BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Dalam kehidupan yang kita jalani ini, baik pada dimensi waktu
maupun ruang, pada dasarnya manusia tidak dapat melepaskan diri dari
gerak dan bunyi. Bahkan pada saat manusia lahir di dunia, ia melakukan
aktivitas gerak dan bunyi (menangis). Dalam kehidupan sehari-hari,
gerak tersebut ada yang berupa gerak alamiah, seperti berjalan, berlari,
menulis, melukis, memetik buah, memasak, memanggil, melarang, dan
lainnya—maupun gerak yang telah distilisasi secara estetis seperti gerak
pantomim, mimik muka dalam teater, tarian dengan berbagai gaya
seperti: memetik bunga, menyisir, mendayung perahu, meniti batang, dan
lan-lain. Gerak-gerak yang mengekspresikan segala keindahan ini lazim
pula disebut dengan seni tari. Adakalanya seni tari ini terkait dengan
olahraga seperti senam, silat, lintau, capoeira, judo, karate, wu shu, dan
lainnya. Dalam ekspresi yang sedemikian rupa unsur seni tari dan beladiri
menjadi satu kesatuan.
Selain itu, dalam seni tari, aspek bunyi juga selalu menjadi unsur
pendukungnya. Aspek bunyi dalam tarian ini selalu disebut dengan seni
musik, yang lebih jauh lagi ada yang menyebutnya dengan musik iringan,
atau musik tari. Dalam kebudayaan tertentu, sebuah genre atau judul
tarian bisa saja memiliki arti tari dan musik sekali gus. Misalnya dalam
kebudayaan Melayu, istilah zapin, pastilah merujuk kepada genre musik
dan tari, yang mengandung pengertian sebagai sebuah genre tari, dan
sekaligus pengertian sebagai genre musik. Bicara zapin pasti akan
langsung merujuk kepada tari dan musik zapin. Keduanya menyatu dalam
sebuah genre musik dan tari dalam konteks seni pertunjukan. Kalau dikaji
lebih jauh dari aspek tari pastilah merujuk kepada gerak-gerak yang
memiliki identitas khas zapin seperti: tahtum (tahto), siku keluang,
tandak, anak ayam, dan seterusnya. Begitu juga kepada musiknya yang
khas seperti rentak zapin dalam meter ostinato empat, taqsim (melodi free
meter di awal pertunjukan), senting (intensitas kuat dalam pukulan
gendang), onomatopeik, dan instrumen musik penciri zapin seperti
marwas, gambus atau ‘ud, lagu-lagu khas zapin (bisa saja teks Arab,
Melayu, atau campuran keduanya) seperti: Anak Ayam, Lancang Kuning,
Selabat Laila, Bulan Mengambang, Kasih Budi, Persebatian, dan lain-
lain.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Tari dan musik adalah dua bidang seni yang saling terkait dan saling
mendukung. Keduanya memiliki hubungan dalam dua dimensi yang sama
yaitu waktu dan ruang. Dalam dimensi waktu ini, kedua bidang seni
tersebut disusun oleh satuan-satuan yang lebih kecil lagi seperti tempo,
aksentuasi, fungtuasi, meter (isometer, simetris, dan asimetris), siklus
hitungan, ketukan dasar (pulsa atau beat), ritme, 1 dan unsur-unsur sejenis.
Adakalanya hubungan antara tari dengan musik digarap dalam meter atau
motif ritme yang berbeda untuk memberi kesan poliritme atau ritme yang
kontras. Yang lebih sering adalah membentuk atau berdasar kepada meter
dan ritme yang sama.
Dalam ronggeng Melayu, meter antara musik dan tarinya adalah
relatif sama, terutama dalam tari senandung dan inang. Namun untuk tari
lagu dua terjadi kontras. Di sisi lain, pada tari Serampang Dua Belas
pada kebudayaan Melayu Sumatera Timur, hubungan meter ini juga
adalah “kontras.” Ritme tari adalah dupel dalam hitungan empat dalam
satu siklus metrik. Di lain sisi, musiknya dikomposisikan dalam meter
6/8. Gabungan antara musik dan tari memang sinerji, namun memberi
dampak “poliritme.” Tepatnya ketukan dasar tiga (atau konteks yang
lebih holistik dalam ensambel, 6) dalam dua (dengan hitungan siklus tari
8). Tiga diekspresikan dalam dimensi waktu musik, sementara ketukan
dasar dua dalam tari. Ini menjadi keeksotisan sendiri tari Serampang Dua
Belas.2
Selain dari dimensi waktu, hubungan lainnya antara tari dan musik
adalah dimensi ruang. Dimensi ruang dalam tari, disusun oleh satuan-
satuan yang lebih kecil seperti, bentuk gerak, frase gerak, motif gerak,
pola lantai, setting pentas, getur, sampai pula pakaian, properti tari,
1
Kata ritme adalah unsur serapan dari bahasa Inggris rhythm. Dalam bahasa
Indonesia, kata ini lazim dihubungkan dengan irama. Kata i.ra.ma artinya adalah: 1.
Gerakan berturut-turut secara teratur, turun naik lagu (bunyi dan sebagainya) yang
beraturan, ritme; 2. Dalam sastra artinya adalah alunan yang tercipta oleh kalimat yang
berimbang, selingan bangun kalimat, dan panjang pendek serta kemerduan bunyi (dalam
prosa); ritme; 3. Dalam musik berarti waktu atau tempo, misalnya irama Bengawan Solo
berlainan dengan lagu Jali-jali, 4. Dalam sastra adalah alunan yang terjadi karena
perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut
tekanan dan tinggi rendah nada dalam puisi (Kamus Umum Bahasa Indonesia).
2
Sejauh pengamatan kepustakaan yang kami lakukan, terdapat tiga tipe untuk
menuliskan tari Serampang Dua Belas. Yang pertama, seperti yang ditulis oleh Guru
Sauti adalah Serampang XII. Kedua, adalah mengikuti lambang tarian ini yang dicipta dan
direka oleh O.K. Adram yang menggunakan angka Arabik 12, yaitu Serampang 12. Yang
ketiga adalah versi penulisan penuh secara fonetik yaitu Serampang Dua Belas. Ketiga-
tiganya benar dan tidak ada yang salah, baik dikaji secara teknis penulisan maupun
sejarah seni ini, yang dikaitkan kepada pencipta dan penggubahnya. Dalam buku ini,
penulis menggunakan teknik penulisan yang ketiga, berdasarkan pendekatan fonetis, yaitu
Serampang Dua Belas. Ketiga kata ini dimiringkan (italic) karena merupakan istilah,
setiap huruf di awal kata menggunaan huruf kapital karena dikaitkan dengan judul tari.
Jadi penulisan ini berhubungan dengan kata tarian ini sebagai istilah dan judul sekali gus.
Bab I: Pendahuluan
pemusik atau penyanyi memulai lagu itu pada waktu yang berbeda dalam
konteks satu pertunjukan musikal, maka teksturnya disebut dengan
disfoni kanon.
Dalam konteks pertunjukan musik dan tari, dimensi ruang dalam
musik adakalanya berjalan bebas tanpa terikat oleh dimensi ruang dalam
tari, artinya berjalan sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan.
Adakalanya dimensi ruang antara tari dan musik ini, terjalin sangat erat,
artinya saling menguatkan pertunjukan, seperti yang terjadi di dalam
pertunjukan tari dan musik Serampang Dua Belas.
Selain itu, dimensi lainnya yang paling dieksplorasi dalam tarian
adalah tenaga (power). Setiap penari, biasanya akan mengelola tenaga ini
sesuai dengan komposisi tari yang mendasarinya. Tenaga ini akan
digunakan secara penuh atau lemah, tergantung dari bahagian tari yang
hendak diekspresikan. Secara budaya, ada tarian yang mengekspresikan
sifat wanita yang lemah lembut, penuh kasih sayang, feminimisme,
keibuan, dan sejenisnya yang mengeksplorasi tenaga yang relatif
“lemah.” Sebaliknya ada pula tari yang mengekspresikan kegagahan,
kejantanan, yang berasosiasi kepada ekspresi sifat-sifat pria, yang
berasosiasi dengan kebijaksanaan, ketampanan, maskulinitas, bahkan
sampai sikap kasar dan jahat. Dua sisi penggunaan tenaga ini sangat
dieksplorasi dalam seni tari. Demikian pula yang terjadi dalam
Serampang Dua Belas. Kedua sisi ini, diolah sedemikian rupa menjadi
sebuah harmoni tari. Ada aspek tenaga yang mengekpresikan perempuan
yang lemah lembut, kewanitaan, feminim, kecantikan, kelincahan, malu-
malu (tersipu malu), jinak-jinak merpati, dan seterusnya. Ada pula aspek
tenaga yang digunakan penari laki-laki yang mengekspresikan lelaki,
yang secara hukum alam adalah jantan, gagah, melindungi wanita
pasangannya, tegas, mengambil keputusan, sebagai kepala rumah tangga,
dan lain-lainnya. Sifat dasar pria ini diekspresikan dalam motif gerak
ayam jantan melindungi pasangan, elang balega, ular todung membuka
lingkar, mengepar, dan lain-lainnya.
Dalam musik, sebagimana dimensi tenaga dalam tari itu, dapat
dikaitkan dengan aspek dinamik, yang juga merujuk pada tenaga, walau
ini eksplorasinya tidak seluas yang digunakan dalam tarian. Dinamik
dalam musik mencakup lirih dan kuatnya musik itu disajikan. Dalam
komposisi musik biasanya digunakan saat mana harus lirih dan saat mana
pula harus kuat. Dalam musik Barat dinamik ini diungkapkan dengan
terminologi seperti pianissimo, piano, forte, mezzo forte, fortissimo, dan
lain-lainnya. Ekspresi dinamik dalam musik ini biasanya lebih
mengekspresikan suasana, bisa perasaan atau alam. Demikian pula musik
yang disajikan untuk mengiringi tari Serampang Dua Belas, sebenarnya
mengekspresikan dinamik yang mendukung gerak dan tenaga yang
diekspresikan tarinya. Dengan demikian, sangatlah menarik untuk
Bab I: Pendahuluan
dalam satu siklus, tari juga berpasangan antara ronggeng dan penonton,
dengan fungsi utama hiburan dan pergaulan sosial.
Ronggeng juga bertindak sebagai penyanyi. Dalam pertunjukan ini,
penonton membeli karcis (tiket) untuk dapat menari bersama ronggeng.
Para ronggeng biasanya menyanyi secara bersahut-sahutan (litany)3
dengan para penonton yang menari dan telah membeli karcis tadi
berdasarkan pantun-pantun Melayu, yang diciptakan secara spontan.
Jalinan tekstur yang heterofonis terjadi antara vokal ronggeng dan
penyanyi dari penonton bersama-sama alat-alat musik melodis seperti
akordion, biola, kadangkala disertai saksofon, ditambah dengan alat-alat
pembawa rentak seperti gendang ronggeng, ditambah dengan bas
elektrik, dan lain-lainnya. Rentak atau ritme yang biasa dilakukan dalam
pertunjukan ronggeng biasanya adalah senandung (asli), mak inang, lagu
dua (joget), dan lain-lainnya. Dalam satu siklus pertunjukan biasanya
dimulai dari rentak lambat dan menuju ke rentak yang lebih cepat.
Misalnya senandung menuju inang. Atau bisa juga senandung
dipasangkan (pecahannya) lagu dua, atau mak inang dipasangkan dengan
lagu dua. Genre ini sangat populer di dalam kehidupan masyarakat
Melayu.
Dalam konteks sejarah peradaban Melayu, seni ronggeng ini
kemudian menjadi dasar dalam menciptakan tari-tarian dan lagu-lagu
Melayu. Misalnya tari Mak Inang Pak Malau, Mak Inang Pulau Kampai,
Kuala Deli, Anak Kala, dan lain-lainnya dikembangkan dari tradisi
ronggeng ini. Termasuk juga pengembangan dari gerak tari dan musik
rentak lagu dua menjadi tari dan musik Pulau Sari, yang kemudian
dikembangkan lagi dalam bentuk Serampang Dua Belas, menjadi seni
yang melegenda dalam konteks budaya Melayu dan nasional Indonesia.
Dengan demikian, lebih lanjut lagi tentu kita akan bertanya apa arti
kata serampang dan dua belas. Kemudian bagaimana makna-maknanya
dalam konteks budaya Melayu? Apa yang membuat tari ini digemari
masyarakat di kawasan Nusantara atau lazim disebut juga sebagai Dunia
Melayu?
Dunia Melayu secara faktual dan historis telah menunjukkan
eksistensinya yang begitu matang menjadi peradaban (tamadun) terdepan
di Nusantara. Dunia Melayu ini merangkum kawasan-kawasan induknya
di Asia Tenggara, yang kini terdiri dari negara-negera seperti: Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, dan juga
sebahagian masyarakat Melayu di Kamboja (Kampuchea), Myanmar
3
Dalam konteks disiplin etnomusikologi, jika seorang penyanyi disahuti penyanyi
lainnya, maka teknik seperti ini disebut litany atau sahut-sahutan. Jika seorang penyanyi
disahuti oleh sekelompok penyanyi lain, maka disebut dengan responsorial atau dalam
bahasa Inggris disebut call and response. Selanjutnya jika satu kelompok penyanyi
disahuti oleh sekelompok penyanyi lainnya diistilahkan dengan antifonal.
Bab I: Pendahuluan
(Burma), Laos, dan lainnya. Di lain sisi, masyarakat Dunia Melayu juga
menyebar ke seluruh dunia, yang secara antropologis dikenal dengan
sebutan diaspora Melayu, yang meliputi pelbagai kawasan seperti di
Afrika Selatan, Bangladesh, dan Suriname.
Sementara itu, secara kultural dan rasial, kawasan-kawasan Pasifik
(Oseania) selalu pula digolongkan sebagai kesatuan dengan Dunia
Melayu-Polinesia. Gerakan-gerakan kesadaran akan Dunia Melayu ini di
paruh akhir abad 20 sampai awal abad 21 ini digerakkan terutama rekan-
rekan dari Malaysia, khususnya yang tergabung dalam Gabungan
Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia. Gerakan Dunia Melayu
atau Melayu Raya ini juga telah dirintis oleh Muhammad Yamin dari
Indonesia, Vinceslao D. Vinzons dari Filipina, Tengku Osman dari
Sumatera Utara, Indonesia; Tan Sri Ismail Hussein dari Malaysia, dan
lain-lainnya.
Di lain sisi, secara mikrokosmos, Dunia Melayu itu juga terdiri dari
kawasan-kawasan kecil yang menopang Dunia Melayu yang lebih besar.
Di Indonesia saja misalnya mereka terpolarisasi dalam segmental-
segmental regional kecil di bawah provinsi atau bekas wilayah kesultanan
Melayu. Setiap segmen regional ini diperkenankan menampilkan jatidiri
budaya Melayunya, yang umumnya terorganisasi dalam kumpulan-
kumpuan adat dan budaya Melayu. Di Sumatera Utara ada Majelis Adat
Budaya Melayu Indonesia (MABMI) yang kini dipimpin oleh Dato’ Seri
Syamsul Arifin, S.E., kemudian ada Majelis Adat Budaya Melayu Baru
Indonesia (MABIN) pimpinan Tuan Syarifuddin Siba, S.H., M.H.,
sementara di tataran generasi muda ada Gerakan Angkatan Melayu Muda
Indonesia (GAMMI), Angkatan Muda Melayu Indonesia (AMMI),
Lasykar Melayu Hang Tuah, dan lain-lainnya. Di Riau ada Majelis Adat
Budaya Melayu Riau, di Kalimantan Barat ada Majelis Adat Budaya
Melayu Kalimantan Barat, dan masih banyak organisasi sosial yang
mewadahi masyarakt pendukung kebudayaan Melayu.
Selain itu, setiap segmental regional Melayu, biasanya memiliki
kekhasan-kekhasan kebudayaannya. Misalnya di Sumatera Utara, yang
masa penjajahan Belanda terintegrasi dalam Sumatera Timur (Oostkust
van Sumatra), Langkat memiliki kebudayaan yang kuat mengekspresikan
sufisme (tarekat) di Sumatera, Deli begitu kuat mengekspresikan
akulturasi budaya dunia, Serdang kuat menampilkan seni-seni Melayu
yang dipandang sebagai seni “garda depan” misalnya saja rongggeng
Melayu, teater makyong, teater mendu, dan yang paling fenomenal adalah
tari dan musik Serampang Dua Belas. Sementara Asahan dan
Labuhanbatu kuat mengekspresikan budaya maritim dan kesenian
sinandongnya.
Dari wilayah Serdang, seni Serampang Dua Belas kemudian
mengalami difusi secara nasional dan kemudian di dasawarsa 1960-an
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
tari ini oleh Bung Karno dijadikan sebagai pendukung budaya nasional.
Selanjutnya tari ini begitu populer juga di kawasan Semenanjung
Malaysia dan Dunia Melayu lainnya. Kepopuleran tari dan musik
Serampang Dua Belas ini, tidak lepas dari pengalaman bangsa Indonesia
dalam rangka berbangsa dan bernegara. Mereka menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa nasional, yang merujuk kepada aspek historis
bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) di
kawasan Asia Tenggara, maka tak mustahil dan sangat mungkin
kebudayaan Melayu (termasuk keseniannya) dapat menjadi pengikat
solidaritas nasionalisme di kawasan ini. Bukti-bukti historis
membenarkan kenyataan tersebut, bahwa lingkungan penguasa negeri ini
akrab dengan tari Serampang Dua Belas, terutama dari pihak istri-istri
eksekutif, seperti Ibu Negara Fatmawati dan Megawati Sukarnoputri yang
berdarah Melayu Bengkulu, Ibu Rahmi Hatta Minangkabau, Ibu Mufida
Jusuf Kalla Minangkabau, dan masih banyak yang lainnya. Aspek
pemersatu bangsa ini mendapat dukungan dari semua pihak di Nusantara.
Nusantara adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk
kepada wilayah geografi dan kebudayaan yang ada di Asia Tenggara,
terutama di kepulauan Alam Melayu. Secara geografi, Nusantara merujuk
kepada pengertian sebagai gugusan pulau-pulau yang ada di antara dua
benua, yaitu Asia di Utara dan Australia di Selatan—di antara dua lautan,
yaitu Lautan Hindia dan Samudera Fasifik. Secara kenegaraan meliputi:
Indonesia, Malaysia, Singapura, Selatan Thailand, Filipina, dan juga
Oseania.
Masyarakat yang menghuni Nusantara, terdiri dari pelbagai etnik.
Ada yang berjumlah besar, seperti Jawa, Sunda, dan Batak. Namun ada
pula yang berjumlah relatif kecil seperti orang Lubu, Siladang, Kubu,
Senoi, Temiar, dan lainnya. Begitu juga dengan kebudayaan yang ada di
kawasan Nusantara ada yang berusia ribuan tahun, namun ada pula yang
berusia relatif muda. Namun demikian, di antara kebudayaan-kebudayaan
yang terdapat di wilayah Nusantara ini terdapat beberapa unsur
kebudayaan yang menyatukan kebudayaan Nusantara secara umum.
Misalnya sebahagian besar masyarakat Nusantara menggunakan bahasa
Melayu sebagai lingua franca (bahasa penghubung), sejak berabad-abad
yang silam. Masyarakat Nusantara juga sadar bahwa mereka adalah satu
rumpun ras yang sama, yaitu ras Melayu atau Melayu Polinesia, yang
terdiri dari ras Melayu Tua dan Melayu Muda.
Faktor lainnya, selain bahasa dan ras, yang menyatukan masyarakat
rumpun Melayu seluruh dunia adalah seni budaya. Misalnya seni zapin
Melayu yang menjadi ikon dari kesenian Melayu. Demikian pula
kesenian tradisional Melayu yang tergabung ke dalam genre asli,
dondang sayang, dendang sayang, gamat, joget, dan sejenisnya menjadi
wahana pemersatu budaya Melayu. Kesenian ini, telah bertapak selama
Bab I: Pendahuluan
Melalui tulisan ini, penulis akan menganalisis dua aspek dari seni
ronggeng dan Serampang Dua Belas, yaitu:
1. Bagaimana sejarah persebaran dan eksistensi sosiokultural seni
ronggeng dan Serampang Dua Belas?
2. Bagaimana struktur seni (musik dan tari) ronggeng dan Serampang
Dua Belas?
Untuk bahagian pertama, secara saintifik perlu dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan sejarah dalam tulisan ini adalah mengacu kepada
pendapat seorang teoretikus sejarah dunia ternama Garraghan (1957).
Menurutnya, yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1)
peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas
masa lalu; (2) rekaman mengenai manusia di masa lampau atau rekaman
tentang aktualitas masa lampau; dan (3) proses atau teknik membuat
rekaman sejarah. Kegiatan sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin
ilmu pengetahuan. Lengkapnya adalah sebagai berikut.
The term history stands for three related but sharply differentiated
concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same;
(c) the process or technique of making the record.
The Greek , which gives us the Latin historia, the French
histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation,
research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-
day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks
attached to it the meaning of “a record or narration of the results of
inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or
imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the
record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and
(b) above (Garraghan, 1957:3).