiri untuk menjemput raja-raja
yang akan datang ke Hatawano pada hari Sabtu tanggal 19 Juli guna berunding dengan pihak
Belanda. Hal ini telah diberitahukan oleh Groot kepada Pattimura beberapa hari yang lalu dalam
suratnya. Kelewang Feldman diambil dan akan dikembalikan lagi jika ia hendak berangkat
kembali kekapalnya. Kemudian dia disuruh masuk kebangsal menghadap Pattimura.
Pembicaraan berlangsung. Pattimura menanyakan Feldman mengenai kapal apa yang pagi
itu masuk ke Hatawano. Feldman menjawab bahwa ia tidak tahu. Pattimura menjadi marah dan
mengancam utusan itu. Tetapi Feldman menjawab bahwa sewaktu ia berangkat kapal itu masih
jauh, tidak dapat dikenal. Dengan nada marah Feldman diperintahkan supaya segera menulis
surat kepada Overste Groot, minta supaya komandan itu atau seorang opsir kapal datang ke
Saparua nanti malam. Segera surat itu ditulis dan dibawa oleh kurir ke Hatawano. Pattimura
masuk ruangan meninggalkan utusan itu dengan raja-raja yang ada di situ. Ketika ia keluar lagi,
kapitan itu telah mengenakan pakaian militer. la disambut dengan sorakan oleh para pasukan.
Feldman diajaknya pergi kepantai dekat Benteng Duurstede. Ditengah jalan Pattimura menunjuk
ke arah pasukannya dan berkata; lihatlah, masih ada beribu-ribu lagi. Tiba di pantai melalui
teropongnya ia melayangkan pandangannya ke laut mencari kalau-kalau ada kapal perang
musuh. Dari situ rombongan kembali ke markas. Pattimura memerintahkan menyiapkan kudanya
dan kemudian menuju ke Haria diikuti oleh Feldman dan para pengawal dengan berjalan kaki. Di
tengah jalan Feldman ditakuti-takuti akan diternbak, ditombak, ditikam dan lain- lain oleh
pasukan yang berjaga-jaga sepanjang jalan. Begitu benci mereka kepada Belanda. Pattimura
yang telah jauh didepan terpaksa kembali lagi untuk menentramkan anak buahnya. Sejam
kemudian mereka tiba di Haria dan menuju kerumah keluarga Matulessia. Disitu letnan itu
bertemu dengan ibu Thomas yang sudah tua. Ia dipertemukan juga dengan dua orang tawanan
Belanda dari pasukan Beetjes. Mereka mengira bahwa dia datang untuk membebaskan mereka.
Mereka kelihatan segar-bugar dan berpakaian seperti rakyat biasa. Tetapi kemudian mereka
dibawa kembali ketempat tawanan.
Siang hari rombongan dari Saparua itu makan bersama. Di antaranya ada beberapa orang
raja. Sementara makan Pattimura menanyakan Feldman tentang keluarganya. Letnan itu
menjawab bahwa ayahnya seorang pendeta. Hadirin merasa tertarik dan mengangguk-angguk,
suatu pertanda baik. Sambil bergurau Pattimura mengatakan: "Letnan Feldman, tulislah ayah
tuan agar dia datang kemari menjadi residen di Saparua". Mulai saat itu letnan itu diperlakukan
dengan baik, sebab rakyat sangat menghormati seorang pendeta.
Menjelang malam hari mereka kembali ke Saparua. Malam itu dan malam- malam
selanjutnya, letnan itu bermalam di bangsal bersama pasukan pengawal. Sebetulnya kepadanya
telah ditawarkan sebuah rumah, tetapi karena takut, maka dimintanya agar ia bermalam saja di
bangsal. Tetapi tidurnya itu terganggu semalaman oleh bunyi tifa dan dendang pasukan.
Dua hari lamanya dia berada bersama Pattimura. la dibawa kemana- mana kecuali kedalam
benteng. Pengalamannya dengan Kapitan Pattimura menyebabkan ia bisa menilai temperamen
panglima perang. la baik hati, tetapi segera marah bila ada hal yang tidak disenanginya atau jika
jawaban Feldman tidak menyenangkan hatinya. Feldman harus berhati- hati agar tidak
menyinggung perkataan kapitan. Ketika mereka pada suatu siang meliwati sebuah gereja
diHaria, dari jauh Pattimura telah mengangkat topinya, mengatup kedua tangannya serta dengan
rendah hati melewati gedung itu. Suatu tanda bahwa ia beragama yang mendalam. Melihat hal
itu Feldman segera menyontoh Pattimura.
Tanggal 19 Juli pagi panglima perang memerintahkan supaya Feldman diantar kembali ke
Hatawano. Ketika letnan itu menanyakan apakah Pattimura tidak turut serta, kapitan itu
menjawab: "Tidak, sampaikan kepada tuan komandan bahwa raja-raja akan berada di Hatawano.
Katakan kepada tuan overste supaya datang berunding dengan mereka."'') Pedangnya diserahkan
kembali dan pulanglah Letnan Feldman. Setibanya dikapal ia melaporkan segala sesuatu kepada
komandannya.
Pada hari itu Kapitan "Thomas Matulessia dan stafnya mengatur siasat menghadapi
perundingan. Kepercayaan yang telah ditimbulkan pada Christiaansen dan Fledman membuka
jalan bagi terpancingnya Overste Groot untuk turun berunding ke darat. Pattimura
memerintahkan supaya raja-raja dan patih berunding dengan utusan Belanda. Kapitan Lukas
Lisapaly alias Aron harus bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Raja-raja yang berada di Saparua diperintahkan agar berangkat ke Hatawano dan
turut dalam perundingan. Sebagian dari pasukan yang dipusatkan di Saparua diperintahkan untuk
berangkat ke Hatawano untuk menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran. Diperkirakan,
jika perundingan gagal, pertempuran pasti terjadi. Pukul dua telah ditetapkan dan disetujui oleh
Groot sebagai waktu perundingan dimulai. Pukul tiga Pattimura dan stafnya akan tiba di
Hatawano.
Pukul dua siang Overste Groot disertai Letnan Ellinghuyzen dan kapten kapal The
Dispatch, Grozier yang akan bertindak sebagai juru bahasa turun kedarat. Dua orang serdadu
mengawal mereka. Sebelum berangkat Kapten Pool dan pars opsir diinstruksikan supaya
menyiapkan meriam- meriam dan anak buah untuk menghadapi segala kemungkinan. Setiba di
pantai utusan Belanda diterima oleh empat orang raja. Rombongan diantarkan ke sebuah rumah.
Di situ telah menunggu raja-raja dan patih yang berjubah hitam. Jubah atau pakaian hitam
dipakai untuk ke gereja atau kesempatan yang menuntut kekhidmatan seperti dalam
musyawarah. Suasana dalam tempat perundingan itu memantulkan kesungguhan pada wajah
raja-raja dan patih. Di tempat perundingan itu Overste Groot bertemu kembali dengan
Christiaansen. Utusan Belanda dipersilahkan duduk. Segera Overste Groot mengajukan
pertanyaan mengapa raja-raja dan rakyat memerangi Belanda. Raja Nolot meminta supaya
komandan bersabar, karena masih ada tiga orang raja lagi yang akan hadir. Sesudah ketiga orang
itu tiba, perundingan dimulai. Overste Groot mengulangi lagi pertanyaannya. Sebagai jawaban
keberatan-keberatan diulangi lagi. Rakyat tidak dapat menerima tindakan-tindakan Belanda yang
tidak sesuai dengan agama yang Belanda sendiri anut, dan yang mereka siarkan didalam
masyarakat, yaitu agama Kristen Protestan.
Sementara perundingan berjalan, pasukan-pasukan di bawah pimpinan Kapitan Aron
mengepung rumah tempat perundingan. Rupa-rupanya firasat Groot menjadikannya waspada.
Mungkin juga dari celah-celah dinding para utusan Belanda sempat melihat gerakan di luar
rumah yang mencurigakan. Lalu Groot menghentikan perundingan dan memutuskan untuk
kembali kekapal. Ia meninggalkan pesan supaya pemimpin pemimpin rakyat mengirim saja surat
kekapal dan menjelaskan sikap mereka. Kemudian rombongan itu minta diri dan kembali
kekapal. Kapitan Lukas dan pasukannya tidak bisa berbuat apa-apa karena instruksi dari Saparua
berbunyi: "Tidak boleh bertindak, tunggu kedatangan Pattimura.'.'
Kira-kira pukul tiga Pattimura dan stafnya tiba, tetapi utusan Belanda sudah tidak ada. Ia
datang dengan perhitungan bahwa Belanda akan menolak tumutan raja-raja, sehingga perlu
diambil sikap yang tegas, seraya memberi pimpinan kepada rakyat dalam pertempuran.
Perundingan kilat dengan raja-raja dan patih diadakan. Perundingan selanjutnya dengan Belanda
ditolak. Pertempuran akan diteruskan. Kira-kira setengah jam kemudian mereka menerima surat
dari Groot. Pattimura memerintahkan agar surat itu dikembalikan disertai pesan bahwa rakyat
siap bertempur.
Raja-raja dan patih bermusyawarah lalu menyampaikan pendirian mereka, kepada Belanda
yang berbunyi:")
Dengan hikmat Allah kami telah memilih Thomas Matulessia menjadi panglima kami
untuk melanjutkan perang. Kami tidak mau lagi diperintah oleh Kompania Wolanda.
(gubernemen Belanda).
Rakyat tidak sudi lagi dijajah. Kapitan Pattimura mengumpulkan para kapitan dan
memerintahkan supaya bersiap siap untuk bertempur. Tiang bendera putih dicabut dari
tancapannya di pantai. Di kapal Reygersbergen Overste Groot mengumpulkan para opsir untuk
membicarakan sikap Pattimura dan raja-raja serta tindakan spa yang akan diambil selanjutnya.
Keesokan harinya, bendera putih diturunkan dari tiang kapal-kapal perang.

4.6 Kemenangan Rakyat Hatawano


Tanggal 21 Juli, pagi-pagi benar, pasukan rakyat telah siap. Dentuman meriam dari kapal-
kapal perang Reygersbergen, Iris dan The Dispatch memuntahkan peluru-pelurunya kedarat,
melindungi pasukan Belanda yang mendarat. Pertempuran hebat terjadi. Serdadu Belanda ada
yang terperosok ke dalam kolam kolam berbatu tajam dan runcing disepanjang pantai yang tidak
diketahui musuh. Peluru-peluru meriam tidak bisa menembus kubu pertahanan rakyat, yaitu
pagar-pagar batu berkarang yang tebal. Tetapi rumah-rumah dan perahu musnah dan hancur ter-
bakar kena tembakan meriam.
Pasukan Belanda digempur dari berbagai jurusan. Akhirnya mereka terpaksa melarikan diri
tergesa- gesa ke kapal. Dari kedua belch pihak jatuh korban, ada yang tewas dan luka- luka. Sekali
lagi terlihat dari pantai beberapa kapal dan sekoci bergerak maju menuju daratan. Pasukan
Belanda itu dipimpin oleh Letnan Boelen. Tujuan pasukannya adalah membakar arombai, perahu
dan rumah rakyat.

Armada arombai rakyat Hatawano menghalau utusan Belanda (Verheull).

Tetapi pendaratannya digempur dan dipukul mundur. Gagal lagi serangan Belanda. Juga
usahanya untuk membakar beberapa arombai di Pantai Ihamahu disambut dengan tembakan
yang gencar sehingga gagal pula usaha itu. Sementara itu keadaan menjadi reda seketika. Tetapi
terlihat sekali lagi bahwa Komandan Groot menggerakkan pasukan pendaratannya. Kali ini
pasukan Belanda berhasil menerobos masuk ke Negeri Nolot. Arombai dan perahu dibakar.
Rumah rakyat, rumah raja dan gereja menjadi mangsa api. Para kapitan mengerahkan
pasukannya mengepung pasukan Belanda. Tetapi kedengaran ada perintah mundur ke kapal.
Selamatlah pasukan itu!
Hari- hari berikutnya penembakan dan pendaratan terulang lagi, tetapi pasukan-pasukan
Belanda tidak dapat mempertahankan diri di daratan. Pasukan rakyat selalu memukul mundur
pasukan musuh. Mulai dari tanggal 26 Juli tembakan-tembakan sudah berkurang dan pendaratan
menjadi jarang karena banyak korban telah ditelan oleh kolam-kolam yang penuh dengan
borang-borang (bambu tajam dan runcing).
The Dispatch yang pada tanggal 21 Juli Siang dikirim ke Haruku untuk memberi laporan
yang harus diteruskan ke Ambon, telah kembali pada akhir Juli. Sampai waktu itu Belanda tidak
berhasil merebut sejengkal tanah pun. Lagi pula, sekalipun kapal-kapal perang Belanda berusaha
memutuskan hubungan antara Seram dan Saparua, tetapi bala bantuan dari Seram tetap terus
mengalir ke Hatawano. Kekuatan rakyat tidak bisa dipatahkan. Overste Groot terpaksa
merencanakan siasat barn yaitu mencoba mendaratkan pasukannya di Negeri Saparua. Perjuang-
an di jazirah Hatawano merupakan suatu kemenangan bagi rakyat Hatawano.

4.7. Patih Akoon Berkhianat


Nusalaut juga dinamakan Nusahalawano atau pulau emas. Bukan karena pulau kecil ini
menghasilkan emas, akan tetapi karena hasil cengkihnya yang besar mengalirkan emas kedalam
kantong rakyat. Tetapi karena cengkih ini pula monopoli menindas rakyat. Sekalipun rakyat
Nusalaut termasuk rakyat yang lebih tenang daripada rakyat Saparua, tetapi mereka pun tidak
bisa membiarkan berlangsung terus. Nusalaut hanya mempunyai tujuh buah negeri. Segenap
rakyatnya beragama Kristen. Berlainan dengan Saparua dan Haruku yang selain beragama
Kristen juga ada yang beragama Islam.
Sejak semula rakyat dan raja-raja Berta patih berdiri di belakang Thomas Matulessi.
Anthone Rhebok yang ditugaskan Pattimura untuk mengatur pertahanan di Nusalaut telah meng-
angkat Kapitan Paulus Tiahahu sebagai komandan pasukan rakyat di sang. Benteng, Beverwijk
di Negeri Sila dan Leinitu sejak semula telah direbut rakyat. Pasukan Belanda yang jumlahnya
hanya beberapa orang tewas. Para pejuang Nusalaut mengambil bagian dalam pertempuran di
Saparua, Haruku dan Hatawano. Raja-raja dan patih Nusalaut ikut menandatangani "Proklamasi
Haria".
Paulus Tiahahu adalah raja Abubu. Mungkin karena umurnya sudah lanjut, ia menarik diri
dari pemerintahan dan diganti oleh Patih Manusama. Pengaruh Paulus yang besar dikalangan
rakyat menyebabkan dia diangkat menjadi kapitan pasukan pasukan Nusalaut. Paulus
mempunyai seorang putri yang bernama Christina Marta. Putri raja ini mendampingi ayahnya
dalam usaha menghalau penjajah dari buminya. Ia juga rnengalami keganasan peperangan yang
hebat.
Semangat rakyat Nusalaut yang berapi-api itu ternyata dikhianati oleh patih Akoon, kepada
sebuah negeri di pulau itu. Tanggal 26 Juli Komandan Groot memerintahkan Pool supaya
berpatroli dengan kapal Iris di perairan Nusalaut. Ketika Iris menghampiri Akoon, terlihat
sebuah perahu dengan bendera Belanda menghampiri kapal itu. Iris memperlambat kecepatannya
sampai perahu itu merapat dengan kapal. Naiklah Patih Akkon dan Dominggus Tuwanakotta
kekapal Iris lalu diantarkan ketempat Kapten Pool. Patih ini memberi laporan yang mengkhianati
seluruh rakyat yang sedang berjuang mati- matian. Beberapa hari kemudian komandan itu
membentuk suatu komisi untuk menginterogasi patih Akkon mengenai keadaan di Nusalaut dan
Duurstede, sehingga dapatlah dia mengambil siasat yang sesuai dengan keterangan itu.
Dominggus Tuwanakotta memberi keterangan yang sangat merugikan pertahanan rakyat
dan menguntungkan Belanda terutama tentang keadaan Duurstede. Keterangan itu berbunyi
sebagai berikut: 14)
Sedari saat pemberontakan sebagian rakyat Nusalaut menentang hal itu Rakyat menunggu-nunggu
kedatangan Belanda. Jika Iris atau kapal perang yang lain datang ke Nusalaut, rakyat telah mufakat
untuk serentak dengan raja-rajanya naik kekapal dan menyerahkan orang orang yang memberontak.
Sekarang ini mereka berdiam diri karena takut pada orang Saparua. Dibenteng Beverwijk hanya
terdapat dua pucuk meriam, besi tumpunya telah dihancurkan. Benteng itu tidak dijaga. Benteng
Duurstede masih utuh, hanya meriam-meriam telah dipaku oleh Thomas Matulessia dan pintu-pintu
dipalang dengan palang besi. Pantai-pantai penuh dengan kolam yang diberi borang. Setiap orang
Saparua diberi bedil. Sewaktu komandan Groot berunding di darat pada tanggal 19 Juli, Kapitan Lukas
berada dekat tempat perundingan dan ia memberi perintah, jika ia muncul, maka semua orang Belanda
harus diserang dan dipancung kepalanya. Kapten Grozier harus diselamatkan karena ia orang Inggris,
yang dianggap sekutu rakyat.

Keterangan itu benar-benar menguntungkan Belanda. Tetapi bahwa rakyat Nusalaut setia
kepada Belanda adalah suatu kebohongan. Pada saat patih Akoon memberi keterangan itu,
pahlawan-pahlawan dari Nusalaut sedang mempertaruhkan jiwa raganya di medan laga di
Hatawano dan Haruku. Kebohongan itu akan terbukti lagi dalam bulan-bulan yang akan datang
yaitu ketika Kapitan Paulus Tiahahu memimpin pejuang pejuang Nusahalawano memerangi
Belanda di Nusalaut dan Jazirah Tenggara Saparua. Munculnya Christina Martha di tengah-
tengah pasukan rakyat mempertinggi semangat juang pahlawan-pahlawan Nusalaut.
Kebohongan itu terbukti lagi ketika beberapa hari kemudian patih Akoon itu diantar oleh
The Dispatch kembali ke negerinya. Setiba di Akoon ia diturunkan ke darat dengan sekoci.
Tetapi begitu dia menginjak pantai, ia dikejar oleh rakyatnya sendiri dan nyaris tertangkap, jika
tidak segera meloncat ke dalam sekoci yang melarikannya. Grozier sendiri memberi kesaksian
dalam laporannya kepada Groot sewaktu ia tiba kembali dengan patih itu. Ketika ia mendekati
Akoon, ternyata orang orang yang ada didarat memusuhinya.
Pengkhianatan Dominggus Tuwanakotta itu akan menyebabkan malapetaka bagi mata
rumahnya. Beberapa hari kemudian putrinya dicemar dan kakaknya, Julianus Tuwanakotta di-
bunuh oleh rakyat Porto dan Haria.

4.8. Mengatur Pemerintahan


Kapitan Pattimura bukan hanya seorang panglima perang, tetapi juga seorang koordinator
pemerintahan. Cita-citanya bukan mendirikan suatu kerajaan atau suatu kesultanan atau suatu
negara republik. Struktur masyarakat adat Maluku Tengah tidak memungkinkan terbentuknya
suatu negara pada waktu itu. Proses pembentukan suatu negara akan memakan waktu yang
sangat lama dan panjang untuk mempersatukan tiap-tiap negeri otonom. Peperangan melawan
penjajah tidak memberikan waktu untuk memikirkan hal itu. Yang dikehendakinya ialah
lenyapnya penjajahan dari muka bumi Maluku.
Raja-raja dan patih telah menyatakan dalam , 'Proklamasi Haria" akan tunduk pada
perintah panglima perang. Sebaliknya Kapitan Thomas Matulessia memberi instruksi kepada
semua raja-raja dan patih untuk memerintahkan rakyatnya bersikap dengan baik dan teratur,
tetapi tegas. Kebun-kebun cengkih harus dipelihara. Ladang- ladang harus ditanami, produksi
sagu harus diperbanyak supaya dapat membantu pasukan-pasukan di medan perang dengan
makanan. Semua usaha harus ditujukan untuk perjuangan melawan Belanda. Barang siapa yang
melawan atau mengacaukan ketentraman di dalam negeri harus dihukum oleh raja dan saniri
negerinya. Kehidupan keagamaan harus diutamakan. Kebaktian di gereja maupun di rumah-
rumah tangga harus berjalan seperti biasa di bawah pimpinan para guru. Dinegeri- negeri Islam
rakyatnya harus beribadah menurut keyakinan dan ajaran agamanya. Didalam keluarga Kristen
para orang tua dituntut supaya menyerahkan anak-anaknya seperti biasanya kepada guru- guru
agar dididik pada jalan dan ajaran Kristus. Sebaliknya tuan guru berkewajiban untuk mengajar
anak-anak, baik dalam soal keagamaan maupun dalam pelajaran yang biasa seperti membaca dan
berhitung.
Pattimura mengirim para pembantunya secara teratur ke semua negeri untuk mengawasi
jalannya pemerintahan. Sekalipun demikian raja-raja tetap otonom menjalankan pemerintahan
seperti sediakala. Dalam masa- masa yang genting sekalipun, raja-raja patih tetap diakui oleh
Pattimura sebagai kepada pemerintahan dan wakil rakyat, sebagaimana terbukti dalam musya-
warah mereka di Hatawano, baik dalam perundingan dengan Overste Groot, maupun dalam
musyawarah antar raja-raja patih untuk menuangkan pendirian mereka dalam surat kepada ko-
mandan Belanda itu. Tetapi terhadap raja-raja yang bersalah Kapitan Pattimura bertindak keras
dan tegas, ada yang dihardik, dipukul, sampai-sampai dipecat. Terhadap raja yang berkhianat
tidak ada ampun. Mereka dibunuh dan keluarganya dihancurkan, seperti halnya keluarga patih
Akoon. Bagi rakyat yang berkhianat disediakan tempat gantungan didua batang pohon yang
berdiri di Gunung Saniri.
Raja-raja dan patih selalu dihubungi langsung oleh Pattimura dengan surat. Demikian pula
dengan kapitan-kapitan di medan pertempuran Hatawano, Haruku dan Ulupaha di Hitu. Di
dalam peperangan ini rakyat Seram, Ambon dan Lease tidak berjuang sendirian. Bantuan datang
juga dari luar. Pattimura dan stafnya sadar bahwa mereka memerlukan senjata api dan mesiu.
Meriam, bedil dan kapal perang tidak dapat dilawan dengan tombak dan anak panah seperti
dalam masa perjuangan para datuk-datuk. Sebagai seorang bintara dalam ketentaraan Inggris,
Kapitan Pattimura sadar benar-benar nilai senjata api bagi suatu pertempuran. Sayang meriam-
meriam di Duurstede tidak dapat dipergunakan karena tidak ada peluru dan mesiu meriam.
Tetapi dalam benteng itu ada tersimpan sepuluh ribu pon cengkih yang sangat berharga untuk
membelanjai peperangan, cengkih ini ditukarkan dengan mesiu dan senjata api.
Pada tanggal 21 Juli, ketika pertempuran di Hatawano sedang berlangsung, orang-orang
Kelmuri dari Seram memasuki Teluk Haria dengan dua buah arombai. Mereka membawa mesiu.

Berita itu disampaikan kepada Pattimura yang pada waktu itu sedang memimpin
pertempuran di Hatawano. Orang-orang Kelmuri itu disuruh datang ke Hatawano. Didalam
pertemuan dengan Pattimura mereka menawarkan bantuan kepada para pejuang. Mereka
membawa mesiu untuk ditukar dengan cengkih. Sebab itu Pattimura memerintahkan para
pembantunya supaya pergi ke Benteng Duurstede dan mengambil cengkih yang diperlukan oleh
orang-orang Kelmuri itu. Inilah permulaan bantuan rakyat Seram Timur kepada para pejuang di
Saparua. Mesiu itu sangat diperlukan dalam pertempuran yang sedang menghangat di Hatawano.

Pada tanggal 27 Juli datang orang-orang dari Seram Selor dengan sebuah arombai penuh
mesiu. Pimpinan perang sangat gembira dengan bantuan dari Seram Timur itu. Mesiu itu ditukar
pula dengan cengkih. Rupanya seruan Pattimura pada awal perang kepada semua raja-raja di
Seram supaya membantu rakyat Ambon dan Lease dalam perjuangan mengusir Belanda dari
tanah air mereka, tidak sia-sia.
Para pelaut dan para pedagang Seram Timur, dengan perahu layar yang disebut rakyat
perahu "bot", adalah pelaut pelaut yang tangguh dan berani. Karena dimasa sebelumnya mereka
tidak langsung dikuasai oleh Kompeni, mereka lebih bebas bergerak; mereka tidak terlalu
menderita karena tekanan monopoli. Mereka bisa berlayar sampai keSulawesi, Bali dan Lombok.
Mereka inilah yang menjadi penghubung antara rakyat yang berjuang dengan rakyat Makasar
dan raja-raja Bali dan Lombok. Para pelaut ini datang ke Saparua, Haria, Hatawano clan Hitu
menerobos blokade Belanda, dan mengadakan hubungan dengan Kapitan Pattimura di Saparua
clan Ulupaha di Hitu. Mereka membawa mesiu dan bedil yang ditukarkan dengan cengkih.
Kemudian mereka berlayar ke Bali, Lombok clan Sulawesi Selatan. Di situ mereka menceritakan
perlawanan rakyat Seram, Ambon dan Lease. Raja-raja di Bali dan Lombok memberi bantuan
berupa senjata dan mesiu yang ditukar dengan cengkih. Selama peperangan berjalan, para pelaut
Seram Timur ini sangat berjasa bagi rakyat yang sedang berjuang. Demikian pula raja-raja di
Bali dan Lombok. Sekalipun kapal kapal Belanda berpatroli di perairan Maluku, tetapi pelaut
pelaut Makasar berhasil juga menembus blokade itu dan membawa bantuan berupa mesiu,
senjata api dan beras bagi para pejuang yang ditukarkan dengan cengkih.

4.9. Saparua Terancam


Pattimura dan stafnya yang datang dan pergi antara Saparua - Hatawano untuk memimpin
pertempuran, melihat bahwa keadaan menjadi reda sesudah tanggal 26 Juli. Pendaratan Belanda
dihentikan, demikian pula penembakan dengan meriam. Mungkinkah Belanda sedang
merencanakan pendaratan di tempat lain? Di Saparuakah? Kapitan Pattimura dan stafnya hanya
dapat menduga-duga saja, sedangkan Belanda telah mendapat informasi dari patih Akoon
tentang pertahanan diSaparua, terutama keadaan Benteng Duurstede. Komandan Groot memang
telah merencanakan pendaratan di Saparua untuk merebut benteng itu. Hampir tiga minggu
lamanya pasukan rakyat ditambat di Hatawano. Segenap tenaga dipusatkan di sana untuk
menghalau dan melawan musuh yang mendadak mendarat. Karena keadaan sudah mereda,
segera Kapitan Pattimura memerintahkan supaya pasukan ditarik ke Saparua. Pasukan-pasukan
yang ada di lain- lain negeri diperintahkan supaya datang keSaparua pula.
Sementara Hatawano bergolak, Ulupaha dan pasukannya tidak saja bergerak di daerah
Hitu, tetapi mereka juga menyeberang keSeram Barat. Rakyat Luhu menggabungkan diri dengan
pasukan Hitu lalu menyerang dan merebut benteng di Luhu. Hal ini segera diberitahukan kepada
panglima perang. Pada tanggal 28 Juli kakak laki- laki kapitan Pelau tiba di Haria membawa
sepucuk surat dan memberi laporan kepada Kapitan Pattimura tentang perebutan benteng di
Luhu. Komandan Pieter Weynand dan serdadu-serdadu Belanda semuanya dibunuh. Surat dan
berita itu adalah suatu tanda bahwa Pattimura diakui oleh para kapitan Hitu yang sedang
berjuang dan diakui pimpinannya dalam peperangan. Pattimura juga menerima laporan bahwa
Haruku sedang meningkatkan kewaspadaan. Terjadi tembak- menembak selama minggu- minggu
terakhir, setiap kali pasukan rakyat bertemu dengan pasukan Belanda yang sedang berpatroli.
Beberapa kali terjadi serangan terhadap Benteng Zeelandia, tetapi tidak lagi sehebat yang sudah-
sudah.
Karena Pattimura berpendapat bahwa Saparua terancam, maka diperintahkannya agar
cengkih yang ada di benteng segera dipindahkan. cengkih itu terlalu berharga sehingga kalau
direbut oleh Belanda akan sangat merugikan perjuangan rakyat. Pattimura dan stafnya
merundingkan keadaan Saparua. Bagaimana menghadapi Belanda jika ada pendaratan di
Saparua? Siasat apakah yang akan dipakai? Akan terulangkah malapetaka Beetjes jika siasat
dulu dipakai lagi? Akan dipertahankan atau dibiarkan Duurstede direbut Belanda? Jika akan
dipertahankan pasukan di dalam benteng akan menjadi bulan-bulanan tembakan meriam kapal
perang karena benteng tidak dapat membalas dengan tembakan meriam. Melepaskan benteng
membawa risiko bahwa musuh mendapat sejengkal tanah didaratan untuk bercokol dan bertahan.
Merebutnya kembali akan membawa banyak korban, jika Belanda telah memperkuatnya dengan
pasukan yang besar dan meriam. Pengalaman di Haruku telah membuktikan hal ini. Dari benteng
Belanda bisa melancarkan serangan. Memang demikian, tetapi tentaranya bisa mati kelaparan
dan mati kehausan kalau benteng itu dikepung. Demikianlah berbagai kemungkinan yang
dihadapi oleh para pemimpin perang. Putusan akhir mereka akan diambil dalam satu dua hari
kemudian.
Sementara itu dari Hatawano datang kurir melaporkan bahwa tanggal. 1 Agustus kapal-
kapal perang telah berangkat meninggalkan perairan Hatawano, membelok di ujung Itawaka,
menyusur pantai timur menuju ke Saparua. Segera Pattimura memerintahkan agar para kapitan
dan pasukan-pasukannya bersiap-siap, mulai dari Tanjung Paperu sampai keTanjung Ouw.
Tengah hari, tanggal 2 Agustus, Maria Reygersbergen dan The Dispatch memasuki Teluk
Saparua. Kedua kapal itu mendekati Duurstede dan memuntahkan peluru-pelurunya kepantai
sekitar benteng itu. Tetapi sampai malam hari tidak terlihat tanda-tanda pendaratan. Pattimura
tidak mengerahkan arombai, kora-kora dan perahu-perahu untuk menyerang musuh. Pengalaman
di Hatawano membuktikan bahwa arombai mudah jadi mangsa tembakan meriam. Oleli karena
itu semua arombai, kora-kora dan perahu disembunyikan di huta belukar di tepi pantai.
Keesokan hari dalam cuaca yang cerah, kembali kapal kapal perang melepaskan tembakan
meriam ditujukan kepantai sekitar benteng. Benteng Duurstede diincar kalau-kalau ada tembakan
dari sana. Jika informasi patih Akoon benar, maka pendaratan tidak akan mendapat tembakan
dari benteng ini. Karena tidak ada juga tembakan dari benteng, maka Groot memutuskan untuk
menurunkan beberapa sekoci. la meyakini kebenaran informasi patih itu. Komandan dan para
opsir Belanda berhati hati. Mereka mengatur pendaratan itu secara teliti sesuai teknik militer.
Tidak boleh terulang malapetaka Beetjes. Oleh karena itu target pasukan pendaratan ialah
merebut, menduduki dan memperkuat Benteng Duurstede. Pasukan pendaratan berada di bawah
komando Letnan Ellinghuyzen, bergerak menurut siasat yang telah diatur. Sementara itu
meriam- meriam menghantam pantai. Armada rakyat tidak nampak menyerang dan menghalau
pendaratan itu. Makin mendekati daratan, makin menyebar sekoci-sekoci menjauhi benteng.
Tetapi tidak ada tembakan dari Duurstede, juga tidak kelihatan adanya pasukan dalam benteng.
Pasukan Belanda berhati- hati karena mereka mengetahui bahwa pantai-pantai penuh dengan
lubang-lubang berborang.

Sementara itu Pattimura telah menempatkan penembak penembak jitu di hutan-hutan


belukar sekitar benteng dan di pantai-pantai sekelilingnya. Ketika musuh menginjak pantai
meletuslah bedil-bedil dari balik hutan. Meriam- meriam kapal membalas tembakan itu. Serdadu-
serdadu Belanda bergerak menurut siasat yang telah diinstruksikan. Tetapi yang mengherankan
tidak ada pasukan Pattimura yang menyerbu ke pantai pendaratan. Tembakan-tembakan mereka
bertujuan menewaskan, melukai dan memancing musuh supaya bergerak meninggalkan pantai
dan menyerbu masuk ke dalam pertahanan rakyat. Disitu telah disiapkan beratus-ratus pasukan
untuk menghabiskan musuh, tetapi ternyata musuh tidak akan terpancing. Serdadu-serdadu
Belanda bergerak langsung ke benteng. Musuh heran mengapa dari benteng tidak ada tembakan.
Lambat laun sadarlah mereka bahwa benteng itu tidak dipertahankan. Tetapi mereka dihambat
oleh penembak-penembak jitu yang mengakibatkan jatuhnya korban-korban.
Setelah komandan Groot dan para opsirnya yang mengamati pendaratan itu dari kapal
mengetahui situasi di darat, ia segera memerintahkan supaya segenap kekuatan dikerahkan untuk
merebut Duurstede. Dari laut sekoci-sekoci yang penuh dengan serdadu menyerbu ke bagian
selatan benteng, sedangkan dari timur dan barat pasukan-pasukan berlari- lari membawa tangga
dan tali untuk memanjat tembok benteng itu. Menjelang petang hari terlihat bendera merah-
putih-biru berkibar di Benteng Duurstede. Tanggal 3 Agustus, pukul enam sore Duurstede
kembali jatuh ketangan musuh. Bersorak-sorai musuh di dalam benteng, disambut oleh meriam-
meriam, yang menghujani pertahanan rakyat di sekitar benteng itu.
Menurut siasat yang telah diputuskan oleh Pattimura dan stafnya, benteng itu tidak akan
dipertahankan. Meriam- meriamnya toh tidak dapat dipergunakan. Pasukan pertahanan akan
menjadi bulan-bulanan tembakan meriam kapal. Sebab itu dengan mudah sekali benteng dapat
direbut. Pattimura bermaksud untuk memancing musuh menurut siasat yang pemah dijalankan
terhadap pasukan Beetjes. Tetapi ternyata musuh tidak kena terpancing. Karena informasi patih
Akoon dan laporan kedua opsir Belanda yang dikirim keSaparua beberapa waktu yang lalu,
maka Overste Groot mengetahui betapa kuat persenjataan pasukan rakyat. Inti pasukan
Pattimura, "Korps Limaratus" bekas serdadu Inggris, menunggu serdadu-serdadu Belanda di
hutan belukar sekitar benteng. Seandainya serdadu-serdadu Belanda menyerbu masuk
pertahanan rakyat, maka malapetaka Beetjes akan terulang lagi.
Tetapi sekarang benteng telah direbut musuh. Betapa keliru perhitungan Pattimura dan
stafnya. Benteng itu akan menjadi suatu kubu pertahanan dan penyerbuan yang kuat bagi musuh.
Dalam bulan-bulan mendatang akan terbukti bahwa benteng itu menjadi duri dalam pertahanan
pasukan rakyat. Pengepungan hanya akan berhasil dalam jangka pendek. Tetapi dalam jangka
panjang penguasaan benteng itu sangat penting bagi musuh. Sekali benteng itu direbut, Belanda
langsung memperkuatnya dengan pasukan dan meriam- meriam dan bantuan tembakan-tembakan
dari kapal perang, maka akan sulit direbut kembali dan dikepung terus- menerus.
Segera sesudah Duurstede diduduki, Groot memerintahkan supaya enam buah meriam
diangkut dari kapal perang keDuurstede. Setibanya meriam- meriam itu, maka pada malam hari
pertahanan rakyat di sekitar benteng dihujani dengan berpuluhpuluh peluru. Komandan Groot
mengangkat Letnan Ellinghuyzen menjadi komandan Benteng Duurstede. Keesokan harinya The
Dispatch diperintahkan berangkat ke Ambon untuk melaporkan direbutnya Benteng Duurstede
kepada pimpinan pemerintahan. Bahan makanan dan air diangkut dari kapal untuk mencukupi
persediaan bagi pasukan-pasukan untuk beberapa hari. Di sekeliling benteng dipasang bambu
runcing dan disebarkan pecahan botol untuk mempersulit pasukan rakyat. Rumah-rumah di
sekitar benteng diperintahkan untuk dibakar, termasuk rumah residen.

Sementara itu pasukan Pattimura bergerak dan menembaki para serdadu yang sedang sibuk
bekerja di luar benteng, tetapi setiap kali mereka ditembaki oleh meriam- meriam. Dalam hari
hari berikutnya Pattimura mengerahkan pasukannya untuk menembak setiap serdadu yang
kelihatan diluar benteng. Ini adalah siasat jitu. Salah satu kesulitan Belanda ialah persediaan air
minum. Di luar benteng, tidak jauh dari tangga terdapat sebuah sumur yang telah disumbat
dengan rumput-rumput, batu, kayu dan lain- lain. Itulah satu-satunya sumber air bagi pasukan di
benteng dan bagi kapal-kapal. Sebab itu Pattimura menempatkan penembak-penembak jitu
berhadapan dengan perigi itu. Setiap kali serdadu musuh keluar untuk membersihkan perigi itu,
setiap kali pula gugur satu dua orang serdadu. Letnan Dua van Geuricke telah tewas pada tanggal
7 Agustus ketika memimpin beberapa orang serdadu untuk membersihkan perigi itu. Tetapi
akhirnya juga Belanda berhasil membersihkan sumur itu. Awak kapal yang turun dengan sekoci
untuk mengambil air tidak luput dari tembakan penembak jitu. Ada yang luka, ada pula yang
tewas. Selama benteng itu dikepung, perigi itu menjadi sumber maut bagi pasukan Belanda.
Di dalam suasana perang yang ganas itu, pada tanggal 6 Agustus, raja-raja dan patih
mengundang rakyat Pulau Saparua untuk berkumpul di perbatasan Tiow. Di dalam musyawarali
ini Kapitan Pattimura membentangkan situasi perang yang dihadapi rakyat. Tekad perjuangan
sekali lagi dibulatkan. Bersumpahlah hadirin, apabila terjadi perdamaian atau apabila Kompania
menang, maka tidak akan ada seorang pun membuka rahasia mengenai alasan-alasan perjuangan
dari permulaan sampai dibunuhnya residen.
Tanggal 10 Agustus rakyat Haria berkumpul di baeleo. Di sini mereka bersumpah dan
berjanji tidak akan membuka rahasia bahwa perjuangan dimulai dari Haria.16) Dalam pada itu
rakyat Haria dan Porto selalu siap sedia, didaratan maupun dilautan. Kapal-kapal perang yang
datang dan pergi antara Ambon- Saparua diawasi agar tidak memasuki Teluk Haria dan menda-
ratkan pasukan. Johannis Matulessia ditugaskan untuk mengatur pertahanan di sini.
Pengepungan berjalan terus. Kekurangan makanan dan air semakin menekan musuh.
Komandan Groot mengirim Letnan Boelen ke Ambon untuk meminta bantuan. Kesulitan itu
merisaukan para komandan militer di Ambon. Sebuah barkas Anna Maria disewa, dan bersama
The Dispatch diberangkatkan ke Saparua dengan bahan makanan, air minum, peluru dan berma-
cam-macam alat perang. Tiga orang opsir berangkat bersamasama untuk meneliti keadaan
benteng dan pertahanan. Tanggal 10 Agustus mereka tiba di Saparua dengan Anna Maria. Dua
hari kemudian komisi itu telah kembali ke Ambon. Groot minta supaya Ambon segera mengirim
lebih banyak bantuan lagi, karena tekanan pasukan Pattimura makin berat.
The Dispatch yang singgah di Haruku bertemu dengan kapal perang Inggris Willoughby
yang dipimpin oleh Kapten Croiset. Dari kapal itu diambil dua pucuk meriam dan beberapa
kereta pengangkut meriam. Ketika mendekati Tanjung Hatuwalane, The Dispatch melepaskan
tembakan meriam ke Negeri Porto dan Haria. Sejak semula rakyat Lease tidak saja berhadapan
dengan Belanda, tetapi juga dengan kapal-kapal perang Inggris yang turut membantu Belanda di
Haruku. Hatawano dan Saparua. Sedangkan selama perjuangan rakyat berlangsung senantiasa
menganggap Inggris sebagai sekutu rakyat.
Belanda tetap dikepung rapat oleh pasukan Pattimura. Ellinghuyzen dan stafnya tidak
berani mengerahkan serdadu serdadunya untuk menyerang pasukan rakyat dan menerobos kubu-
kubu pertahanan. Groot selalu gelisah karena bantuan dari Ambon sangat kurang. Ia pun tidak
berani mengambil tindakan atau risiko untuk menyerang. Anna Maria dan The Dispatch sampai
akhir Agustus datang dan pergi antara Saparua - Ambon untuk meminta bantuan pasukan,
makanan, air, peluru, mesiu dan senjata. Sekalipun benteng sudah jatuh, tetapi seluruh Pulau
Saparua tetap dikuasai oleh pasukan Pattimura.
Para komisaris jenderal di Batavia menjadi gelisah, tidak percaya bahwa keadaan bisa
menjadi begitu buruk di Maluku. Berita mengenai penghancuran pasukan Beetjes lebih
menggelisahkan lagi. Ditambah dengan berita-berita yang datang melalui berbagai pegawai
tinggi tentang pertentangan antara Gubernur van Middelkoop dengan Komisaris Engelhard.
Tindakan harus diambil. Pertama-tama, bala bantuan harus dikirim ke Ambon. Kedua, harus
diambil tindakan penggantian pimpinan pemerintahan di Maluku. Untuk itu Laksamana Muda
Buyskes, salah seorang anggota komisariat jenderal, akan dikirim keMaluku.
Akhir Agustus tiba bala bantuan dengan kapal Amerika, Lady Patterson dari Batavia.
Kapal itu membawa pasukan dan alat-alat perang. Dibawa pula berita bahwa Laksamana
Buyskes akan datang ke Ambon. Segera, pasukan Belanda sebanyak seratus tigapuluh orang
dipindahkan ke kapal perang The Dispatch. Lalu berangkatlah kapal itu ke Saparua. Tanggal 3
September kapal itu tiba dan membuang sauh dekat kapal Reygersbergen. Kecuali pasukan,
dibawa pula beberapa pucuk meriam, pelutu, mesiu, bahan makanan dan air minum.
Pattimura dan stafnya yang sudah mendapat laporan dari Pulau Haruku tentang kedatangan
The Dispatch mengawasi gerak-gerik kapal itu. Nampak pasukan dan alat-alat perang mulai
diturunkan. Begitu sekoci-sekoci mendekat pantai, pasukan rakyat menyambutnya dengan
tembakan yang gencar. Pada saat itu juga meriam- meriam dari kapal perang menghantam barisan
rakyat. Begitu hebat tembakan meriam itu sehingga pasukan rakyat terpaksa mundur. Tetapi
sebelumnya duel tembakan berlangsung sampai malam hari. Nampak pula bahwa kekuatan
Belanda semakin bertambah. Komandan Groot mulai berani bertindak. Kapten Lisnet diangkat
menjadi komandan Duurstede mengganti Letnan Ellinghuyzen. Letnan Boelen diserahi pimpinan
bagian artileri. Rupanya penggantian ini berhubungan dengan suatu rencana penyerangan
Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 4 September, pada siang hari tampak oleh pimpinan perang
rakyat kesibukan yang luar biasa disekitar benteng. Pasukan Belanda turun kelapangan, dua buah
meriam diturunkan dan dipasang pada keretanya. Dibawah pimpinan Letnan Boelen pasukan itu
mulai bergerak, kirakira berkekuatan seratus orang. Dengan dipelopori oleh sepasukan borgor
Ambon, untuk membuka jalan dan membersihkan penghalang-penghalang, pasukan Belanda
menyerbu masuk pertahanan rakyat dan mulai membakar rumah-rumah. Sejalan dengan itu
meriam- meriam yang dibawa dan meriam- meriam dibenteng dan di kapal-kapal perang
memuntahkan pelurunya ke pertahanan rakyat. Begitu hebat tembakan itu sehingga Pattimura
memerintahkan pasukannya mundur. Ada maksud lain juga, yaitu makin jauh mereka mundur
makin jauh pula musuh masuk kedalam daerah pertahanan rakyat. Saat inilah yang ditunggu
berminggu- minggu.
Pasukan Boelen bergerak maju, tetapi ternyata pasukan rakyat seolah-olah telah
menghilang. Mereka telah menghilang di balik hutan belukar, menunggu komando serangan
serantak. Pasukan Boelen tiba di Tiow pada jalan jurusan Haria - Porto. Ia memerintahkan
supaya pasukannya kembali lagi dengan alasan pasukan rakyat tidak kelihatan lagi. Serdadu-
serdadu borgor Ambon mendesaknya untuk maju terus, tetapi komando mundur telah diberikan.
Sebenarnya para opsir Belanda telah mencurigai pasukan Borgor Ambon. Ada prasangka
bahwa secara diam-diam mereka berhubungan dengan pasukan Pattimura. Overste Groot menca-
tat dalam buku jumlahnya tanggal 1 September sebagai berikut:17)
Kaum borgor Ambon tidak bisa dipercaya lebih lama lagi. Mereka memperlihatkan ketidak
puasan dan pada malam hari mereka diajak oleh para pemberontak untuk menyeberang.
Oleh karena itu Boelen tidak meluluskan desakan mereka. Pasukan Belanda kembali.
Mereka mendekati jembatan yang tadi mereka lalui. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan
perang pasukan Pattimura. Teriakan ini menyelamatkan pasukan Belanda, yang menyangka
bahwa pasukan rakyat sudah mundur dan menghilang. Karena teriakan ini mendahului serangan,
maka pasukan Belanda berkesempatan untuk berjagajaga, sehingga ketika mereka diserang
dapatlah mereka menangkis serangan itu. Sekalipun demikian ada korban yang jatuh. Di dalam
bukunya Boelen mencatat:18)
Jembatan yang tadi kami lalui masih jauh di depan kami. Andaikata musuh (pasukan rakyat) dengan
diam-diam beroperasi maka mungkin kami disergap. Akan tetapi teriakan perangnya menyadarkan
kami pada waktunya.

Serangan Boelen ini memancing pembalasan. Pattimura memutuskan untuk menyerang


benteng keesokan harinya. Pada siang hari pasukannya menyergap seregu serdadu Belanda yang
sedang membongkar tembok-tembok rumah residen yang telah terbakar beberapa hari yang lalu.
Sebelumnya tembok-tembok itu dipakai oleh para penembak jitu untuk bersembunyi dan dari
situ mereka menembak serdadu-serdadu yang berada di luar benteng. Tembak- menembak terjadi
sepanjang hari. Pada malam hari menjelang tengah malarn, dalam gelap gulita, pasukan rakyat
yang terpilih mengadakan serangan terhadap Duurstede. Mereka berhasil memanjat tembok lalu
menyerbu masuk benteng. Pertempuran sengit terjadi. Banyak korban jatuh di kedua belah pihak.
Malam berikutnya terjadi lagi serangan mendadak yang tidak disangka-sangka oleh Komandan
Lisnet. Terjadi pertempuran seorang melawan seorang dalam keadaan gelap gulita. Tetapi
akhirnya pasukan rakyat dipukul mundur karena tembakan meriam dan pertahanan yang kuat
didalam benteng. Sekalipun demikian pasukan rakyat setiap hari mengincar setiap kepada yang
muncul dari balik tembok.
Bulan September itu adalah bulan adu kekuatan antara kedua belah pihak. Bala bantuan
mengalir dari Ambon ke Saparua. Bala bantuan juga mengalir dari Seram ke Haria. Sekalipun
kapal-kapal perang berpatroli untuk memutuskan hubungan antara Seram dan Saparua, bantuan
tetap bisa mengalir. Selama bulan itu orang Seram Timur berhasil memasuki Teluk Haria
sebanyak lima kali. Mereka membawa mesiu dan senjata untuk dipertukarkan dengan cengkih.
Mereka terus- menerus berlayar ke Bali dan Lombok untuk mendapatkan bantuan dari raja-raja di
sana berupa mesiu, peluru, senjata api dan lain- lain keperluan perang. Bantuan ini tetap mereka
berikan dalam bulan-bulan berikut.
Bagi Belanda kemajuan di medan tidak tercapai. Hal ini mengesalkan mereka, terutama
para opsir di Saparua. Sekalipun Overste Groot telah mengeluarkan Surat selebaran, yang
menjanjikan hadiah sebesar F.1000 (seribu gulden) kepada siapa yang berhasil menangkap dan
menyerahkan Pattimura kepada Belanda dan f.500 (lima ratus gulden) bagi penyerahan
pembantu pembantunya, tetapi usaha itu sia-sia saja. Rakyat telah bertekad bulat merdeka atau
mati dengan pemimpin-pemimpinnya. Sumpah setia dalam berbagai musyawarah yang
senantiasa dibaharui, dipegang teguh.
Pasukan Pattimura pun tidak berhasil mengusir Belanda dari Benteng Duurstede. Hanya
tembakan-tembakan dari balik hutan dan kubu-kubu batu yang sementara itu dibikin dekat
benteng, menyebabkan banyak serdadu musuh yang luka atau tewas. Sebaliknya tembakan
meriam menyebabkan pasukan rakyat banyak yang luka dan tewas juga.
Sementara pertempuran berjalan, di mana- mana rakyat bekerja keras menyelesaikan dan
memperkuat kubu-kubu pertahanan sepanjang jalan atau di kampung-kampung untuk menghalau
setiap serangan musuh. Seluruh Pulau Saparua dijadikan bastion atau kubu pertahanan rakyat
yang tangguh.

DAFTAR CATATAN BAB IV


1) H.A. Idema -De oorzaken, hal. 18.
2) Risakotta -Rapport Porto, BKI dl. 65-1911, hal. 652.
3) v.d. Kemp -Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, dl II,
hal. 646.
4) Risakotta -Rapport Porto in v.d. Komp. Ibid, hal. 652.
5) Risakotta -Ibid, hal. 653.
6) Sapija -Sejarah Perjuangan Pattimura, hal. 102
7) v.d. Kemp -Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817, hal.
668.
8) v.d. Kemp -Ibid, hal. 669 (Rapport Boelen).
9) v.d. Kemp -Het Ned. Ind. Bestuur in het midden van 1817, hal. 53 voetnoot: 4b. Su-
rat itu diketemukan pada Pattimura sewaktu tertangkap clan dipakai
dalam proses verbal terhadap Salemba.
10) v.d. Kemp -Ibid, voetnoot: 4a.
11) v. d. Kemp -Het herstel, hal. 670-671.
12) v.d. Kemp - Ibid, hal. 682-686. Laporan Verheull dalam Verheull I. hal. 181 --188.
13) Sapia - Sejarah Perjuangan Pattimura, hal. 142.
14) van Dore - Matulessia hal. 62-63, terdapat dalam v.d. Kemp. Het herstel, hal. 697.
15) v.d. Kemp - Het herstel, hal. 626. (voetnoot: Rapport Porto).
16) v.d. Kemp - Ibid, Rapport Porto, hal. 625-626.
17) Sapia - Sejarah Perjuangan Pattimura, hal. 167 Journal Reygersbergen.
18) Boelen - Matulessia, hal. 271 —273.

BAB V : PAHLAWAN PAHLAWAN TIANG GANTUNGAN

5.1 Merenungkan Tanggung Jawab


Ibu Fransina Matulessia telah lanjut umur. Tidak disangka sangka bahwa kedua anaknya
yang laki- laki akan memimpin rakyat menentang Belanda. la pun tidak bermimpi bahwa Thomas
akan diangkat oleh raja-raja patih sebagai panglima perang bergelar Kapitan Pattimura. Sudah
lama suaminya berpulang. seorang diri ibu yang sudah tua itu mendampingi kedua anaknya
dalam suka dan duka. sebagai seorang ibu, hatinya selalu gelisah melihat anak bungsunya
memikul tanggung jawab begitu berat. Tetapi bangga pula ia karena mata rumah Matulessia dan
Silahoi melahirkan seorang pemimpin rakyat. Resah juga hatinya melihat Thomas belum lagi
beristri. Jujaro-jujaro Haria mengkhayalkan hidup selanjutnya dalam pelukan laki- laki kabarisi
ini. Ibu- ibu memasang berbagai jerat untuk mengikat Thomas dengan gadis mereka.
Dalam hari tuanya dan dalam keadaan perang Ibu Fransina menghiburnya dengan tiga orang
cucunya yaitu putra Johannis dan Nyawael Manuhutu: Abraham, Dominggus dan Thomas. Tiga
orang anak itu menyibukkan nenek Fransina setiap hari. Menggeleng- geleng ibu Fransina
apabila ia menegur Thomas supaya memilih seorang teman hidup dan hanya memperoleh
senyum saja. Thomas tidak ada waktu, ia terlalu sibuk memikirkan perang dan memikirkan nasib
rakyat. Sekalipun demikian, ibunya mengetahui bahwa Thomas mempunyai kekasih diSaparua.
Sebelum perang, Elisabeth Titaley Gassier telah kembali keSaparua. Dalam masa- masa
permulaan pergolakan rakyat, Lisbeth tidak tanggung-tanggung memuntahkan kebenciannya
terhadap Belanda dan mendesak Thomas untuk mengangkat senjata. Kerap kali Lisbeth kelihatan
mendampingi Thomas difront terdepan. Dalam ketegangan perang yang mencekam, Thomas
sering mencari ketenangan pada Lisbeth, yang berdiam dengan keluarga Raja Titaley. Tetapi
hubungan cinta mereka tidak bisa diikat oleh perkawinan karena Elisabeth masih terikat pada
suaminya, Eliza Titaley, yang dulu diangkut ke Batavia sebagai serdadu.
Pada waktu-waktu tertentu Thomas memerlukan pelepasan ketegangan dari perang. Larilah
ia ketepi pantai pada malam hari, duduk diperahu mengayunkan kaki memainkan air laut yang
jernih di Teluk Haria. Pandangannya menembus jauh ke Haruku. Teluk yang tenang
memantulkan ketenangan dalam batin Thomas. Tetapi pikirannya tidak terhenti. Ia merenungkan
tanggung jawab yang begitu berat. Dia adalah panglima perang. Raja-raja memberikan
kepadanya wewenang penuh untuk memimpin mereka dan bala rakyat dalam perang ini menuju
ke pembebasan dari cengkeraman penjajahan. Bagaimana kalau mereka menang, apa selanjutnya
yang akan diperbuat? Bagaimana kalau mereka kalah? Malapetaka akan menimpa rakyat! Dalam
keadaan semacam ini naiklah doanya kehadapan Allah Yang Mahakasih, memohon keteguhan
iman baginya dan bagi kawan-kawannya. Rakyat memerlukan bimbingan Tuhan dalam
pertarungan mati- matian ini. Saat-saat semacam ini adalah saat-saat peneguhan bathin, saat-saat
pembaharuan kebulatan tekad untuk memimpin rakyat menuju kemenangan. Dalam saat-saat
semacam ini, para pengawal, yang senantiasa mengiringi kapitan mereka, berdiam diri; tidak
berani mereka berbicara, tidak berani bersenda gurau, tidak berani mengganggu kapitan mereka.
Mereka sadar bahwa Thomas sedang memikirkan rakyatnya. Ada yang telah kehilangan anggota
keluarganya, ada yang telah tewas, rumah-rumah yang telah menjadi mangsa musuh. Apa yang
akan terjadi di Haruku? Dapatkah pasukannya menahan serangan balasan Belanda? Hatawano
telah memaksakan musuh meninggalkan daerah itu. Saparua adalah benteng yang sulit ditembus
sekalipun Duurstede telah jatuh. Nusalaut belum dijamah oleh musuh. Tetapi pengkhianatan
patih Akoon ticlak bisa diampuni. Rahasia apa saja yang telah ia beritahukan kepada Belanda?
Terkutuk orang itu dan seisi mata rumahnya. Arwah nenek moyang akan menimpa dan
menghancurkan pengkhianat itu seperti halnya dengan raja Amet dan raja SiriSori Serani.
Pikirannya melayang ke Kapitan Tua Ulupaha. Sekalipun tidak bisa berjalan lagi dan harus
dipikul dengan tandu, kapitan itu memperkuat kedudukan para pejuang. Bukankah Seram Barat
sekarang dikuasai penuh oleh rakyat yang dipimpin oleh Patih Kris dari Piru, para kapitan
Hatiroya, Elias Latupau dari Piru dan Kapitan Tapenussa dari Eti, yang dibantu oleh Ulupaha
dan pasukannya dari Hitu? Bukankah para kapitan ini telah membebaskan Luhu dan sekitarnya
dari kekuasaan musuh?
Keyakinan keagamaan Thomas sangat mendalam. la pernah menjadi tuagama atau seorang
petugas gereja di Haria. Dengan demikian hubungannya dengan para guru agama yang juga
menjadi guru sekolah sangat rapat, seperti guru Strudiek dari Haria, Guru Kepala Sahetappy dari
Saparua dan guru Risakotta dari Porto. Sekalipun Risakotta tidak menyukainya, tetapi Thomas
tetap menghargai guru itu. Guru Sahetappy yang sudah lanjut usianya senantiasa
mengkhotbahkan legalisasi perjuangan rakyat atas dasar Alkitab, Mazmur 17. Musyawarah-
musyawarah selalu didahului dengan dia. Anggota-anggota pasukan diharuskan mengunjungi
kebaktian setiap hari Minggu. Tuntutan yang diajukan kepada utusan Belanda untuk mengirim
dua orang pendeta ke Saparua, menunjukkan betapa pimpinan perang menaruh kepercayaan
besar pada seorang pendeta. Pendeta adalah orang yang diharapkan bisa mendengar hati nurani
rakyat. Betapa besar Thomas menaruh perhatian pada perkembangan agama rakyatnya dan
pendidikan agama bagi anak-anak, tercantum suratnya kepada raja-raja dan patih di Seram yang
berbunyi:1)
Pertama: Kepada tuan-tuan sekalian, raja-raja patih dan orang kaya, diperintahkan agar sejauh
mungkin diusahakan supaya semua orang Kristen, baik anggota maupun bukan anggota
jema'at, laki-laki maupun perempuan, hidup dengan damai sebagaimana biasanya.
Hendaklah tuan-tuan mengembangkan kepentingan agama orang-orang Kristen, sesuai
dengan perintah Yang Maha Tinggi yang bersemayam di dalam surga. Hal itu harus
dilakukan dengan jalan pergi ke gereja setiap hari Minggu dan mengunjungi kebaktian
setiap pekan. Supaya jangan seorangpun lalai dalam menjalankan perintah Tuhan, agar
iman kita diperteguhkan dan kita dihiburkan dalam peperangan ini, yang bertujuan untuk
memperbaiki nasib dan tanah air kita.
Kedua: Hendaklah tuan-tuan berusaha supaya anak-anak disekolahkan. Semua ibu-bapak, seperti
biasa, harus menyerahkan anak-anaknya kepada para guru untuk diajarkan sabda Allah
sebagaimana patut dilaksanakan oleh orang-orang Kristen untuk kebahagiaan tanah air
kita, sesuai kehendak suci dari Tuhan Allah.
Selanjutnya: Jika diantara tuan-tuan ada yang tidak melaksanakan perintah ini, maka ia akan diadili dan
dihukum, ia akan dibunuh serta seisi rumahnya. Apabila tuan-tuan raja-patih mengeluh
karena perbuatan seseorang, tidak perduli siapapun dia itu, yang menentang tuan-tuan dan
tidak mau menuruti permtah, maka ia harus dihukum, sebagaimana dikatakan di atas.
Lagipula tuan-tuan, para raja-patih dengan kepala-kepala Soa, jika tidak memerintah
rakyat sebagaimana dikatakan diatas, sehingga rakyat mengajukan pengaduan, maka tuan-
tuan akan dihukum dengan cars yang tidak ada taranya.

Haria, 29 September 1817


Panglima perang
ttd.
Thomas Matulessia

Dalam jangka waktu dua minggu Kapitan Thomas Matulessia menerima tigapuluh satu jawaban
dari raja-raja dan patih di Seram yang membubuhi tanda tangan mereka sebagai tanda terima
surat itu.
Tanggung jawab terhadap kebahagiaan rakyatnya menggerakkan Thomas untuk mencari
hubungan dengan suku bangsa lain di Nusantara. Hubungan surat- menyurat dan pengiriman
perutusan diadakan pula dengan raja-raja Bali dan Lombok. Pada permulaan bulan Oktober
datang raja Ondor ke Haria membawa mesiu. Ketika ia akan kembali Pattimura menitipkan
sepucuk surat kepada raja Bali. Dua orang borgor sebagai utusan rakyat yang berjuang, ikut serta
untuk menghubungi raja-rajaBali. 2)
Begitulah Thomas Matulessia, Kapitan Pattimura, melaksanakan tanggungjawabnya terhadap
rakyat dan tanah airnya.

5.2 Strategi dan Taktik Seorung Laksamana


Pimpinan pemerintahan Belanda ternyata tidak sanggup menghadapi rakyat. Perselisihan
gubernur dengan komisaris justru makin meningkat. Para komandan militer dan marine tidak
berhasil mendamaikan kedua pembesar itu. Terpaksa para komisaris jenderal diBatavia
mengambil tindakan. Pimpinan pemerintahan harus diganti dengan seorang gubernur barn yang
harus pula mempunyai kekuasaan penuh clan berwibawa atas angkatan bersenjata. Pembesir
yang tepat pada waktu itu ialah Laksamana Muda Buyskes.L, sudah pernah ke Maluku dalam ta-
hun 1802 untuk menerima kembali pemerintahan dari Inggris. Jadi dia sudah mengenal keadaan
di daerah ini. Pattimura, Ulupaha dan para kapitan akan berhadapan dengan seorang laksamana
yang telah berpengalaman dalam peperangan Napoleon di Eropa, terutama dalam perang laut.
Tanggal 26 Juni 1918 Buyskes berangkat ke Surakarta melalui darat. Tanggal 27 Juli ia
meninggalkan Surabaya menuju Ambon dengan kapal perang Prins Frederik, disertai oleh dua
buah kapal pengangkut penuh dengan serdadu, mesiu, peluru, senjata dan lain- lain keperluan.
Tentara yang dibawanya terdiri dari dua ratus lima puluh empat orang dibawah pimpinan Kapten
Gezelschap dan duaratus limapuluh orang dipimpin oleh Mayor Meyer dan Vermeulen Krieger
serta turut pula Pendeta Lenting.
Tanggal 1 September Buyskes tiba di Ternate. Perjalanan ke Ternate mempunyai tujuan
tertentu, yaitu membujuk sultan Ternate clan Tidore supaya membantu Belanda memerangi
rakyat Ambon, Seram dan Lease. Buyskes menjalankan politik lama dari kompeni, divide et
impera. Kedua sultan itu kena terbujuk dan berjanji untuk menyerahkan duapuluh buah korakora
dengan prajurit dalam waktu yang singkat. Sebagai imbalan dan tanda terima kasih, Pemerintah
Belanda menganugrahkan kepada kedua sultan itu masing- masing sebuah medali emas. ')
Tetapi bagaimana sikap rakyat Tidore dan Ternate? Mereka sudah tidak mau mati untuk
kepentingan Belanda. Istri dan anak-anak tidak sudi lagi mengorbankan suami dan ayah mereka
untuk kepentingan penjajah. Seorang Belanda pada waktu itu mencatat :4)

".......Siapa saja yang kelihatan kuat untuk berperang ditangkap di jalan-jalan dan diambil dari rumah-
rumah untuk mengisi kora-kora. Begitu hebat-hebat semangat perang orang-orang Ternate, Hingga
ada yang menangis-nangis seperti anak keeil, ada yang putus asa dan mencebur ke dalam laut atau lari
bersembunyi di pegunungan".

Sebab itu kedua sultan tersebut memerintahkan supaya dikerahkan orang Alifuru dari
berbagai pulau dalam kerajaan mereka untuk diberangkatkan ke Ambon. Sudah menjadi
kewajiban dari tiap-tiap rumah tangga untuk menyerahkan seorang lakilaki guna kepentingan
perang.
Tanggal 12 September armada Buyskes meninggalkan Ternate dan membawa serta residen
Ternate, Neys. Delapanbelas hari kemudian, tanggal 30 September, Prins Frederik membuang
sauh di Pelabuhan Ambon. Kedatangan laksamana itu disambut dengan gembira oleh masyarakat
Belanda. Hanya pucuk pimpinan pemerintah dan para komandan militer serta marine yang
gelisah. Mereka semua menunggu keputusan. Kolonel Sloterdijk, komandan kapal perang
Nassau, yang juga mengepalai eskader Ambon, menunggu keputusan dalam keadaan bingung. Ia
bertanggung jawab atas pengiriman ekspedisi Beetjes yang malam itu, tanpa dikawali oleh
sebuah kapal perangpun. Akhirnya Sloterdijk memutuskan untuk berpisah saja dengan dunia
fana ini. Dengan satu tembakan pistol ia mengakhiri hidupnya. Peristiwa ini menggegerkan
kalangan pemerintah dan masyarakat Belanda.
Buyskes segera mengadakan reorganisasi pemerintahan. Komisariat Maluku dibubarkan.
Gubernur van Middelkoop dipecat dan diperintahkan berangkat ke Batavia pada kesempatan
pertama. Komisaris Engelhard ditugaskan untuk mengadakan inspeksi umum terhadap keadaan
diKeresidenan Banda, karena di sana terdapat juga perselisihan antara orang-orang Belanda
militer dan sipil. Tetapi Engelhard menolak dengan alasan sakit. Ia diperintahkan berangkat
kembali ke Batavia dan mengharap pucuk pimpinan pemerintahan. Kekuasaan atas pemerintahan
sipil dan militer diambil-alih oleh Buyskes. Untuk sementara Net's diangkat menjadi residen di
Ambon dengan tugas memimpin seluruh administrasid penyelenggaraan semua urusan mengenai
rakyat pribumi. Ternyata seluruh administrasi pemerintahan kacau.
Keadaan perang yang bagaimana yang dihadapi Buyskes dalam bulan Oktober ini? Pasukan
Pattimura menguasai seluruh Pulau Saparua. Duurstede telah direbut kembali oleh Belanda,
tetapi benteng itu dikepung rapat. Sulit dan berbahaya bagi setiap serdadu musuh yang keluar
mengambil air dari perigi, yang berada hanya duapuluh lima langkah dari tangga-tangga
benteng. Di Pulau Haruku semua negeri memerangi Belanda. Hanya Negeri Haruku dan Samet
dikuasai oleh musuh. Nusalaut sepenuhnya dikuasai oleh para kapitan. Di Pulau Ambon, bagian
barat Jazirah Hitu, negeri- negeri Wakasihu, Larike, Asilulu, Seit, Lima, Lebelehu, Uring dan
Hatiwe, berada dalam keadaan perang dibawah pimpinan Kapitan Ulupaha. Bagian timur Hulu
dikuasai oleh Belanda. Negeri- negeri di Leitimor dikuasai oleh Belanda dengan mempergunakan
kaum borgor, yang banyak terdapat di Kota Ambon dan negeri- negeri. Seram Barat dan Selatan
tetap bergolak dan dikuasai rakyat. Dari sini mengalir pasukan-pasukan untuk membantu rakyat
di Hitu, Haruku dan Saparua.

Armada kora-kora Ternate dan Tidore berbendera Belanda memasuki teluk Ambon (Verheull).

Buyskes menyusun rencana dan siasat militer. Laksamana muda itu menggariskan kepada
para opsir dalam stafnya beberapa tindakan reorganisasi angktan bersenjata dan prinsip pe-
nyerangan. Pertama, dibentuk tiga detasemen, masing- masing terdiri dari empat puluh enam
orang marinir dan ditempatkan di tiga buah kapal yaitu Evertsen, Nassau dan Prins Frederik.
Detasemen itu disebut menurut nama kapal perang dimana mereka ditempatkan dan diperkuat
oleh satu kesatuan angkatan darat. Kedua, para komandan yang akan memimpin berbagai
ekspedisi diberi keterangan dan instruksi yang jelas. Ketiga, siasat pengepungan, yaitu serangan
serentak dari berbagai jurusan akan dilakukan, sehingga pasukan rakyat tidak bisa menduga
dimana akan terjadi pendaratan dan dari arah mana datangnya serangan utama.
Pada tanggal 11 Oktober rakyat yang berdiam di sekitar Teluk Ambon menyaksikan suatu
pawai kora-kora. Delapanbelas buah memasuki teluk. Kora-kora itu dipersenjatai dengan
meriam- meriam kecil dan membawa Alifuru Tidore dan Ternate. Pasukan Ternate dipimpin oleh
Pangeran Tusan dan pasukan Tidore oleh Kimelaha Dukimi. Jumlah mereka sekitar seribu
limaratus orang. Dalam hari-hari berikutnya menyusul kora-kora lainnya, sehingga menjadi
empatpuluh buah. Dengan bantuan beberapa ribu Alifuru Ternade dan Tidore ini, berhasillah
Buyskes menjalankan politik memecah-belahnya. Buyskes mengorganisasi angkatan lautnya.
Pada waktu itu kapal perang Maria Reygersbergen berada di Saparua. Iris dan The Dispatch
sedang berpatroli di perairan Lease. Di Ambon ada Evertsen, Nassau dan Anna Maria. Armada
itu diperkuat dengan kedatangan Prins Frederik. Swallow dibeli dari Inggris dan diganti namanya
menjadi Zwaluw. Kemudian datang pula Venus. Disamping itu tersedia empatpuluh kora-kora,
sejumlah kapal angkutan dan barkas. Kekuatan militer inilah yang akan dihadapi oleh Kapitan
Pattimura dan Kapitan Ulupaha.
Kini Buyskes siap untuk melaksanakan strategi dan taktik perangnya. Sesudah mempelajari
keadaan, direncanakannya tindakan pertama, yaitu menaklukan Jazirah Hitu, kemudian Haruku,
lalu memutuskan hubungan antara Nusalaut dan Saparua untuk kemudian menaklukkan kedua
pulau itu. Giliran terakhir ialah penaklukan Seram.

5.3 Pertarungan di Jazirah Hitu


Beberapa hari sebelum rakyat di pesisir Teluk Ambon menyaksikan pawai kora-kora, rakyat
di jazirah Hitu telah mengamati-amati dengan saksama gerakan armada kora-kora itu tatkala
menyusur pesisir Utara Hitu. Ulupaha dan para kapitan menyangka bahwa ada bala bantuan yang
datang dari Seram atau dari Utara. Tetapi sesudah mengetahui bahwa armada itu adalah armada
Ternate dan Tidore yang berbendera Belanda, maka sadarlah mereka bahwa kedua sultan di
Utara itu telah dibeli oleh musuh. Karena arombai yang tersedia tidak seimbang untuk mencegat
kora-kora yang dipersenjatai itu, maka Ulupaha dan para kapitan tidak dapat mengambil risiko
untuk menyerang armada itu. Kabar kedatangan armada itu segera disiarkan ke seluruh Pulau
Ambon, Seram dan Haruku, Dari Haruku dan Seram berita itu disampaikan kemarkas besar
Pattimura.
Ulupaha mengambil tindakan. Pasukan dikerahkan dan dipusatkan di markas di Negeri Lima.
Larike akan diserang, kemudian barun Hila. Untuk mengembalikan keamanan di Jazirah Hitu,
Buyskes mengeluarkan suatu seruan pada tanggal 10 Oktober yang ditujukan kepada rakyat di
Jazirah Hitu supaya menyerah. Mereka yang menyerah akan diampuni. Seruan itu siasia saja,
rakyat tidak sudi tunduk lagi pada Belanda. Bersiap siap pasukan Ulupaha untuk menyerang
Larike.
Tanggal 13 Oktober Buyskes menjelaskan rencana penyerangannya kepada Overste
Krayenhoff. Mayor Meyer akan memegang komando atas seratus duapuluh orang marinir Eropa,
tigapuluh orang infantri Eropa dan duapuluh orang infantri bumiputra. Setiap alat pengangkutan
laut dan setiap serdadu dibagi dalam tiga divisi, diberi nama Divisi Evertsen, Divisi Prins
Frederik dan Divisi Nassau. Pada setiap divisi ditambah satu kora-kora dengan pasukan Alifuru
Tidore. Tujuan serangan ialah Larike. Di sana Mayor Meyer dan komandan benteng, Coenraad
Keller, akan berusaha mengajak rakyat untuk bekerja sama dan menyerang Lima, karena
diperkirakan markas pertahanan rakyat berada dinegeri Lima atau Lebelehu. Serangan terhadap
Lima akan dimulai oleh kora-kora Tidore. Dari selatan Letnan Hofman akan menyerang dan
Laha bersama seratus orang Alifuru Tidore dan Ternate dan duabelas serdadu bumiputra. Tiga
buah kora-kora Ternate dan sebuah arombai akan menuju ke Laha. Di situ rakyat akan dibujuk
untuk menunjukkan jalan keLima memotong hutan dan pegunungan.
Selama itu kora-kora dan arombai tetap menunggu di Laha. Satu divisi akan masuk labuan
Uring, tetapi tetap berada di kapal atau sekoci. komandan di Hila dengan residen dan pasukannya
akan menyerang Seit dari timur, sedangkan pasukan Meyer melalui Asilulu, Uring dan Lima
akan menyerang dari Barat. Selama serangan itu kapal pengangkut Lasem akan bersiap-siap di
Labuan Hila. Letnan Knops dan detasemennya dari Mamala akan menduduki jembatan dan
simpang Jalan Mamala - Hitulama- Rumahtiga. Letnan Teunissen dari Hitulama bergerak ke
Hila dan akan bertempur di bawah pimpinan Letnan de Bree. Jika pasukan rakyat dipukul
mundur ke hutan- hutan, maka serdadu Eropa tidak boleh mengejar mereka. Tugas itu diserahkan
kepada Alifuru Ternate dan Tidore. Jika operasi berhasil segera semua sekoci dan serdadu Eropa
kembali ke Ambon, kora-kora dan arombai tetap berlayar berjaga-jaga dari pesisir Hila sampai
ke Larike dengan pimpinan Letnan Gerards. Pasukan Alifuru Ternate hares kembali keLaha lalu
menuju keAmbon. Sesudah beberapa hari di Hila, Mayor Meyer dan Gerards dengan
menggunakan satu sekoci dari Prins Frederik dan kapal pengangkut Lasem kembali keAmbon,
karena akan segera diberangkatkan ke Saparua. Demikian rapinya diatur siasat operasi oleh
seorang laksamana yang berpengalaman. Para kapitan berhadapan dengan seorang ahli perang,
yang mempergunakan pasukan, kapal, sekoci dan kora-kora dalam jumlah yang begitu besar.
Keesokan harinya Buyskes mengadakan inspeksi pasukan. Tanggal 15 Oktober pasukan
diangkut ke Hitu Barat dan Baratdaya dengan lima sekoci yang dipersenjatai dengan meriam-
meriam kecil, dug arombai perang, enam arombai pengangkut, sebuah kapal dagang kecil yang
membawa Meyer dan tiga buah kora-kora Tidore di bawah pimpinan Kimelaha Dukimi. Pasukan
Alifuru memakai ban putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal.
Sementara Buyskes sibuk mengatur siasat operasinya. Kapitan Ulupaha mengerahkan
pasukannya menyerang Larike. Negeri itu dipertahankan oleh empatpuluh orang pasukan
infantri. Pasukan rakyat memukul mereka, sehingga mereka menarik diri ke benteng. Rakyat
mengepung musuh. Musuh kehabisan peluru, hampir kehabisan makanan, panas melemahkan
mereka, nasi dimasak dengan air laut karena kehabisan garam. Tanggal 15 siang serangan umum
dilancarkan rakyat dengan tembakan seru. Panah api melayang kedalam benteng untuk
membakar isinya. Tetapi maut belum mau merengut nyawa musuh. Pada puncak krisis Meyer
tiba dengan pasukannya. Pertempuran sengit terjadi. Tembakan meriam dari sekoci-sekoci
melemahkan serangan dan pertahanan rakyat. Akhirnya pasukan rakyat mengundurkan diri
kehutan-hutan. Bersama ekspedisi itu datang pula orang kaya Uring dan orang kaya Asilulu,
yang pada permulaan perang melarikan diri keAmbon. Mereka ditugaskan oleh Buyskes untuk
berusaha mengajak rakyat menyerah. Pengumuman itu mereka sebarkan.
Sementara itu rencana serangan umum seperti direncanakan oleh Buyskes, dijalankan. Pagi-
pagi tanggal 16 Oktober Meyer dan pasukannya bergerak dari Larike ke Seit. Ditengah jalan
mereka bertemu dengan sejumlah laki- laki yang berjubah putih dan membawa bendera putih.
Mereka datang menyerah. Kepada Meyer mereka beritahukan bahwa tadi malam Ulupaha
dengan seribu tigaratus orang bergerak ke Lima. Keesokan harinya pasukan Meyer dan pasukan
Ulupaha berhadapan di Lima. Pertempuran sengit terjadi di Lima dan di Seit. Dari segala penjuru
pasukan rakyat diserang. Ulupaha digotong dengan tandu, didampingi oleh putranya. Kapitan
Katahala, memimpin pasukannya. Tetapi lama kelamaan pasukan itu tidak bisa bertahan, karena
diserang dari semua jurusan dari laut, dari darat, dari barat dan timer dan dari pegunungan.
Akhirnya pasukan Ulupaha mundur ke hutan-hutan, clikejar oleh pasukan Alifuru dari Ternate
dan Tidore. Disini terjadi adu kekuatan dan kecerdikan dari pohon ke pohon, dari semak
kesemak sampai gelap menutup pemandangan. Beberapa korban yang jatuh tidak dapat
dikatakan.
Keesokan harinya, tanggal 17 Oktober, ekspedisi Hila berakhir. Dua hari kemudian ekspedisi
kembali ke Ambon tanpa Ulupaha. Kapitan tua itu dengan Kapitan Katahala, disertai pasukan
rakyat dan Alifuru dari Seram, berhasil meloloskan diri ke Seram Barat. Disini mereka
melanjutkan peperangan melawan penjajah. Ketika ekspedisi Belanda kembali, pasukan Ulupaha
menyeberang dari Seram dan menyerang Benteng Larike. Pertempuran terjadi lagi. Tetapi
mereka dipukul mundur lalu menyingkir ke Luhu. Tujuh orang tertangkap. Mereka gugur
sebagai pahlawan, mereka ditembak mati oleh pasukan Belanda. Dari Luhu Ulupaha dikirim
berita ke Haria memberitahukan kepada Pattimura dan stafnya tentang situasi di Jazirah Hitu.

5.4 Api Peperangan Membakar Haruku


Jatuhnya Hitu mendorong Pattimura dan para kapitan di Haruku untuk mencoba lagi merebut
Benteng Zeelandia. Melalui Haruku, para pengintai di Ambon, menyampaikan kabar kepada
markas di Haria tentang kegiatan angkatan laut yang luar biasa di Teluk Ambon. Adanya
beberapa puluh kora-kora penuh dengan Alifuru Ternate dan Tidore, menyadarkan pemimpin-
pemimpin rakyat, bahwa mereka tidak saja menghadapi Belanda tetapi juga bangsanya sendiri.
Betapa ironis perkembangan sejarah rakyat cengkih dan pala. Sementara rakyat Se-ram, Ambon
dan Lease mempertaruhkan jiwa raganya untuk memerdekakan diri dari cengkraman penjajah,
beberapa ribu Alifuru Ternate dan Tidore diperalat oleh Belanda untuk mengembalikan rakyat
kebawah telapak kaki penjajah. Usaha itu hal itu terjadi dengan rakyat Hitu. Apa boleh beat.
Tekad rakyat Lease dan Seram telah dibulatkan. Perjuangan harus diteruskan.
Pattimura menyeberang ke Haruku. Siasat diatur. Benteng Zeelandia harus dikepung lagi.
Keadaan perang, yang agak mereda dalam beberapa minggu terakhir, mulai panas lagi. Kubu-
kubu di Pelau diperkuat. Hulaliu menjadi basis terakhir dalam pertahanan Pulau Haruku.
Berpuluh-puluh pasukan mengalir lagi dari Seram. Bantuan senjata dan mesiu tiba dari Bali
dibawa oleh pelaut-pelaut Seram Timer pada tanggal 2, 3, dan 13 Oktober. Sebagian besar
disalurkan kepada Kapitan Selano di Haruku. Setelah Hitu, Haruku pasti mendapat giliran.
Perhitungan Pattimura tidak meleset. Komandan pertempuran, Kapitan Selano, segera
mengerahkan pasukannya menyerbu Negeri Haruku. Serangan merebut benteng tidak berhasil.
Tetapi sampai tanggal 30 Oktober Benteng Zeelandia dikepung rapat. Jatuhnya Hitu
menimbulkan kegembiraan besar di kalangan masyarakat Belanda. Sudah beberapa bulan
lamanya mereka kehilangan kepercayaan pada gubernur dan para komandannya. Kemenangan
Buyskes mereka disambut dengan berduyun-duyun memasuki tentara secara sukarela. Tigaratus
sukarelawan, termasuk kaum borgor Ambon, dipersenjatai. Mereka disebarkan dalam ketiga
divisi yang telah dibentuk sebelum Hitu diserang.
Sementara. itu Buyskes mempelajari laporan- laporan yang mencemaskan dari Haruku.
Segera disiapkan tigaratus orang tentara Eropa dan delapanpuluh orang sukarelawan, dengan
pimpinan Letnan Meynerd. Beberapa ribu tentara Alifuru Ternate dan Tidore dengan duapuluh
lima kora-kora, di bawah pimpinan kapitan mereka, ditaruh di bawah komando tiga orang
Belanda "liplap" (=indo), yaitu Letnan Landouw, Shutz dan Pietersen. Tigapuluh lima orang
yang berasal dari kapal perang Frederik bertugas dibarkas dan sekoci yang dipersenjatai dengan
dua pucuk meriam kecil. Mereka mengangkut mesiu, peluru dan bahan makanan untuk delapan
hari. Letnan 't Hooft, seorang marmir yang luput dari kehancuran di Waisisil, mengepalai
pasukan itu. Ekspedisi itu dibagi dalam tiga divisi yang sudah ada. Sebagai komandan ekspedisi
diangkat Mayor Meyer dan wakil komandan Kapten Vermeulen Krieger.
Tanggal 30 Oktober ekspedisi Meyer menyeberang dari Paso ke Haruku. Buyskes dan
Pendeta Lenting turut serta. Pada saat itu Belanda di Benteng Zeelandia mengalami saat-saat
yang kritis, karena sedang dikepung rapat dan diserang oleh pasukan rakyat. Kedatangan
ekspedisi membebaskan benteng itu dari kepungan. Di Haruku telah menunggu Overste Groot
yang tiba pukul sepuluh pagi. Sehari sebelumnya orang kaya Batumerah dan seorang serdadu
Belanda tiba di Saparua dan menyampaikan perintah Buyskes supaya Groot datang ke Haruku
agar turut dalam perundingan mengatur siasat serangan terhadap Haruku, Saparua dan Nusalaut.
Segera Buyskes clan para komandan mengatur siasat penyerangan. Tanggal 2 Nopember, pada
waktu fajar merekah, Meyer akan berangkat dengan armadanya keKailolo. Kubu-kubu
pertahanan rakyat di situ harus dihancurkan. la akan disertai raja Pelau, yang dahulu diusir oleh
rakyatnya karena memihak Belanda dan ditahan oleh gubernur di Ambon. Raja ini ditugaskan
untuk mempengaruhi rakyatnya supaya tunduk pada Belanda. Gerakan ke Pelau akan diperkuat
dengan dua arombai yang dipersenjatai dengan dua pucuk meriam kecil. Sesudah Pelau diduduki
akan ditempatkan di situ satu divisi, dua arombai perang dan empat orang arteleris. Negeri tidak
boleh dibakar. Kemudian Negeri Hutasuwa yang berdekatan dengan Pelau harus direbut dan
dihancurkan. Pasukan di Pelau akan bergabung dengan divisi keempat yang dipimpin oleh
Hofman. Overste Krayenhoff telah diinstruksikan supaya mengirim divisi itu ke Pelau. Dari situ
pasukan itu harus segera berangkat keSaparua.
Kapitan Lukas Selano dan Pattisaba, yang sedang mengepung Benteng Zeelandia pada
tanggal 30 Oktober melihat armada yang besar itu menuju ke Haruku. Menjelang tengah hari
musuh mendekati benteng. Pada saat itulah meriam dibenteng dan dari laut memuntahkan
peluru-peluru mautnya. Begitu hebat tembakan-tembakan itu sehingga kubu-kubu kepungan
hancur dan Kapitan Selano terpaksa memerintahkan pasukannya agar mundur. Pada malam hari
pasukan itu menarik diri ke Kailolo dan Pelau.
Tanggal 2 Nopember 1817. Pagi itu cuaca sangat cerah, laut tenang dan licin. Maklumlah,
bulan Oktober dan Nopember adalah bulan-bulan yang tenang. Lautan di Maluku licin seperti
minyak, kata orang. Pasukan yang berjaga-jaga di pantai melihat armada musuh bergerak
menuju ke labuan Kailolo. Sesudah armada tiba di depan negeri, Meyer memerintahkan untuk
mendarat. Dua divisi dan sebagian pasukan Alifuru didaratkan. Ketika mereka menginjak pantai,
meletuslah bedil-bedil. Darah memerahi laut dan pasukan musuh berjatuhan di pantai. Meriam
meriam memuntahkan pelurunya, menghambur maut di tengah pasukan rakyat. Pertempuran
berlangsung dari pantai kepantai, dari semak kesemak, dari hutan kehutan. Kolam-kolam yang
berborang menelan musuh yang terperosok kedalamnya. Serangan musuh terlalu kuat untuk
ditahan. Pasukan Selano dan Pattisaba mundur ke hutan. Habislah Kailolo dirampok dan rumah-
rumah rakyat dibakar. Dalam waktu singkat Kailolo rata dengan tanah. Pasukan yang mundur itu
bergerak menuju ke Pelau untuk memperkuat pertahanan negeri itu.

Armada Belanda di Teluk Saparua. Pendaratan Alifuru Ternate dar Tidore Di latar belakang Benteng
Duurstede (Verheull).

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, tiga kesatuan musuh bergerak ke Pelau melalui laut dan
dua kesatuan melalui darat. Menjelang tengah hari kapal perang Iris dan The Dispatch memasuki
labuan Pelau lalu mulai menghujani kubu-kubu pertahanan rakyat dengan gencar. Arombai dan
perahi-perahu hancur oleh tembakan-tembakan itu. Menjelang pukul satu siang kesatuan darat
mendekati Pelau, Sementara armada dan pasukannya memasuki labuan. Kapal-kapal perang
mulai lagi memuntahkan peluru mautnya ke pantai. Pasukan Meyer kemudian mulai mendarat di
tiga tempat. Sementara itu pasukan darat mulai menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat.
Pasukan Alifuru diperintahkan menyusup kehutan-hutan dan mengepung Negeri Pelau. Terjadi
pertarungan hebat antara pasukan Alifuru dari Seram melawan Alifuru dari Ternate dan Tidore.
Korban dari kedua belah pihak berguguran. Sementara itu kapitan-kapitan menangkis serangan
serdadu-serdadu Belanda. Terjadi pula pertempuran sengit. Begitu kuat tekanan musuh dari laut
maupun dari darat hingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Rakyat mulai digiring ke pantai; tiga ratus orang tertangkap. Di antaranya banyak pejuang
yang tidak sempat lolos dari kepungan musuh. Laki- laki dipisahkan dari perempuan dan anak-
anak. Mereka diikat dan ditawan di mesjid dan di rumah rumah. Atas perintah Buyskes,
duapuluh empat orang, antara lain beberapa kapitan dan pemimpin rakyat, beberapa orang guru
dan imam serta putra raja Pelau, digiring ke pantai lalu ditembak mati, atas komando Meyer.
Kejadian itu terjadi di depan mata raja Pelau.1) Awan gelap meliputi rakyat. Ratap tangis
terdengar di mana-mana. Belum lagi mereka sadari benarbenar apa yang telah menimpa mereka,
terjadilah perampokan harta milik mereka. Perampokan selama duapuluh empat jam yang
diizinkan oleh pimpinan perang Belanda sebagai hukuman terhadap rakyat dan untuk
memuaskan nafsu rampok dari tentara musuh. Untung rumah-rumah tidak dibakar.
Benteng Hoorn diperbaiki. Tiga kesatuan di bawah pimpinan Letnan Artileri Richemont,
mendudukinya sampai divisi empat sebesar seratus orang tiba di bawah pimpinan Hofman untuk
mempertahankan benteng itu, dan dibawa serta dua pucuk meriam. Sesudah mengatur operasi
selanjutnya Buyskes kembali ke Ambon.
Tanggal 5 Nopember Meyer menyerang Hatusuwa yang cukup kuat pertahanannya. Pasukan
rakyat dipukul mundur dan menarik diri ke Hulaliu. Meyer dan pasukannya terus bergerak dari
laut kekubu pertahanan yang terakhir. Kubu itu dipertahankan oleh Kapitan Sahureka
Bakarbessy dan Suwarapatty Tuanoya. Disebelah barat negeri itu musuh mendarat. serangan
kenegeri itu dibantu dari laut dengan hantaman tembakan meriam. Musuh yang begitu besar
jumlahnya menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat habis-habisan. Banyak yang mati terperosok
ke dalam lubang- lubang. Karena tidak berhasil bertahan maka pimpinan pertahanan
memerintahkan pasukannya menarik diri kehutan dan gunung. Meyer memerintahkan pasukan
Alifuru Ternate dan Tidore mengejar mereka. Disini pasukan rakyat telah menyiapkan
perangkap. Sepanjang hutan diikat kentongan bambu pada rotan-rotan atau tali yang ditarik ke
pos penjagaan. Kedatangan musuh segera diketahui dari arah mana tali rotan itu disentuh.
Kemudian serangan tiba-tiba menewaskan pasukan Alifuru itu. Dijalan-jalan setapak dipasang
jerat, yang kalau diinjak menjerat musuh lalu menariknya keudara, sehingga tergantung dipohon
dan mudah menjadi mangsa panah atau tembakan. Juga dipasang jerat bambu, yang
dilengkungkan melintang dijalan dan ditutup dengan rumput. Jika diinjak bambu itu akan
memukul regu musuh yang liwat dan pada saat itu musuh diserbu. Pertempuran yang sengit
dihutan-hutan berlangsung beberapa hari. Tetapi Negeri Hulaliu menjadi lautan api, dibakar oleh
musuh. Demikian pula arombai dan perahu-perahu menjadi abu di sulut api.
Para kapitan di Aboru dan Wasuu menyusun pasukannya berjaga-jaga di sebelah barat
setelah mundur pada tanggal 30 Oktober dari pengepungan Benteng Zeelandia. Mereka
memperhitungkan bahwa serangan akan datang dari laut dan dari daerah barat. Berita tentang
jatuhnya Kailolo dan Pelau telah sampai pula dikedua negeri itu. Pada malam tanggal 5 Nopem-
ber datang berita dari utara tentang jatuhnya Hatusuwa dan Hulaliu. Dalam waktu singkat tentu
negeri mereka akan diserang. Rakyat telah diungsikan kehutan dan gunung. Keesokan harinya
tiba-tiba saja, secara tidak diduga-duga, mereka diserang dari gunung. Musuh datang dari utara.
Serangan limaratus alifuru Ternate yang dikirim oleh Meyer memotong jalan menembus hutan
dan gunung mengagetkan para kapitan. Empat buah barkas dan sekoci tidak bisa mendaratkan
pasukan karena dihalangi ombak. Terlambat pasukan-pasukan ditarik dari barat. Serangan yang
dilancarkan tidak berhasil menahan pasukan alifuru Ternate. Aboru dan Sassu direbut, kemudian
semua bangunan dibakar. Tidak luput arombai dan perahu-perahu. Api menjulang tinggi ke
udara hingga terlihat di Saparua dan Haria.
Semua negeri di Pulau Haruku jatuh ketangan musuh. Semua isi negeri kecuali Pelau
dibakar. Rakyat berlindung di hutan-hutan di bawah kolong langit. Pohon-pohon yang rendah
menjadi payung pada siang hari dan tempat berbaring di bawahnya pada malam hari. Pasukan
rakyat yang ada di hutan dan di gunung setiap kali bergerak ke pesisir, mengadakan serangan
tiba-tiba, mengacaukan musuh, kemudian menghilang lagi. Kapitan Pattimura dan stafnya cemas
ketika menerima berita tentang jatuhnya Kailolo dan Pelau. Panas hati mereka, kutukan dan
maki- makian dilontarkan kepada musuh, ketika pembawa berita menceritakan penembakan mati
pahlawan-pahlawan di Pantai Pelau.
Hari Minggu, tanggal 5 Nopember, dalam suatu kebaktian penuh prihatin seluruh jemaat
Haria dan Porto menaikkan doa ke hadapan Allah Yang Mahakasih agar rakyat Haruku dilin-
dungi dan agar dikaruniakan keselamatan bagi jiwa mereka yang tewas dan dihukum mati.
Sehabis kebaktian Pattimura memerintahkan supaya pasukan di Haria dan Porto bersiap-siap,
karena ada berita bahwa gerakan armada besar telah menuju ke bagian timur Haruku. Melalui
teropongnya, dipantai Pattimura dapat mengikuti gerakan armada itu sampai pada pertempuran
di Hulaliu dan terbakarnya negeri itu. Dentuman-dentuman meriam mengejutkan rakyat.
Pattimura mengeluarkan perintah supaya wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit, menying-
kir kegunung. Hari itu rakyat sibuk mengumpulkan harta miliknya dan berbondong-bondong
meninggalkan negeri.
Keesokan harinya Hulaliu masih tampak terbakar dan pada siang hari tampak api menjulang
dari balik gunung di selatan Hulaliu. Aboru dan Wassu sedang terbakar. Pikiran Pattimura
melayang- layang ke Haruku, mengenang para pejuang yang telah tewas dan yang masih bertahan
di hutan dan di gunung. Betapa hebat perjuangan mereka melawan musuh yang begitu besar ke-
kuatannya di laut dan di darat. la mengenang rakyat yang menderita karena kehilangan suami,
anak, kakak atau adik, rumah yang dibakar, harta milik yang dirampok. Mereka berkorban demi
kebebasan dari rantai penjajahan. Pada hari itu juga kurir dikirim ke Saparua dan Tiow ke
Hatawano dan Jazirah Tenggara untuk memberitahu kepada para kapitan tentang keadaan di
Pulau Haruku.

5.5. Saparua Kubu Terakhir


Apa yang terjadi di Saparua dalam minggu terakhir bulan Oktober setelah Buyskes
melancarkan siasatnya? Kapitan Pattimura dan stafnya sangat sibuk menjadikan Saparua sebagai
suatu Kubu pertahanan yang lebih kuat dari yang sudah-sudah. Di Tiow dibuat benteng
pertahanan yang terkuat untuk mengimbangi Duurstede. Tembok-tembok benteng itu dibuat dari
batu karang yang besar-besar; tebalnya antara duabelas sampai empatbelas kaki dan limabelas
kaki tingginya. Di dalam benteng itu diperkuat dengan balok-balok. Antara kedua tembok dibuat
pula tembok melintang untuk menahan musuh sambil mundur. Di bagian luar dibuat lubang-
lubang yang diberi borang. Tanah disekitar benteng ditaburi sengat. Begitu kuat benteng itu se-
hingga tidak bisa ditembus oleh peluru meriam tigapuluh pon.1)
Dari Tiow dan Saparua Pattimura dan stafnya bergerak ke Jazirah Hatawano dan Jazirah
Tenggara. Dari Siri-Sori sampai ke Ouw dibangun kubu-kubu dan labang-lubang dalam digali
sepanjang pantai, menyusur hutan yang diperkirakan akan dilalui musuh. Anthone Rhebok
menyeberang ke Nusalaut dan memerintahkan raja-raja dan sebagian para kapitan dengan pa-
sukannya supaya berangkat ke Saparua untuk memperkuat pertahanan di sana, terutama di
Jazirah Tenggara.
Tentara Belanda tidak bisa bergerak ke pedalaman, karena kekuatan mereka masih terlalu
kecil dan lemah. Pimpinan Duurstede jugs mengalami perubahan. Kapten Lisnet diangkat
menjadi komandan dan Laksamana Muda Buyskes mengirim bala bantuan ke Saparua. Tanggal
23 Oktober kapal perang Eversten di bawah komando Overste Verheull tiba diSaparua
membawa limapuluh orang sukarelawan Ambon, seorang sersan mayor, dua orang sersan, empat
kopral dan empatpuluh tiga prajurit. Bantuan senjata yang dibawa berupa dua meriam lapangan
dan sebuah meriam, keeil. Tambahan kekuatan itu menggiatkan pasukan Belanda kembali.
Tanggal 24 Oktober Reygersbergen menghantam pantai untuk melindungi sekoci-sekoci yang
menurunkan tentara dan senjata. Tembakan gencar dilepaskan oleh pasukan rakyat. Pada saat itu
Kapitan Latumahina dengan pasukannya sedang mengepung rapat Benteng Duurstede. Setiap
kepala yang muncul dari balik tembok pasti terguling kena tembakan. Sekalipun pasukannya
terus menerus ditembaki oleh Reygersbergen dan Eversten, tetapi anak buah Latumahina makin
berani mendekati benteng dalam jumlah yang besar. Boelen mengerahkan pasukannya untuk
membersihkan daerah sekitar benteng, tetapi tembakan gencar dari kubukubu pertahanan rakyat
mendesak pasukannya terbirit-birit lari masuk ke benteng. Kubu-kubu dipindahkan makin
mendekati benteng dan karena dibuat dari batu karang yang besarbesar sulit ditembus peluru
meriam. Tembakan Eversten kepada pasukan di Tiow yang sedang memperkuat kubu-kubu,
tidak membawa hasil apa-apa sehingga Verheull memerintahkan supaya tembakan dihentikan.
Overste Groot yang turut dalam perundingan di Haruku pada tanggal 30 Oktober, kembali
lagi pada tanggal 2 Nopember dengan korvet Zwalyw. Pada hari itu seorang pelayan dari Sa-
lomon Pattiwael secara diam-diam berhasil naik ke kapal Evertsen. Kepada Verheull ia
beritahukan bahwa anak laki- laki van den Berg masih hidup dan dipelihara dengan baik-baik di
gunung. Itulah pertama kali kabar tentang anak ini terdengar oleh pihak Belanda.
Tanggal 5 Nopember kapal perang Nassau memasuki Teluk Saparua dengan membawa tujuh
puluh empat pucuk meriam, disertai beberapa kora-kora Ternate dan Tidore. Dari darat kelihatan
kegiatan yang luar biasa. Satu divisi marinir, dengan pimpinan Letnan 't Hooft, diturunkan dari
Eversten untuk memperkuat Benteng Duurstede. Sementara itu senjata dan meriam yang barn
saja tiba dari Ambon, dipindahkan ke Reygersbergen. Juga meriam keeil di Evertsen
dipindahkan ke kapal perang itu.
Apakah rencana Belanda? Reygersbergen di bawah pimpinan Overste Groot bertolak kebarat
menuju Haria dan Porto, dengan maksud mendaratkan pasukan di situ. Kemudian pasukan itu
akan menerobos ke Tiow dan Saparua. Pada saat yang sama pasukan dari Duurstede akan
menyerang pertahanan rakyat, lalu menerobos pula ke Tiow. Bersamaan dengan berangkatnya
Reygersbergen, Zwaluw menuju ke Nusalaut, Iris ke Hatawano, Venus dikirim ke Kulor untuk
memutuskan hubunganSaparua dengan Nusalaut dan Seram. Verheull ditetapkan sebagai
komandan di Teluk Saparua. Eversten dan Nassau akan menembaki pertahanan rakyat sementara
pasukan Belanda menerobos ke Tiow.
Gerakan kapal-kapal ini dilaporkan Kapitan Anthone Rhebok kepada Pattimura yang pada
waktu itu berada di Haria. Kapitan Pattimura tidak berdaya di laut. Di sini terletak kelemahan
pertahanannya. Sekalipun keberanian pasukannya tidak pernah diragukan apa gerangan yang
dapat diperbuat oleh perahu dan arombai terhadap kapal-kapal perang yang besar dan barkas
yang dipersenjatai meriam. Sebagai seorang bekas sersan mayor ia tahu benar akan kekuatan
meriam. Sebab itu ia mengirim kurir ke pantai untuk memperoleh laporan lebih lanjut mengenai
gerakan kapal-kapal perang musuh. Pada saat ini Pattimura dan stafnya ragu-ragu. Di mana
sebenarnya musuh akan mendaratkan pasukan utamanya? Pulau Saparua telah dikepung. Tetapi
dari mana akan datang induk pasukannya? Mereka tidak tahu. Haruku telah jatuh. Bagaimana di
Nusalaut? Pertahanan Nusalaut tidak kuat lagi karena sebagian besar pasukannya sudah berada
di Saparua dengan para kapitannya bersama raja-raja dan patih. Tanggal 6 Nopember Zwaluw
tiba di depan Benteng Beverwijk. Dua orang raja yang dibawa dari Ambon, yaitu raja Tulehu
dan raja Waai, turun kedarat. Dengan sekoci berbendera putih mereka menuju kebenteng.
Didepan pasukan pengawal benteng dibaca pengumuman Buyskes yang menyerukan kepada
rakyat supaya menyerah. Kedua orang raja itu membujuk pasukan yang ada disitu supaya
menyerah, tetapi pasukan itu menolak. Mereka menyatakan agar menghubungi raja-raja mereka
yang berada di Saparua. Utusan Belanda naik kembali kekapal Zwaluw yang berlayar berpatroli
lagi di pesisir. Pada suatu ketika guru Soselisa mengadakan kontak dengan musuh, dan atas
nama rakyat, menyatakan bahwa mereka menyerah kepada Belanda. Dengan demikian Benteng
Beverwijk jatuh ke tangan musuh tanpa perlawanan pada tanggal 10 Oktober. Peristiwa ini tidak
diketahui oleh Pattimura.
Sementara itu pada tanggal 7 Nopember tengah hari, Reygersbergen kelihatan memasuki
Teluk Haria. dan Porto. Pattimura telah siap dengan pasukan dan armadanya. Begitu sekoci
sekoci diturunkan meletuslah bedil menghujani sekoci-sekoci itu. Reygersbergen membalas
dengan tembakan meriam yang gencar. Tetapi ternyata tidak ada pendaratan pada petang hari itu.
Pukul setengah delapan malam Reygersbergen menjatuhkan jangkarnya didepan negeri Porto.
Pada saat yang sama delapan buah kora-kora Ternate dan Tidore membuang sauh di camping
Reygersbergen. Kora-kora dengan pasukan itu dikirim oleh Meyer untuk membantu Groot.
Mereka memberitahukan Groot dan anak buahnya tentang jatuhnya Pulau Haruku. Tanggal 8
Nopember, pukul empat pagi, alarem di Reygersbergen membangunkan pasukan di kapal dan di
kora-kora. Sekoci-sekoci dan serdadu-serdadu lalu diturunkan.
Semalam suntuk Pattimura dan para kapitan berada di tengah pasukan. Armada arombai
Haria dan Porto telah siap. Begitu fajar merekah terlihat sekoci dan kora-kora dikayuhkan
kedarat. Armada arombai menyambut mereka dengan tembakan yang seru. Terjadilah
pertempuran sengit. Sejalan dengan itu udara sejuk pada pagi itu digetarkan oleh begitu banyak
dentuman meriam. Armada arombai mulati mundur karena tidak tahan muntahan meriam-
meriam itu. Ada pula yang hancur dan anak buahnya berusaha menyelamatkan diri dengan jalan
berenang. Dari darat musuh dihujani peluru dan korban mulai berjatuhan. Sebaliknya Pattimura
dan pasukannya diberondong habis-habisan oleh meriam besar dan meriam kecil. Lama -
kelamaan tidak tertahan lagi tembakan-tembakan gencar itu. Pattimura memberi perintah agar
pasukannya mundur dari daerah pantai. Dengan demikian musuh berhasil mendarat, tetapi
kolam-kolam menelan banyak korban. Sesudah musuh menguasai keadaan, maka kolam-kolam
dan kubu-kubu pertahanan dimusnahkan. Rumah-rumah, gereja dan baeleo menjadi lautan api,
dibakar musuh. Jam sebelas pertempuran berhenti. Beberapa bagian Negeri Haria dan Porto
jatuh ke tangan musuh.
Tetapi begitu meriam- meriam berhenti pasukan rakyat menyerang lagi. Sepanjang hari masih
terjadi tembak- menembak. Pada waktu dentuman meriam di Haria terdengar diSaparua, Verheull
memerintahkan Nassau untuk melepaskan tembakan kehutan dan gunung, sekedar siasat untuk
mengalihkan perhatian pasukan rakyat saja. Ia sendiri turun ke darat menuju benteng.
Kapitan Anthone Rhebok dan Latumahina menerima berita tentang pendaratan di Haria dan
Porto itu. Segera beberapa puluh pasukan diperintahkan untuk berangkat memperkuat pasukan di
sana. Tetapi baru saja mereka meninggalkan Tiow, datang serangan dari pasukan Lisnet.
Tergesa-gesa mereka diperintahkan kembali. Siasat musuh yang menyerang dari dua arah
dibantu oleh tembakan meriam besar dan kecil, menyebabkan pasukan-pasukan tidak sempat
saling membantu. Masing masing terikat pada medan pertempurannya. Hanya para, kurir yang
bergerak cepat menyampaikan berita dan instruksi dari markas Pattimura. Demikian datang pula
berita, dari Tiow dan Saparua. Kurir dikirim ke Jazirah Tenggara dan Jazirah Hatawano untuk
memberitahukan situasi perang di Haria - Porto dan Tiow - Saparua.
Pada malam hari Pattimura mengadakan rapat staf dengan para kapitan dari medan Haria -
Porto dan Tiow - Saparua untuk meninjau situasi dan mengatur siasat menghadapi harihari yang
akan datang. Sudah terang musuh mengepung Saparua dan induk pasukannya menyerang Haria.
Jika Haria, Porto dan Tiow jatuh perjuangan harus diteruskan di Jazirah Tenggara di bawah
pimpinan Said Perintah, Kapitan Lusikoy dan Kapitan Paulus Tiahahu yang memimpin pasukan
Nusalaut. Semua pasukan harus mundur kesitu. Kapitan Aron harus tetap mempertahankan
Hatawano. Tidak ada berita mengenai Kapitan Lukas Selano dan Kapitan Pattisaba. Para kurir
ditugaskan berangkat pada malam itu juga kesemua medan untuk menyampaikan instruksi-
instruksi itu. Tidak terduga oleh Pattimura dan kawan kawannya bahwa rapat itu adalah rapat
terakhir. Ketika perundingan sedang berlangsung terdengar tembakan Reygersbergen
melepaskan tiga kali tembakan peluru api tanda bahwa Haria dan Porto telah direbut. Dari
Saparua Eversten membalas dengan tiga kali tembakan yang sama.
Pada tanggal 8 Nopember itu Meyer berangkat dari Hulaliu dengan duaratus orang kePorto
dan Haria. Ia diiringi oleh beberapa buah arombai perang dan dua buah sekoci, semuanya di-
persenjatai dengan meriam kecil; anak buahnya terdiri atas serdadu Belanda dan bumiputra.
Pukul setengah lima ia bertemu dengan Overste Groot di Reygersbergen. Atas perintah Buyskes
seluruh ekspedisi di Saparua diletakkan di bawah komando Meyer. Lalu kedua opsir itu
menentuan rencana serangan selanjutnya.
Dua buah kora-kora Tidore dan Ternate dengan pimpinan O.Tusan dikirim ke Teluk
Saparua, disertai Kadet Zoutman. Mereka membawa instruksi itu kepada Lisnet supaya besok
tanggal 9 pukul setengah tujuh pagi menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat. Kepada Verheull
diinstruksikan supaya Evertsen dan Nassau melindungi tentara Lisnet dengan tembakan meriam.
Di benteng harus ada satu kesatuan serdadu dengan para opsirnya untuk memberi perlindungan
bila ada gerak mundur. Keesokan harinya Meyer akan mendarat dengan tigaratus orang di Haria
merebut negeri itu lalu menerobos ke Tiow untuk bersamaan dengan pasukan Lisnet menyerang
benteng pertahanan rakyat. Saat itu Meyer masih menunggu divisi ketiganya yang belum tiba
dari Pelau. Tetapi Groot bisa segera menyerahkan seratus orang marinir kepada Meyer.
Malam hari tanggal 8 itu pula, Zoutman tiba di Saparua. Verheull segera turun ke benteng
untuk berunding dengan Lisnet. Mereka memutuskan agar keesokan harinya, pagi-pagi benar,
satu detasemen meriam, akan dikirim, ke Duurstede untuk menjaga benteng itu sementara Lisnet
bergerak dengan kesatuannya. Pada malam itu juga, pasukan Pattimura menyusup ke Negeri
Porto dan Haria. Ternyata musuh sudah menarik diri kekapal dan tidak menduduki kedua negeri
ini. Pertahanan diatur lagi untuk menghadapi hari esok.
Pagi-pagi kira-kira pukul enam, Reygersbergen mulai melepaskan tembakan tanda
pendaratan baru akan dimulai. Di bawah komando Meyer dengan stafnya, Vermeulen Krieger
dan Gezelschap, mendaratlah tentara Belanda yang terdiri atas kesatuan pendaratan dari
Reygersbergen, korps sukarela Ambon, kesatuan artileri, satu detasemen kelasi dan marinir
dipimpin Letnan 't Hooft dan Alifuru Ternate dan Tidore dengan korakora mereka. Begitu musuh
menginjak pantai pasukan Pattimura menyerbu. Tembak- menembak dengan sengit terjadi. Dari
kubu-kubu pertahanan ayang masih utuh, yang tidak dimusnahkan sehari sebelumnya, Pattimura
dan pasukannya bertahan mati- matian melawan musuh yang begitu banyak dan kuat per-
senjataannya. Meriam besar dan kecil didaratkan, dan akhirnya mematahkan perlawanan
pasukan rakyat. Setapak demi setapak mereka mundur ke kubu-kubu garis belakang.
Pada saat pendaratan, terdengar tembakan dari Duurstede, tanda bahwa Lisnet dengan
tigaratus duabelas serdadu dan beratus-ratus alifuru, dengan dilindungi meriam, mulai bergerak
menyerang kubu pertahanan rakyat. Pasukan Anthone Rhebok dan Latumahina bersorak-sorak
menyambut serangan musuh. Jembatan keTiow dibakar, sehingga meriam tidak bisa liwat dan
harus dikirim kembali. Pasukan musuh terpaksa harus menyusur pantai menuju keTiow,
sementara Eversten dan Nassau menghantam kubu-kubu pertahanan rakyat. Korban kedua pihak
berguguran. Gerakan mundur pasukan Pattimura membuka kesempatan bagi musuh untuk
membakar habis apa yang belum dimakan api sehari sebelumnya.
Overste Groot tetap berada di kapal dan memerintahkan supaya setiap sekoci, kora-kora dan
arombai perang dijaga keras untuk menghindari kemungkinan terulangnya peristiwa Beetjes.
Meyer memerintahkan supaya meriam- meriam besar dan kecil membuka jalan bagi serangan ke
Tiow dan usaha ini berhasil.
Kubu-kubu pertahanan menjadi sasaran dan pasukan musuh mulai bergerak menuju Tiow.
Pertempuran sengit terjadi sepanjang jalan dan memakan banyak korban dari pihak musuh
maupun pihak pasukan rakyat. Begitu hebat tembakan balasan dan serangan sergapan mendadak
dari pasukan Pattimura, sehingga alifuru Ternate dan Tidore gentar maju dan hanya berlindung
di semak-semak dan di balik pohon untuk menghadang pasukan rakyat yan muncul. Hanya
karena tembakan meriam besar dan kecil yang begitu gencar, memaksakan Pattimura dan
pasukannya makin mundur ke Tiow dan pasukan Meyer makin mendekati tujuannya.
Pada waktu yang telah ditentukan pasukan Lisnet dan Meyer tiba di depan benteng
pertahanan Tiow. Dari dua jurusan meriam besar dan kecil menghantam benteng itu. Pasukan
Pattimura terkepung dari pantai dan dari darat! Begitu dentuman meriam berhenti serangan
serentak dilancarkan. Kapitan Pattimura dengan sebagian pasukannya berhasil menarik diri
kebenteng pertahanan Tiow. Segera ia mengambil pimpinan dalam benteng itu. Pertempuran
detik-detik mendatang menentukan jalannya perang kemerdekaan rakyat Lease. Serangan musuh
dibalas serentak dengan sorak-sorai dan letusan beratus bedil. Bekas anggota-anggota "Krops
Lima Ratus" memperlihatkan keberaniannya dan ketangkasan luar biasa. Di beberapa tempat
musuh dipukul mundur. Tetapi kembali mereka menyerbu. Meyer dan Vermeulen Krieger
memimpin pasukannya menyerbu masuk ke benteng pertahanan Pattimura. Terjadi pertempuran
sengit, muka berhadapan muka, kelewang-kelewang bergemerincing, sangkur melawan
kelewang, letusan bedil merobohkan lawan. Korban berjatuhan di kedua belah pihak; yang luka
bercampuran dengan yang tewas. Tetapi selangkah demi selangkah pasukan rakyat terdesak dan
mulai mundur. Sambil mundur mereka melepaskan tembakan-tembakan; tetapi mereka dihujani
peluru meriam besar dan kecil. Akhirnya musuh berhasil mere-but benteng yang kuat itu.
Pertempuran mati-matian d i Ulat-Ow. Perhatikan tembok pertahanan dan persenjawan rakyat. (Verheull).

Kapitan Pattimura dan stafnya tercerai-berai dari anak buahnya. Sebagian mundur ke Siri-
Sori, sebagian lagi ke gunung dan hutan Tiow - Saparua, sebagian lain ke hutan Tiow - Haria,
ada pula ke Hatawano. Kapitan Pattimura mundur ke hutan Haria perbatasan dengan petuanan
Booi, diikuti oleh beberapa anggota stafnya. Jalan mundur ke Siri-Sori telah terpotong ketika
pertempuran masih berjalan. Dihutan Haria ia mengumpulkan lagi pasukan yang mundur kesitu,
semuanya duaratus tigapuluh orang. Rakyat Negeri Haria banyak pula yang lari kesitu. Sekali
lagi mereka bersumpah setia pada kapitan mereka. Dari ternpat itu Pattimura mengirim pasukan
ke Haria untuk menaan rakyat yang sudah mulai masuk ke negeri dan mengancam mereka yang
mencari hubungan dengan Overste Groot.
Bagaimanapun keras hati dan keras kemauannya, Pattimura adalah manusia juga. Kekalahan
di Haria - Porto dan Tiow - Saparua merupakan pukulan besar baginya. Hatinya cemas karena
para komandannya tercerai. Ke mana Anthone Rhebok dan Philip Latumahina? Kemana para
pembantunya yang terdekat? Sudah tewaskah mereka? Bagaimana keadaan di Jazirah Tenggara?
Tidak akan lagi ia mendengar keadaan sebenarnya karena peristiwa-peristiwa terjadi begitu cepat
sehingga ia tidak sempat memperoleh berita dari medan- medan pertempuran.
Suasana di Tiow dan Saparua hiruk-pikuk sesudah pertempuran. Rumah-rumah menjadi
lautan api dibakar musuh. Mayat mayat musuh dikumpulkan untuk ditanam. Yang luka- luka di-
angkut ke kapal. Anggota pasukan rakyat yang tertangkap diperintahkan menggali lubang untuk
menguburkan kawan-kawan mereka. Pada siang hari divisi tiga tiba dari Haruku dengan
pimpinan Letnan Richemont. Divisi sebesar seratus orang serdadu Belanda dan Jawa itu telah
ditunggu-tunggu oleh Meyer. Semalam Overste Groot telah memberikan pada Meyer informasi
yang ia peroleh dari mata- matanya, yaitu jika Tiow direbut, pasukan rakyat akan mundur ke Siri-
Sori. Oleh karena itu Meyer segera akan berunding dengan Verheull untuk mengatur siasat
penyerangan Jazirah Tenggara. Meyer memerintahkan satu detasemen kembali ke Haria bersama
dengan sepasukan Alifuru, Kurir Zoutman diperintahkan membawa Surat kepada Groot yang
berisi berita tentang jatuhnya Tiow dan Saparua dan instruksi sypaya semua arombai, kora-kora,
sekoci dan barkas dikirim ke Saparua. Letnan Jacobsen diperintahkan oleh Groot supaya
memimpin armada kecil itu ke Saparua. Pukul sembilan malam ia tiba. Lalu Verheull
menembakkan peluru api memberitahukan kepada Groot bahwa satuan armada telah tiba. Malam
harinya Meyer dan stafnya mengatur siasat bersama Verheull. Tanggal 10 Nopember, pagi-pagi
benar Meyer berangkat ke Siri-Sori dengan empat ratus orang serdadu. Berangkat pula divisi
Eversten di bawah pimpinan Vermeulen Krieger dan 't Hooft, didahului oleh seratus limapuluh
alifuru Ternate. Melalui jalan sempit penuh dengan kolam, sengat dan jerat pasukan itu, tiba jam
sembilan: di depan kubu pertahanan rakyat yang pertama di Siri-Sori.
Kapitan Said Perintah dengan para kapitan Siri-Sori Sorani dan Siri-Sori Islam mendapat
laporan tentang pertempuran di Tiow dari pasukan yang mundur. Pagi itu mereka melihat satu
armada kora-kora menyusur pantai, datang dari Saparua. Korakora itu membawa pasukan alifuru
Ternate di bawah pimpinan OTusan. Verheull mengirim semua kora-kora Ternate ke SiriSori,
sementara Eversten berlayar mengawasi dari jauh. Segera mereka disambut oleh armada arombai
dan perahu rakyat. Tetapi siasat Belanda ini ternyata hanya untuk mengelabui pimpinan
pertahanan. Karena sekitar jam sembilan tiba-tiba kubu pertahanan yang pertama diserang.
Meriam meriam memuntahkan peluru mautnya. Serangan ini tidak diduga-duga, karena
perhatian pasukan sedang dipusatkan ke laut. Berkobarlah pertempuran sengit di darat maupun di
laut. Sekali lagi bekas "Korps Lima Ratus" yang berada di daerah ini memperlihatkan
ketangkasan berperang dan keberanian yang mengagumkan musuh. Dari balik tembok-tembok
pertahanan musuh dihantam dan tembak- menembak dengan sengit terjadi. Tekanan makin berat.
Pertempuran berpindah keSiri-Sori Islam. Pertempuran makin ketat karena bantuan datang dari
pasukan pasukan Ouw, Ulat dan Nusalaut. Sekalipun demikian, lambat laun tembakan-tembakan
pasukan rakyat berkurang karena makin berkurang peluru dan mesiu. Said Perintah dengan
pasukannya mundur ke Ulat - Ouw. Jatuh Sudah kedua negeri itu (Siri-Sori Kristen dan Siri-Sori
Islam). Mulailah pembakaran dan perampokan dengan seizin komandan Belanda. Apapun yang
dijumpai dibakar; baeleo, mesjid arombai dan perahu. Kecuali gereja. Mungkin karena di
dalamnya terdapat wanita dan anak anak. Mereka tidak sempat menyingkir berhubung dengan
serangan yang tiba-tiba. Sepanjang siang dan malam hari negeri mereka dibakar dan dirampok
habis. Besar korban yang diberikan rakyat demi kebebasan.
Tanggal 11 Oktober. Pagi cerah dan sejuk. Sang surya muncul dari balik gunung memanasi
bumi Ulat dan Ouw. Tetapi diudara terasa keterangan perang meliputi pasukan di balik kubu
pertahanan. Semua bersiap-siap. Sudan sejak kemarin mereka menunggu- nunggu kedatangan
Belanda. Kapitan Lusikoy, Kapitan Titaley, Kapitan Said Perintah, dan Kapitan Paulus Tiahahu
dari Nusalaut bergerak di antara pasukan. Disini memberi dorongan, di sana memberi nasihat,
kesana memeriksa senjata, kemari membangkitkan semangat tempur. Gelak-tawa di sana-sini,
tanda semangat pasukan tetap tinggi. Tiba-tiba terdengar teriakan: "Kompania Wolanda datang;
bunuh dia". Serentak musuh sebesar enampuluh orang, di bawah pimpinan Letnan Richemont
disambut dengan tembakan gencar. Musuh dipukul mundur dan dikejar. Larilah mereka kembali
ke SiriSori. Sorakan kemenangan membelah udara.
Meyer, yang sedang menunggu kembalinya pasukan alifuru, yang dikirimnya kehutan untuk
memburu pasukan rakyat, sibuk hari itu. Ia menyebar pengumuman Buyskes, mencari anak van
den Berg dan menggiring rakyat kembali ke negeri. Ia tidak mau menerima laporan Richemont,
bahwa kekuatan pasukan rakyat begitu besar dan bersenjata api. Oleh karena itu hanya dengan
seratus orang ia bergerak ke Ulat. Setiba di kubu pertahanan pertama ia disambut dengan hebat.
Tembak- menembak gencar sekali. Meyer tertahan di situ. Peluru dan mesiu ma-kin menipis.
Kurir dikirim ke Eversten. Verheull mengirim enambiru peluru, lalu Meyer melancarkan
serangan lagi, tetapi ia dipukul mundur lagi. Kembali pasukan musuh menyerang dengan
sangkur terhunus. Mereka berhasil menerobos pertahanan rakyat dan maju terus sampai ke kubu
ketujuh dengan korban yang tidak sedikit. Disini Richemont tertembak mati. Kapten Krieger
kena tembak, tergores dadanya, hancur senapannya. Topi dan seragamnya ditembusi beberapa
butir peluru. Ia terpelanting jatuh ke dalam pelukan 't Hooft. Pingsan ia untuk beberapa waktu.
Setelah sadar ternyata dada dan perutnya luka karena peluru. Tetapi Meyer memerintahkan
pasukannya maju terus. Mereka berhasil merebut kubu kedelapan. Tibalah pasukan Belanda pada
tanjakan Negeri Ouw. Disini mereka tertahan. Dari segala jurusan bermunculan pasukan rakyat
mengepung mereka. Serdadu Jawa menolak perintah maju, sebab itu Meyer mengancam dengan
menembak bila mereka mundur.
Sorak-sorai pasukan yang bercakalele, teriakan perang yang menggigilkan, memecahkan
udara dan mendirikan bulu roma. Di tengah-tengah keganasan itu muncul seorang gadis remaja
bercakelele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Christina Martha
Tiahahu. Srikandi berambut panjang, terurai ke belakang, berikat kepala sehelai kain berang
(merah), mendampingi ayahnya, dan memberi semangat kepada pasukan Nusalaut untuk
menghancurkan musuh. Semuda ini ia telah memberikan semangat kepada kaum wanita dari
Ulat dan Ouw untuk turut mendampingi kaum lelaki di medan pertempuran. Baru dimedan inilah
Belanda berhadapan dengan kaum wanita yang fanatik turut bertempur. Di semua medan
srikandi ini muncul memberi semangat kepada para pejuang.
Pasukan musuh mencari perlindungan di balik tembok kubu yang mereka rebut. Meyer telah
kehilangan banyak anak buah, dan mengirim kurir ke Siri-Sori untuk mendatangkan kora-kora
dan pasukan alifuru Ternate. Baru saja mereka tiba kora-kora itu disambut oleh armada arombai
dan perahu Ulat dan Ouw dan terjadilah pertempuran laut mati- matian. Sementara itu bantuan
bagi Meyer datang juga dari pasukannya di Siri-Sori. Pertempuran makin menjacli sengit lagi.
Korban berjatuhan, dilaut maupun didarat. Pada suatu saat seorang penembak jitu memanjat
pohon kelapa yang berada dekat kubu di mana pasukan Belanda berlindung. Berdesing sebuah
peluru menembus leher seorang opsir. Robohlah ia, luka parah. Ia adalah Mayor Meyer,
komandan ekspedisi Saparua. Bersorak-sorailah para pejuang di kubu yang berhadapan dengan
tempat berlindung musuh, ketika penembak itu datang berlari- lari memberitahukan bahwa
seorang opsir kena tembakannya.
Vermeulen Krieger mengambil alih komando dan Meyer diangkut ke kapal Eversten.
Verheull mengirim kurir ke Saparua sehingga semua kora-kora diperintahkan menuju ke Ouw,
juga sepasukan tentara di bawah pimpinan Letnan Gezelschap. Malam hari bala bantuan ini tiba.
Sepanjang malam tembak- menembak tiada reda. Keesokan harinya Eversten dan barkas
bermeriam menghujani Negeri Ulat dan Ouw dengan tembakan peluru-peluru mautnya. Sesudah
itu Krieger memerintahkan serangan umum. Hari itu tanggal 12 Nopember, hari yang menen-
tukan perlawanan rakyat Lease. Serangan musuh begitu hebat sehingga pejuang-pejuang yang
menangkisnya kehabisan peluru. Pada suatu saat pasukan musuh dihujani dengan batu-batu.
Tembakan makin berkurang. Para opsir musuh sadar bahwa pasukan rakyat kehabisan peluru.
Krieger memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu. Serangan umum dilancarkan dengan
sangkur terhunus. Perlawanan mati- matian diberikan. Tetapi kehabisan peluru memaksa para
pejuang mulai mundur. Mulailah musuh membakar rumah-rumah dan bangunan-bangunan.
Pasukan mundur ke hutan dan gunung, meninggalkan kawan dan lawan yang tewas dan luka.
Jatuhlah kubu pertahanan rakyat yang terakhir di Lease. Seluruh Ulat dan Ouw diratakan dengan
tanah, dibakar dan dirampok habis-habisan. Para pejuang meneruskan perjuangan di hutan-hutan
melawan pasukan alifuru yang memburu. mereka. Beberapa kapitan tertangkap, antara lain Said
Perintah, Paulus Tiahahu dan putrinya Christina, Kapitan Hehanusa dari Titawai, raja Ulat dan
patih Ouw. Besar juga korban musuh yang jatuh. Opsir-opsir ada yang luka berat maupun ringan
dan yang tewas. Mayat pasukan Alifuru Ternate dan Tidore bergelimpangan di pantai.
Dengan jatuhnya kubu pertahanan rakyat di Jazirah Tenggara, tinggal lagi pertahanan di
Hatawano. Tetapi rupanya Buyskes, yang datang ke Saparua pada tanggal 12 Nopember, tidak
menganggap perlu untuk menyerang Hatawano. Cukup saja diblokir dari laut dan darat hingga
pemimpin-pemimpin dan rakyatnya menyerah. Groot sebagai komandan armada telah
mengerahkan kapal-kapal, berkas dan sekoci yang bersenjata meriam kecil untuk memusnahkan
semua arombai dan perahu sehingga para pejuang tidak dapat lagi menyeberang ke Seram.

5.6 Mega Mendung di Atas Lease


Tanggal 10 Nopember pagi, kira-kira pukul Sembilan, terdengar tembakan meriam dari
Jazirah Tenggara, Kapitan Pattimura dengan staf dan pengawalnya mendaki sebuah bukit di
hutan Booi. Dari situ melalui teropongnya ia dapat mengikuti pertempuran yang sedang
berlangsung di Siri-Sori. Hutan itu terletak berhadapan dengan Jazirah Tenggara terpisah oleh
Teluk Saparua. Beberapa waktu kemudian kelihatan kebakaran besar dikedua Negeri Siri-Sori.
Bagi Pattimura, menjadi jelas bahwa kedua negeri itu telah direbut musuh. Sampai matahari
terbenam mereka mengawasi keadaan itu dari jauh.
Keesokan harinya terdengar lagi tembakan dari arah tenggara. Di tempat yang sama
Pattimura mengawasi Pantai Ulat dan Ouw. Jelas kelihatan pertempuran laut antara armada
arombai melawan kora-kora. Pertempuran di pantai-pantai kelihatan pula dengan jelas. Apa yang
terlintas di hati sanubarinya sulit diterka. Ingin ia berada di tengah-tengah rakyat yang sedang
bertempur, tetapi sudah sulit baginya untuk bergerak ke Jazirah Tenggara. Hutan-hutan di Tiow
dan Saparua penuh dengan musuh. Alifuru yang dikirim untuk membersihkan hutan-hutan
menggiring rakyat turun ke Tiow dan Saparua dan mencari anak van den Berg.
Malam 11 Nopember, di sebuah rumah di hutan Booi-Haria, Thomas Matulessia sedang
duduk termenung. Apa yang sedang dipikirkannya? Nasib rakyatnya? Nasib yang akan dihadapi
para pejuang jika kalah perang? Bermacam- macam hal terlintas dalam pikirannya. Sekali-sekali
ia berdiri, berjalan kian kemari sambil menarik napas seolah-olah hendak mengenyahkan
sesakan dadanya. Anggota staf dan pengawalnya duduk dengan tenang mengamati gerak-gerik
pemimpin mereka. Tiba-tiba pintu terbuka ditendang orang. Beberapa pucuk bedil diarahkan
kepada mereka. Terlambat para pengawal melompat meraih bedil. Seorang opsir berteriak:
"Menyerahlah kalian, jangan meraih bedil, kalau tidak mau ditembak", sambil pistolnya
ditujukan ke dada Pattimura. Pada saat itu masuk dan betteriak raja Booi: "Thomas, menyerahlah
engkau. Tidak ada gunanya untuk melawan. Rumah ini sudah dikepung, empatpuluh serdadu
siap sedia menembak mati kalian." "Terkutuklah engkau, pengkhianat", geram Kapitan
Pattimura. Lalu ia digiring ke luar, dibawa ke Negeri Booi.
Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa para pengawal begitu lengah? Pada malam tanggal
10 Nopember, sehabis merebut Siri-Sori, Meyer sedang duduk beristirahat. Seorang yang ingin
bertemu dengan dia dibawa masuk oleh Seorang pengawal. Dia adalah raja Booi. Raja ini
memberitahukan Meyer tempat bersembunyi Thomas Matulessia, yaitu di perbatasan hutan Booi
dan Haria. Dia sanggup menangkapnya bila Meyer memberi sepasukan tentara untuk
menyertainya. Letnan Pietersen dipanggil lalu diperintahkan untuk menyeberang ke Negeri Booi,
bersama empatpuluh orang serdadu dengan dua arombai perang dengan disertai raja Booi.
Malam hari tanggal 11 Nopember mereka tiba di Booi. Melalui jalan yang berliku- liku, didahului
raja Booi sebagai penunjuk jalan, tibalah mereka di rumah persembunyiannya Pattimura dan
stafnya. Ternyata tempat itu tidak dikawal. Rupa-rupanya mereka semua, merasa aman karena
tempat itu terletak cukup jauh di pegunungan. Tetapi naas bagi Kapitan Pattimura. Malam itu
juga ia diangkut menuju Eversten. Inilah satu iron didalam perjuangan rakyat. Panglima mereka
jatuh ke tangan musuh karena pengkhianatan seorang raja yang turut mengangkatnya sebagai
panglima perang. Tetapi inilah pula suatu pembalasan dendam dari seorang yang beberapa waktu
yang lalu dipecat sebagai raja Booi oleh Kapitan Pattimura.
Malam itu juga Kapitan Lukas Latumahina, seorang Letnan Pattimura, tertangkap, oleh
Letnan Veerman yang ditugaskan Verheull menyusur Pantai Booi dan Paperu untuk membakar
semua arombai dan perahu. Segera ia dibawa ke kapal Eversten. Anthone Rhebok dan Jakobus
Pattiwael, Patih Tiow, tertangkap pula pada hari yang sama (13 Nopember). Dikapal Eversten
mereka bertemu muka dengan kapitan mereka. Para kapitan dan raja yang tertangkap di Siri-
Sori, Ouw dan Ulat dibawa pula ke kapal Evertsen.
Pada hari yang sama guru Risakotta menyerah kepada Groot di Haria. la menyerahkan
sebuah laporan berupa buku catatan hariannya. Laporan ini dalam sejarah dikenal dengan nama
Rapport Porto. la juga menyerahkan suatu daftar nama kaum lelaki di Porto dan Haria yang
mengangkat senjata melawan Belanda. Laporan dan daftar ini nanti dipakai oleh Buyskes untuk
menangkap orang-orang itu dan dijadikan bukti dalam proses pemeriksaan di depan pengadilan.
Beberapa hari kemudian Johannis Matulessia dan Philip Latumahina tertangkap pula. Mereka
ditawan di kapal perang Reygersbergen.
Penangkapan Pattimura dan para kapitannya tersiar ke mana- mana. Di hutan dan digunung
rakyat meratap karena kehilangan para pemimpin. Para pejuang diliputi kesedihan. Ada yang
memutuskan untuk meletakkan senjata dan menyerah, ada pula yang bertekad untuk meneruskan
pejjuangan. Raja-raja dan rakyatnya turun ke negeri masing- masing. Tetapi yang mereka dapati
hanya puing-puing dan abu bekas rumah yang dibakar musuh. Laki- laki yang turun semuanya
ditangkap untuk diperiksa. Di antara orang-orang yang turun dari pegunungan tampak pula
Salomon Pattiwael dengan Jean Lubert, putra van den Berg. Selama peperangan ia
disembunyikan di gunung Rila di Saparua. Anak itu diserahkan kepada Verheull. Dua tawanan
bekas serdadu Beetjes kembali lagi dengan selamat ditengah kawan-kawan mereka.
Dalam hari- hari berikutnya banyak raja-raja dan pemimpin menyerah kepada Buyskes,
antara lain guru kepala J. Sahetappy dari Saparua.
Di kapal Evertsen Pattimura dan para kapitannya berhadapan muka dengan lawan mereka
yaitu Buyskes, Verheull dan para opsirnya. Mereka semua dirantai. Buyskes dan stafnya
mengadakan interogasi, tetapi tidak banyak keterangan yang mereka peroleh. Para pejuang tetap
memegang teguh sumpah setia yang berkali-kali mereka ulangi dalam musyawarah rakyat. Tidak
akan mereka buka rahasia apa pun. Konsekuensi akan mereka pikul, sekalipun berhadapan
dengan maut. Demikian pula dengan raja dan Kapitan Paulus Tiahahu dari Abubu. Di depan
lawannya pahlawan yang beruban ini bersikap menantang. Tubuhnya yang sudah sangat tua
bergemetaran. Pada Verheull ia memberi kesan seolah-olah ia sangat ketakutan. Tidak ada kata-
kata yang ia keluarkan ketika Buyskes menjatuhkan hukuman "Raja Paulus Tiahahu akan
dihukum mati di Nusalaut."
Christina Martha dihadapkan pada Buyskes. Verheull menatapnya dan merasa tertarik pada
gadis remaja belasan tahun ini. Parasnya manis, tubuhnya tegap, mata hitam jelita memancarkan
berbagai perasaan, garis mulut yang sayu, gigi putih bak nutiara, rambut hitam terurai di
punggung, itulah srikandi dari Nusalaut. Berbaju kain linen biru dan bersarung sampai kebetis, ia
berdiri memandang musuhnya. Tiba-tiba ia merebahkan diri dikaki Buyskes dan menangis
tersedu-sedu, memohon ampun bagi ayahnya yang sudah tua dan yang dicintainya dengan sege-
nap jiwanya. Sebagaimana dalam perjuangan pada detik-detik ini pun ia berjuang mati- matian
untuk menyelamatkan ayahnya, sekalipun ia harus merendahkan diri di hadapan musuh yang
dibencinya. Ia telah bersumpah untuk tidak akan menggulung rambutnya sebelum ia mandi
dengan darah kompania. Betapapun ia mencintai ayahnya, betapapun para opsir Belanda yang
hadir terharu oleh adegan ini, ia tidak berhasil menyelamatkan nyawa ayahnya.
Christina Martha diantarkan ke luar. Ia menolak ditempatkan terpisah. Ia ingin berada disisi
ayahnya yang dirantai pada tiang besi. Beberapa hari kemudian mereka diangkut ke Nusalaut.
Mereka tidak diizinkan pamitan dengan Pattimura dan kawan-kawan seperjuangan. Kesedihan
meliputi Kapitan Pattimura clan kawan-kawannya. Mereka tidak berdaya lagi. Hanya doa bagi
keselamatan jiwa Paulus sempat mereka naikkan ke hadirat Allah. Di benteng "Beverwijk"
Paulus dan putrinya ditahan sambil menunggu pelaksanaan vonis.
Tanggal 17 Nopember pagi, Groot, Verheull dan Residen Neys yang datang bersama
Buyskes beberapa hari yang lalu, berangkat dengan sebuah arombai ke Nusalaut. Duabelas kora -
kora dengan alifuru Ternate dan Tidore di bawah pimpinan D Tusan dan Dukimi, turut serta
tujuhratus orang alifuru berbadan telanjang, bercidatu (cawat) dan berikat kepala disisipi bulu
ayam atau bulu burung diturunkan didepan Benteng Beverwijk. Mereka ditugaskan Buyskes
untuk melaksanakan hukuman mati dan berjaga-jaga jangan sampai ada serangan yang tidak
diduga-duga. Di pantai mereka bercakalele dengan parang dan salawaku (perisai); berteriak-
teriak seolah-olah berada dalam pertempuran. Ngeri, seram dan ganas. Berduyun duyun rakyat
datang dari segala penjuru ketempat pelaksanaan hukuman. Mereka berdiri disekeliling tempat
itu, diam, penuh rasa sedih dan duka, putus asa bercampur dengan kebencian. Air mata mengalir
membasahi pipi para ibu dan para jujaro. Sanak-saudara raja Paulus menangis tersedu-sedu. Lalu
datanglah Paulus Tiahahu, tangannya terikat, didampingi oleh putrinya. Serentak rakyat berlutut,
menundukkan kepala. Hening, sepi, sunyi mencekam, tanda malak'ul maut akan berlalu. Paulus
berhenti, mengangkat kepalanya yang beruban, memandang rakyatnya, hatinya terharu. Putrinya
melayangkan pandangannya mencari sanak-saudara dan kawan. Paulus maju ke tempat yang
telah ditunjuk. Seluruh tempat itu dikepung oleh tentara alifuru. Pasukan alifuru lainnya, para
algojo, dideretkan pada tempatnya. OTusan berdiri didepan dengan ujung kelewang tertuju,
kebawah. Sesaat Christina bergerak maju hendak mencoba lagi meminta ampun dari para
pembesar Belanda, tetapi ia tertegun lalu mundur lagi. Seorang pengawal diperintahkan untuk
membawanya kembali kebenteng. Residen Neys maju ke depan lalu mengatakan pada Paulus
bahwa saat pelaksanaan hukuman telah tiba. Guru Soselisa maju mendekati Paulus. "Rajaku,
angkatlah hati tuanku, serahkan jiwa tuanku kepada Allah Pencipta segala mahluk". Lalu guru
itu melanjutkan dengan doa "Bapa kami". Paulus memejamkan matanya. Rakyatnya turut
mendoakan keselamatan jiwanya. Begitu kedengaran "amin". OTusan, alat penjajah, memandang
sekelilingnya bagaikan panglima maut. Sesaat kemudian.kelewangnya diangkat. Bedil bedil
memuntahkan peluru mautnya. Menyerbulah dengan buas dan ganas pasukan alifuru dan
musnahlah tubuh pahlawan Raja Paulus Tiahahu. "0, Tuhan," jerit para ibu. Ratap-tangis
membelah udara, mengiringi nyawa raja yang dicintai.
Detasemen marinir bergerak pulang kebenteng. Sambil meliwati mayat Paulus, tubuh yang
sudah tidak bernyawa itu ditikam-tikam dengan sangkur.') Jenazah pahlawan Nusahalawano, raja
Abubu, Paulus Tiahahu diusung oleh rakyat dan dimakamkan dengan upacara adat sebagai tanda
penghormatan dan terima kasih atas pengorbanan yang dipersembahkannya kepada nusa dan
bangsa. Putrinya diserahkan kepada guru Soselisa untuk dipelihara. Dengan langkah tetap, tanpa
setetes air matapun. Christina keluar dari benteng dikelilingi oleh rakyat dan bergerak mengikuti
usungan jenasah ayahnya

Pengorbanan raja Paulus Iliahahu di depan Benteng Beverwijk (Verheull).


Jean Lubert van den Berg diserahkan kepada Overste Verheull di Saparua (Verheull)

Berita pembunuhan Raja Paulus dengan cara yang begitu kejam tersiar ke seluruh pelosok
Lease. Kesedihan dan kemarahan meliputi rakyat. Nasib apa yang akan dialami oleh Pattimura
dan kawan-kawannya? Akan dibunuhkah mereka dengan cara yang sama ataukah lebih ngeri
lagi? Mega mendung meliputi seluruh rakyat Lease. Untuk memperkuat posisi dan untuk
mengembalikan kekuasaan kolonial atas kepulauan Lease, maka Buyskes memerintahkan
pembuatan benteng pertahanan dari kayu di Haria-Porto. Di situ ditempatkan limapuluh orang,
diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan ini ditujukan kepada para pejuang yang masih
berada di hutan dan pegunungan sekitar Haria dan Porto, dan juga kepada mereka yang masih
berjuang di Haruku. Di Ulat dan Ouw ditempatkan limapuluh orang serdadu di benteng kayu. Di
Hatawano, yang terpaksa menyerah karena blokade yang rapat, didirikan juga benteng
pertahanan dari kayu dengan seratus orang, diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan itu
ditujukan pula terhadap kemungkinan serangan dari Seram. Di Duurstede ditempatkan dua ratus
serdadu, diperkuat dengan sejumlah besar meriam besar dan kecil. Karena Ulupaha dan para
kapitan masih menguasai Seram Barat dan Selatan, maka Buyskes mulai menyusun strategi
untuk menyerang daerah itu.
Tanggal 18 Nopember Eversten meninggalkan Saparua menuju ke Ambon dengan membawa
tigapuluh tiga serdadu yang luka- luka, antara lain Meyer yang luka parah, dan sejumlah tawanan,
di antaranya duapuluh dua orang pemimpin perang, Overste Groot dengan Reygersbergen
berangkat keHila pada tanggal 23 Nopember, siap untuk ke Seram, dengan iringan korakora
alifuru Ternate dan Tidore. Hari itu korvet Iris dan Venus berangkat juga ke Hila. Ulupaha dan
para kapitan bersiap-siap untuk menangkis serangan musuh setelah menerima kabar ten-tang
jatuhnya Lease dan tertangkapnya Kapitan Pattimura dan kawan-kawan.

5.7 Pengorbanan di Tiang Gantungan


Setiba di Ambon Thomas dan kawan-kawannya dikurung dalam sel di Benteng Victoria.
Buyskes membentuk satu tim untuk menginterogasi para tawanan. Thomas tidak banyak bicara.
Tidak gampang untuk membujuknya. Pernah di kapal Evertsen OTusan datang membujuknya
supaya mengakui kesalahannya, Kepada Thomas ia menanyakan mengapa ia begitu berani
mengangkat senjata memerangi kekuasaan kompeni yang begitu kuat. Thomas memandangnya
dengan sinar mata penuh penghinaan, sehingga budak penjajah itu mundur penuh malu.
Pada permulaan Desember para pemimpin perang dihadapkan pada Ambonsche Raad van
Justiti (Dewan Pengadilan di Ambon). Dewan ini diketuai oleh JHJ Moorrees dan beranggota JJ
Bruins, JH Martens, J. de Keyzer, JH van Schuler, LH. Smits dan G. Reis. Bertindak sebagai
fiskal adalah penuntut umum RH. Cateau van Rosevelt dan Sekretaris JB. Timmerman.')
Sesudah beberapa kali bersidang vonis dijatuhkan. Empat pemimpin, masing- masing Thomas
Matulessia, Anthone Rhebok, Said Perintah dan Philip Latumahina dijatuhi hukuman gantung
sampai mati. Thomas dikenakan hukuman tambahan, mayatnya akan digantung di dalam
kurungan besi untuk dipertontonkan pada rakyat. Bagian terakhir ini disetujui Buyskes dengan
maksud menakut-nakuti rakyat. Sejumlah besar pemimpin lain dihukum buangan ke Pulau Jawa.
Tanggal 15 Desember malam, sel tempat para tahanan penuh ketegangan dan peperangan
batin. Pikiran keempat pemimpin itu melayang- layang keanak istri dan sanak saudara. Pikiran
Thomas beralih dari ibunya yang sudah tua dan anak istri kakaknya serta Elisabeth, dan juga
kepada nasib rakyat yang dicintainya. Kebebasan yang mereka ingini membawa pengorbanan
besar yang harus mereka berikan. Tetapi sekarang kembali mereka akan ditindas oleh kaum
penjajah.
Lamunan para pejuang itu terganggu ketika beberapa orang guru masuk. Mereka berpelukan
dengan para tahanan. Tidak ada kata, tidak ada suara, tidak ada keluhan; tersumbat kerong-
kongan masing- masing karena terharu. Mereka datang untuk melangsungkan suatu kebaktian
yang mengiringi para terhukum ketiang gantungan. "Mari kita panjatkan doa ke hadirat Allah
Yang Mahakudus", berkata seorang guru. Doa dinaikkan. Dengan penuh kerelaan keempat orang
itu menyerahkan hidup mati mereka kedalam tangan Allah Yang Mahakuasa. Sehabis berdoa
mereka bersama-sama menyanyikan mazmur, yang mempersiapkan dan akan mengiring mereka
ke alam baka.
Pintu sel dibuka oleh pengawal perlahan-lahan. Overste Verheull masuk dengan diam-diam.
Suatu kunjungan yang tidak diduga-duga. Apa yang diingininya? Apa yang akan dikatakannya?
Apakah ia datang untuk berpamitan dengan lawan- lawannya? Apa yang terlintas di dalam
kalbunya? Ia berdiri memperhatikan sekumpulan kecil orang-orang yang terus menyanyi dan
tidak menghiraukan apapun di sekelilingnya. Selesai menyanyikan beberapa mazmur seorang
guru membawa renungan mempersiapkan mereka menghadapi hakim surgawi, yaitu Allah Yang
Mahaadil. Thomas berdiri di bawah lampu yang tergantung di tengah bilik. Air mukanya
memancarkan ketenangan jiwa. Perhatiannya dipusatkan pada kebaktian singkat itu. Tidak ada
barang apa pun yang bisa membelokkan perhatiannya. Ia tidak menghiraukan keadaan di
sekelilingnya. Kawan-kawan senasibnya berdiam diri, masing- masing dengan pikirannya sendiri.
Verheull meninggalkan mereka. Sampai fajar menyingsing para guru itu menyertai Pattimura
dan kawan-kawan, berdoa dan bernyanyi. Said Perintah mempersiapkan diri menurut keyakinan
agamanya. la pun telah menyerahkan segenap jiwa raganya kepada Allah. Beberapa kali matanya
bertemu mata dengan Kapitan Pattimura. Diantara keduanya telah terjalin suatu perekutuan
"pela" yang mereka warisi dari datuk-datuk Negeri Haria dan Siri-Sori Islam. Pada saat-saat
semacam ini, dicekam oleh suasana maut, keduanya merupakan suatu simbol persekutuan
Kristen dan Islam yang mendalam, yang dapat dimengerti oleh orang-orang Maluku, yang terikat
dalam persekutuan pela.
Pagi-pagi benar, Selasa tanggal 16 Desember 1817. Para pemimpin rakyat telah siap. Sekitar
pukul tujuh datang pengawal. Keempat orang pemimpin itu saling berpelukan, juga degan para
guru, kemudian berpamitan dari kawan-kawan mereka. Tangan mereka diikat lalu dibawa keluar.
Di luar Benteng Victoria, didepan dewan pemerintahan (raadhuis), tiang gantungan sudah
disiapkan sejak sehari sebelumnya. Para algojo telah siap berdiri di dekat tiang itu. Di Pelabuhan
Ambon ada empatpuluh lima kora-kora Ternate dan Tidore. Pasukan alifuru dalam pakaian
perang didaratkan untuk menjaga keamanan dan terjadi saksi peristiwa yang akan terjadi nanti.
Semua divisi iturunkan dari kapal-kapal perang, dengan pimpinan Letnan laut Kelas Satu
Steenboom, opsir dari Evertsen. Di lapangan pasukan ini mengambil posisi tempur dengan
sangkur terhunus, beriaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
Buyskes dan para pembesar sipil dan militer, didampingi para anggota Dewan Pengadilan,
menunggu kedatangan para terhukum. Dari jauh rakyat Ambon berdiri berkelompok-kelompok
menunggu apa yang akan terjadi. Tenang, hening degan pikiran clan perasaan masing- masing.
Dalam hari- hari terahir ramai orang membicarakan hukuman mati atas keempat ,mimpin perang
dari Saparua itu. Berjenis perasaan meliputi masyarakat Ambon. Pro dan kontra menurut rasa
simpati atau antipati masing- masing. Sekarang, pada pagi yang cerah ini, rakyat Ambon
berkerumun untuk menyaksikan hukuman itu.

Pukul tujuh. Dengan kawalan ketat, Kapitan Thomas Matulessia, Kapitan Anthone Rhebok,
Letnan Philip Latumahina dan Raja Said Perintah tegap melangkah menuju kelapangan tiang
gantungan. Beratus pasang mata tertuju kepada mereka. Setiba didepan tiang gantungan mereka
berhenti. Seorang petugas pengadilan maju ke depan untuk membacakan keputusan Dewan
Pengadilan Ambon dalam bahasa Melayu:9')

Bahwa mereka akan dibawa ke tempat eksekusi yang biasa dilaksanakan di Ambon. Disana mereka
akan dihukum gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para algojo. Kemudian mayat mereka akan
dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung dan agar
tulang-belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang
menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa mayat Thomas Matulessia untuk selama lamanya akan
digantung didalam sebuah kurungan besi dan sekalpun telah menjadi debu, akan menimbulkan
ketakutan karena perbuatannya.

Ketika Thomas mendengar apa yang akan terjadi dengan jenazahnya sedetik kepalanya
diangkat kemudian ditujukan lagi lurus ke bawah di depannya.
Philip Latumahina yang pertama-tama menaiki tiang gantungan. Latumahina yang berbadan
gemuk dan besar. Jatuh ketanah, hampir ia meninggal sektika. Dengan susah-payah ia diseret
oleh algojo menaiki tangga lagi. Untuk kedua kalinya ia merasa tali gantungan dilehernya.
Beberapa detik berlalu, kemudian nyawanya melayang. Anthone Rhebok dengan tenang, dengan
ketetapan hati menantang maut, menaiki tangga tiang gantungan. Sejurus ia memandang
sekelilingnya, seakan-akan hendak memberi selamat tinggal kepada hadirin. Tali membelit
lehernya...... bunyi genderang .... hilanglah nyawanya. Kemudian Said Parintah menaiki tangga.
Tegap, memandang musuh musuhnya dengan pandangan yang menantang. Algojo melakukan
tugasnya. Bunyi genderang ....... Said Perintah menghembuskan nafas yang penghabisan.

Thomas Matulassia laki- laki kabarisi. Gagah perkasa di medan perang, gagah perkasa
pula dimedan maut. Dengan tegap, tanpa ragu-ragu ia menaiki tiang gantungan. Setibanya
diatas pandanganya dilayangkan keatas, kepala musuh- musuhnya, me ma nda ng ja uh kesa na d i
ma na rak yatnya berd ir i, rakya t yang ia ingin dibebaskannya. Tetapi ia tidak berhasil.
Sekarang ia, akan menebus perjuangannya dengan jiwa- raganya. Waktu sudah tiba, algojo
memasang tali membelit lehernya. Pandangannya d itujuka n kepada mus uh- mus uhnya,
berhe nti pada tua n tuan hak im. "Sela mat tingga l tuan- tuan", de mik ian kata- kata
perpisa han Tho mas Matuless ia. " ) Genderang berb unyi da n sela mat jala n kealam baka,
pahlawan. Pengorbanan tela h kau berikan. Tetapi musuh- musuhmu belum puas. Jenazah
Thomas dimasukkan kedalam k urunga n besi, digantung, kemud ian d ibawa ke jurusan
timur kota. Di sana pahlawan yang tidak bernyawa itu dipertontonkan kepada rakyat.

Kapitan Pattimura te la h me nye lesa ikan baktinya. Semanga tnya me ma nca r dar i
ta hun keta hun, me mber i insp ira s i bagi Pattimura-Pattimura muda agar bangkit meneruskan
perjuangannya, memerdekakan rakyat dari rantai penjajahan.

5.8 Ulupaha Menutup Tiang Gantungan


Sebenarnya perlawanan rakyat masih berjalan terus selama b ula n Dese mber d iLease.
Dipegununga n da n huta n- huta n masih ada anggota-anggota pasukan yang berjuang.
Kapitan Lukas Selano, Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron masih bertahan. Di sekitar
Hula liu masih ada Kapitan Sahureka Bakarbesy dan Kapitan Sawarapatti Tuanoya, yang
sewaktu-waktu menyerang pasukan Belanda. Mereka sering dicari- cari oleh Belanda. Patti-
saba juga belum menyerah. Nusalaut ternyata belum aman, rakyat bergolak lagi sebab
pembunuhan terhadap Raja Paulus. Oleh karena itu dala m pertengahan bulan Januari 1818,
satu detasemen Belanda mengadakan pembersihan dan menangkap duapuluh tujuh orang
laki- laki. Mereka diangkut ke Ambon.
Tanggal 1 Desember Buyskes mengerahkan tiga divisi, diperkuat oleh kapal-kapal perang
Reygersbergen, Iris, The Dispatch, sejumlah sekoci dan barkas yang dipersenjatai dengan
meriam dan kora-kora Ternate dan Tidore untuk menyerang Seram Barat dan Selatan. Overste
Groot dan Kapten Driel memimpin ekspedisi itu. Di tiga tempat diadakan pendaratan. Luhu
direbut dan dibakar. Semua negeri di sepanjang pesisir, dari Piru sampai ke Hualoi, habis dibakar
berikut semua arombai, perahu dan jung. Hanya Piru dan Tanupu, sesuai instruksi Buyskes, tidak
dimakan api.
Ulupaha dan para kapitan memberi perlawanan yang gigih. Ekspedisi itu tidak berhasil
menangkap para pemimpin perang. Oleh karena itu sekali lagi dalam bulan Januari 1818
dikerahkan ekspedisi Seram kedua. Kali ini musuh berhasil menangkap bebeberapa kapitan.
Baru pada pertengahan Pebruari Kapitan Ulupaha menyerah dalam keadaan sakit. Segera kapitan
yang berumur delapanpuluh tahun itu diangkut ke Ambon. Sementara itu sel-sel tahanan di
Benteng Victoria menjadi penuh dalam bulan Januari. Nampak kapitan-kapitan: Lukas Selano,
Lukas Lisapaly, Jakobus Pattiwael, Patih Tiow. Mereka tertangkap dalam satu serangan
pembersihan. Jeremias Latuhamallo alias Salemba berada juga diantara para tawanan. Suasana
duka dan murung meliputi setiap tawanan.
Buyskes memerintahkan agar Dewan Pengadilan bersidang. Dewan itu menjatuhkan
hukuman gantung sampai mati pada empat orang tersebut. Tanggal 16 Januari 1818 rakyat
Ambon menyaksikan hukuman gantung atas Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron dari Negeri
Ihamahu. la dipersalahkan mengangkat senjata menyerang Benteng Duurstede, berkomplotan
membunuh guru dari Amahai serta kakak dan anak-anaknya dan berkomplotan membununuh
Julianus Tuwankotta, kakak Patih Akoon. Tanggal 26 Januari Lukas Selano, kapitan dari Nolot
menjalani hukuman gantung. la dipersalahkan menyerang Duurstede, membunuh Nyonya van
den Berg dan menyerang Benteng Zeelandia.

Tanggal 2 Pebruari sekali lagi rakyat Ambon menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung
atas Jakobus Pattiwael, patih Negeri Tiow. la dipersalahkan menjadi pembantu dan penasihat
Thomas Matulessia dan memerintahkan agar beberapa serdadu Beetjes yang tertangkap
dibunuh.'I) Tanggal 2 Pebruari itu vonis akan dilaksanakan atas diri Jeremias Latuhamallo. la di-
persalahkan menjadi penasihat Thomas Matulessia dan turut bertanggung jawab atas segala
peristiwa yang telah terjadi, Mayatnya digantung ditontonkan dan dibiarkan menjadi mangsa
udara dan burung. Tetapi nasibnya baik. Buyskes memberi pengampunan baginya, karena
laksamana itu berpendapat sudah cukup banyak para pemimpin digantung untuk menakut-nakuti
rakyat, dan Jeremias tidak terbukti pernah membunuh seseorang serta pernah menyerang
pasukan Belanda. Hukumannya diperingan menjadi hukuman buang di Jawa selama 25 tahun.
Hukuman mati dijatuhkan juga kepada duapuluh tiga orang lainnya. Tetapi Buyskes memberi
keampunan kepada sembilan orang. Mereka dibuang ke Jawa. Sedangkan empatbelas orang
lainnya menjalani hukuman mati, di antaranya empat orang kapitan dari Seram yang menjalani
hukuman gantung sampai mati pada tanggal 10 Pebruari.
Tanggal 18 Pebruari seorang tua digotong dengan tandu memasuki Benteng Victoria. la
adalah kapitan Ulupaha, pahlawan tua dari Seit. la sedang sakit keras. Buyskes khawatir kalau
kalau kapitan itu tidak lama lagi akan meninggal sehingga luput dari hukuman hakim dunia.
Sebab itu, pada tanggal 19 Pebruari Buyskes menyurat kepada Dewan Pengadilan dan penuntut
umum agar segera membawa persoalan Ulupaha kedepan pengadilan, tanpa menempuh proses
yang biasa, sebab dari interogasi ia telah mengakui perbuatannya. Pada hari itu juga Buyskes
memberi instruksi kepada Krayenhoff supaya komandan itu menyiapkan pasukan pengawal-
keesokan harinya di tempat eksekusi jika vonis hukuman mati dijatuhkan dan jadi dilaksanakan
pada tanggal 20 Pebruari. Sidang kilat Dewan Pengadilan diadakan hari itu juga. Vonis
dijatuhkan: hukuman gantung sampai mati dan akan dilaksanakan pada keesokan harinya.' 3)
Tanggal 20 Pebruari pagi pasukan pengawal telah siap di lapangan tempat eksekusi. Para
pembesar dan anggota Dewan Pengadilan telah siap menunggu kedatangan terhukum. Sekitar
pukul tujuh kapitan Ulupaha, dalam keadaan sakit keras, digotong memasuki lapangan eksekusi.
Di depan tiang gantungan tandu diturunkan. Vonis dibaca. Kemudian para algojo memapak
pahlawan tua itu menaiki tiang gantungan. Tali dipasang di lehernya .... genderang dipalu
Kapitan Ulupaha, pahlawan delapanpuluhan dari Seit mengakhiri hukuman tiang gantungan.
Tawanan lainnya dibuang ke Pulau Jawa. Ketika Evertsen pada akhir Desember berangkat ke
Pulau Jawa tigapuluh sembilan orang tawanan dibawa pula; antara lain Christina Martha. Gadis
ini sangat tertekan jiwanya sehingga menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel.
Verheull mencoba membujuk dan menghiburnya, tetapi sia-sia. Tubuhnya makin lemah dan
ketika Evertsen barn meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang
penghabisan pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut
Banda. Seorang srikandi muda telah berkorban untuk kebebasan rakyatnya.
Tanggal 25 Pebruari Buyskes meninggalkan Ambon dan membawa serta Vermeulen Krieger
yang luka berat. Meyer sudah mati pada pertengahan Januari. Dikapal Wilhelmina itu banyak
tawanan, semuanya laki- laki. Dalam waktu-waktu tertentu menyusul beberapa puluh lagi
sehingga semuanya berjumlah sembilanpuluh orang. Mereka semua dibuang ke Pulau Jawa.
Kebanyakan dipekerjakan di perkebunan kopi di Jawa Timur dan Priangan. Banyak keluarga di
Jazirah Hitu, Lease dan Seram kehilangan atau ditinggalkan oleh suami, ayah, kakak atau adik.
semuanya memberi pengorbanan bagi kemerdekan rakyat yang ingin mereka bebaskan dari
cengkraman penjajahan.

Darah Thomas Matulessia alias Kapitan Pattimura dan para pahlawan mengalir membasahi
bumi ibu pertiwi memberi kesuburan bagi bibit-bibit yang kelak akan tumbuh dan mengangkat
senjata untuk membebaskan rakyat dari rantai penjajahan. Pattimura-Pattimura muda bangkit
pada permulaan abad ke-20 dalam pergerakan nasional seperti Yong Ambon, Sarekat Ambon,
Ina Tuni dan lain- lain lalu dilanjutkan oleh generasi penerusnya dalam tahun 1945, dan berakhir
dengan tercapainya citacita Pttimura dan kawan-kawannya. Tidak sia-sia kurban yang mereka
persembahkan ditiang gantungan.
Sebagai tanda terima kasih Pattimura-pattimura muda mengabadikan Kapitan Pattimura
dalam Divisi Pattimura. Kodam XV Pattimura, Universitas Pattimura, Kapal Perang Pattimura,
pangkalan udara Pattimura dan Jalan-jalan Pattimura di berbagai kota diIndonesia. Penghargaan
terbesar adalah pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai "pahlawan nasional" oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Semoga semangat juang dan pengorbanan Pattimura dan kawan-kawannya
menjacli suri tauladan bagi kita semua dalam pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia.

DAFTAR CATATAN BAB V


1) v.d. Kemp —Het herstel, hal. 93.
2) v.d. Kemp —Ibid, hal. 633 (Rapport Porto)
3) v.d. Kemp —Het herstel, hal. 129-132 (Rapport Buitenzorg 25 September 1818);
4) van Rees W.A. —Vermeulen Krieger; Tafereelen uit het Indische Krijgsleven, hal. 89.
5) Buyskes —Rapport Buitenzorg in v. d. Kemp —Het herstel, hal. 137.
6) v.d. Kemp —Het herstel, hal. 63.
7) v.d. Kemp —Het Herstel, v. h. Ned gezag BKI dl 66, hal. 92.
8) v.d. Kemp —Het Ned. Ind. Bestuur, hal. XVII.
9) v.d. Berg van Saparua. —De Tragedie, hal. 330.
10) verheull I —in v. d. Kemp; Molukken III (BKI dl 66-1912), hal. 268-270.
11) v.d. Kemp —Over de opstand in de Molukken van 1817-1818 (BKI dl 75-1919), hal.
221-222.
12) v.d. Kemp —Het Ned, Ind. Bestuur, hal. XVII (besluit schout-bij-nacht Buyskes, 19
Februari 1818 no. 220).

13) v.d. Kemp— Over de opstand, hal. 228.

DAFTAR PUSTAKA
Boelen,J. De opstand in de Molukken in 1817, dalam De Gids th. 1930 jilid IV hak. 247-287.
Burger D.H. dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1— 1960.
Buykes, "Alang Rapport 10 Oktober 1818" — terdapat dalam Bijdrage TL & B dl 65-1911.
Buykes "Buitenzorgs Verslag," 25 September 1818 dalam Biidrage TL & V dl 66-1912.
Berg v.d. van Saparoea G.G.J.L. De tragedie op 't eiland Saparua — 1946.
Doren v J.B.J., Thomas Matulesia.
Encycyclopedic, Nederlands Oost - Indie.
Enklaar Ds.I.H., Joseph Kam, Apostel der Molukken.
Gonggrijp G., Schets ener economische geschiedenis van Nederlands Indie 1949.
Idema H.A. Mr., De oorzaak van de opstand op Saparoea
1817 Bijlage "Extract uit her Register der Handelingen en
Besluiten van den Gouverneur der Moluksche Eilanden",
14 Agustus 1818.
Leur v J.C., Indonesian trade and society — 1960.
Leur v. J.C., Eenige beschouwingen betreffende de oude Aziatischen handel.
Nanulaita 1.0., Timbulnya militerisme Ambon, sebagai suatu persoalan politik, sosial —
ekonomis, — Bhratara — Jakrta 1966.
Panitia Penggalian Sejarah Pahlawan Nasional Pattimura, Perjuangan Pattimura dalam
Pengembangan Ampera dart masa ke masa Ambon 8 Pebruari 1966 (tidak diterbitkan —
I.0.Nanulaita, sebagai anggota penyusun naskah)
Raja-raja patih Hunimua dan Nusalaut, Proklamasi Haria 29 Mei 1817 — terdapat daam v.d.
Kemp. "Het Nederlandsch Indisch Bestuur in het midden van 1817" hal. 29-32. Rees van W.A.,
Vemeulen Krieger, Tafereelen uit het Indische krijgsleven.
Risakotta, Rapport Porto 13 Nopember 1817 — terdapat dalam vd Kemp "Kolukken" I—II—III
(BKI dl. 65, 66, 69). Sapia M., Sejarah Perjuangan Pattimura — 1957.
Schrieke B., Indonesian Sociological Studies I — 1955.
Wall vd V.I., De Nederlandsche Oudheden in de Molukken —1928.
Kemp vd PH, Het herstel van het Nederlandsche gezeg in the Molukken in 1817 ("Molukken"
I—II—Ill; Bijdrage T.L. & V dl. 65-1911; dl 66-1911; dl 69-1913).
Kemp vd PH, Het Nederlandsch Indisch Bestuur van 1817 op 1818; 1911.
Kemp vd PH, Het Nederlandsch Indisch Bestuur in het midden van 1817; 1915.
Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Bunga Rampai Sejarah Maluku I — 1973.
Vlekke B., Geschiedenis van de Indische Archipel — 1947. Verheull, Herinneringen van een
refs Haar de Oost — Indien I — 1835,111836.
Arnold Wright cs, Twentieth Century Impressions of Netherlands Indie, Lloyd's Greater Britain
Publishing Company LTD 1909.
199
tanggal 14 Mei 1817 clan kapitan-kapitan dari Tuhaha.
7. Brain Matulessy, asal Ulat, pensiunan Jawatan Penerangan Propinsi Maluku, berdiam di
Ambon, umur 72 tahun, pada tanggal 15 dan 15 September 1976 mengenai asal usul
A Pattimura dan penyebaran keluarga Matulessy di Hulaliu, Itakawa, Ulat dan Haria.

DAFTAR SUMBER Wawancara


1. Sdr. Alex Siahia, asal Hulalui, berusia kira-kira 55 tahun, guru/pegawai Kanwil P & K Daerah
Maluku, pada tanggal 6 September 1976 mengenai: tempat asal keluarga Matulessia.
2. Keluarga Matulessy di Haria, turunan dari Johanis Matulessia (kakak Thomas Matulessia),
tanggal 9 September 1976, mengenai; asal-usul Pattimura dan peninggalan-peninggalannya.
3. Bapak Hattu, asal Haria, pendeta diSaparua, kira-kira 60 tahun, pada tanggal 9 September
1976 mengenai:
a. asal-usul Thomas Matulessia dan asalnya gelar Pattimura.
b. kuburan tentera Beetjes di Waisisil.
4. Bapak raja Ulat, berumur kira-kira 40 tahun, pada tanggal 10 September 1976, mengenai para
kapitan dan pertempuran-pertempuran di Ulat dan Ouw.
5. Bapak raja Siri-Sori, Abd. Karim Pattisahusiwa, umur kirakira. 60 tahun, pada tanggal 10
September 1976, mengenai raja Said Perintah dan asal- usulnya.
6. Guru-guru SD I dan II Tuhaha, Julius Huliselan dan Frans Pattipeiluhu, kira-kira 35 tahun,
pada tanggal 11 September 1976, mengenai: Gunung Saniri, tempat musyawarah

Lain- lain
1. Keterangan tertulis dari Bapak Wilhelmus Pieter Nanlohy, dari Porto berusia 73 tahun,
bertanggal 12 September 1976, mengenai beberapa tokoh clan kapitan dari Porto dan
beberapa peristiwa yang terjadi dalam tahun 1817.
2. Silsilah keluarga besar Matulessy yang berdiam di Haria Mulai dari Thomas dan Johannis,
Silsilah ini disusun oleh Zeth Matulessy pegawai PU propinsi Maluku, ahli waris Thomas
dan Johannis, yang menerima clan menyimpan Surat Keputusan Pengangkatan Pattimura
sebagai Pahlawan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai