salin
sesuai
buku
Aslinya
dan
diposting
Oleh
:Gusmon
Sahureka
Pada waktu dulu kala, zaman datuk-datuk sebelum bangsa barat menguasai
kepulauan nusantara khusunya daerah Maluku, maka negeri-negeri kepulauan lease
sebagian besar bukan berada di pesisir pantai seperti sekarang ini, tetapi letaknya di
pegunungan yang penuh denganbatu-batu karang yang besar dan dikelilingi oleh
goa-goa yang dalam. Begitu juga di pulau Haruku tanah Alaka, benteng kerajaan
Hatuhaha, letaknya dipegunungan kurang lebih 5 km dari tepi pantai. Kerajaan
Hatuhaha terdiri dari 5 (lima) soa atau negeri bagian yaitu : Hulaliu, Pelau, Kailolo,
Kabau, Rohomoni. Di sini tempat Upu Patti Hatuhaha bersama kapitan-kapitano,
malesi-malesio serta seluruh bala rakyat hidup dengan aman dan sentosa
Pada tahun 1571 datanglah bangsa barat yaitu Portugis ke bagian Timur Indonesia,
dan menduduki pulau-pulau di Maluku. Begitu juga tanah Alaka Benteng Hatuhaha
ingin sekali diduduki oleh mereka. Selama beberapa hari, angkatan laut musuh
mondar-mandir di selat Haruku dan mendaratlah angkatan perangnya disitu.
Sementara itu ada seorang anak buah dari Patti Hatuhaha yang bernama Patti
Kasim turun kelaut untuk mencari ikan, dan ia tidak tahu ada musuh disitu yang
sedang emndari jalan ke Alaka. Patti Kasim yang ditanggap dibawah kehadapan
panglima musuh; Patti Kasim diberikan 1 karung beras untuk dibawah pulang. Disini
muncul tipu muslihat musuh. Sebelum beras itu diberikan, meraka melubangi
karungnya sehingga dalam perjalanan ke Alaka, jatuhnya butir-butir beras ke tanah
sehingga
menjadi
penunjuk
jalan
bagi
musuh.
Setibanya Patti Kasim di Alaka, ia menceritakan kejadian tadi kepada Patti
Hatuhaha. Secara serentak Patti Hatuhaha mengumpulkan bala rakyatnya dan
menceritakan apa yang terjadi. Patti hatuhaha segera memerintahkan semua
kapitan dan malesinya untuk bersiap-siap menghadapi setiap penyerangan, demi
mempertahankan tanah air, tanah tumpah darah mereka. Kini pasukan musuh
menuju ke Alaka menurut butir-butir beras tadi dan meraka bertemu dengan
pasukan Patti Hatuhaha disini terjadi penyerbuan musuh terhadap benteng
Hatuhaha, dan disambut dengan gigih oleh pasukan hatuhaha, yang tak mau
mengenal mundur. Walaupun waktu itu masih kuno perlengkapan perang yakni
parang dan salawaku, tetapi kapitan-kapitan Hatuhaha sangat pandai dalam
mengatur strategi perang, oleh karena musuh dengan alat perang yang serba
modern, maka mengakibatkan banyak anak buah dari Patti Hatuhaha menjadi
korban. Kapitan pengharapan Hatuhaha pun ditangkap, kini menghadap panglima
musuh. Sesudah dibujuk dengan kata-kata yang manis, pakaian serta makanan dan
minuman yang enak-enak, maka ia setuju menjadi kaki tangan musuh, untuk
melawan saudara-saudaranya sendiri. Kapitan ini kemudian kembali dan bertemu
dengan teman-temannya yang ada dalam tahanan dan membujuk untuk menjadi
anak buah musuh dan taat kepada pemerintahan musuh. Ada juga yang tetap
menentang
dan
melarikan
diri.
Musuh kini menduduki tanah Alaka, Patti Hatuhaha bersama anak buahnya
mengundurkan diri dan mengadakan perlawanan secara gerilya. Sementara itu
mereka berusaha meminta bantuan dari saudara-saudara dari pulau tetangga. Patti
telah melanggat janjinya kepada Huhele dan menjadi sial dalam peperangan ini.
Penjajah berhasil mematahkan kekuatan Patti Hatuhaha dan Pattilapa. Pattipeiluhu
tidak beruntung, ketiga puluh anak buahnya gugur dimedan bakti menjadi bunga
bangsa yang menghiasi bumi Alaka hingga saat ini. Pattipeiluhu ditanggal oleh
penjajah karena kekebalannya, ia di tembak tidak mati, dipotong tidak luka, serta
ditikam tidak terasa, lalu akhirnya ia diikat dan dibuang kedalam kurungan besi. Di
dalam kurungan besi, Pattipeiluhu tetap memegang parang dan salawaku karena
kedua benda itu tdak bisa terlepas darinya, walaupun musuh telah berusaha
mengambilnya.
Tiga hari telah berlalu, kapitan Aipassa mendapat berita atau tanda dari Pattipeiluhu,
dengan jalan mawe beliau mendapat tanda bahwa Pattipeiluhu berada dalam
keadaan bahaya. Dengan segera belian mengumpulkan semua kapitan Malesina
untuk membicarakan keadaan Pattipeiluhu dan anak buahnya. Setelah berpikir ia
mengambil kepurusan untuk pergi sendiri ke Alaka membantu anak-anaknya,
dengan perjanjian beliau akan memberikan berita kepada Sowaku Polattu, setelah
beliau
menjalankan
tugas.
Kapitan Aipassa anak keturunan Nunusaku memang seorang yang penuh dengan
kuasa dan hikmat, dengan parang pengganti panggayo dan salawaku sebagai
perahu, maka majulah kapitan Aipassa menuju Alaka, toma ombak dan gelombang,
langgar arus dan angin topan, menyeberang laut yang bergelora maka tibalah di
bumi Haruku. Kapitan Aipassa berjumpa dengans seorang rakyat Hatuhaha yang
sedang mencari bia di tepi laut, setelah keduanya berbicara, maka kapitan Aipassa
dibawa ke patti Hatuhaha. Disini terjadi pertemuan antara keduanya, dua orang yang
tidak kenal menyerah dan tidak mau dijajah ini dalam malam gelap gulita mereka
menuju benteng musuh, setelah sebelumnya semua yang merupakan kepintaran
mereka disiapkan, maka yang pertama-tama menjadi mangsa mereka adalah
pengawal yang mengawal benteng musuh. Setelah gugur, maka keduanya segera
menuju ke kurungan besi, dan melepaskan Pattipeiluhhu. Kapitan Aipassa
melaksanakan semua ini atas hikmat yang ada padanya. Setelah Pattipeiluhu
bebas, maka ketiga tokoh rakyat ini segera menjalankan aksi mereka. Sementara itu
keadaan dalam benteng penjajah menjadi heboh, sehingga segera juga terjadilah
perang sengit. Hampir seluruh penghuni benteng menjadi korban, sendang sisanya
melarikan diri sehingga rakyat Hatuhaha menjadi bebas kembali. Upa Latu Huhule
menempati janjinya kepada Polatu serta semua bala rakyatnya di Huhule. Dengan
satu
lirang
atap
beliau
terbang
menyala-nyala
ke
negerinya.
Di negeri Huhule Kapitan Somala menyambut tanda kemenangan dari Latuny
dengan gempita bersama semua bala rakyat. dari kemanangan inilah maka
Beinussa dan Hatuhaha mengangkat Ikatan atau yang disebut Pela yaitu PELA
TUMPAH
DARAH
atau
PELA
BATU
KARANG.
Demikian sekelumit Kisah dari Perang Alaka / Perang Hatuhaha
Di Sampaikan pada acara KUMPUL BASUDARA, Beinusa Amalatu - Hatuhaha
Amarima Lounusa, Kafe Ancol Bay, Jakarta 9 Oktober 2004