Disusun oleh:
Subagyo
Di Mulyosari Surabaya
pada tahun2004
KATA PENGANTAR
Penulis
Subagyo
DAFTAR ISI
3
memunculkan wacana bahwa manusia bukanlah sub-ordinasi atau tidak
terletak di bawah kaum lelembut.
Pada sekitar umur 7 tahun saya mulai belajar ngaji di langgar
tersebut, diajari oleh para santri senior dan guru ngaji (anak Modin
waktu itu) yang sekarang menjadi pemuka agama di desa kami. Saya
masih ingat bahwa kultur pembelajaran agama yang berlangsung adalah
sistemnya Nahdlatul Ulama (NU) sebab memang kelihatannya guru ngaji
saya tersebut adalah alumni pondok pesantren NU yang ada di daerah
Nganjuk Selatan.
Saya merasa hormat kepada guru ngaji saya yang bernama Abdul
Haji tersebut. Bersama isterinya, yang juga sama-sama alumnus pondok
pesantren, mengembangkan agama Islam di desa kami, dengan harus
melawan secara halus tradisi mistik dan kejawen di desa kami. Sedikit
demi sedikit perjuangannya membuahkan hasil, dengan semakin
banyaknya generasi muda yang mau menjadi anggota langgar, meskipun
tidak sesempurna yang diharapkan, sebab kadang-kadang tampak bahwa
keislaman mereka hanyalah dalam ritualnya. Tradisi mistik kejawen
belum bisa lepas sama sekali dari kehidupan mereka. Mereka masih loyal
untuk mengadakan upacara-upacara mistik dalam kegiatan pertanian,
perkawinan, khitanan, kelahiran dan sebagainya.
4
Kebetulan saya sewaktu SD tinggal dengan bapak tiri saya yang
merupakan salah satu “orang tua” yang sering dimintai tolong
masyarakat di desa kami untuk hal-hal yang sifatnya mistik, seperti
mencari hari baik untuk acara-acara ritual atau hajatan, mencari letak
sumber air sumur, memberi mantera-mantera untuk orang sakit, untuk
orang yang mempunyai hajatan, menjadi juru petik padi dan lain-lain
yang sifatnya merupakan pekerjaan seorang “dukun desa” yang bersifat
mistik. Masa kecil saya pun kenyang dengan makanan-makanan sesajen
yang dibawa pulang oleh bapak saya itu, seperti ketan, ketupat, telor,
pisang dan lain-lain. Dalam satu kali masa panen pun bapak saya bisa
memperoleh rata-rata 10 kwintal gabah kering, pemberian dari orang-
orang desa kami yang menggunakan jasa mistiknya dalam “methik” padi.
Suatu saat saya pernah dilarang mengaji di langgar oleh orang tua
saya sebab kelihatannya mereka tidak suka dengan ajaran Islam. Mereka
melontarkan argumen bahwa sesungguhnya para santri itu hanya
mencari kawan untuk melawan PKI. Rupa-rupanya orang tua saya itu
mengamati kejadian masa Gestapu, dimana orang-orang Anshor (NU)
membunuhi para anggota PKI. Bapak saya bahkan membuat ramalan
bahwa kelak PKI akan kembali lagi dan menunutut balas kepada para
santri.
5
Nasehat dan argumen bapak saya tersebut tidak membuat tekad
saya surut untuk mengaji. Pada waktu itu pikiran saya bisa
membayangkan kejadian konfrontasi antara santri dengan PKI, dengan
imajinasi para santri membawa pedang dan para PKI juga membawa
pedang, lalu mereka bertarung dan para santri berhasil menang.
Meskipun dikemudian hari (waktu mahasiswa) saya membaca kisah
tersebut benar terjadi dari bukunya Pramoedya Ananta Toer yang
dilarang beredar jaman Orde Baru itu. Judulnya saya lupa. Kesalahan
para santri terletak pada cara biadabnya dalam membunuhi para anggota
PKI tanpa melalui Pengadilan. Para santri itu tidak menggunakan ajaran
Islamnya dalam menghukumi orang PKI yang belum tentu bersalah
tersebut. Orang-orang kecil di bawah, selalu menjadi korban pertikaian
di atas.
Kehidupan beragama Islam di desa kami juga bercampur-aduk
dengan mistik. Modin selalu bertugas sebagai pembaca doa dalam
upacara-upacara perkawinan, nyadranan (bersih desa), slametan di
kuburan Mbah Krapyak dan lain-lain yang juga mengandung acara-acara
mistik. Jadi, dalam acara-acara seperti itu dilakukan doa dua versi, doa
Islam dan doa mantera mistik. Kelihatannya memang fakta sinkretik;
paganisme (pemberhalaan) berdampingan dengan Islam. Barangkali itu
6
cara yang terpaksa ditempuh Modin sebab tidak mungkin ia mengecam
syirik kepada masyarakat yang melingkari langgarnya. Jika itu dilakukan
maka sudah pasti langgarnya akan dibakar masyarakat.
Suatu saat, ada cerita mistik bahwa dahulu tetangga kami yang
bernama Pak Jono diganggu oleh dhanyang desa kami yang bernama
Mbah Krapyak. Mulut Pak Jono penceng konon gara-gara membuat
perapian di lokasi kuburan Mbah Krapyak. Karena tidak percaya dengan
cerita itu maka saya datang ke tempat keramat Mbah Krapyak dengan
membawa celurit dan berteriak-teriak supaya Mbah Krapyak keluar.
Karena Mbah Krapyak tidak keluar-keluar, maka saya membacoki pohon
tua growong yang biasanya dijadikan tempat membakar kemenyan dan
tempat sesajen untuk Mbah Krapyak. Setelah kelelahan dan tidak
bertemu Mbah Krapyak, maka saya pulang.
Di kemudian hari saya pun menemukan jawaban bahwa Pak Jono
yang asimetris tulang dan urat mulutnya itu adalah sebagai gejala dari
sakit stroke yang memang pada waktu itu masih langka di desa kami.
Sejak saya tidak bisa bertemu dengan Mbah Krapyak yang
dipercaya penduduk desa kami sebagai dhanyang (penguasa lelembut)
penjaga desa tersebut, saya semakin tidak takut dengan mitos-mitos
tentang dhanyang dan sebagainya. Ketika perbuatan saya yang merusak
7