"Polawan repu, pisi repu" berarti cengkih banyak, uang banyak. Demikianlah
berkumandang di bandar-bandar di Maluku dan dinegeri- negeri penghasil cengkih dan pala.
Cengkih dan pala membawa kemakmuran bagi rakyat. Pedagang-pedagang Jawa, Melayu,
Makasar, Arab, Gujarat, Keling, Cina pergi datang. Kapal-kapal layar mengarungi dan
berpapasan di lautan bebas Nusantara dari barat ketimur, dari timur kebarat; semuanya giat
dalam suatu perniagaan nasional dan internasional. Itulah keadaan dalam abad ke-15 sampai
dengan abad ke-17.
Sudah sejak masa Kerajaan Sriwijaya, Kediri dan Majapahit, gudang rempah-rempah,
Maluku, menarik pedagang-pedagang.dari bagian barat Nusantara. Maluku adalah satu-satunya
daerah di dunia pada waktu itu yang menghasilkan cengkih dan pala. Di bandar-bandar Hitu,
Banda, Ternate, Tidore terdengar berbagai bahasa dan logat. Berbagai macam orang yang ber-
pakaian beraneka ragam dan beraneka warna, yang berkulit sawo matang bercampur dengan
yang berkulit hitam dan yang berkulit kuning langsat. Yang berambut keriting bersenggol
senggolan dengan yang berambut kejur atau berombak atau yang berjenggot atau berkumis tebal.
Ada yang berperawakan tinggi berhidung mancung, ada yang pendek berhidung pesek dan ada
pula yang sedang bentuk tubuhnya.
Di pelabuhan-pelabuhan terapung-apung dan terolengoleng riak gelombang atau berlayar
kian kemari mengangkut atau menurunkan muatan, bermacam kapal, kora-kora, arombai, biduk,
perahu bercadik atau tanpa cadik. Bermacam potongan layar yang beraneka warna dan
bermacam bendera memeriahkan suasana di pelabuhan. Di sebelah sini orang timbang-
menimbang cengkih dan pala, di sebelah sana tukar- menukar rempah-rempah dengan kain,
beras, tembikar, barang tembaga terutama gong, senjata api dan lain- lain. Di kejauhan sana
pedagang Cina menawarkan barang-barang porselin yang sangat berharga dan mahal. Berjenis
burung berkicau dalam sangkar di bawah pohon-pohon yang rindang seolah-olah memanggil-
manggil si pembeli. Lalu lalang manusia sangat ramai. Para bangsawan, orang kaya, penguasa-
penguasa sibuk dengan timbang- menimbang, tawarmenawar, jual-beli, transaksi, pengawasan
dan lain- lain. Mereka dibantu oleh bawahan atau para budak. Melalui tangan-tangan mereka
cengkih dan pala diperjualbelikan dan perdagangan dilakukan. Ada kalanya mereka memonopoli
pembelian rempah-rempah lalu ditumpukkan di rumah-rumah mereka di dekat atau di bandar.
Perdagangan ini sangat menguntungkan mereka. Tetapi juga bagi petani-petani cengkih
dan pala perdagangan nasional dan internasional ini membawa pula kemakmuran. "Goyang
cengkih, ringgit gugur" kedengaran di kebun- kebun cengkih dan pala dan di negeri- negeri
pesisir. Ibarat pohon cengkih yang berbuah digoyang-goyang saja, gugurlah ringgit bagi
kehidupan rakyat.
Besar pula laba yang diperoleh pedagang-pedagang asing itu. Mereka merupakan
penghubung atau perantara antara daerah Maluku dengan Nusantara bagian barat, dengan dunia
Asia bagian barat, Afrika Utara dan Eropa.
Mahalnya cengkih dan pala di pasaran dunia bukan karena ongkos produksi yang tinggi
akan tetapi karena biaya pengangkutan melalui jalan dagang yang sangat panjang dari timur
kebarat, perdagangan yang berpindah tangan di tiap-tiap bandar, pajak impor transit ekspor yang
tinggi dan keuntungan-keuntungan yang dipetik oleh pedagang-pedagang perantara. Risiko yang
besar, karena mengarungi lautan, yang kerap kali bergelombang buas, bahaya banyak laut dan
penyamun. Betapa mahal harga rempah-rempah itu.
Di Maluku harga satu sentenar (50 kg) satu sampai dua dukat (satu dukat = uang emas
Belanda = f 5,25), di Malaka sudah berharga sepuluh dukat. Kapal Spanyol "Victoria", yang
berhasil mengangkut cengkih langsung dari Ternate ke Eropa pada tahun 1521, menjualnya
dengan keuntungan dua ribu lima ratus persen. 1).
Perdagangan rempah-rempah membawa kemakmuran bagi kerajaan-kerajaan di Afrika
Utara dan Laut Tengah. Seorang Eropa menulis "Sulit bagi kita dewasa ini untuk membayangkan
betapa perdagangan rempah-rempah dalam abad ke-14 dan ke 15 bisa menjadi dasar bagi masa
gemilang sesuatu peradaban, bukan saja di Mesir tetapi juga di kerajaan-kerajaan kecil di Italia.
Seorang penulis lain mencatat pada waktu itu perdagangan rempah-rempah yang melalui Kairo
saja, dihitung dengan nilai emas absolut, berharga kira-kira empat ratus dua puluh ribu pound
sterling setiap tahun.2)
Dalam tahun 1600 produksi cengkih di Maluku Utara setiap tahun tiga ribu bahar dan di
Ambon seribu seratus bahar (satu bahar rata-rata lima ratus pon). Produksi bunga pala (fuli) dua
ribu lima ratus dan pala dua ribu delapan ratus dua puluh lima bahar. Ekspor pala, fuli, cengkih
setahun rata-rata dua ribu tujuh ratus ton (satu ton = seribu lima ratus pon).3). Ini berarti uang
yang beredar di Maluku yang ada di tangan pedagang dan petani cengkih dan pala, ada kira-kira
empat puluh lima ribu sampai delapan puluh satu ribu dukat setahun. Suatu jumlah yang pada
waktu itu sangat besar, apalagi dibayar dengan mata uang emas.
Inilah keadaan semasa berkembang kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia seperti Ternate,
Tidore, Malaka, Demak, Banton, Aceh dan Makasar. Di Maluku Utara pada waktu terdapat dua
kerajaan besar, Ternate dan Tidore. Dua kerajaan lain, Bacan dan Jailolo, telah mundur
kekuasaannya. Sedangkan di Maluku Tengah terdapat suatu sistem ketatanegaraan yang teratur
rapi dalam "republik-republik negeri", yaitu tiap negeri atau desa mempunyai pemerintahan yang
teratur pula. Republik-republik kecil itu bersifat demokratis dan mempunyai ikatan teritorial
genealogic berarti rakyatnya mempunyai wilayah hidup tertentu dan hidup dalam ikatan
kekerabatan menurut keturunan. Kepala pemerintahan negeri disebut raja, patih atau orang kaya,
yang dipilih oleh rakyat dalam suatu musyawarah besar tua-tua adat. Raja didampingi oleh suatu
dewan pemerintahan negeri yang disebut "saniri negeri".
Perniagaan menimbulkan suatu pergaulan nasional, suatu pergaulan antar suku di Maluku.
Berdatangan orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Makasar, Bugis dan Buton. Ada yang datang ber-
dagang, ada pula yang datang menyiarkan agama Islam. Ada yang menetap di bandar-bandar.
Kampung Pala Jawali, Sol Jawa dan kampung Makasar di Kota Ternate, Soa Badi. Kota Ambon,
Desa Maspait dan Kota Jawa di Pulau Ambon, menunjukkan adanya suatu pergaulan antar suku
Indonesia, yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Asimilasi yang timbul, terutama di
Ternate, Tidore, Bacan dan Hitu memperkuat unsur-unsur pergaulan nasional Indonesia di
daerah Maluku. Dan pergaulan itu sangat penting dalam menghadapi orangorang asing dari
Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Mereka datang keMaluku dan
menimbulkan banyak masalah politik social dan ekonomi selama beberapa abad lamanya.
Jujurkah? Beranikah? Mungkin! Mungkin pula ada motif yang lain, yaitu membela rakyat
Belanda dan turunannya yang menghuni Kepulauan Banda. Maklumlah, masyarakat Banda
bukan masyarakat kulit hitam, jadi untuk apa mereka harus disusahkan?
Lagi- lagi keluar perintah untuk kerja rodi. Rakyat diharuskan membuka kebun cengkeh
dan pala untuk kepentingan gubernemen. Saparua telah mulai dengan penanaman pala sebanyak
tujuh ratus lima puluh pohon, yang dibebankan kepada rakyat. Penanaman pala ini dilakukan
sebagai percobaan, karena sampai saat ini hanya Banda yang diizinkan menanam pala. Belum
lagi selesai pekerjaan ini datang lagi perintah untuk membuka kebun kopi. Kayu diperlukan oleh
gubernemen dalam jumlah yang banyak untuk tonggak-tonggak pangkalan angkatan laut, untuk
memperbaiki kerusakan berat pada benteng, rumah sakit tentara, gedung-gedung di Banda dan
pos-pos di Leitimor. Kapal perang "Nassau" memerlukan kayu bakar dua ratus vadem dan
Reybersbergen tiga puluh enam vadem (per vadem enam kaki kubik, berharga empat ropijn).
Sekalipun harga telah ditentukan, tetapi pembayarannya sangat seret. Rakyat negeri negeri yang
langsung diperintah dari benteng Nieuw Victoria mengalami keseretan yang menjengkelkan.
Tanda penyerahan kayu diterima dari opsir zeni. Dari orang ini ke superintendent atau pengawas
umum pemerintahan negeri untuk disetujui, kemudian- ke pemegang buku untuk diberi fiat, baru
dapat diambil uangnya di kantor keuangan.') Urusan yang berbelit-belit dan birokratis ini
memakan waktu berhari- hari, kadang-kadang berminggu- minggu. Kesempatan terbuka bagi
pegawai-pegawai untuk memotong di sini, mengurangi di sang dan memeras lagi. Maklumlah
pegawai-pegawai itu masih banyak dari rezim lama, yaitu rezim Kompania Wolanda, yang
terkenal dengan korupsi dan pemerasan. Di daerah-daerah residen baru boleh membayar,
sesudah mendapat izin dari gubernur untuk mengeluarkan sejumlah uang yang disetujuinya,
lebih mendongkolkan lagi, dibayar dengan uang kertas. Dalam rangka kerja paksa komandan
militer memerintahkan tiap negeri supaya menyediakan dua buah arombai dengan masnaitnya
untuk pelayaran secara teratur ke pos Baguala, kewajiban ini melanjutkan ketentuan lama semasa
Kompania yang sudah dihapus oleh Inggris.
Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa gubernur pernah membela nasib rakyat terhadap
begitu banyak tuntutan dari fihak militer. Jika gubernur berhasil mendapatkan serdadu untuk
berdinas di Maluku saja, maka komandan militer tidak menyetujuinya. la berpendapat bahwa
seorang serdadu dapat dikirim kemana saja diperlukan oleh gubernemen.') Ini yang ditentang
oleh rakyat, Pemuda-pemuda tidak mau masuk dinas militer untuk diangkut ke Jawa. Tantangan
ini yang memusingkan Residen van den Berg. Apalagi menghadapi rakyat Saparua dan Nusalaut
yang sudah dipengaruhi oleh Thomas dan kawan kawannya, bekas prajurit-prajurit Inggris, yang
banyak terdapat di negeri- negeri.
Inilah kegagalan Engelhard yang mengeluarkan instruksi untuk merekrut serdadu Ambon
bagi Jawa. Belanda memer- lukan empat ratus orang. Hanya tigapuluh tiga orang memasuki
dinas militer, memenuhi panggilan itu. Itu pun sebagian besar orang-orang Jawa yang berdiam di
Ambon.") Kewajiban rakyat seolah-olah tidak habis- habis. Dendeng, ikan kering dan garam
harus pula diserahkan kepada gubernemen. Bertambah berat tugas rakyat. Bertambah gelisah
seluruh rakyat Ambon, Lease dan Seram.
Di negeri-negeri tersiar kabar bahwa sekolah-sekolah akan ditutup. Terutama di Saparua
isyu ini menambah kegelisahan masyarakat. Di sini tersiar kabar bahwa guru- guru akan diber-
hentikan dan anak-anak akan disekolahkan dikota Saparua. Benarkah hal ini? Dalam suratnya
kepada para komisaris di Ambon tertanggal 15 April Residen van den Berg menulis bahwa
persekolahan akan hancur sama sekali jika Pemerintah Belanda tidak membayar para guru
seperti di zaman Kompeni. Pemerintah Perancis (Daendels) dalam tahun 1810 telah
menghentikan pembayaran gaji guru-guru dan memerintahkan rakyat tiap-tiap negeri untuk
membayar guru- guru mereka. Tindakan itu sangat merugikan. Oleh karena itu residen tidak akan
mengadakan perubahan apapun.'')
Inilah nasihat residen kepada para komisaris sebagai jawaban atas surat mereka mengenai
rencana untuk mempersatukan sekolah-sekolah di ibukota Keresidenan Saparua. Mereka hendak
mengikuti contoh pemerintah Inggris yang mempersatukan sekolah-sekolah kecil di sekitar kota
dalam satu sekolah besar di Kota Ambon. Bukan maksud para komisaris untuk memperbaiki
pendidikan, tetapi untuk menghemat uang negara, sehingga beban sekolah-sekolah yang tidak
digabungkan dapat ditanggung oleh negeri masing- masing.'') Advis residen ini adalah pendapat
yang bijaksana. Ini berarti guru-guru akan tetap menerima gaji mereka. Tetapi hal ini tidak
diketahui oleh rakyat. Residen tidak dapat mengatasi isyu-isyu yang telah tersiar di dalam
masyarakat Saparua dan Nusalaut. Jadi akhirnya tuduhan rakyat terhadap pemerintah Belanda,
bahwa gubernemen akan menutup sekolah-sekolah clan akan memecat guru-guru, harus dipikul
oleh van den Berg.
Saparua adalah pulau yang terpadat penduduknya, kirakira dua belas ribu orang, dan
tanahnya tersubur. Oleh karena itu hasil produksi cengkih juga sangat besar. Kata orang Belanda
"Saparua is het neusje van de zalm" (Saparua adalah hidung ikan zalm). Hidung ikan zalm
adalah bahagian yang paling enak. Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling
basah, paling enak untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain- lain tindakan yang tidak
halal. Itulah sebabnya mengapa bekas Gubernur Jenderal Siberg mengusulkan kepada para
komisaris jenderal untuk mengangkat keponakannya, van den Berg, sebagai residen Saparua.'')
Thomas Matulessia sadar bahwa kebencian rakyat Saparua dan Nusalaut makin meningkat
karena residen dan pegawai pegawainya menjalankan instruksi dari gubernur dengan keras.
Tanpa kebijaksanaan, dengan sikap seorang ambtenar penjajahan yang otoriter, tanpa pengertian
terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan terhadap manusia Lease. Tindakan-tindakannya
sangat menyakitkan hati, misalnya, residen memaksa rakyat membuat garam untuk gubernemen,
suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Residen mengadakan perjalanan keliling untuk cacah jiwa yang ada hubungan dengan
kerja rodi dan pajak. Siapa tidak muncul atau terlambat datang dicambuk dengan rotan. Dalam
kesempatan berkeliling itu ia memerintahkan kaum borgor untuk kerja paksa. Siapa yang hendak
bebas harus memberi uang sogok kepada residen. Tetapi residen mempunyai alasan. Dalam masa
berakhir pemerintahan Inggris terjadi manipulasi dengan surat bebas. Surat itu dapat dibeli dari
pegawai-pegawai Inggris. Maklumlah para pemuda dan kaum lelaki sudah jemu dengan kerja
rodi, kerja kuarto dan berjenis-jenis kewajiban. Jadi mereka cari jalan apa raja untuk
mendapatkan surat bebas itu. Pencatatan jiwa penduduk itu menimbulkan pula kecurigaan di
antara kaum lelaki. Mereka khawatir dipaksa memasuki tentara Belanda lalu diangkut ke Jawa.
Yang selalu menggelisahkan mereka ialah apabila mereka dibawa ke Jawa, Siapa yang akan
memberi makan dan memelihara anak- isteri dan orang tua mereka? Itulah sebabnya, setiap kali
residen datang, banyak laki laki yang meninggalkan negeri pergi ke hutan.
Sering residen menuntut, mengadili, menjatuhkan vonis dan menghukum sendiri orang-
orang yang bersalah. Tanga pemeriksaan yang teliti dan adil, orang yang bersalah dihukum berat,
dipukul dengan rotan atau dihukum kurungan dalam kamar gelap di benteng. Kaum borgor yang
bersalah sering dicambuk dengan rotan dengan cara seperti mencambuk anak negeri. Mereka
diikat pada tiang atau pohon kemudian dicambuk. Menurut peraturan seorang borgor harus
ditiarapkan di alas bangku baru dipukul dengan tali pengganti rotan. Dua orang kawan Thomas,
yaitu Anthone Rhebok dan Philip Latumahina, keduanya borgor dan berusia sekitar tigapuluh
lima dan empat puluh tahun dicambuk seperti orang biasa.
Dalam waktu yang begitu pendek, belum sampai sebulan setengah, van den Berg telah
menyulut sumbu dinamit bagi meledaknya suatu revolusi rakyat yang paling berdarah. Dinamit
kebencian berpuluh-puluh tahun terhadap penjajah Belanda tidak dapat lagi ditahan lagi dan
meledaklah.
Pada tanggal 4 April delapanpuluh orang laki- laki dari Jazirah Hitu mengadakan suatu
rapat rahasia di hutan petuanan Liang. Mereka bermusyawarah selama empat hari. Pada tanggal
9 April sekali lagi limapuluh orang berkumpul selama tiga hari di tempat yang sama. Di sini
mereka menentukan sikap untuk mengangkat senjata memerangi Belanda. Mereka bersumpah
setia secara khidmat seraya memutuskan untuk mengirim surat kepada rakyat di Seram dan
Haruku, mengajak rakyat bangkit untuk melepaskan diri dari pemerintahan Belanda.'') Sesudah
musyawarah itu para penghubung berangkat ke negeri- negeri di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku.
Di Pelau seorang tua, Kapitan Suwara Patti dihubungi agar siap menerima kedatangan
orang-orang Hitu. Kapitan itu pergi pula ke Liang untuk menghubungi kapitan-kapitan disana.
Dari Haruku khabar rencana Liang itu tersiar pula ke Hulaliu, dari sana di bawa orang
menyeberang selat ke Haria.
Raja lepas dari Hulaliu dan Pelau mendengar rencana ini. Mereka menuju ke ibu kota
karesidenan, Haruku, dan melaporkannya kepada Residen Uitenbroek. Tanggal 25 April residen
menulis surat kepada gubernur di Ambon dan melaporkan hal itu. Tetapi gubernur tidak begitu
percaya akan laporan itu. Sekalipun demikian, van Middelkoop memerintahkan Overste
Krayenhoff, komandan militer seMaluku, untuk menempatkan seorang sersan, seorang kopral
dan enam orang serdadu di Benteng Hoorn di Pelau. Uitenbroek juga diperintahkan untuk me-
nyelidiki hal itu selanjutnya. Dikirim pula seregu serdadu untuk menduduki Hitulama. Dua orang
secara terpisah, dikirim ke Liang melalui jalan yang berbeda, untuk menyelidiki keadaan di situ
dan untuk mengetahui apakah kapitan Suwara Patti berada di Liang. Tanggal 26 April kedua
pesuruh itu kembali dan melaporkan bahwa keadaan di Liang tenang-tenang Baja dan kapitan
Suwara Patti ticlak berada di situ. Laporan ini cocok dengan laporan Residen Hila tanggal 30
April, yang juga menerima surat dari gubernur untuk menyelidiki keadaan di Liang. Menurut
penyelidikan dua orang petugasnya keadaan di Liang tenang, malahan rakyat sangat gembira
dengan kembalinya Belanda. Hanya orang kaya lepas dari Liang yang dicurigai.
Residen Haruku melaporkan pada tanggal 5 Mei, bahwa menurut penyelidikannya tidak
ada tanda-tanda ketidak puasan dan rencana pemberontakan di kalangan, rakyat Pelau dan Kai-
lolo. Lagi pula berita adanya komplotan antara rakyat kedua negeri itu dengan rakyat Liang tidak
benar sama sekali. Sedangkan kapitan Suwara Patti adalah seorang penduduk Pelau yang sudah
tua, tidak berdaya lagi dan tidak mengetahui apa-apa. la tidak pernah pergi ke Liang. Berita ini
diperkuat lagi oleh seorang pesuruh gubernur yang dikirim ke sana untuk menyelidiki keadaan.
Kemudian Residen Haruku mengirim raja lepas Pelau dan Hulaliu tersebut ke Ambon
untuk menghadap Gubernur. Kedua orang itu memberi laporan bahwa ada keresahan di kalangan
rakyat. Laporan mereka tidak dipercayai oleh van Middlekoop dan Engenhard. Mereka
mencurigai kedua raja itu, karena mereka menduga bahwa kedua raja itu memberi laporan palsu
dengan perhitungan akan diangkat kembali menggantikan raja sekarang yang diangkat oleh
Inggris. Hal semacam itu pernah terjadi. Ketika tahun 1803 Pemerintah Belanda mengambil alih
kekuasaan dari Inggris ada beberapa raja yang telah dipecat Inggris diangkat kembali. Raja Pelau
clan Hulalui ditangkap dan dipenjarakan. '')
Palsukah laporan- laporan itu? Benarkah tidak ada kegelisahan dan kebencian serta rencana
perlawanan di kalangan masyarakat terhadap Belanda? Pimpinan Belanda di Ambon ber-
pendapat tidak ada apa-apa. Kalau begitu rakyat di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku sangat
waspada. Pengalaman di waktu lampau menjadikan mereka sangat hati- hati. Terlambat pembesar
Belanda sadar bahwa berita tentang rencana Liang itu memang benar, ketika rakyat Saparua
mengangkat senjata disusul oleh rakyat di Pulau Haruku dan Jazirah Hitu.
Satu tiba tanggal 21 Mei dengan kira-kira tigabelas orang dan yang satu lagi dengan kira-
kira lima puluh orang tenggelam sewaktu keluar Teluk Saparua. Semua orang mati tenggelam.
Arombai lain yang dipimpin oleh orang kaya Batumerah dengan muatan mesiu, makanan dari air
juga tidak selamat. Pada saat pendaratan orang kaya itu tidak bersedia turut serta. Pada waktu
yang sangat kritis orang kaya itu dengan anak buahnya melarikan arombai mereka menuju ke
Ambon. Karena dicurigai, maka setiba di Ambon ia ditawan. Kemudian tiba lagi sebuah arombai
dengan duapuluh orang. Dari kurang lebih tigaratus orang serdadu dan opsir Belanda yang
selamat hanya kira-kira tigapuluh orang. Sungguh suatu kekalahan besar dan suatu tamparan
yang hebat bagi para komisaris, pimpinan militer dan angkatan laut Belanda.
Tiada ayal lagi siasat Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya berhasil gemilang. Ini diakui
pula oleh ahli- ahli militer Belanda di kemudian hari. Mereka menilai kekalahan Beetjes itu
sebagai suatu kesalahan militer yang besar. Mayor itu sebelum pendaratan tidak mengadakan
manoeuvers, yaitu siasat pendaratan semu di berbagai tempat untuk mengelabui lawan, tidak
melakukan siasat serangan, dan tidak membentuk basis untuk mundur dalam keadaan terjepit.
Kesalahan itu menyebabkan pasukannya hancur dan berpuluh-puluh senjata jatuh ke tangan
pasukan rakyat. Karena kesalahan strategi itu mayat mayor Beetjes dan pasukannya tergeletak di
Pantai Waisisil dan terapung-apung di laut. Di antara mereka tergeletak juga mayat pasukan
rakyat. Ada pula yang luka- luka. Pasukan Nusalaut tiba terlambat. Para kapitan mereka dihardik
dan dimaki- maki oleh panglima perang. Sebagai hukuman mereka ditugaskan untuk menanam
mayat- mayat pasukan Belanda dalam sebuah lobang yang besar. Mayat pasukan rakyat dibawa
pulang ke negeri masing- masing. Pertempuran berakhir kira-kira pukul duabelas, jadi hanya satu
jam bertempur. Suatu kemenangan yang gilang-gemilang. Kira-kira pukul tiga siang dua orang
tua, Sahuleka dan Lukas Souhoka, disertai banyak orang Haria membawa pulang seorang
tawanan Belanda. Sambil bersorak-sorak, mereka membawanya mengelilingi "baeleo" .
Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan. Kira-kira pukul lima Kapitan Thomas Matulessia tiba
disertai pasukan Haria clan Porto. Mereka juga membawa seorang tawanan."")
Van Hamer dan Leidemeyer, demikian nama kedua orang tawanan itu, sangat beruntung,
karena mendapat pengampunan dari Kapitan Matulessia. Yang satu karena memperlihatkan tan-
da rajah di tangannya dan mengaku orang Inggris. sedangkan yang lain adalah pemukul
genderang dan penjahit yang kebetulan diperlukan oleh panglima perang. Keduanya kemudian
berdinas langsung di bawah pengawasan Kapitan Matulessia sampai Saparua direbut kembali
lalu mereka dibebaskan.
Makam de Haas di pantai Waisisil. Leman dua E.S. de Haas tewas dalam ekspedisi Beetjes 1817. Konon
dibawah kubur ini dimakamkan kembali dalam tahun 1884 sejumlah besar kerangka pasukan Belanda
yang tewas (foto penulis sebelah kiri 1976).
Malam itu rakyat Tiow dan Saparua bergembira ria. Api unggun menerangi setiap
lapangan dan pantai. Rakyat berkumpul mengelilingi pasukan-pasukan yang baru pulang,
berdendang dan menari. Lagu- lagu kemenangan berkumandang di udara. Tuak dan sopi
menghangatkan suasana dan membumbui cerita cerita pertempuran. Anak-anak dan para remaja
mengerumuni pasukan mendengar berbagai cerita bagaimana musuh, Kompania Wolanda
dihantam dan dihancurkan. Kesibukan di pantai Waisisil sampai dini hari menandakan pasukan
dari Nusalaut bekerja keras menguburkan mayat- mayat. Dibanyak negeri rakyat bersukaria.
"Kompania Wolanda sudah mati," begitulah berkumandang teriakan dan sorak-sorakan. Rakyat
Haria dan Porto tidak ketinggalan. Semalam suntuk orang berdendang dan menari. Pemuda-
pemuda Haria membanggakan diri bahwa rencana yang mereka cetuskan di Wailunyo terlaksana
dengan baik.
Alangkah bejatnya moral seorang pembesar yang menamakan diri berasal dari bangsa yang
beradab, yang ditugaskan untuk memerintah rakyat. Penuh nafsu pembunuhan. Jawaban rakyat
adalah memerangi Belanda sampai merdeka atau mati.
Sementara itu apa yang terjadi dimarkas besar? Pattimura dan stafnya tidak senang melihat
kegagalan kapitan-kapitan dan raja-raja di Haruku. Sering ia marah- marah jika tiba berita yang-
tidak menyenangkan dari pulau itu. Pikirannya berputar putar. Apa sebabnya pasukan yang
begitu besar tidak berhasil merebut Benteng Zeelandia? Pada tanggal 16 Juni orang-orang
Hulaliu membawa raja Oma, guru sekolah Oma, lima orang laki- laki dan seorang anak kecil
laki- laki, semuanya berasal dari Negeri Haruku. Raja Oma melaporkan peristiwa yang terjadi
dengan raja Haruku. Kapitan Pattimura menjadi sangat marah. Demikian pula orang-orang Haria
yang berada di markas besar. Orang-orang Haruku itu dipukul dan diancam untuk dibunuh.
Siang hari pukul duabelas, tanggal 18 Juni, ketika Pattimura berada di baeleo, datang
orang-orang Aboru dengan sepucuk surat damai. Rupanya dari pihak Belanda. Setelah memba-
canya, Pattimura menolak menjawab surat itu. Dilemparkan surat itu ketanah lalu berkata kepada
orang-orang Aboru itu agar mengembalikan surat itu kepada pengirimnya. Orang-orang itu
memungut surat itu lalu kembali ke Aboru.
Peristiwa pengkhianatan raja Haruku, yang diikuti serangan Belanda terhadap Oma, Kabau
dan Ruhumoni mencemaskan Kapitan Pattimura dan stafnya. Mereka menyeberang ke Hulaliu
untuk berunding dengan para komandan dan kapitan-kapitan setempat. Semua berpendapat
bahwa pertahanan Belanda di benteng sudah sangat kuat, ditunjang oleh kapal-kapal perang. Jadi
sudah sulit untuk merebut benteng itu. Kapitan Selano, Aron dan Pattisaba diperintahkan untuk
menyusun barisan pertahanan Pulau Haruku. Belanda memang tidak berhasil diusir dari Haruku.
Selalu saja terjadi kontak senjata dengan musuh yang beroperasi dari benteng. Keadaan ini
berlangsung sampai bulan Oktober.
Berhari-hari rakyat di Pulau Saparua sangat sibuk. Tua muda lelaki perempuan, semua giat
mengangkat batu karang, tanah dan pasir untuk membuat kubu-kubu pertahanan di negeri
masing- masing. Kubu-kubu merupakan pagar batu, tinggi enam dan tebal empat kaki. Dengan
peluru meriam empatpuluh delapan pon kubu itu tidak dapat ditembus. Kapitan Pattimura dan
pembantu-pembantunya berkeliling mengawasi pembuatan kubu-kubu itu. Anthone Rhebok
ditugaskan menyeberang ke Nusalaut untuk mengatur dan mengkoordinasi pertahanan di sang.
Kapitan Paulus Tiahahu ditetapkan sebagai komandan pasukan di Nusalaut.
Sudah tiba saatnya untuk mengakhiri perlawanan kalian, jadi kami memberikan waktu dua
puluh empat jam untuk kalian insyaf kembali. Kompeni sekarang sudah mengetahui bahwa
kalian diperlakukan sewenang-wenang oleh residen. Oleh karena itu baiklah kalian
memilih suatu perutusan dan mengirim mereka kekapal saya, sehingga dapatlah mereka
kemukakan keinginan kalian. Dan saya berjanji, Kompeni akan memenuhi keinginan
kalian yang wajar. Bendera putih, mulai sekarang, akan terus berkibar dari kedua kapal
perang selama dua puluh empat jam. Dan sesudah waktu itu berlalu, tanpa ada sesuatu
putusan dari fihak kalian untuk menyerah, maka permusuhan akan dilanjutkan lagi. Kalian
tidak usah khawatir akan nasib perutusan yang akan datang ke kapal itu. Mereka akan
bebas dan tanpa cedera apapun akan diturunkan ke darat lagi.
Surat itu diikat pada sepotong tongkat bersama dengan sehelai bendera putih. Kira-kira
setengah dua siang di ”Maria Reygersbergen” dan ”Iris” dinaikkan bendera putih disertai dengan
satu kali tembakan penghormatan. Pada saat yang sama sebuah sekoci diturunkan dari Iris,
dikayuh oleh awak kapal Bugis menuju ke darat. Setiba di pantai seorang mandor yang
ditugaskan meloncat dari sekoci serta membawa tongkat berbendera putih itu dengan surat yang
terikat pada ujungnya. Kira-kira sepuluh menit ia menunggu, tetapi tidak ada seorang pun yang
muncul. Para kapitan yang mengawasi gerak- gerik musuh dari balik hutan dan semak sangat
waspada dan berhati- hati. Mereka mencurigai tindak-tanduk kapal-kapal perang musuh. Tetapi
mereka pun tidak terburu-buru untuk menembak awak kapal yang menuju ke darat itu. Seorang
berteriak supaya mandor itu datang ke kampung. Akan tetapi karena hal itu bertentangan dengan
perintah komandannya, maka ia menancapkan tongkat itu di pasir, meloncat kembali ke dalam
sekoci lalu berkayuhlah awak kapal itu kembali ke Iris.
Tidak lama kemudian seorang laki- laki muncul dari balik hutan dan mengambil tongkat
itu. Sekira setengah jam kemudian seorang pemuda tampil ke pantai lalu berteriak kekapal:
"Kami telah membaca surat itu. Jangan lagi menembak kami". Dari kapal terdengar teriakan,
tidak akan menembak. Lalu pasukan rakyat muncul di pantai, semuanya bersenjata bedil.
Seorang kapitan, panglima pasukan rakyat Hatawano digotong dengan tandu lalu diletakkan di
atas pantai.
Pada petang hari, pukul lima, kelihatan kapal-kapal perang itu mengangkat jangkar seraya
mendekati pantai. Hal ini mencurigai rakyat. Mereka berteriak: "Hai itu tidak jujur". Memang
komandan Groot merencanakan untuk mendekati pantai sedapat mungkin dan membuang
jangkar, dengan maksud jika ada terjadi tembakan dari darat segera meriam- meriam akan
memuntahkan pelurunya dan pasukan akan didaratkan. Kelihatan seorang awak kapal mencoba
melepaskan bendera putih dari kusutan ikatan tali haluan kapal. Melihat hal ini berteriak pasukan
rakyat: "Hai jangan turunkan bendera itu". Mereka mengira bendera putih akan diturunkan tanda
penembakan akan dimulai lagi.
Para - kapitan dan raja-raja memerlukan waktu untuk menjawab surat Belanda itu. Rakyat
perlu mengetahui isinya. Dan Pattimura perlu segera diberitahukan. Oleh karena itu sesudah
matahari terbenam muncul seorang laki- laki lalu berteriak kekapal: "Surat itu akan dibaca di
semua gereja negeri- negeri pada hari Minggu tanggal 13 Juli. Jawaban akan diberikan baru pada
hari Senin lusa. Sampai hari itu kami minta penundaan jawaban." Overste Groot tidak menjawab.
Pada malam hari Belanda mengadakan perondaan mengelilingi kapal perang dengan sekoci-
sekoci yang dipersenjatai. Pasukan Pattimura mengawasi gerak-gerik mereka. Pada waktu
pengawal kapal berteriak: "Semuanya beres", maka disambut oleh pasukan rakyat: "Jaga, jaga"
berarti "awas, awas". Semalam suntuk kedua belah pihak intai- mengintai.
Segera sesudah surat itu diterima, disalin oleh tiap raja dan dikirim, ke negeri- negeri. Kurir
dikirim ke Saparua membawa surat itu kepada Pattimura dan stafnya. Malam itu juga pimpinan
perang mengadakan perundingan. Kurir dikirim kembali dengan perintah agar tidak mengirim
utusan ke kapal, tetapi memancing kapten kapal turun ke darat.
Hari Minggu, tanggal 13 Juli lonceng gereja berdentang mengundang anak-anak Allah
datang menyembahnya. Suasana pada pagi itu dilima Negeri Hatawano penuh ketegangan dan
kekhawatiran akan tembakan meriam dari kapal perang. Rakyat turun dari gunung dan keluar
dari hutan untuk berbakti. Gereja gereja penuh sesak. Sesudah khotbah selesai dan doa dinaikkan
untuk mohon perlindungan Allah Yang Mahakuasa dalam perjuangan menentang kelaliman
Belanda, maka surat Overste Groot itu dibaca. Dengan tenang rakyat mendengar isinya. Surat itu
akan dibalas sesudah musyawarah di baeleo Nolot sehabis kebaktian.
Raja-raja dan patih, para kapitan dan tua-tua adat yang ada di Hatawano segera berkumpul
dibaeleo Nolot setelah kebaktian gereja. Musyawarah diadakan untuk menentukan sikap
berdasarkan instruksi dari Panglima Perang Pattimura. Segala kemungkinan diperhitungkan.
Akhirnya disusun sepucuk surat sebagai balasan atas surat Overste Groot, yang berbunyi:1)
Kami telah menerima surat tuan dan mengerti isinya. Kami tidak mempunyai perahu untuk
datang ke kapal. Tetapi jika kapten bersedia turun kedarat untuk bermusyawarah dengan
kami dibaeleo akan sangat menyenangkan kami. Kalau tidak kirim kepada kami orang-
orang Ambon bergor dan orang-orang hitam saja.
Tertanda,
Kapitan-kapitan dari Seram, Saparua dan Nusalaut
Pukul sebelas seorang lelaki muncul di pantai. Ia membawa sepotong kayu dengan surat itu
diikat pada bendera putih. Kayu itu ditancapkan di pasir lalu menghilang dibalik belukar. Dari
kapal perang Iris diturunkan sekoci, dikayuh oleh beberapa awak kapal kedarat. Surat itu diambil
clan diantarkan kepada Overste Groot.
Sesudah kedua opsir itu membaca dengan teliti isi keberatan rakyat itu dan meminta
penjelasan seperlunya, maka bertanya mereka kepada para pemimpin rakyat: "Syarat apa yang
kalian inginkan untuk berdamai?" Salah seorang pemimpin mengemukakan: "Kirimlah dari
Batavia dua orang pendeta untuk memimpin ibadah dan jema'at". Hadirin menyokong
permintaan ini. Karena tidak ada lagi yang hendak diperbincangkan, kedua belah pihak
menyetujui bahwa keberatan-keberatan itu akan disampaikan kepada gubernur. Dan agar
terpelihara saling pengertian yang telah timbul, untuk sementara waktu, bendera putih tetap
dikibarkan didaratan dan dikapal perang.
Sebelum kedua opsir itu kembali kekapal, mereka menerima sepucuk surat untuk
disampaikan kepada komandan Groot. Pukul sebelas kedua utusan itu tiba kembali dikapal lalu
melaporkan hasil perundingan mereka kepada Kapten Groot dan Kapten Pool. Groot membuka
surat yang dibawa oleh para utusan. Surat itu berasal dari raja-raja Negeri Ihamahu, Itawaka,
Nolot, Tuhaha dan Paperu. Mereka minta supaya Christiaansen dikirim ke Saparua untuk
berunding dengan Kapitan Pattimura. Komandan Groot mengemukakan hal ini kepada
Christiaansen. Pandu ini tidak berkeberatan karena menurut pendapatnya cara para utusan
diterima memperlihatkan niat yang yang baik. Christiaansen secara suka rela akan berangkat ke
Saparua. Mungkin karena Christiaansen pernah menjadi pandu semasa pemerintahan Inggris di
Ambon. Jika demikian ia mengharapkan dapat bertemu dengan bekas prajurit gemblengan
Inggris, antara lain dengan Thomas Matulessia, yang mungkin sudah dikenalnya. Oleh karena itu
ia berani berangkat sendiri dan harapan missinya akan berhasil. Akhirnya komandan Groot dan
Pool menyetujui pengiriman ini.
Sesudah perundingan di Pantai Hatawano selesai, hasilnya diberitahukan kepada para
kapitan dan raja-raja serta patih. Segera hasil itu disampaikan juga kepada Kapitan Pattimura.
Juga dilaporkan tentang permintaan raja-raja dan patih untuk mengirim Christiaansen ke
Saparua. Christiaansen dilengkapi dengan surat-surat untuk panglima perang di Saparua. Pukul
tiga siang ia berangkat dan berkayuh dengan sebuah perahu berbendera putih dari labuhan
Hatawano ke Pantai Ihamahu. Kedatangannya sudah diketahui oleh pasukan rakyat yang berjaga
jaga di pantai. Beberapa orang pemuda mengantarnya berjalan kaki ke Saparua, yang memakan
waktu kira-kira sejam setengah.
Markas besar di Saparua bertempat di sebuah bangsal besar di lapangan. Anthone Rhebok
dan Latumahina menerima utusan Belanda itu. Sesudah surat-suratnya diperiksa lalu ia diantar-
kan kehadapan Pattimura. Sekarang ia berhadap-hadapan dengan Thomas Matulessia, orang
yang banyak disebut-sebut sebagai panglima perang. Sikap Pattimura menerima utusan itu tegas
sebagai seorang panglima perang, tetapi dengan cara yang patut sebagai seorang militer yang
berpendidikan. Tanya-jawab terjadi mengenai maksud kedatangannya. Kemudian Pattimura
mengulangi keberatan-keberatan yang telah disampaikan di Hatawano. Karena lancar berbahasa
Melayu Christiaansen bisa mengerti sebab-sebab rakyat mengangkat senjata dan menangkap isi
hati para pemimpinnya.
Selesai pembicaraan, malam telah tiba, Pattimura menganjurkan supaya Christiaansen
bermalam Baja di markas karena keselamatannya bisa terancam jika ia kembali dalam gelap
gulita malam itu. Tetapi jika ia mau mengirim berita kepada komandannya, seorang kurir akan
membawanya ke Hatawano. Christiaansen dibawa ke sebuah rumah, lalu menulis sepucuk surat
kepada komandannya. Antara lain ia melaporkan bahwa sikap Pattimura dan stafnya wajar
seperti seorang militer yang cukup ramah. Oleh karena itu Overste Groot dianjurkan supaya
mengirim seorang opsir dan seorang kadet ke Saparua sesuai permintaan Pattimura. Surat itu
kemudian diantarkan ke Hatawano dan Sesudah diteriakkan dari pantai, datanglah seorang awak
dengan sekoci lalu mengambilnya.
Setelah isinya dipertimbangkan oleh komandan Groot, malam itu juga seorang opsir,
Boelen namanya, diperintahkan berangkat ke Ambon dengan sebuah barkas. Setibanya tanggal
16 Juli pagi, Boelen menghadap van Middelkoop melaporkan apa yang terjadi di Hatawano
seraya menyampaikan keberatan keberatan rakyat terhadap gubernemen. Dilaporkan pula apa
yang ditulis oleh Christiaansen. Gubernur kemudian mengemukakan keinginannya untuk hadir
pada perundingan selanjutnya di Hatawano. Keinginannya itu dicantumkan pula dalam suratnya
kepada Overste Groot.
Sementara itu kirim- mengirim surat secara teratur terjadi antara Christiaansen dengan
komandannya. Pattimura menginginkan agar raja-raja dan patih bertemu dengan komandan
Groot pada tanggal 19 Juli didaratan Hatawano. Untuk itu supaya komandan mengirimkan
seorang opsir ke Saparua guna menjemput raja-raja. Groot dan Pool memutuskan untuk me-
ngirim seorang opsir lagi memenuhi permintaan Pattimura, sekaligus ia dapat mempergunakan
kesempatan untuk melihatlihat gerak-gerik pasukan rakyat dan para pemimpin mereka serta
persenjataan yang mereka miliki. Pilihan jatuh pada Letnan Feldman yang pandai berbahasa
Melayu. la berangkat tanggal 17 Juli keSaparua sebagai utusan Belanda. Surat van Meddelkoop
dibicarakan oleh komandan dengan para opsirnya.
Mereka memutuskan untuk mengirim sebuah surat kepada van Middelkoop. Keinginan
gubernur itu tidak dapat diterima dengan alasan bahwa Pattimura clan stafnya hanya mau
berunding dengan utusan yang dikirim dari Batavia.
Apa yang terjadi dengan Feldman? Dari Pelabuhan Hatawano ia diantar ke pantai Ihamahu
pada pukul delapan pagi dengan sekoci berbendera putih. Segera sesudah mendarat, enam orang
pengawal pantai mengantarnya keNegeri Ihamahu. Dari sini keenam orang itu membawanya
dengan perahu nelayan, meliwati sebuah tanjung, lalu mendaratlah mereka. Dari pantai itu
mereka berangkat ke Saparua. Feldman membawa sepotong tongkat berbendera putih. Sepanjang
jalan mereka bertemu dengan rombongan pasukan pengawal yang turut serta menggabungkan
diri, sehingga makin besar rombongan itu menjadi kira-kira enam puluh orang jumlahnya. Setiba
di perbatasan Saparua, Feldman diperintahkan agar menunggu. Seorang pengawal perbatasan
diperintahkan untuk memberitahukan kedatangan utusan Belanda itu kepada Pattimura.
Ketika pengawal itu tiba di markas, Kapitan Pattimura sedang berada di tengah sebuah
pasukan yang besar jumlahnya. Berita disampaikan. Setengah jam kemudian Pattimura menuju
ke perbatasan diikuti oleh pasukan rakyat. Feldman sangat terkejut ketika dari jauh kedengaran
sorak-sorai pasukan-pasukan yang muncul dari hutan-hutan. Semuanya menuju ke arahnya
dengan senjata bedil, kelewang, tombak, panah dan lain- lain. Didepan Pattimura berjalan
sepasukan Alifuru yang datang mengancam Feldman dengan tombak. Kapitan Pattimura
biasanya dikelilingi oleh pasukan pengawal penembak jitu. Kapitan itu berpakaian sederhana
saja seperti pasukannya. Dua buah pistol bergantungan pada pinggangnya dengan kelewang di
tangannya.
Dengan cahaya mata penuh penghinaan, Pattimura memandang utusan itu. Kemudian
tanpa bicara ia membali lalu memberi isyarat supaya Feldman mengikutinya. Setiba di markas
besar Feldman tidak melihat Christiaansen karena pandu itu telah berangkat kembali ke
Hatawano. Untuk menakut-nakuti Feldman, ia diperintahkan berdiri di depan bangsal, dikelilingi
oleh pasukan-pasukan yang mengancamnya. Beberapa waktu kemudian Pattimura menyuruh
orang menanyakan Feldman tentang maksud kedatangannya ke Saparua. Feldman mengatakan
bahwa ia datang memenuhi keinginan Kapitan Matulessia sendiri untuk menjemput raja-raja
yang akan datang ke Hatawano pada hari Sabtu tanggal 19 Juli guna berunding dengan pihak
Belanda. Hal ini telah diberitahukan oleh Groot kepada Pattimura beberapa hari yang lalu dalam
suratnya. Kelewang Feldman diambil dan akan dikembalikan lagi jika ia hendak berangkat
kembali kekapalnya. Kemudian dia disuruh masuk kebangsal menghadap Pattimura.
Pembicaraan berlangsung. Pattimura menanyakan Feldman mengenai kapal apa yang pagi
itu masuk ke Hatawano. Feldman menjawab bahwa ia tidak tahu. Pattimura menjadi marah dan
mengancam utusan itu. Tetapi Feldman menjawab bahwa sewaktu ia berangkat kapal itu masih
jauh, tidak dapat dikenal. Dengan nada marah Feldman diperintahkan supaya segera menulis
surat kepada Overste Groot, minta supaya komandan itu atau seorang opsir kapal datang ke
Saparua nanti malam. Segera surat itu ditulis dan dibawa oleh kurir ke Hatawano. Pattimura
masuk ruangan meninggalkan utusan itu dengan raja-raja yang ada di situ. Ketika ia keluar lagi,
kapitan itu telah mengenakan pakaian militer. la disambut dengan sorakan oleh para pasukan.
Feldman diajaknya pergi kepantai dekat Benteng Duurstede. Ditengah jalan Pattimura menunjuk
ke arah pasukannya dan berkata; lihatlah, masih ada beribu-ribu lagi. Tiba di pantai melalui
teropongnya ia melayangkan pandangannya ke laut mencari kalau-kalau ada kapal perang
musuh. Dari situ rombongan kembali ke markas. Pattimura memerintahkan menyiapkan kudanya
dan kemudian menuju ke Haria diikuti oleh Feldman dan para pengawal dengan berjalan kaki. Di
tengah jalan Feldman ditakuti-takuti akan diternbak, ditombak, ditikam dan lain- lain oleh
pasukan yang berjaga-jaga sepanjang jalan. Begitu benci mereka kepada Belanda. Pattimura
yang telah jauh didepan terpaksa kembali lagi untuk menentramkan anak buahnya. Sejam
kemudian mereka tiba di Haria dan menuju kerumah keluarga Matulessia. Disitu letnan itu
bertemu dengan ibu Thomas yang sudah tua. Ia dipertemukan juga dengan dua orang tawanan
Belanda dari pasukan Beetjes. Mereka mengira bahwa dia datang untuk membebaskan mereka.
Mereka kelihatan segar-bugar dan berpakaian seperti rakyat biasa. Tetapi kemudian mereka
dibawa kembali ketempat tawanan.
Siang hari rombongan dari Saparua itu makan bersama. Di antaranya ada beberapa orang
raja. Sementara makan Pattimura menanyakan Feldman tentang keluarganya. Letnan itu
menjawab bahwa ayahnya seorang pendeta. Hadirin merasa tertarik dan mengangguk-angguk,
suatu pertanda baik. Sambil bergurau Pattimura mengatakan: "Letnan Feldman, tulislah ayah
tuan agar dia datang kemari menjadi residen di Saparua". Mulai saat itu letnan itu diperlakukan
dengan baik, sebab rakyat sangat menghormati seorang pendeta.
Menjelang malam hari mereka kembali ke Saparua. Malam itu dan malam- malam
selanjutnya, letnan itu bermalam di bangsal bersama pasukan pengawal. Sebetulnya kepadanya
telah ditawarkan sebuah rumah, tetapi karena takut, maka dimintanya agar ia bermalam saja di
bangsal. Tetapi tidurnya itu terganggu semalaman oleh bunyi tifa dan dendang pasukan.
Dua hari lamanya dia berada bersama Pattimura. la dibawa kemana- mana kecuali kedalam
benteng. Pengalamannya dengan Kapitan Pattimura menyebabkan ia bisa menilai temperamen
panglima perang. la baik hati, tetapi segera marah bila ada hal yang tidak disenanginya atau jika
jawaban Feldman tidak menyenangkan hatinya. Feldman harus berhati- hati agar tidak
menyinggung perkataan kapitan. Ketika mereka pada suatu siang meliwati sebuah gereja
diHaria, dari jauh Pattimura telah mengangkat topinya, mengatup kedua tangannya serta dengan
rendah hati melewati gedung itu. Suatu tanda bahwa ia beragama yang mendalam. Melihat hal
itu Feldman segera menyontoh Pattimura.
Tanggal 19 Juli pagi panglima perang memerintahkan supaya Feldman diantar kembali ke
Hatawano. Ketika letnan itu menanyakan apakah Pattimura tidak turut serta, kapitan itu
menjawab: "Tidak, sampaikan kepada tuan komandan bahwa raja-raja akan berada di Hatawano.
Katakan kepada tuan overste supaya datang berunding dengan mereka."'') Pedangnya diserahkan
kembali dan pulanglah Letnan Feldman. Setibanya dikapal ia melaporkan segala sesuatu kepada
komandannya.
Pada hari itu Kapitan "Thomas Matulessia dan stafnya mengatur siasat menghadapi
perundingan. Kepercayaan yang telah ditimbulkan pada Christiaansen dan Fledman membuka
jalan bagi terpancingnya Overste Groot untuk turun berunding ke darat. Pattimura
memerintahkan supaya raja-raja dan patih berunding dengan utusan Belanda. Kapitan Lukas
Lisapaly alias Aron harus bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Raja-raja yang berada di Saparua diperintahkan agar berangkat ke Hatawano dan
turut dalam perundingan. Sebagian dari pasukan yang dipusatkan di Saparua diperintahkan untuk
berangkat ke Hatawano untuk menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran. Diperkirakan,
jika perundingan gagal, pertempuran pasti terjadi. Pukul dua telah ditetapkan dan disetujui oleh
Groot sebagai waktu perundingan dimulai. Pukul tiga Pattimura dan stafnya akan tiba di
Hatawano.
Pukul dua siang Overste Groot disertai Letnan Ellinghuyzen dan kapten kapal The
Dispatch, Grozier yang akan bertindak sebagai juru bahasa turun kedarat. Dua orang serdadu
mengawal mereka. Sebelum berangkat Kapten Pool dan pars opsir diinstruksikan supaya
menyiapkan meriam- meriam dan anak buah untuk menghadapi segala kemungkinan. Setiba di
pantai utusan Belanda diterima oleh empat orang raja. Rombongan diantarkan ke sebuah rumah.
Di situ telah menunggu raja-raja dan patih yang berjubah hitam. Jubah atau pakaian hitam
dipakai untuk ke gereja atau kesempatan yang menuntut kekhidmatan seperti dalam
musyawarah. Suasana dalam tempat perundingan itu memantulkan kesungguhan pada wajah
raja-raja dan patih. Di tempat perundingan itu Overste Groot bertemu kembali dengan
Christiaansen. Utusan Belanda dipersilahkan duduk. Segera Overste Groot mengajukan
pertanyaan mengapa raja-raja dan rakyat memerangi Belanda. Raja Nolot meminta supaya
komandan bersabar, karena masih ada tiga orang raja lagi yang akan hadir. Sesudah ketiga orang
itu tiba, perundingan dimulai. Overste Groot mengulangi lagi pertanyaannya. Sebagai jawaban
keberatan-keberatan diulangi lagi. Rakyat tidak dapat menerima tindakan-tindakan Belanda yang
tidak sesuai dengan agama yang Belanda sendiri anut, dan yang mereka siarkan didalam
masyarakat, yaitu agama Kristen Protestan.
Sementara perundingan berjalan, pasukan-pasukan di bawah pimpinan Kapitan Aron
mengepung rumah tempat perundingan. Rupa-rupanya firasat Groot menjadikannya waspada.
Mungkin juga dari celah-celah dinding para utusan Belanda sempat melihat gerakan di luar
rumah yang mencurigakan. Lalu Groot menghentikan perundingan dan memutuskan untuk
kembali kekapal. Ia meninggalkan pesan supaya pemimpin pemimpin rakyat mengirim saja surat
kekapal dan menjelaskan sikap mereka. Kemudian rombongan itu minta diri dan kembali
kekapal. Kapitan Lukas dan pasukannya tidak bisa berbuat apa-apa karena instruksi dari Saparua
berbunyi: "Tidak boleh bertindak, tunggu kedatangan Pattimura.'.'
Kira-kira pukul tiga Pattimura dan stafnya tiba, tetapi utusan Belanda sudah tidak ada. Ia
datang dengan perhitungan bahwa Belanda akan menolak tumutan raja-raja, sehingga perlu
diambil sikap yang tegas, seraya memberi pimpinan kepada rakyat dalam pertempuran.
Perundingan kilat dengan raja-raja dan patih diadakan. Perundingan selanjutnya dengan Belanda
ditolak. Pertempuran akan diteruskan. Kira-kira setengah jam kemudian mereka menerima surat
dari Groot. Pattimura memerintahkan agar surat itu dikembalikan disertai pesan bahwa rakyat
siap bertempur.
Raja-raja dan patih bermusyawarah lalu menyampaikan pendirian mereka, kepada Belanda
yang berbunyi:")
Dengan hikmat Allah kami telah memilih Thomas Matulessia menjadi panglima kami
untuk melanjutkan perang. Kami tidak mau lagi diperintah oleh Kompania Wolanda.
(gubernemen Belanda).
Rakyat tidak sudi lagi dijajah. Kapitan Pattimura mengumpulkan para kapitan dan
memerintahkan supaya bersiap siap untuk bertempur. Tiang bendera putih dicabut dari
tancapannya di pantai. Di kapal Reygersbergen Overste Groot mengumpulkan para opsir untuk
membicarakan sikap Pattimura dan raja-raja serta tindakan spa yang akan diambil selanjutnya.
Keesokan harinya, bendera putih diturunkan dari tiang kapal-kapal perang.
Tetapi pendaratannya digempur dan dipukul mundur. Gagal lagi serangan Belanda. Juga
usahanya untuk membakar beberapa arombai di Pantai Ihamahu disambut dengan tembakan
yang gencar sehingga gagal pula usaha itu. Sementara itu keadaan menjadi reda seketika. Tetapi
terlihat sekali lagi bahwa Komandan Groot menggerakkan pasukan pendaratannya. Kali ini
pasukan Belanda berhasil menerobos masuk ke Negeri Nolot. Arombai dan perahu dibakar.
Rumah rakyat, rumah raja dan gereja menjadi mangsa api. Para kapitan mengerahkan
pasukannya mengepung pasukan Belanda. Tetapi kedengaran ada perintah mundur ke kapal.
Selamatlah pasukan itu!
Hari- hari berikutnya penembakan dan pendaratan terulang lagi, tetapi pasukan-pasukan
Belanda tidak dapat mempertahankan diri di daratan. Pasukan rakyat selalu memukul mundur
pasukan musuh. Mulai dari tanggal 26 Juli tembakan-tembakan sudah berkurang dan pendaratan
menjadi jarang karena banyak korban telah ditelan oleh kolam-kolam yang penuh dengan
borang-borang (bambu tajam dan runcing).
The Dispatch yang pada tanggal 21 Juli Siang dikirim ke Haruku untuk memberi laporan
yang harus diteruskan ke Ambon, telah kembali pada akhir Juli. Sampai waktu itu Belanda tidak
berhasil merebut sejengkal tanah pun. Lagi pula, sekalipun kapal-kapal perang Belanda berusaha
memutuskan hubungan antara Seram dan Saparua, tetapi bala bantuan dari Seram tetap terus
mengalir ke Hatawano. Kekuatan rakyat tidak bisa dipatahkan. Overste Groot terpaksa
merencanakan siasat barn yaitu mencoba mendaratkan pasukannya di Negeri Saparua. Perjuang-
an di jazirah Hatawano merupakan suatu kemenangan bagi rakyat Hatawano.
Keterangan itu benar-benar menguntungkan Belanda. Tetapi bahwa rakyat Nusalaut setia
kepada Belanda adalah suatu kebohongan. Pada saat patih Akoon memberi keterangan itu,
pahlawan-pahlawan dari Nusalaut sedang mempertaruhkan jiwa raganya di medan laga di
Hatawano dan Haruku. Kebohongan itu akan terbukti lagi dalam bulan-bulan yang akan datang
yaitu ketika Kapitan Paulus Tiahahu memimpin pejuang pejuang Nusahalawano memerangi
Belanda di Nusalaut dan Jazirah Tenggara Saparua. Munculnya Christina Martha di tengah-
tengah pasukan rakyat mempertinggi semangat juang pahlawan-pahlawan Nusalaut.
Kebohongan itu terbukti lagi ketika beberapa hari kemudian patih Akoon itu diantar oleh
The Dispatch kembali ke negerinya. Setiba di Akoon ia diturunkan ke darat dengan sekoci.
Tetapi begitu dia menginjak pantai, ia dikejar oleh rakyatnya sendiri dan nyaris tertangkap, jika
tidak segera meloncat ke dalam sekoci yang melarikannya. Grozier sendiri memberi kesaksian
dalam laporannya kepada Groot sewaktu ia tiba kembali dengan patih itu. Ketika ia mendekati
Akoon, ternyata orang orang yang ada didarat memusuhinya.
Pengkhianatan Dominggus Tuwanakotta itu akan menyebabkan malapetaka bagi mata
rumahnya. Beberapa hari kemudian putrinya dicemar dan kakaknya, Julianus Tuwanakotta di-
bunuh oleh rakyat Porto dan Haria.
Berita itu disampaikan kepada Pattimura yang pada waktu itu sedang memimpin
pertempuran di Hatawano. Orang-orang Kelmuri itu disuruh datang ke Hatawano. Didalam
pertemuan dengan Pattimura mereka menawarkan bantuan kepada para pejuang. Mereka
membawa mesiu untuk ditukar dengan cengkih. Sebab itu Pattimura memerintahkan para
pembantunya supaya pergi ke Benteng Duurstede dan mengambil cengkih yang diperlukan oleh
orang-orang Kelmuri itu. Inilah permulaan bantuan rakyat Seram Timur kepada para pejuang di
Saparua. Mesiu itu sangat diperlukan dalam pertempuran yang sedang menghangat di Hatawano.
Pada tanggal 27 Juli datang orang-orang dari Seram Selor dengan sebuah arombai penuh
mesiu. Pimpinan perang sangat gembira dengan bantuan dari Seram Timur itu. Mesiu itu ditukar
pula dengan cengkih. Rupanya seruan Pattimura pada awal perang kepada semua raja-raja di
Seram supaya membantu rakyat Ambon dan Lease dalam perjuangan mengusir Belanda dari
tanah air mereka, tidak sia-sia.
Para pelaut dan para pedagang Seram Timur, dengan perahu layar yang disebut rakyat
perahu "bot", adalah pelaut pelaut yang tangguh dan berani. Karena dimasa sebelumnya mereka
tidak langsung dikuasai oleh Kompeni, mereka lebih bebas bergerak; mereka tidak terlalu
menderita karena tekanan monopoli. Mereka bisa berlayar sampai keSulawesi, Bali dan Lombok.
Mereka inilah yang menjadi penghubung antara rakyat yang berjuang dengan rakyat Makasar
dan raja-raja Bali dan Lombok. Para pelaut ini datang ke Saparua, Haria, Hatawano clan Hitu
menerobos blokade Belanda, dan mengadakan hubungan dengan Kapitan Pattimura di Saparua
clan Ulupaha di Hitu. Mereka membawa mesiu dan bedil yang ditukarkan dengan cengkih.
Kemudian mereka berlayar ke Bali, Lombok clan Sulawesi Selatan. Di situ mereka menceritakan
perlawanan rakyat Seram, Ambon dan Lease. Raja-raja di Bali dan Lombok memberi bantuan
berupa senjata dan mesiu yang ditukar dengan cengkih. Selama peperangan berjalan, para pelaut
Seram Timur ini sangat berjasa bagi rakyat yang sedang berjuang. Demikian pula raja-raja di
Bali dan Lombok. Sekalipun kapal kapal Belanda berpatroli di perairan Maluku, tetapi pelaut
pelaut Makasar berhasil juga menembus blokade itu dan membawa bantuan berupa mesiu,
senjata api dan beras bagi para pejuang yang ditukarkan dengan cengkih.
Sementara itu pasukan Pattimura bergerak dan menembaki para serdadu yang sedang sibuk
bekerja di luar benteng, tetapi setiap kali mereka ditembaki oleh meriam- meriam. Dalam hari
hari berikutnya Pattimura mengerahkan pasukannya untuk menembak setiap serdadu yang
kelihatan diluar benteng. Ini adalah siasat jitu. Salah satu kesulitan Belanda ialah persediaan air
minum. Di luar benteng, tidak jauh dari tangga terdapat sebuah sumur yang telah disumbat
dengan rumput-rumput, batu, kayu dan lain- lain. Itulah satu-satunya sumber air bagi pasukan di
benteng dan bagi kapal-kapal. Sebab itu Pattimura menempatkan penembak-penembak jitu
berhadapan dengan perigi itu. Setiap kali serdadu musuh keluar untuk membersihkan perigi itu,
setiap kali pula gugur satu dua orang serdadu. Letnan Dua van Geuricke telah tewas pada tanggal
7 Agustus ketika memimpin beberapa orang serdadu untuk membersihkan perigi itu. Tetapi
akhirnya juga Belanda berhasil membersihkan sumur itu. Awak kapal yang turun dengan sekoci
untuk mengambil air tidak luput dari tembakan penembak jitu. Ada yang luka, ada pula yang
tewas. Selama benteng itu dikepung, perigi itu menjadi sumber maut bagi pasukan Belanda.
Di dalam suasana perang yang ganas itu, pada tanggal 6 Agustus, raja-raja dan patih
mengundang rakyat Pulau Saparua untuk berkumpul di perbatasan Tiow. Di dalam musyawarali
ini Kapitan Pattimura membentangkan situasi perang yang dihadapi rakyat. Tekad perjuangan
sekali lagi dibulatkan. Bersumpahlah hadirin, apabila terjadi perdamaian atau apabila Kompania
menang, maka tidak akan ada seorang pun membuka rahasia mengenai alasan-alasan perjuangan
dari permulaan sampai dibunuhnya residen.
Tanggal 10 Agustus rakyat Haria berkumpul di baeleo. Di sini mereka bersumpah dan
berjanji tidak akan membuka rahasia bahwa perjuangan dimulai dari Haria.16) Dalam pada itu
rakyat Haria dan Porto selalu siap sedia, didaratan maupun dilautan. Kapal-kapal perang yang
datang dan pergi antara Ambon- Saparua diawasi agar tidak memasuki Teluk Haria dan menda-
ratkan pasukan. Johannis Matulessia ditugaskan untuk mengatur pertahanan di sini.
Pengepungan berjalan terus. Kekurangan makanan dan air semakin menekan musuh.
Komandan Groot mengirim Letnan Boelen ke Ambon untuk meminta bantuan. Kesulitan itu
merisaukan para komandan militer di Ambon. Sebuah barkas Anna Maria disewa, dan bersama
The Dispatch diberangkatkan ke Saparua dengan bahan makanan, air minum, peluru dan berma-
cam-macam alat perang. Tiga orang opsir berangkat bersamasama untuk meneliti keadaan
benteng dan pertahanan. Tanggal 10 Agustus mereka tiba di Saparua dengan Anna Maria. Dua
hari kemudian komisi itu telah kembali ke Ambon. Groot minta supaya Ambon segera mengirim
lebih banyak bantuan lagi, karena tekanan pasukan Pattimura makin berat.
The Dispatch yang singgah di Haruku bertemu dengan kapal perang Inggris Willoughby
yang dipimpin oleh Kapten Croiset. Dari kapal itu diambil dua pucuk meriam dan beberapa
kereta pengangkut meriam. Ketika mendekati Tanjung Hatuwalane, The Dispatch melepaskan
tembakan meriam ke Negeri Porto dan Haria. Sejak semula rakyat Lease tidak saja berhadapan
dengan Belanda, tetapi juga dengan kapal-kapal perang Inggris yang turut membantu Belanda di
Haruku. Hatawano dan Saparua. Sedangkan selama perjuangan rakyat berlangsung senantiasa
menganggap Inggris sebagai sekutu rakyat.
Belanda tetap dikepung rapat oleh pasukan Pattimura. Ellinghuyzen dan stafnya tidak
berani mengerahkan serdadu serdadunya untuk menyerang pasukan rakyat dan menerobos kubu-
kubu pertahanan. Groot selalu gelisah karena bantuan dari Ambon sangat kurang. Ia pun tidak
berani mengambil tindakan atau risiko untuk menyerang. Anna Maria dan The Dispatch sampai
akhir Agustus datang dan pergi antara Saparua - Ambon untuk meminta bantuan pasukan,
makanan, air, peluru, mesiu dan senjata. Sekalipun benteng sudah jatuh, tetapi seluruh Pulau
Saparua tetap dikuasai oleh pasukan Pattimura.
Para komisaris jenderal di Batavia menjadi gelisah, tidak percaya bahwa keadaan bisa
menjadi begitu buruk di Maluku. Berita mengenai penghancuran pasukan Beetjes lebih
menggelisahkan lagi. Ditambah dengan berita-berita yang datang melalui berbagai pegawai
tinggi tentang pertentangan antara Gubernur van Middelkoop dengan Komisaris Engelhard.
Tindakan harus diambil. Pertama-tama, bala bantuan harus dikirim ke Ambon. Kedua, harus
diambil tindakan penggantian pimpinan pemerintahan di Maluku. Untuk itu Laksamana Muda
Buyskes, salah seorang anggota komisariat jenderal, akan dikirim keMaluku.
Akhir Agustus tiba bala bantuan dengan kapal Amerika, Lady Patterson dari Batavia.
Kapal itu membawa pasukan dan alat-alat perang. Dibawa pula berita bahwa Laksamana
Buyskes akan datang ke Ambon. Segera, pasukan Belanda sebanyak seratus tigapuluh orang
dipindahkan ke kapal perang The Dispatch. Lalu berangkatlah kapal itu ke Saparua. Tanggal 3
September kapal itu tiba dan membuang sauh dekat kapal Reygersbergen. Kecuali pasukan,
dibawa pula beberapa pucuk meriam, pelutu, mesiu, bahan makanan dan air minum.
Pattimura dan stafnya yang sudah mendapat laporan dari Pulau Haruku tentang kedatangan
The Dispatch mengawasi gerak-gerik kapal itu. Nampak pasukan dan alat-alat perang mulai
diturunkan. Begitu sekoci-sekoci mendekat pantai, pasukan rakyat menyambutnya dengan
tembakan yang gencar. Pada saat itu juga meriam- meriam dari kapal perang menghantam barisan
rakyat. Begitu hebat tembakan meriam itu sehingga pasukan rakyat terpaksa mundur. Tetapi
sebelumnya duel tembakan berlangsung sampai malam hari. Nampak pula bahwa kekuatan
Belanda semakin bertambah. Komandan Groot mulai berani bertindak. Kapten Lisnet diangkat
menjadi komandan Duurstede mengganti Letnan Ellinghuyzen. Letnan Boelen diserahi pimpinan
bagian artileri. Rupanya penggantian ini berhubungan dengan suatu rencana penyerangan
Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 4 September, pada siang hari tampak oleh pimpinan perang
rakyat kesibukan yang luar biasa disekitar benteng. Pasukan Belanda turun kelapangan, dua buah
meriam diturunkan dan dipasang pada keretanya. Dibawah pimpinan Letnan Boelen pasukan itu
mulai bergerak, kirakira berkekuatan seratus orang. Dengan dipelopori oleh sepasukan borgor
Ambon, untuk membuka jalan dan membersihkan penghalang-penghalang, pasukan Belanda
menyerbu masuk pertahanan rakyat dan mulai membakar rumah-rumah. Sejalan dengan itu
meriam- meriam yang dibawa dan meriam- meriam dibenteng dan di kapal-kapal perang
memuntahkan pelurunya ke pertahanan rakyat. Begitu hebat tembakan itu sehingga Pattimura
memerintahkan pasukannya mundur. Ada maksud lain juga, yaitu makin jauh mereka mundur
makin jauh pula musuh masuk kedalam daerah pertahanan rakyat. Saat inilah yang ditunggu
berminggu- minggu.
Pasukan Boelen bergerak maju, tetapi ternyata pasukan rakyat seolah-olah telah
menghilang. Mereka telah menghilang di balik hutan belukar, menunggu komando serangan
serantak. Pasukan Boelen tiba di Tiow pada jalan jurusan Haria - Porto. Ia memerintahkan
supaya pasukannya kembali lagi dengan alasan pasukan rakyat tidak kelihatan lagi. Serdadu-
serdadu borgor Ambon mendesaknya untuk maju terus, tetapi komando mundur telah diberikan.
Sebenarnya para opsir Belanda telah mencurigai pasukan Borgor Ambon. Ada prasangka
bahwa secara diam-diam mereka berhubungan dengan pasukan Pattimura. Overste Groot menca-
tat dalam buku jumlahnya tanggal 1 September sebagai berikut:17)
Kaum borgor Ambon tidak bisa dipercaya lebih lama lagi. Mereka memperlihatkan ketidak
puasan dan pada malam hari mereka diajak oleh para pemberontak untuk menyeberang.
Oleh karena itu Boelen tidak meluluskan desakan mereka. Pasukan Belanda kembali.
Mereka mendekati jembatan yang tadi mereka lalui. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan
perang pasukan Pattimura. Teriakan ini menyelamatkan pasukan Belanda, yang menyangka
bahwa pasukan rakyat sudah mundur dan menghilang. Karena teriakan ini mendahului serangan,
maka pasukan Belanda berkesempatan untuk berjagajaga, sehingga ketika mereka diserang
dapatlah mereka menangkis serangan itu. Sekalipun demikian ada korban yang jatuh. Di dalam
bukunya Boelen mencatat:18)
Jembatan yang tadi kami lalui masih jauh di depan kami. Andaikata musuh (pasukan rakyat) dengan
diam-diam beroperasi maka mungkin kami disergap. Akan tetapi teriakan perangnya menyadarkan
kami pada waktunya.
Dalam jangka waktu dua minggu Kapitan Thomas Matulessia menerima tigapuluh satu jawaban
dari raja-raja dan patih di Seram yang membubuhi tanda tangan mereka sebagai tanda terima
surat itu.
Tanggung jawab terhadap kebahagiaan rakyatnya menggerakkan Thomas untuk mencari
hubungan dengan suku bangsa lain di Nusantara. Hubungan surat- menyurat dan pengiriman
perutusan diadakan pula dengan raja-raja Bali dan Lombok. Pada permulaan bulan Oktober
datang raja Ondor ke Haria membawa mesiu. Ketika ia akan kembali Pattimura menitipkan
sepucuk surat kepada raja Bali. Dua orang borgor sebagai utusan rakyat yang berjuang, ikut serta
untuk menghubungi raja-rajaBali. 2)
Begitulah Thomas Matulessia, Kapitan Pattimura, melaksanakan tanggungjawabnya terhadap
rakyat dan tanah airnya.
".......Siapa saja yang kelihatan kuat untuk berperang ditangkap di jalan-jalan dan diambil dari rumah-
rumah untuk mengisi kora-kora. Begitu hebat-hebat semangat perang orang-orang Ternate, Hingga
ada yang menangis-nangis seperti anak keeil, ada yang putus asa dan mencebur ke dalam laut atau lari
bersembunyi di pegunungan".
Sebab itu kedua sultan tersebut memerintahkan supaya dikerahkan orang Alifuru dari
berbagai pulau dalam kerajaan mereka untuk diberangkatkan ke Ambon. Sudah menjadi
kewajiban dari tiap-tiap rumah tangga untuk menyerahkan seorang lakilaki guna kepentingan
perang.
Tanggal 12 September armada Buyskes meninggalkan Ternate dan membawa serta residen
Ternate, Neys. Delapanbelas hari kemudian, tanggal 30 September, Prins Frederik membuang
sauh di Pelabuhan Ambon. Kedatangan laksamana itu disambut dengan gembira oleh masyarakat
Belanda. Hanya pucuk pimpinan pemerintah dan para komandan militer serta marine yang
gelisah. Mereka semua menunggu keputusan. Kolonel Sloterdijk, komandan kapal perang
Nassau, yang juga mengepalai eskader Ambon, menunggu keputusan dalam keadaan bingung. Ia
bertanggung jawab atas pengiriman ekspedisi Beetjes yang malam itu, tanpa dikawali oleh
sebuah kapal perangpun. Akhirnya Sloterdijk memutuskan untuk berpisah saja dengan dunia
fana ini. Dengan satu tembakan pistol ia mengakhiri hidupnya. Peristiwa ini menggegerkan
kalangan pemerintah dan masyarakat Belanda.
Buyskes segera mengadakan reorganisasi pemerintahan. Komisariat Maluku dibubarkan.
Gubernur van Middelkoop dipecat dan diperintahkan berangkat ke Batavia pada kesempatan
pertama. Komisaris Engelhard ditugaskan untuk mengadakan inspeksi umum terhadap keadaan
diKeresidenan Banda, karena di sana terdapat juga perselisihan antara orang-orang Belanda
militer dan sipil. Tetapi Engelhard menolak dengan alasan sakit. Ia diperintahkan berangkat
kembali ke Batavia dan mengharap pucuk pimpinan pemerintahan. Kekuasaan atas pemerintahan
sipil dan militer diambil-alih oleh Buyskes. Untuk sementara Net's diangkat menjadi residen di
Ambon dengan tugas memimpin seluruh administrasid penyelenggaraan semua urusan mengenai
rakyat pribumi. Ternyata seluruh administrasi pemerintahan kacau.
Keadaan perang yang bagaimana yang dihadapi Buyskes dalam bulan Oktober ini? Pasukan
Pattimura menguasai seluruh Pulau Saparua. Duurstede telah direbut kembali oleh Belanda,
tetapi benteng itu dikepung rapat. Sulit dan berbahaya bagi setiap serdadu musuh yang keluar
mengambil air dari perigi, yang berada hanya duapuluh lima langkah dari tangga-tangga
benteng. Di Pulau Haruku semua negeri memerangi Belanda. Hanya Negeri Haruku dan Samet
dikuasai oleh musuh. Nusalaut sepenuhnya dikuasai oleh para kapitan. Di Pulau Ambon, bagian
barat Jazirah Hitu, negeri- negeri Wakasihu, Larike, Asilulu, Seit, Lima, Lebelehu, Uring dan
Hatiwe, berada dalam keadaan perang dibawah pimpinan Kapitan Ulupaha. Bagian timur Hulu
dikuasai oleh Belanda. Negeri- negeri di Leitimor dikuasai oleh Belanda dengan mempergunakan
kaum borgor, yang banyak terdapat di Kota Ambon dan negeri- negeri. Seram Barat dan Selatan
tetap bergolak dan dikuasai rakyat. Dari sini mengalir pasukan-pasukan untuk membantu rakyat
di Hitu, Haruku dan Saparua.
Armada kora-kora Ternate dan Tidore berbendera Belanda memasuki teluk Ambon (Verheull).
Buyskes menyusun rencana dan siasat militer. Laksamana muda itu menggariskan kepada
para opsir dalam stafnya beberapa tindakan reorganisasi angktan bersenjata dan prinsip pe-
nyerangan. Pertama, dibentuk tiga detasemen, masing- masing terdiri dari empat puluh enam
orang marinir dan ditempatkan di tiga buah kapal yaitu Evertsen, Nassau dan Prins Frederik.
Detasemen itu disebut menurut nama kapal perang dimana mereka ditempatkan dan diperkuat
oleh satu kesatuan angkatan darat. Kedua, para komandan yang akan memimpin berbagai
ekspedisi diberi keterangan dan instruksi yang jelas. Ketiga, siasat pengepungan, yaitu serangan
serentak dari berbagai jurusan akan dilakukan, sehingga pasukan rakyat tidak bisa menduga
dimana akan terjadi pendaratan dan dari arah mana datangnya serangan utama.
Pada tanggal 11 Oktober rakyat yang berdiam di sekitar Teluk Ambon menyaksikan suatu
pawai kora-kora. Delapanbelas buah memasuki teluk. Kora-kora itu dipersenjatai dengan
meriam- meriam kecil dan membawa Alifuru Tidore dan Ternate. Pasukan Ternate dipimpin oleh
Pangeran Tusan dan pasukan Tidore oleh Kimelaha Dukimi. Jumlah mereka sekitar seribu
limaratus orang. Dalam hari-hari berikutnya menyusul kora-kora lainnya, sehingga menjadi
empatpuluh buah. Dengan bantuan beberapa ribu Alifuru Ternade dan Tidore ini, berhasillah
Buyskes menjalankan politik memecah-belahnya. Buyskes mengorganisasi angkatan lautnya.
Pada waktu itu kapal perang Maria Reygersbergen berada di Saparua. Iris dan The Dispatch
sedang berpatroli di perairan Lease. Di Ambon ada Evertsen, Nassau dan Anna Maria. Armada
itu diperkuat dengan kedatangan Prins Frederik. Swallow dibeli dari Inggris dan diganti namanya
menjadi Zwaluw. Kemudian datang pula Venus. Disamping itu tersedia empatpuluh kora-kora,
sejumlah kapal angkutan dan barkas. Kekuatan militer inilah yang akan dihadapi oleh Kapitan
Pattimura dan Kapitan Ulupaha.
Kini Buyskes siap untuk melaksanakan strategi dan taktik perangnya. Sesudah mempelajari
keadaan, direncanakannya tindakan pertama, yaitu menaklukan Jazirah Hitu, kemudian Haruku,
lalu memutuskan hubungan antara Nusalaut dan Saparua untuk kemudian menaklukkan kedua
pulau itu. Giliran terakhir ialah penaklukan Seram.
Armada Belanda di Teluk Saparua. Pendaratan Alifuru Ternate dar Tidore Di latar belakang Benteng
Duurstede (Verheull).
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, tiga kesatuan musuh bergerak ke Pelau melalui laut dan
dua kesatuan melalui darat. Menjelang tengah hari kapal perang Iris dan The Dispatch memasuki
labuan Pelau lalu mulai menghujani kubu-kubu pertahanan rakyat dengan gencar. Arombai dan
perahi-perahu hancur oleh tembakan-tembakan itu. Menjelang pukul satu siang kesatuan darat
mendekati Pelau, Sementara armada dan pasukannya memasuki labuan. Kapal-kapal perang
mulai lagi memuntahkan peluru mautnya ke pantai. Pasukan Meyer kemudian mulai mendarat di
tiga tempat. Sementara itu pasukan darat mulai menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat.
Pasukan Alifuru diperintahkan menyusup kehutan-hutan dan mengepung Negeri Pelau. Terjadi
pertarungan hebat antara pasukan Alifuru dari Seram melawan Alifuru dari Ternate dan Tidore.
Korban dari kedua belah pihak berguguran. Sementara itu kapitan-kapitan menangkis serangan
serdadu-serdadu Belanda. Terjadi pula pertempuran sengit. Begitu kuat tekanan musuh dari laut
maupun dari darat hingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Rakyat mulai digiring ke pantai; tiga ratus orang tertangkap. Di antaranya banyak pejuang
yang tidak sempat lolos dari kepungan musuh. Laki- laki dipisahkan dari perempuan dan anak-
anak. Mereka diikat dan ditawan di mesjid dan di rumah rumah. Atas perintah Buyskes,
duapuluh empat orang, antara lain beberapa kapitan dan pemimpin rakyat, beberapa orang guru
dan imam serta putra raja Pelau, digiring ke pantai lalu ditembak mati, atas komando Meyer.
Kejadian itu terjadi di depan mata raja Pelau.1) Awan gelap meliputi rakyat. Ratap tangis
terdengar di mana-mana. Belum lagi mereka sadari benarbenar apa yang telah menimpa mereka,
terjadilah perampokan harta milik mereka. Perampokan selama duapuluh empat jam yang
diizinkan oleh pimpinan perang Belanda sebagai hukuman terhadap rakyat dan untuk
memuaskan nafsu rampok dari tentara musuh. Untung rumah-rumah tidak dibakar.
Benteng Hoorn diperbaiki. Tiga kesatuan di bawah pimpinan Letnan Artileri Richemont,
mendudukinya sampai divisi empat sebesar seratus orang tiba di bawah pimpinan Hofman untuk
mempertahankan benteng itu, dan dibawa serta dua pucuk meriam. Sesudah mengatur operasi
selanjutnya Buyskes kembali ke Ambon.
Tanggal 5 Nopember Meyer menyerang Hatusuwa yang cukup kuat pertahanannya. Pasukan
rakyat dipukul mundur dan menarik diri ke Hulaliu. Meyer dan pasukannya terus bergerak dari
laut kekubu pertahanan yang terakhir. Kubu itu dipertahankan oleh Kapitan Sahureka
Bakarbessy dan Suwarapatty Tuanoya. Disebelah barat negeri itu musuh mendarat. serangan
kenegeri itu dibantu dari laut dengan hantaman tembakan meriam. Musuh yang begitu besar
jumlahnya menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat habis-habisan. Banyak yang mati terperosok
ke dalam lubang- lubang. Karena tidak berhasil bertahan maka pimpinan pertahanan
memerintahkan pasukannya menarik diri kehutan dan gunung. Meyer memerintahkan pasukan
Alifuru Ternate dan Tidore mengejar mereka. Disini pasukan rakyat telah menyiapkan
perangkap. Sepanjang hutan diikat kentongan bambu pada rotan-rotan atau tali yang ditarik ke
pos penjagaan. Kedatangan musuh segera diketahui dari arah mana tali rotan itu disentuh.
Kemudian serangan tiba-tiba menewaskan pasukan Alifuru itu. Dijalan-jalan setapak dipasang
jerat, yang kalau diinjak menjerat musuh lalu menariknya keudara, sehingga tergantung dipohon
dan mudah menjadi mangsa panah atau tembakan. Juga dipasang jerat bambu, yang
dilengkungkan melintang dijalan dan ditutup dengan rumput. Jika diinjak bambu itu akan
memukul regu musuh yang liwat dan pada saat itu musuh diserbu. Pertempuran yang sengit
dihutan-hutan berlangsung beberapa hari. Tetapi Negeri Hulaliu menjadi lautan api, dibakar oleh
musuh. Demikian pula arombai dan perahu-perahu menjadi abu di sulut api.
Para kapitan di Aboru dan Wasuu menyusun pasukannya berjaga-jaga di sebelah barat
setelah mundur pada tanggal 30 Oktober dari pengepungan Benteng Zeelandia. Mereka
memperhitungkan bahwa serangan akan datang dari laut dan dari daerah barat. Berita tentang
jatuhnya Kailolo dan Pelau telah sampai pula dikedua negeri itu. Pada malam tanggal 5 Nopem-
ber datang berita dari utara tentang jatuhnya Hatusuwa dan Hulaliu. Dalam waktu singkat tentu
negeri mereka akan diserang. Rakyat telah diungsikan kehutan dan gunung. Keesokan harinya
tiba-tiba saja, secara tidak diduga-duga, mereka diserang dari gunung. Musuh datang dari utara.
Serangan limaratus alifuru Ternate yang dikirim oleh Meyer memotong jalan menembus hutan
dan gunung mengagetkan para kapitan. Empat buah barkas dan sekoci tidak bisa mendaratkan
pasukan karena dihalangi ombak. Terlambat pasukan-pasukan ditarik dari barat. Serangan yang
dilancarkan tidak berhasil menahan pasukan alifuru Ternate. Aboru dan Sassu direbut, kemudian
semua bangunan dibakar. Tidak luput arombai dan perahu-perahu. Api menjulang tinggi ke
udara hingga terlihat di Saparua dan Haria.
Semua negeri di Pulau Haruku jatuh ketangan musuh. Semua isi negeri kecuali Pelau
dibakar. Rakyat berlindung di hutan-hutan di bawah kolong langit. Pohon-pohon yang rendah
menjadi payung pada siang hari dan tempat berbaring di bawahnya pada malam hari. Pasukan
rakyat yang ada di hutan dan di gunung setiap kali bergerak ke pesisir, mengadakan serangan
tiba-tiba, mengacaukan musuh, kemudian menghilang lagi. Kapitan Pattimura dan stafnya cemas
ketika menerima berita tentang jatuhnya Kailolo dan Pelau. Panas hati mereka, kutukan dan
maki- makian dilontarkan kepada musuh, ketika pembawa berita menceritakan penembakan mati
pahlawan-pahlawan di Pantai Pelau.
Hari Minggu, tanggal 5 Nopember, dalam suatu kebaktian penuh prihatin seluruh jemaat
Haria dan Porto menaikkan doa ke hadapan Allah Yang Mahakasih agar rakyat Haruku dilin-
dungi dan agar dikaruniakan keselamatan bagi jiwa mereka yang tewas dan dihukum mati.
Sehabis kebaktian Pattimura memerintahkan supaya pasukan di Haria dan Porto bersiap-siap,
karena ada berita bahwa gerakan armada besar telah menuju ke bagian timur Haruku. Melalui
teropongnya, dipantai Pattimura dapat mengikuti gerakan armada itu sampai pada pertempuran
di Hulaliu dan terbakarnya negeri itu. Dentuman-dentuman meriam mengejutkan rakyat.
Pattimura mengeluarkan perintah supaya wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit, menying-
kir kegunung. Hari itu rakyat sibuk mengumpulkan harta miliknya dan berbondong-bondong
meninggalkan negeri.
Keesokan harinya Hulaliu masih tampak terbakar dan pada siang hari tampak api menjulang
dari balik gunung di selatan Hulaliu. Aboru dan Wassu sedang terbakar. Pikiran Pattimura
melayang- layang ke Haruku, mengenang para pejuang yang telah tewas dan yang masih bertahan
di hutan dan di gunung. Betapa hebat perjuangan mereka melawan musuh yang begitu besar ke-
kuatannya di laut dan di darat. la mengenang rakyat yang menderita karena kehilangan suami,
anak, kakak atau adik, rumah yang dibakar, harta milik yang dirampok. Mereka berkorban demi
kebebasan dari rantai penjajahan. Pada hari itu juga kurir dikirim ke Saparua dan Tiow ke
Hatawano dan Jazirah Tenggara untuk memberitahu kepada para kapitan tentang keadaan di
Pulau Haruku.
Kapitan Pattimura dan stafnya tercerai-berai dari anak buahnya. Sebagian mundur ke Siri-
Sori, sebagian lagi ke gunung dan hutan Tiow - Saparua, sebagian lain ke hutan Tiow - Haria,
ada pula ke Hatawano. Kapitan Pattimura mundur ke hutan Haria perbatasan dengan petuanan
Booi, diikuti oleh beberapa anggota stafnya. Jalan mundur ke Siri-Sori telah terpotong ketika
pertempuran masih berjalan. Dihutan Haria ia mengumpulkan lagi pasukan yang mundur kesitu,
semuanya duaratus tigapuluh orang. Rakyat Negeri Haria banyak pula yang lari kesitu. Sekali
lagi mereka bersumpah setia pada kapitan mereka. Dari ternpat itu Pattimura mengirim pasukan
ke Haria untuk menaan rakyat yang sudah mulai masuk ke negeri dan mengancam mereka yang
mencari hubungan dengan Overste Groot.
Bagaimanapun keras hati dan keras kemauannya, Pattimura adalah manusia juga. Kekalahan
di Haria - Porto dan Tiow - Saparua merupakan pukulan besar baginya. Hatinya cemas karena
para komandannya tercerai. Ke mana Anthone Rhebok dan Philip Latumahina? Kemana para
pembantunya yang terdekat? Sudah tewaskah mereka? Bagaimana keadaan di Jazirah Tenggara?
Tidak akan lagi ia mendengar keadaan sebenarnya karena peristiwa-peristiwa terjadi begitu cepat
sehingga ia tidak sempat memperoleh berita dari medan- medan pertempuran.
Suasana di Tiow dan Saparua hiruk-pikuk sesudah pertempuran. Rumah-rumah menjadi
lautan api dibakar musuh. Mayat mayat musuh dikumpulkan untuk ditanam. Yang luka- luka di-
angkut ke kapal. Anggota pasukan rakyat yang tertangkap diperintahkan menggali lubang untuk
menguburkan kawan-kawan mereka. Pada siang hari divisi tiga tiba dari Haruku dengan
pimpinan Letnan Richemont. Divisi sebesar seratus orang serdadu Belanda dan Jawa itu telah
ditunggu-tunggu oleh Meyer. Semalam Overste Groot telah memberikan pada Meyer informasi
yang ia peroleh dari mata- matanya, yaitu jika Tiow direbut, pasukan rakyat akan mundur ke Siri-
Sori. Oleh karena itu Meyer segera akan berunding dengan Verheull untuk mengatur siasat
penyerangan Jazirah Tenggara. Meyer memerintahkan satu detasemen kembali ke Haria bersama
dengan sepasukan Alifuru, Kurir Zoutman diperintahkan membawa Surat kepada Groot yang
berisi berita tentang jatuhnya Tiow dan Saparua dan instruksi sypaya semua arombai, kora-kora,
sekoci dan barkas dikirim ke Saparua. Letnan Jacobsen diperintahkan oleh Groot supaya
memimpin armada kecil itu ke Saparua. Pukul sembilan malam ia tiba. Lalu Verheull
menembakkan peluru api memberitahukan kepada Groot bahwa satuan armada telah tiba. Malam
harinya Meyer dan stafnya mengatur siasat bersama Verheull. Tanggal 10 Nopember, pagi-pagi
benar Meyer berangkat ke Siri-Sori dengan empat ratus orang serdadu. Berangkat pula divisi
Eversten di bawah pimpinan Vermeulen Krieger dan 't Hooft, didahului oleh seratus limapuluh
alifuru Ternate. Melalui jalan sempit penuh dengan kolam, sengat dan jerat pasukan itu, tiba jam
sembilan: di depan kubu pertahanan rakyat yang pertama di Siri-Sori.
Kapitan Said Perintah dengan para kapitan Siri-Sori Sorani dan Siri-Sori Islam mendapat
laporan tentang pertempuran di Tiow dari pasukan yang mundur. Pagi itu mereka melihat satu
armada kora-kora menyusur pantai, datang dari Saparua. Korakora itu membawa pasukan alifuru
Ternate di bawah pimpinan OTusan. Verheull mengirim semua kora-kora Ternate ke SiriSori,
sementara Eversten berlayar mengawasi dari jauh. Segera mereka disambut oleh armada arombai
dan perahu rakyat. Tetapi siasat Belanda ini ternyata hanya untuk mengelabui pimpinan
pertahanan. Karena sekitar jam sembilan tiba-tiba kubu pertahanan yang pertama diserang.
Meriam meriam memuntahkan peluru mautnya. Serangan ini tidak diduga-duga, karena
perhatian pasukan sedang dipusatkan ke laut. Berkobarlah pertempuran sengit di darat maupun di
laut. Sekali lagi bekas "Korps Lima Ratus" yang berada di daerah ini memperlihatkan
ketangkasan berperang dan keberanian yang mengagumkan musuh. Dari balik tembok-tembok
pertahanan musuh dihantam dan tembak- menembak dengan sengit terjadi. Tekanan makin berat.
Pertempuran berpindah keSiri-Sori Islam. Pertempuran makin ketat karena bantuan datang dari
pasukan pasukan Ouw, Ulat dan Nusalaut. Sekalipun demikian, lambat laun tembakan-tembakan
pasukan rakyat berkurang karena makin berkurang peluru dan mesiu. Said Perintah dengan
pasukannya mundur ke Ulat - Ouw. Jatuh Sudah kedua negeri itu (Siri-Sori Kristen dan Siri-Sori
Islam). Mulailah pembakaran dan perampokan dengan seizin komandan Belanda. Apapun yang
dijumpai dibakar; baeleo, mesjid arombai dan perahu. Kecuali gereja. Mungkin karena di
dalamnya terdapat wanita dan anak anak. Mereka tidak sempat menyingkir berhubung dengan
serangan yang tiba-tiba. Sepanjang siang dan malam hari negeri mereka dibakar dan dirampok
habis. Besar korban yang diberikan rakyat demi kebebasan.
Tanggal 11 Oktober. Pagi cerah dan sejuk. Sang surya muncul dari balik gunung memanasi
bumi Ulat dan Ouw. Tetapi diudara terasa keterangan perang meliputi pasukan di balik kubu
pertahanan. Semua bersiap-siap. Sudan sejak kemarin mereka menunggu- nunggu kedatangan
Belanda. Kapitan Lusikoy, Kapitan Titaley, Kapitan Said Perintah, dan Kapitan Paulus Tiahahu
dari Nusalaut bergerak di antara pasukan. Disini memberi dorongan, di sana memberi nasihat,
kesana memeriksa senjata, kemari membangkitkan semangat tempur. Gelak-tawa di sana-sini,
tanda semangat pasukan tetap tinggi. Tiba-tiba terdengar teriakan: "Kompania Wolanda datang;
bunuh dia". Serentak musuh sebesar enampuluh orang, di bawah pimpinan Letnan Richemont
disambut dengan tembakan gencar. Musuh dipukul mundur dan dikejar. Larilah mereka kembali
ke SiriSori. Sorakan kemenangan membelah udara.
Meyer, yang sedang menunggu kembalinya pasukan alifuru, yang dikirimnya kehutan untuk
memburu pasukan rakyat, sibuk hari itu. Ia menyebar pengumuman Buyskes, mencari anak van
den Berg dan menggiring rakyat kembali ke negeri. Ia tidak mau menerima laporan Richemont,
bahwa kekuatan pasukan rakyat begitu besar dan bersenjata api. Oleh karena itu hanya dengan
seratus orang ia bergerak ke Ulat. Setiba di kubu pertahanan pertama ia disambut dengan hebat.
Tembak- menembak gencar sekali. Meyer tertahan di situ. Peluru dan mesiu ma-kin menipis.
Kurir dikirim ke Eversten. Verheull mengirim enambiru peluru, lalu Meyer melancarkan
serangan lagi, tetapi ia dipukul mundur lagi. Kembali pasukan musuh menyerang dengan
sangkur terhunus. Mereka berhasil menerobos pertahanan rakyat dan maju terus sampai ke kubu
ketujuh dengan korban yang tidak sedikit. Disini Richemont tertembak mati. Kapten Krieger
kena tembak, tergores dadanya, hancur senapannya. Topi dan seragamnya ditembusi beberapa
butir peluru. Ia terpelanting jatuh ke dalam pelukan 't Hooft. Pingsan ia untuk beberapa waktu.
Setelah sadar ternyata dada dan perutnya luka karena peluru. Tetapi Meyer memerintahkan
pasukannya maju terus. Mereka berhasil merebut kubu kedelapan. Tibalah pasukan Belanda pada
tanjakan Negeri Ouw. Disini mereka tertahan. Dari segala jurusan bermunculan pasukan rakyat
mengepung mereka. Serdadu Jawa menolak perintah maju, sebab itu Meyer mengancam dengan
menembak bila mereka mundur.
Sorak-sorai pasukan yang bercakalele, teriakan perang yang menggigilkan, memecahkan
udara dan mendirikan bulu roma. Di tengah-tengah keganasan itu muncul seorang gadis remaja
bercakelele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Christina Martha
Tiahahu. Srikandi berambut panjang, terurai ke belakang, berikat kepala sehelai kain berang
(merah), mendampingi ayahnya, dan memberi semangat kepada pasukan Nusalaut untuk
menghancurkan musuh. Semuda ini ia telah memberikan semangat kepada kaum wanita dari
Ulat dan Ouw untuk turut mendampingi kaum lelaki di medan pertempuran. Baru dimedan inilah
Belanda berhadapan dengan kaum wanita yang fanatik turut bertempur. Di semua medan
srikandi ini muncul memberi semangat kepada para pejuang.
Pasukan musuh mencari perlindungan di balik tembok kubu yang mereka rebut. Meyer telah
kehilangan banyak anak buah, dan mengirim kurir ke Siri-Sori untuk mendatangkan kora-kora
dan pasukan alifuru Ternate. Baru saja mereka tiba kora-kora itu disambut oleh armada arombai
dan perahu Ulat dan Ouw dan terjadilah pertempuran laut mati- matian. Sementara itu bantuan
bagi Meyer datang juga dari pasukannya di Siri-Sori. Pertempuran makin menjacli sengit lagi.
Korban berjatuhan, dilaut maupun didarat. Pada suatu saat seorang penembak jitu memanjat
pohon kelapa yang berada dekat kubu di mana pasukan Belanda berlindung. Berdesing sebuah
peluru menembus leher seorang opsir. Robohlah ia, luka parah. Ia adalah Mayor Meyer,
komandan ekspedisi Saparua. Bersorak-sorailah para pejuang di kubu yang berhadapan dengan
tempat berlindung musuh, ketika penembak itu datang berlari- lari memberitahukan bahwa
seorang opsir kena tembakannya.
Vermeulen Krieger mengambil alih komando dan Meyer diangkut ke kapal Eversten.
Verheull mengirim kurir ke Saparua sehingga semua kora-kora diperintahkan menuju ke Ouw,
juga sepasukan tentara di bawah pimpinan Letnan Gezelschap. Malam hari bala bantuan ini tiba.
Sepanjang malam tembak- menembak tiada reda. Keesokan harinya Eversten dan barkas
bermeriam menghujani Negeri Ulat dan Ouw dengan tembakan peluru-peluru mautnya. Sesudah
itu Krieger memerintahkan serangan umum. Hari itu tanggal 12 Nopember, hari yang menen-
tukan perlawanan rakyat Lease. Serangan musuh begitu hebat sehingga pejuang-pejuang yang
menangkisnya kehabisan peluru. Pada suatu saat pasukan musuh dihujani dengan batu-batu.
Tembakan makin berkurang. Para opsir musuh sadar bahwa pasukan rakyat kehabisan peluru.
Krieger memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu. Serangan umum dilancarkan dengan
sangkur terhunus. Perlawanan mati- matian diberikan. Tetapi kehabisan peluru memaksa para
pejuang mulai mundur. Mulailah musuh membakar rumah-rumah dan bangunan-bangunan.
Pasukan mundur ke hutan dan gunung, meninggalkan kawan dan lawan yang tewas dan luka.
Jatuhlah kubu pertahanan rakyat yang terakhir di Lease. Seluruh Ulat dan Ouw diratakan dengan
tanah, dibakar dan dirampok habis-habisan. Para pejuang meneruskan perjuangan di hutan-hutan
melawan pasukan alifuru yang memburu. mereka. Beberapa kapitan tertangkap, antara lain Said
Perintah, Paulus Tiahahu dan putrinya Christina, Kapitan Hehanusa dari Titawai, raja Ulat dan
patih Ouw. Besar juga korban musuh yang jatuh. Opsir-opsir ada yang luka berat maupun ringan
dan yang tewas. Mayat pasukan Alifuru Ternate dan Tidore bergelimpangan di pantai.
Dengan jatuhnya kubu pertahanan rakyat di Jazirah Tenggara, tinggal lagi pertahanan di
Hatawano. Tetapi rupanya Buyskes, yang datang ke Saparua pada tanggal 12 Nopember, tidak
menganggap perlu untuk menyerang Hatawano. Cukup saja diblokir dari laut dan darat hingga
pemimpin-pemimpin dan rakyatnya menyerah. Groot sebagai komandan armada telah
mengerahkan kapal-kapal, berkas dan sekoci yang bersenjata meriam kecil untuk memusnahkan
semua arombai dan perahu sehingga para pejuang tidak dapat lagi menyeberang ke Seram.
Berita pembunuhan Raja Paulus dengan cara yang begitu kejam tersiar ke seluruh pelosok
Lease. Kesedihan dan kemarahan meliputi rakyat. Nasib apa yang akan dialami oleh Pattimura
dan kawan-kawannya? Akan dibunuhkah mereka dengan cara yang sama ataukah lebih ngeri
lagi? Mega mendung meliputi seluruh rakyat Lease. Untuk memperkuat posisi dan untuk
mengembalikan kekuasaan kolonial atas kepulauan Lease, maka Buyskes memerintahkan
pembuatan benteng pertahanan dari kayu di Haria-Porto. Di situ ditempatkan limapuluh orang,
diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan ini ditujukan kepada para pejuang yang masih
berada di hutan dan pegunungan sekitar Haria dan Porto, dan juga kepada mereka yang masih
berjuang di Haruku. Di Ulat dan Ouw ditempatkan limapuluh orang serdadu di benteng kayu. Di
Hatawano, yang terpaksa menyerah karena blokade yang rapat, didirikan juga benteng
pertahanan dari kayu dengan seratus orang, diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan itu
ditujukan pula terhadap kemungkinan serangan dari Seram. Di Duurstede ditempatkan dua ratus
serdadu, diperkuat dengan sejumlah besar meriam besar dan kecil. Karena Ulupaha dan para
kapitan masih menguasai Seram Barat dan Selatan, maka Buyskes mulai menyusun strategi
untuk menyerang daerah itu.
Tanggal 18 Nopember Eversten meninggalkan Saparua menuju ke Ambon dengan membawa
tigapuluh tiga serdadu yang luka- luka, antara lain Meyer yang luka parah, dan sejumlah tawanan,
di antaranya duapuluh dua orang pemimpin perang, Overste Groot dengan Reygersbergen
berangkat keHila pada tanggal 23 Nopember, siap untuk ke Seram, dengan iringan korakora
alifuru Ternate dan Tidore. Hari itu korvet Iris dan Venus berangkat juga ke Hila. Ulupaha dan
para kapitan bersiap-siap untuk menangkis serangan musuh setelah menerima kabar ten-tang
jatuhnya Lease dan tertangkapnya Kapitan Pattimura dan kawan-kawan.
Pukul tujuh. Dengan kawalan ketat, Kapitan Thomas Matulessia, Kapitan Anthone Rhebok,
Letnan Philip Latumahina dan Raja Said Perintah tegap melangkah menuju kelapangan tiang
gantungan. Beratus pasang mata tertuju kepada mereka. Setiba didepan tiang gantungan mereka
berhenti. Seorang petugas pengadilan maju ke depan untuk membacakan keputusan Dewan
Pengadilan Ambon dalam bahasa Melayu:9')
Bahwa mereka akan dibawa ke tempat eksekusi yang biasa dilaksanakan di Ambon. Disana mereka
akan dihukum gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para algojo. Kemudian mayat mereka akan
dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung dan agar
tulang-belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang
menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa mayat Thomas Matulessia untuk selama lamanya akan
digantung didalam sebuah kurungan besi dan sekalpun telah menjadi debu, akan menimbulkan
ketakutan karena perbuatannya.
Ketika Thomas mendengar apa yang akan terjadi dengan jenazahnya sedetik kepalanya
diangkat kemudian ditujukan lagi lurus ke bawah di depannya.
Philip Latumahina yang pertama-tama menaiki tiang gantungan. Latumahina yang berbadan
gemuk dan besar. Jatuh ketanah, hampir ia meninggal sektika. Dengan susah-payah ia diseret
oleh algojo menaiki tangga lagi. Untuk kedua kalinya ia merasa tali gantungan dilehernya.
Beberapa detik berlalu, kemudian nyawanya melayang. Anthone Rhebok dengan tenang, dengan
ketetapan hati menantang maut, menaiki tangga tiang gantungan. Sejurus ia memandang
sekelilingnya, seakan-akan hendak memberi selamat tinggal kepada hadirin. Tali membelit
lehernya...... bunyi genderang .... hilanglah nyawanya. Kemudian Said Parintah menaiki tangga.
Tegap, memandang musuh musuhnya dengan pandangan yang menantang. Algojo melakukan
tugasnya. Bunyi genderang ....... Said Perintah menghembuskan nafas yang penghabisan.
Thomas Matulassia laki- laki kabarisi. Gagah perkasa di medan perang, gagah perkasa
pula dimedan maut. Dengan tegap, tanpa ragu-ragu ia menaiki tiang gantungan. Setibanya
diatas pandanganya dilayangkan keatas, kepala musuh- musuhnya, me ma nda ng ja uh kesa na d i
ma na rak yatnya berd ir i, rakya t yang ia ingin dibebaskannya. Tetapi ia tidak berhasil.
Sekarang ia, akan menebus perjuangannya dengan jiwa- raganya. Waktu sudah tiba, algojo
memasang tali membelit lehernya. Pandangannya d itujuka n kepada mus uh- mus uhnya,
berhe nti pada tua n tuan hak im. "Sela mat tingga l tuan- tuan", de mik ian kata- kata
perpisa han Tho mas Matuless ia. " ) Genderang berb unyi da n sela mat jala n kealam baka,
pahlawan. Pengorbanan tela h kau berikan. Tetapi musuh- musuhmu belum puas. Jenazah
Thomas dimasukkan kedalam k urunga n besi, digantung, kemud ian d ibawa ke jurusan
timur kota. Di sana pahlawan yang tidak bernyawa itu dipertontonkan kepada rakyat.
Kapitan Pattimura te la h me nye lesa ikan baktinya. Semanga tnya me ma nca r dar i
ta hun keta hun, me mber i insp ira s i bagi Pattimura-Pattimura muda agar bangkit meneruskan
perjuangannya, memerdekakan rakyat dari rantai penjajahan.
Tanggal 2 Pebruari sekali lagi rakyat Ambon menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung
atas Jakobus Pattiwael, patih Negeri Tiow. la dipersalahkan menjadi pembantu dan penasihat
Thomas Matulessia dan memerintahkan agar beberapa serdadu Beetjes yang tertangkap
dibunuh.'I) Tanggal 2 Pebruari itu vonis akan dilaksanakan atas diri Jeremias Latuhamallo. la di-
persalahkan menjadi penasihat Thomas Matulessia dan turut bertanggung jawab atas segala
peristiwa yang telah terjadi, Mayatnya digantung ditontonkan dan dibiarkan menjadi mangsa
udara dan burung. Tetapi nasibnya baik. Buyskes memberi pengampunan baginya, karena
laksamana itu berpendapat sudah cukup banyak para pemimpin digantung untuk menakut-nakuti
rakyat, dan Jeremias tidak terbukti pernah membunuh seseorang serta pernah menyerang
pasukan Belanda. Hukumannya diperingan menjadi hukuman buang di Jawa selama 25 tahun.
Hukuman mati dijatuhkan juga kepada duapuluh tiga orang lainnya. Tetapi Buyskes memberi
keampunan kepada sembilan orang. Mereka dibuang ke Jawa. Sedangkan empatbelas orang
lainnya menjalani hukuman mati, di antaranya empat orang kapitan dari Seram yang menjalani
hukuman gantung sampai mati pada tanggal 10 Pebruari.
Tanggal 18 Pebruari seorang tua digotong dengan tandu memasuki Benteng Victoria. la
adalah kapitan Ulupaha, pahlawan tua dari Seit. la sedang sakit keras. Buyskes khawatir kalau
kalau kapitan itu tidak lama lagi akan meninggal sehingga luput dari hukuman hakim dunia.
Sebab itu, pada tanggal 19 Pebruari Buyskes menyurat kepada Dewan Pengadilan dan penuntut
umum agar segera membawa persoalan Ulupaha kedepan pengadilan, tanpa menempuh proses
yang biasa, sebab dari interogasi ia telah mengakui perbuatannya. Pada hari itu juga Buyskes
memberi instruksi kepada Krayenhoff supaya komandan itu menyiapkan pasukan pengawal-
keesokan harinya di tempat eksekusi jika vonis hukuman mati dijatuhkan dan jadi dilaksanakan
pada tanggal 20 Pebruari. Sidang kilat Dewan Pengadilan diadakan hari itu juga. Vonis
dijatuhkan: hukuman gantung sampai mati dan akan dilaksanakan pada keesokan harinya.' 3)
Tanggal 20 Pebruari pagi pasukan pengawal telah siap di lapangan tempat eksekusi. Para
pembesar dan anggota Dewan Pengadilan telah siap menunggu kedatangan terhukum. Sekitar
pukul tujuh kapitan Ulupaha, dalam keadaan sakit keras, digotong memasuki lapangan eksekusi.
Di depan tiang gantungan tandu diturunkan. Vonis dibaca. Kemudian para algojo memapak
pahlawan tua itu menaiki tiang gantungan. Tali dipasang di lehernya .... genderang dipalu
Kapitan Ulupaha, pahlawan delapanpuluhan dari Seit mengakhiri hukuman tiang gantungan.
Tawanan lainnya dibuang ke Pulau Jawa. Ketika Evertsen pada akhir Desember berangkat ke
Pulau Jawa tigapuluh sembilan orang tawanan dibawa pula; antara lain Christina Martha. Gadis
ini sangat tertekan jiwanya sehingga menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel.
Verheull mencoba membujuk dan menghiburnya, tetapi sia-sia. Tubuhnya makin lemah dan
ketika Evertsen barn meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang
penghabisan pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut
Banda. Seorang srikandi muda telah berkorban untuk kebebasan rakyatnya.
Tanggal 25 Pebruari Buyskes meninggalkan Ambon dan membawa serta Vermeulen Krieger
yang luka berat. Meyer sudah mati pada pertengahan Januari. Dikapal Wilhelmina itu banyak
tawanan, semuanya laki- laki. Dalam waktu-waktu tertentu menyusul beberapa puluh lagi
sehingga semuanya berjumlah sembilanpuluh orang. Mereka semua dibuang ke Pulau Jawa.
Kebanyakan dipekerjakan di perkebunan kopi di Jawa Timur dan Priangan. Banyak keluarga di
Jazirah Hitu, Lease dan Seram kehilangan atau ditinggalkan oleh suami, ayah, kakak atau adik.
semuanya memberi pengorbanan bagi kemerdekan rakyat yang ingin mereka bebaskan dari
cengkraman penjajahan.
Darah Thomas Matulessia alias Kapitan Pattimura dan para pahlawan mengalir membasahi
bumi ibu pertiwi memberi kesuburan bagi bibit-bibit yang kelak akan tumbuh dan mengangkat
senjata untuk membebaskan rakyat dari rantai penjajahan. Pattimura-Pattimura muda bangkit
pada permulaan abad ke-20 dalam pergerakan nasional seperti Yong Ambon, Sarekat Ambon,
Ina Tuni dan lain- lain lalu dilanjutkan oleh generasi penerusnya dalam tahun 1945, dan berakhir
dengan tercapainya citacita Pttimura dan kawan-kawannya. Tidak sia-sia kurban yang mereka
persembahkan ditiang gantungan.
Sebagai tanda terima kasih Pattimura-pattimura muda mengabadikan Kapitan Pattimura
dalam Divisi Pattimura. Kodam XV Pattimura, Universitas Pattimura, Kapal Perang Pattimura,
pangkalan udara Pattimura dan Jalan-jalan Pattimura di berbagai kota diIndonesia. Penghargaan
terbesar adalah pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai "pahlawan nasional" oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Semoga semangat juang dan pengorbanan Pattimura dan kawan-kawannya
menjacli suri tauladan bagi kita semua dalam pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Boelen,J. De opstand in de Molukken in 1817, dalam De Gids th. 1930 jilid IV hak. 247-287.
Burger D.H. dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia 1— 1960.
Buykes, "Alang Rapport 10 Oktober 1818" — terdapat dalam Bijdrage TL & B dl 65-1911.
Buykes "Buitenzorgs Verslag," 25 September 1818 dalam Biidrage TL & V dl 66-1912.
Berg v.d. van Saparoea G.G.J.L. De tragedie op 't eiland Saparua — 1946.
Doren v J.B.J., Thomas Matulesia.
Encycyclopedic, Nederlands Oost - Indie.
Enklaar Ds.I.H., Joseph Kam, Apostel der Molukken.
Gonggrijp G., Schets ener economische geschiedenis van Nederlands Indie 1949.
Idema H.A. Mr., De oorzaak van de opstand op Saparoea
1817 Bijlage "Extract uit her Register der Handelingen en
Besluiten van den Gouverneur der Moluksche Eilanden",
14 Agustus 1818.
Leur v J.C., Indonesian trade and society — 1960.
Leur v. J.C., Eenige beschouwingen betreffende de oude Aziatischen handel.
Nanulaita 1.0., Timbulnya militerisme Ambon, sebagai suatu persoalan politik, sosial —
ekonomis, — Bhratara — Jakrta 1966.
Panitia Penggalian Sejarah Pahlawan Nasional Pattimura, Perjuangan Pattimura dalam
Pengembangan Ampera dart masa ke masa Ambon 8 Pebruari 1966 (tidak diterbitkan —
I.0.Nanulaita, sebagai anggota penyusun naskah)
Raja-raja patih Hunimua dan Nusalaut, Proklamasi Haria 29 Mei 1817 — terdapat daam v.d.
Kemp. "Het Nederlandsch Indisch Bestuur in het midden van 1817" hal. 29-32. Rees van W.A.,
Vemeulen Krieger, Tafereelen uit het Indische krijgsleven.
Risakotta, Rapport Porto 13 Nopember 1817 — terdapat dalam vd Kemp "Kolukken" I—II—III
(BKI dl. 65, 66, 69). Sapia M., Sejarah Perjuangan Pattimura — 1957.
Schrieke B., Indonesian Sociological Studies I — 1955.
Wall vd V.I., De Nederlandsche Oudheden in de Molukken —1928.
Kemp vd PH, Het herstel van het Nederlandsche gezeg in the Molukken in 1817 ("Molukken"
I—II—Ill; Bijdrage T.L. & V dl. 65-1911; dl 66-1911; dl 69-1913).
Kemp vd PH, Het Nederlandsch Indisch Bestuur van 1817 op 1818; 1911.
Kemp vd PH, Het Nederlandsch Indisch Bestuur in het midden van 1817; 1915.
Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Bunga Rampai Sejarah Maluku I — 1973.
Vlekke B., Geschiedenis van de Indische Archipel — 1947. Verheull, Herinneringen van een
refs Haar de Oost — Indien I — 1835,111836.
Arnold Wright cs, Twentieth Century Impressions of Netherlands Indie, Lloyd's Greater Britain
Publishing Company LTD 1909.
199
tanggal 14 Mei 1817 clan kapitan-kapitan dari Tuhaha.
7. Brain Matulessy, asal Ulat, pensiunan Jawatan Penerangan Propinsi Maluku, berdiam di
Ambon, umur 72 tahun, pada tanggal 15 dan 15 September 1976 mengenai asal usul
A Pattimura dan penyebaran keluarga Matulessy di Hulaliu, Itakawa, Ulat dan Haria.
Lain- lain
1. Keterangan tertulis dari Bapak Wilhelmus Pieter Nanlohy, dari Porto berusia 73 tahun,
bertanggal 12 September 1976, mengenai beberapa tokoh clan kapitan dari Porto dan
beberapa peristiwa yang terjadi dalam tahun 1817.
2. Silsilah keluarga besar Matulessy yang berdiam di Haria Mulai dari Thomas dan Johannis,
Silsilah ini disusun oleh Zeth Matulessy pegawai PU propinsi Maluku, ahli waris Thomas
dan Johannis, yang menerima clan menyimpan Surat Keputusan Pengangkatan Pattimura
sebagai Pahlawan Nasional.