Anda di halaman 1dari 93

SKRIPSI

KEARIFAN LOKAL TRADISI MADDUI PADA MASYARAKAT


KARAMPUANG KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI
SELATAN
LOCAL WISDOM OF THE MADDUI TRADITION IN THE
KARAMPUANG SOCIETY OF SINJAI DISTRICT, SOUTH SULAWESI
PROVINCE

SUSIYANTI
1715140004

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

JUDUL : Kearifan Lokal Tradisi Maddui Pada Masyarakat

Karampuang Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi

Selatan

Nama : Susiyanti

NIM : 1715140004

Program Studi : Geografi

Menyetujui

Ttd Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Drs. Suprapta HS., M.Si Dr. Muhammad Yusuf, S.Si., S.Pd., M.Pd
NIP. 19580604 198702 1 001 NIP.198308082010121004

Mengetahui

Ketua Program Studi Geografi Ketua Jurusan Geografi

FMIPA UNM

Amal, S.Pi., M.Si., Ph.D Uca, S.Si., M.P., Ph.D


NIP. 19730814 200604 1 001 NIP. 197112311998021001
iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Allah Tidak Membebani Seseorang Melainkan Sesuai

Dengan kesanggupannya.”

(QS. Al Baqarah : 286)

“Dan Barang Siapa Bertakwa Kepada Allah,

Niscaya Dia Menjadikan Kemudahan Baginya

Dalam Urusannya”

(QS. At Talaq: 4)

#Jalani, Nikmati dan Syukuri

Kupersembahkan karya ini untukmu orang yang paling saya cintai ayahanda
Andi Irwan dan ibunda Kismawati karena kasih sayang dan pengorbanannya
yang begitu besar, serta saudariku tersayang Andi Humairah atas semua
dukungan, perhatian, dan doa tulus untuk saya.
iv

ABSTRAK

Susiyanti. 2021. Kearifan Lokal Tradisi Maddui Pada Masyarakat Karampuang


Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Jurusan Geografi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Makassar.
Dibimbing oleh Drs. Suprapta HS., M.Si dan Dr. Muhammad Yusuf, S.Si., S.Pd.,
M.Pd.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Pelaksanaan tradisi Maddui

pada masyarakat Karampuang di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. 2)

Nilai kearifan yang terkandung dalam tradisi maddui pada masyarakat

Karampuang di Kabupaten Sinjai provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini

merupakan jenis penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif, Pengumpulan data dilakukan dengan Teknik: Observasi, Wawancara

mendalam, dan Dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Tradisi maddui merupakan tradisi adat Karampuang untuk menarik kayu

dalam hutan adat. Tradisi ini bertujuan memelihara rumah adat Karampuang

sebagai bentuk menghargai Pappaseng To Manurung (pesan leluhur).

Pelaksanaan Tradisi maddui terdapat tiga tahap yaitu persiapan, acara inti dan

penutup. Hasil penelitian menunjukkan tradisi tersebut terdapat nilai-nilai kearifan

yang masih melekat antara lain: nilai gotong royong, nilai ekologis, nilai

soladiritas, dan nilai seni.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Tradisi Maddui, Karampuang, Kabupaten Sinjai.


v

ABSTRACT

Susiyanti. 2021. Local Wisdom of Maddui Tradition in Karampuang Society,


Sinjai Regency, South Sulawesi Province. Department of Geography, Faculty of
Mathematics and Natural Sciences. Makassar public university. Supervised by
Drs. Suprapta HS., M.Si and Dr. Muhammad Yusuf, S.Si., S.Pd., M.Pd.
This study aims to determine: 1) The implementation of the maddui
tradition in the Karampuang community in Sinjai district, South Sulawesi
province. 2) The value of wisdom contained in the maddui tradition in the
Karampuang community in Sinjai district, South Sulawesi province. This research
is a type of research that uses descriptive qualitative research methods, with the
research target being the behavior of the karampuang indigenous people. Data
collection is carried out using the following techniques: observation, in-depth
interviews, and documentation. The data analysis technique used is data
reduction, data presentation and conclusion drawing.
The maddui tradition is a traditional karampuang tradition to pull wood in
the customary forest. This tradition aims to maintain the traditional karampuang
house as a form of appreciating Pappaseng To Manurung (ancestral message).
The implementation of the Maddui tradition consists of three stages, namely
preparation, main event and closing. The results of the study show that there are
wisdom values that are still inherent in this tradition, including: mutual
cooperation values, ecological values, solidarity values, and artistic values.

Keywords: Lokal Wisdom, Maddui Tradition, Karampuang, Sinjai District.


vi

KATA PENGANTAR

‫ر هِب‬
‫ِ ِِ ْم ِسب‬ ‫ِ هن ِملس ِ هن ْم َّح ِب‬
Alhamdulillahi rabbil „alamin Puji dan syukur hanya untuk kehadirat
Allah Subhanahu Wata‟ala yang senantiasa memberikan kekuatan lahir dan batin
kepada setiap hamba-Nya, serta yang telah menganugerahkan rahmat, taufik,
hidayah dan inayah-Nya terutama kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Kearifan Lokal Tradisi Maddui Pada
Masyarakat Adat Karampuang Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan”.
Tanpa pertolongan-NYA mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad sallalahu „alaihi wasallam sang guru agung yang telah menunjukkan
kepada umat manusia jalan terang di dunia maupun di akhirat kelak.
Penyusunan skripsi ini, penulis mengalami beberapa kendala dan
hambatan yang pada akhirnya semua kendala dan hambatan bisa dilalui karena
bantuan dari pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaiannya sampai akhir.
Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, motivasi, dan doa
kepada penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih yang terspesial dan teristimewa untuk ayahanda tercinta Andi irwan
dan ibunda Kismawati yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, inspirasi,
serta memberikan dukungan-dukungan moril maupun material dalam
menyelesaikan penulisan skripsi.
Terimakasih terkhusus kepada bapak Drs. Suprapta HS., M.Si sebagai
pembimbing satu dan bapak Dr. Muhammad Yusuf, S.Si., S.Pd., M.Pd sebagai
pembimbing dua. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-
banyaknya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam, M.TP., IPU selaku Rektor Universitas
Negeri Makassar.
vii

2. Bapak Drs. Suardi Annas, M.Si., Ph.D selaku dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.
3. Bapak Uca S.Si.M.P. Ph.D sebagai ketua jurusan dan ibu Dr. Hasriyanti, S.Si.
M,Pd selaku sekertaris jurusan Geografi FMIPA UNM atas segala bantuan dan
petunjuk yang diberikan kepada penulis yang sangat mendukung dalam
pelaksanaan penelitian ini.
4. Bapak Amal, S.Pi, M.Si, Ph.D selaku ketua prodi Gegrafi sekaligus penguji
dua, dan Bapak Erman Syarif S.Pd.M.Pd selaku ketua prodi pendidikan
Geografi FMIPA UNM.
5. Bapak Drs. Ibrahim Abbas, M.Si selaku penguji satu. Terima kasih atas
bimbingan, kritikan, dan saran-saran kepada penulis yang sangat berharga
selama penyusunan skripsi.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Geografi FMIPA UNM yang telah memberikan
ilmu dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan di Geografi UNM.
7. Seluruh perangkat Desa Tompobulu yang telah memberi ijin dan kerjasamanya
selama berjalannya tradisi maddui di dusun Karampuang.
8. Pemuka adat puang Hj Manga, Puang Tola, Puang Kacong, Puang Jenne dan
tokoh masyarakat Puang Mattang dan Puang Bunga
9. Kepala Dusun Karampuang serta Masyarakat adat karampuang yang telah
membantu penelitian ini.
10. Kepada kakak sepupuku Rustan sekaligus kepala Dusun Aholiang yang ikut
serta bersama warganya dalam pelaksanaan tradisi maddui ini dan selalu
memberikan motivasi, saran, semangat dan doa selama penyusunan skripsi ini.
11. Kepada semua keluarga tercinta yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan dukungan dan bantuan penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
12. Sahabat tercinta Ayu Dan Rani, serta seluruh teman kelas Geografi Sains
yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama penulis menyusun
skripsi.
Atas jasa-jasa mereka penulis hanya dapat memohon doa semoga amal mereka
diterima Allah Subehanahu wa ta'ala, dan mendapat pahala yang lebih baik serta
viii

mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, dan kepada mereka


semua, penulis ucapkan “jazakumullahu khairan katsiran“. Pada akhirnya penulis
menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin.

Makassar, September 2021

Penulis
ix

DAFTAR ISI

SAMPUL PROPOSAL...........................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN HASIL......................................................................ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN.......................................................................iii

ABSTRAK.............................................................................................................iv

ABSTRACT...........................................................................................................v

KATA PENGANTAR...........................................................................................vi

DAFTAR ISI..........................................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................4

C. Tujuan Penelitian...................................................................................4

D. Manfaat Penelitian.................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori...........................................................................................6

B. Kerangka Pikir.....................................................................................17

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian....................................................................................18

B. Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................18

C. Sumber Data........................................................................................19

D. Desain Penelitian.................................................................................20
x

E. Teknik Pengumpulan Data..................................................................21

F. Instrumen Penelitian............................................................................23

G. Pemeriksaan Keabsahan Data.............................................................23

H. Teknik Analisis Data...........................................................................24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Peneltian………………………………………….27

B. Sejarah Karampuang………………………………………………..28

C. Struktur Lembaga Adat Karampuang………………………………30

D. Hasil Penelitian..................................................................................31

E. Pembahasan........................................................................................46

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................62

B. Saran..................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................64

LAMPIRAN.................................................................................................... ....70
xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Hal


2.1 Skema Kerangka Berpikir……………………………………… 17
4.1 Struktur Ade Eppae Karampuang……………………………… 30
4.2 Tudang Sipulung Di rumah Adat Arung Karamuang…………. 32
4.3 Pemasangan Tali (Tamping) Pada Pohon Di Hutan Adat ……. 37
4.4 Penarikan Kayu Di Kawasan Hutan Adat Karampuang……… 38
4.5 Ritual Penyambutan Di Kawasan Rumah Adat Karampuang… 44
4.6 Rumah Gella …………………………………………….……. 48
4.7 Rumah Arung ……………….………………………………... 48
4.8 Tiang Rumah Adat Karampuang Yang Rapuh ………………... 51
4.9 Perempuan Adat Yang Menyiapkan Konsumsi ………………. 54
4.10 Kawasan Hutan Adat Karampuang …………………………… 56
4.11 Perbaikan Rumah Adat Arung ………………………………… 58
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki banyak suku

bangsa sehingga kaya akan budaya dan tradisi. Melalatoa (1997) mencatat tidak

kurang dari 520 suku bangsa di Indonesia. Kekayaan budaya yang dimiliki di

Indonesia berasal dari warisan nenek moyang bangsa Indonesia (Lusianti & Rani,

2012). Kekayaan budaya tersebut memiliki beragam artefak kebudayaan seperti

upacara adat, senjata perang, pakaian tradisional, ragam kesenian, dan kuliner

(Rahmawaty & Maharani, 2014). Kebudayaan-kebudayaan tersebut mengandung

makna dan nilai yang bervariasi disetiap daerah (Patji, 2010).

Budaya di setiap daerah memiliki makna dan nilai tersendiri bagi

masyarakatnya. Melalui budaya inilah manusia menjalankan aktivitas, sehingga

manusia menjadi makhluk yang berbudaya, bermartabat dan beradab, dan

kehidupan manusia menjadi rukun, damai dan tentram. (Patji, 2010) mengatakan

bahwa budaya yang bervariasi ini tersebar membentang di Negara Indonesia

termasuk provinsi Sulawesi Selatan.

Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang dihuni oleh empat suku mayoritas,

yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Keempat suku masing-masing

memiliki ciri adat istiadat yang bervariasi dan unik, sehingga provinsi Sulawesi

Selatan mempunyai beragam tradisi budaya lokal (kuentjaraningrat, 1981)


2

Tradisi budaya lokal merupakan kegiatan yang sering di lakukan oleh suatu

kelompok masyarakat secara turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan

sehari-hari kelompok masyarakat tersebut. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat

diteruskan oleh suatu kelompok masyarakat karena adanya informasi yang

diteruskan dari generasi ke generasi baik secara tertulis maupun (sering kali)

secara lisan. Tradisi budaya lokal selalu berkaitan dengan sejarah dan adat istiadat

masa lalu. Tradisi erat kaitannya dengan kegiatan etnis tertentu. Sehingga dapat

dikatakan bahwa Indonesia memang kaya akan ragam budaya dan tradisi yang

dapat hidup berdampingan, yang jika dilestarikan tentunya akan menarik

perhatian Indonesia di mata dunia internasional (Lusianti & Rani, 2012).

Namun tidak semua daerah dapat mempertahankan tradisinya di tengah

globalisasi dan modernisasi. Moderniasasi dan globalisasi ini mengakibatkan

dampak besar bagi kebudayaan. Budaya dan Tradisi yang di anggap bernilai

positif akan di jaga sementara yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan

zaman akan ditinggalkan. Seperti pada Masyarakat suku Tengger kabupaten

Malang Jawa Timur kini telah menjadi akulturasi antara budaya baru dan budaya

lama (Mahya, 2017). Hal serupa terjadi pada suku Maya Kabupaten Raja Ampat

(Rumbewas dkk, 2017).

Pengaruh globalisasi membawa dampak bagi kehidupan masyarakat hampir

setiap pelosok daerah. Pengaruh ini menyebabkan adanya pergeseran nilai-nilai

budaya tradisi dalam kehidupan masyarakat. Tradisi yang biasa dilakukan

masyarakat lambat laun telah tergeser akibat perkembangan zaman. Arus

globalisasi telah merubah pola pikir masyarakat yang berawal merupakan


3

kebangaan telah berubah menjadi sesuatu yang tidak bernilai, hal tersebut terjadi

pada suku Sasak kabupaten Lombok Tengah mengenai perubahan rumah adat

tradisionalnya (Adrian & Resmini, 2018) dan terjadi pula pada pergeseran tata

cara adat Midodareni pada masyarakat Jawa Kabupaten Lampung Timur

(Prabowo & Adha, 2014)

Dalam aktivitas sehari-hari kebudayaan dan tradisi merupakan penuntun sikap,

perilaku dan gaya hidup yang menjadi identitas dan kebanggaan tersendiri bagi

masyarakatnya. Suatu kebudayaan dan tradisi terdapat nilai-nilai yang tidak dapat

dipengaruhi budaya asing, yang biasanya disebut sebagai local genius. Local

genius inilah pangkal segala kemampuan budaya suatu daerah untuk menetralisir

pengaruh negative budaya asing. Kemampuan ini dapat dikembangkan dengan

menghubungkannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang biasanya masih terjaga

dalam suatu masyarakat adat (Sartini, 2004).

Masyarakat adat Karampuang adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah

Karampuang. Masyarakat adat ini adalah salah satu kelompok masyarakat adat

yang ada di kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagai masyarakat adat,

mereka menjunjung tinggi bentuk kearifan lokal yang mereka miliki (Syarif,

2017). Selain itu masyarakat adat Karampuang menjalankan beberapa tradisi yang

masih dipertahankan. Salah satunya yaitu tradisi maddui.

Tradisi maddui dalam istilah bugis maddui atau mabella artinya tradisi

menarik pohon gupasa atau aju bitti dari hutan adat dengan ritual khusus. Tradisi

ini dilakukan secara gotong royong dengan tujuan memelihara rumah adat dan

mengganti bagian-bagian tertentu rumah adat yang mulai rusak. Tradisi ini
4

mengandung nilai-nilai yang menjadi mekanisme penjalin kebersamaan antar

warga sejak zaman dahulu kala oleh masyarakat setempat dan menjadikannya

sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat ditengah

pengaruh globalisasi dan modernisasi yang semakin meningkat. Sehingga dengan

hal tersebut membuat penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk melihat

dan mengangkat suatu tradisi yang masih dilestarikan dalam suatu masyarakat

dengan mengangkat judul “Kearifan Lokal Tradisi Maddui Pada Masyarakat

Karampuang Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan”.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pelaksanaan tradisi maddui pada masyarakat Karampuang di

Kabupaten Sinjai provinsi Sulawesi Selatan?

2. Nilai-nilai kearifan apa yang terkandung dalam tradisi maddui pada

masyarakat Karampuang di kabupaten Sinjai provinsi Sulawesi Selatan?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi maddui pada masyarakat

Karampuang di Kabupaten Sinjai provinsi Sulawesi Selatan

2. Untuk mengetahui nilai kearifan apa yang terkandung dalam tradisi

maddui pada masyarakat Karampuang di kabupaten Sinjai provinsi

Sulawesi Selatan
5

D. Manfaat penelitian

Manfaat yang di harapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat menambah informasi, ilmu

pengetahuan dan acuan bagi peneliti selanjutnya dalam mengkaji kearifan

lokal berupa tradisi

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah

Sebagai informan bagi pemerintah provinsi Sulawesi pada umumnya

dan pemerintah kabupaten Sinjai pada khususnya untuk menjaga

kelestarian dan kebijakan terhadap nilai-nilai kearifan lokal tradisi adat

b. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi mengenai keberadaan tradisi yang masih di

pertahankan dan perluh untuk terus dilestarikan oleh masyarakat Sinjai

terkhususnya masyarakat adat Karampuang


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Tradisi

Manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai pencipta

dan budaya memposisikan dirinya sebagai kebiasaan yang dilakukan secara

terpola sehingga menjadi tradisi. Kata “tradisi” berasal dari bahasa latin

traditio, sebuah nomina yang dibentuk dari kata kerja traderere atau trader

„mentransmisi, menyampaikan, dan mengamankan‟. Sebagai nomina, kata

traditio merupakan suatu kebiasaan yang disampaikan dari generasi ke

generasi berikutnya dalam kurung waktu yang lama dan menjadikan

kebiasaan itu menjadi bagian dari kehidupan sosial komunitas (Sibarani,

2015)

Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang

masih dijalankan dalam kehidupan masyarakat. Adat kebiasaan ini muncul

karena adanya kebutuhan suatu masyarakat yang disepakati bersama dan

merasa kurang apabila tidak melaksanakannya. Mikhail Coomans (1987)

mengungkapkan, tradisi adalah gambaran sikap dan perilaku manusia yang

sudah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun temurun

dimulai dari nenek moyang.

Setiap tradisi memiliki nilai budaya yang merupakan gambaran ideal dari

sebuah komunitas. Nilai budaya ini membentuk suatu sistem sehingga


7

dikenal dengan adanya sistem nilai budaya. Dalam sistem nilai budaya

terdapat 5 hal pokok dalam kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1987)

a. Masalah hakekat hidup manusia

b. Masalah hakekat karya manusia

c. Masalah kedudukan manusia dalam ruang dan waktu

d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar

e. Hubungan manusia dengan sesamanya

Menurut (Sibarani, 2015) ada tiga karakteristik tradisi.

a. Tradisi itu adalah kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process)

kegiatan yang dimiliki bersama suatu komunitas. Kebiasaan ini bermakna

pelaksanaannya dilakukan secara berkelanjutan, materi dan adat yang di

ungkapkan milik bersama kemudian dipraktikkan dalam kelompok atau

komunitas masyarakat.

b. Tradisi itu adalah sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan

identitas. Memiliki tradisi berarti mempunyai nilai keyakinan dalam

pembentukan kelompok. Keyakinan kepemilikan ini akan memperkuat

keberadaaan tradisi. Saat itulah tradisi dinilai dapat menciptakan dan

mengukuhkan identitasnya.

c. Tradisi itu adalah sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu

sebagai tradisinya. Saat tradisi dapat dijalankan dan menjadi bagian dari

kehidupan suatu kelompok masyarakat, saat itulah tradisi dikenal dan

diakui dapat memberi makna dalam kelompok tersebut.


8

Setiap daerah memiliki tradisi yang mengandung makna dan nilai

tersendiri bagi kelompok masyarakatnya. Melalui tradisi inilah manusia

menjalankan aktivitas, sehingga manusia menjadi makhluk yang berbudaya,

bermartabat dan beradab, dan kehidupan manusia menjadi rukun, damai dan

tentram. (Patji, 2010) mengatakan bahwa kebudayaan banyak dijumpai di

Negara Indonesia sehingga memiliki tradisi yang bervariasi di setiap daerah.

Indonesia memiliki ribuan pulau yang menyebabkan setiap daerah

mempunyai tradisi yang berbeda-beda, unik, khas dan memiliki nilai-nilai

tersendiri. Kegiatan tradisi ini sering di lakukan oleh suatu kelompok

masyarakat secara turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-

hari kelompok masyarakat tersebut. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat

diteruskan oleh suatu kelompok masyarakat karena adanya informasi yang

diteruskan dari generasi ke generasi baik secara tertulis maupun (sering kali)

secara lisan. Tradisi ini bersifat dinamis sehingga setiap tradisi dapat

mengalami perubahan yang disebabkan oleh perkembangan zaman, dan

pelestarian dari pemilik tradisi tersebut (Triwardani & Rochayanti, 2014).

Perubahan kebudayaan di sebabkan oleh masyarakat dan lingkunganya

sendiri misalnya perubahan jumlah dan komposisi. Dan oleh sebab

perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Kelompok itu

hidup terbuka, dan berada dalam jalur hubungan dengan kelompok dan

kebudayaan lain, cenderung akan berubah lebih cepat. Biasanya karena ada

difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, seperti teknologi dan inovasi


9

Tradisi banyak kita jumpai di kelompok masyarakat adat. Tradisi

tersebut melekat erat pada kelompok adat masyarakat asli tertentu.

Kelompok adat ini menjaga budaya lokalnya sebagai bentuk kepercayaan

terhadap leluhur mereka. Budaya lokal ini berupa adat istiadat asli yamg

berbentuk fisik ataupun non fisik yang berkembang di suatu daerah secara

turun-temurun oleh masyarakat adat tertentu (Akmal & Prihatin, 2020)

2. Kearifan Lokal

Istilah kearifan lokal terdiri dari kata yaitu “kearifan” dan “lokal”.

Kearifan dapat diistilakan sebagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu berupa

pengetahuan yang banyak dan menggunakan pengetahuan itu untuk

kepentingan kehidupan. Sedangkan istilah „lokal‟ berarti setempat, istilah ini

menujuk pada kekhususan tempat atau kewilayahan. Karena itu, kearifan

lokal dapat dipahami sebagai kebijaksanaan setempat, yaitu kebijaksanaan

yang dimiliki oleh masyarakat pengikutnya. Dalam masyarakat yang

multikultur, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran masing-

masing. Sehingga kita lihat bahwa kearifan lokal itu akan bersifat relatif

terhadap kearifan lokal lainnya.

Kearifan lokal merupakan kearifan setempat (local wisdom) yang dapat

diketahui sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh

kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh kelompoknya. Kearifan

lokal dikenal sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local

knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), dan menjadi dasar

identitas kebudayaan (cultural identity). Kearifan lokal adalah sebuah sistem


10

tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang

ada di tengah-tengah masyarakat lokal. Sifat yang dinamis, berkelanjutan

dan dapat diterima oleh komunitasnya merupakan ciri yang melekat dalam

kearifan tradisional. Dalam kelompok masyarakat lokal, kearifan tradisional

terbentuk dari seperangkat aturan, pengetahuan, keterampilan, tata nilai dan

etika yang mengatur tatanan sosial kolompok yang terus hidup dan

berproses secara turun-temurun (Thamrin, 2013)

Kearifan lokal berupa pengetahuan masyarakat dalam lingkungan

dengan sumber daya alam yang ada di sekitarnya akan mempengaruhi

kelestarian atau kerusakan lingkungan, termasuk pengetahuan

keanekaragaman tumbuhan dan pengelolaan lingkungan. Pengetahuan

mengenai keanekaragaman spesies tumbuhan oleh masyarakat lokal

merupakan warisan turun-temurun yang mereka dapat dari orang tua mereka

zaman dulu (Ani, dkk 2018).

Menurut (Kun, 2013) ciri-ciri kearifan lokal yaitu:

a. Mampu bertahan terhadap budaya luar,

Pengaruh budaya luar sering kali menjadi alasan hilangnya

kebudayaan asli suatu kelompok masyarakat. Seiring perkembangan

zaman, teknologi juga semakin maju. Keberadaan teknologi ini

memberikan kemudahan untuk manusia dalam kehidupan sehari-hari dan

menjadi sarana public untuk menampilkan kebudayaan yang ada di

seluruh dunia. keberadaan teknologi kadang juga memberikan dampak

negative terhadap kebudayaan yang berhasil mempengaruhi kebudayaan


11

lain sehingga menimbulkan ada kebudayaan yang ditinggalkan. Agar hal

itu tidak terjadi maka kebudayaan harus tetap dijaga dari budaya luar.

b. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

Seiring waktu, zaman akan terus berkembang. Keberadaan budaya

luar yang masuk ke Negara kita tidak dapat dipungkiri pula. Sehingga

kita harus mampu memilah dan menyediakan berdasrkan kebutuhan dari

unsur-unsur budaya berupa sistem bahasa, pengetahuan, organisasi

kemasyarakatan, teknologi, ekonomi, religi, dan kesenian

c. Memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam

budaya asli

d. Mempunyai kemampuan mengendalikan

e. Mampu memberi arah perkembangan budaya.

Mempertahankan kebudayaan dengan menunjukkan kearifan-kearifan

lokal yang dimiliki untuk menjaga eksistensi budaya, tradisi, dan kekayaan

alam yang dimiliki, baik masyarakat adat, maupun kelompok masyarakat

lainnya. Menurut (Abdillah, 2020) kearifan lokal memiliki karakteristik

yang akan membuat kearifan lokal tersebut dapat berfungsi di dalam

masyarakat.

a. Kearifan lokal sebagai pemberi arah perkembangan budaya.

Kearifan lokal sebagai pemberi arah perkembangan budaya menjadi

salah satu alat untuk mengarahkan masyarakat setempat agar tetap

berperilaku sesuai perkembangan budayanya, meskipun terjadi berbagai

perubahan perkembangan kondisi sosial masyarakat dimana masyarakat


12

cenderung menjaga nilai-nilai lokal yang mereka miliki dan menerapkan

cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

b. Kearifan lokal sebagai alat kontrol sosial.

Kearifan Lokal sebagai alat kontrol sosial menjadi alat yang mampu

menjaga agar masyarakat memiliki tanggung jawab akan

keberlangsungan kehidupan dan hubungan sosial masyarakat setempat

agar tidak hilang, seperti kebudayaan maupun tradisi yang sudah ada

sejak dahulu agar tidak tergerus oleh kebudayaan asing maupun zaman.

c. Kearifan lokal sebagai pertahanan budaya.

Kearifan lokal sebagai pertahanan budaya mampu menjaga

kebudayaan asli masyarakat dari perkembangan zaman maupun

pengaruh budaya luar atau asing. Dengan adanya kearifan lokal, nilai-

nilai, tradisi dan kebudayaan di masyarakat akan tetap terjaga dan

lestari. Sehingga masyarakat dapat hidup sesuai dengan kearifan yang

dimiliki oleh masyarakat setempat.

d. Kearifan lokal sebagai alat akomodasi budaya luar.

Kearifan lokal sebagai alat akomodasi budaya luar agar mampu

memilih dan menyesuaikan kebudayaan mana yang cocok dengan

kebudayaan asli masyarakat.

Kearifan lokal suatu komunitas adat memiliki nilai masing-masing

daerah. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai yang terkandung

biasanya berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan sangat berguna bagi


13

masyarakat. Nilai dalam hal ini berupa ukuran, patokan, anggapan dan

keyakinan yang dianut orang banyak dalam suatu masyarakat (Zahra, 2020)

Praktek kearifan lokal tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Di

Sulawesi Selatan, suku Kajang merupakan salah satu yang masih

mempertahankan kearifan lokal budayanya. Suku ini terletak di Kecamatan

Kajang Kabupaten Bulukumba, berjarak sekitar 250 kilometer dari kota

Makassar Sulawesi Selatan. Praktek kearifan lokal pada komunitas adat

suku Kajang salah satunya yaitu pasang. Pasang adalah pedoman hidup

masyarakat Ammatoa (pimpinan adat suku Kajang) terdiri dari kelompok

amanat leluhur. Pasang adalah suatu bentuk bahasa yang berbeda dengan

bahasa sehari-hari dan memiliki makna simbol-simbol tertentu. Usop (1978)

melalui pendekatan antropologi menyatakan, pasang secara harfiah

merupakan pesan lisan yang wajib dituruti, dipatuhi dan dilaksankan.

Apabila melanggar pesan tersebut, akan menimbulkan hal-hal atau akibat-

akibat yang tidak diinginkan. Pasang memiliki makna pesan, amanah,

fatwah,nasehat, tuntutan, dan peringatan yang diwariskan secara lisan oleh

nenek moyang suku kajang dari generasi ke generasi, sehingga bersifat

statis. Salle (1999) dalam perspektif hukum lingkungan memandang pasang

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan peranan dan kebijakan Ammatoa

untuk kesejahteraan hidup kelompok masyarakatnya. Pengambilan

keputusan dalam hukum adat suku Kajang selalu berpedoman dengan

pasang dan menjadi sistem hukum adat mencakup pengelolaan lingkungan

suku Kajang sendiri. Ahmad (1989) dalam perpektif antropologi


14

berpendapat bahwa pasang sebagai unsur mutlak dalam sistem kepercayaan

suku Kajang. Pasang dimaknai sebagai pesan, fatwa, nasihat, dan tuntutan

yang dilestarikan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Lureng

(1980) berpendapat bahwa pasang merupakan tradisi lisan dengan sistem

pengetahuan yang mengandung nilai-nilai budaya yang bersumber dari

Ammatoa. Pasang ri kajang ini merupakan pedoman tingkah laku dalam

masyarakat suku Kajang. Pada sistem nilai yang terkandung dalam pasang

yang berpedoman pada tingkah laku masyarakatnya. Fungsi-fungsi pasang

berkaitan dengan sistem politik, sistem sosial-budaya berupa

kegotongroyongan dan sistem religi masyarakat adat Kajang. Rasyid (2002)

berpendapat bahwa pasang sebagai sistem pengetahuan yang diwariskan

secara turun-temurun dan bersumber dari Tu Rie‟ A‟ra‟na (wujud tertinggi).

Ammatoa menganggap sakral pasang sebab apabila tidak dilaksanakan akan

berdampak buruk dalam kehidupan sehari-hari, seperti rusaknya

keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Pasang adalah panduan

bagi manusia dalam segala aspek, baik itu aspek sosial, religi, mata

pencaharian, budaya, lingkungan dan sistem kepemimpinan. Merujuk dari

makna yang terkandung dalam pasang, maka dapat dikatakan bahwa pasang

dalam masyarakat adat Ammatoa adalah hal yang disakralkan.

Praktek kearifan lokal di Tana Toraja yang terkenal sampai ke macan

Negara seperti budaya Rambu Solo atau pemakaman. Upacara yang

berhubungan dengan kedukaan dan kesusahan, seperti tradisi kematian,

pemakaman, dan lainnya yang berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah


15

nenek moyang (Yusuf dkk, 1993). Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan

memperhatikan strata social orang yang meninggal. Adat Rambu solo

diperuntukan khusus pemakaman orang Toraja secara besar-besaran untuk

menghormati mereka yang telah meninggal. Masyarakat Toraja percaya

bahwa tujuan melakukan Rambu solo selain menghormati, juga sebagai cara

menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh atau

kembali kebadian bersama para leluhur mereka ditempat peristirahatan yang

abadi (Marampa, 2003).

3. Masyarakat adat Karampuang

Masyarakat Adat Karampuang bermukim di Desa Tompobulu,

Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai. Karampuang adalah nama sebuah

desa sekaligus nama komunitas adat yang memiliki kearifan lokal yang

diyakini sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, salah

satunya ialah kebudayaan yang senantiasa tetap menjaga dan memelihara

kelestarian hutan. Sampai saat ini masyarakatnya masih berupaya

mempertahankan beberapa tradisi warisan leluhur atau cikal bakal desa

seperti selalu menyelenggarakan upacara bersih desa secara teratur setiap

tahun, membersihkan sumber air secara bersama sama, mengadakan

penghijauan dan membersihkan halaman desa serta kondisi pemukimannya

mencerminkan sebuah Assijampangeng (saling peduli) dan Assamaturuseng

(saling kerjasama). Pengetahuan lokal terus berkembang, bisa merupakan

hasil penggabungan antara pengalaman dalam masyarakat dengan

pengetahuan dari orang luar (Tamalene dkk, 2014).


16

Kondisi fisik wilayah Karampuang (BPS, 2013) terdri dari:

a. Wilayah Karampuang didominasi oleh bentuk wilayah perbukitan

dan pegunungan dengan ketinggian 500 - 1.000 Meter DPL,

b. Tersebar jenis batuan vulkanik/beku, batuan endapan, batuan

mikan atau metamorf, batuan alluvial; dan batuan organik,

c. Mempunyai curah hujan berkisar antara 2.000 - 4.000 Mm/Tahun,

dengan hari hujan yang bervariasi antara 100 - 160 Hari Hujan/Tahun.

kelembaban udara rata-rata, tercatat berkisar antara 64 - 87%, dengan

suhu udara rata-rata berkisar antara C- C

d. Menurut Klasifikasi Iklim Schmidt & Fergusson Wilayah

Karampuang Beriklim Type D2 Yaitu; Zona Dengan Iklim Type D2,

Mengalami Bulan Basah Selama 3 - 4 Bulan, & Bulan Keringnya

Berlangsung Selama 2 - 3 Bulan.

Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Adat Karampuang yakni: percaya

dan taat kepada Allah Swt, kepedulian terhadap lingkungan alam, tanggung

jawab, cinta tanah air, kerja keras, jujur, bersahabat, dan peduli sosial. Nilai-

nilai kearifan lokal masyarakat Adat Karampuang adalah filosofi yang

memiliki makna dimensi karakter secara komprehensif (Syarif, 2019)


17

B. Kerangka Pikir

Masyarakat Adat
Karampuang

Tradisi Maddui

Pelaksanaan
1. Persiapan
2. Acara inti
3. Penutupan

Nilai - nilai kearifan

Gambar 2.1 Kerangka pikir


18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu jenis penelitian

deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-

temuannya tidak diperoleh berdasarkan prosedur statistik atau bentuk hitungan.

Tujuan dari penelitian kualitatif yaitu untuk mengungkapkan gejala secara holistik

kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri

peneliti sebagai instrumen kunci (Sugiarto, 2015). Adapun menurut Moleong

(2013) menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang

bertujuan untuk memahami peristiwa tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian. Misalnya persepsi, perilaku, tindakan, motivasi dan sebagainya.

Pada penelitian kali ini akan mengkaji secara mendalam terkait dari kearifan

lokal tradisi maddui pada masyarakat Karampuang . Pada pelaksanaan penelitian

ini akan dilakukan pencarian gambaran dan deskripsi pada tradisi maddui dan

pemangku adat dan masyarakat adat Karampuang untuk dijadikan sebagai subjek

penelitian.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah Adat Karampuang Desa Tompobulu,

Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan.


19

2. Waktu penelitian

Adapun waktu penelitian ini akan di laksanakan selama enam bulan yakni

mulai bulan April

C. Sumber Data

Sumber data pada penelitian kali ini yaitu subjek dari mana data dapat

diperoleh. Menurut Lofland dalam Moleong (2011) mengemukakan bahwa

sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata kata dan tindakan,

selebihnya adalah tambahan seperti dokumentasi dan sebagainya.

Berdasarkan sumbernya, penelitian terbagi menjadi menjadi 2 jenis yaitu:

1. Data Primer

Pada penelitian ini menggunakan data primer diperoleh dari narasumber

(informan kunci dan informan pendukung), untuk wawancara mengenai

pelaksanaan tradisi maddui dan pandangan nilai kearifan pada masyarakat adat

Karampuang. Penelitian ini terdiri dari dua tipe informan, yaitu informan kunci

berupa pemuka adat yang berperang aktif terhadap tradisi maddui, dan informan

pendukung berupa pemerintah Desa Tompobulu antara lain:

Informan kunci;

a. Puang Tola (Tomatoa )

b.Puang Mangga (Gella)

c. Puang Jenne (Sanro)

d.Puang kacong (Guru)

Informan pendukung;

a. Mahmuddin (Kepala Desa Tompobulu)

b.Marjuli (Tokoh Pemuda)


20

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh berdasarkan data yang dikumpulkan melalui

penelusuran atau studi pustaka dari berbagai arsip-arsip penelitian, artikel-artikel,

dokumen-dokumen dan buku yang berkaitan dengan kajian penelitian ini dan

jurnal terkait penelitian adat Karampuang serta data video mengenai pelaksanaan

Tradisi maddui adat Karampuang.

D. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah pedoman atau petunjuk dalam penelitian, mulai pada

langkah awal yaitu perencanaan hingga pada pelaksanaan penelitian dilakukan

(Hasan & Iqbal, 2002). Adapun langkah langkah dalam penelitian ini antara lain

sebagai berikut:

1. Persiapan

Pada tahap ini, peneliti harus melakukan pemilihan dan merumuskan

masalah, penentuan variabel, menata instrumen serta memahami kajian pustaka.

2. Pengumpulan data

Tahap selanjutnya yaitu pengumpulan data. Pengumpulan data dapat

dilakukan dengan beberapa cara yaitu: observasi, pengumpulan data pendukung,

dan melakukan wawancara.

3. Pengelolaan data

Tahap ketiga yaitu pengelolaan data. Pada tahap ini, data yang telah

terkumpul diolah melalui teknik analisis data yang sesuai dan telah ditetapkan.
21

4. Penyusunan hasil penelitian

Tahap akhir yaitu penyusunan hasil penelitian yang dimana semua hasil

analisis data di kumpulkan kemudian disusun dan disajikan dalam bentuk

penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiono (2012) teknik pengumpulan data adalah tahap awal yang

paling utama dalam suatu penelitian. Hal ini dikarenakan, tujuan dari penelitian

ini yaitu untuk memperoleh data. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan

berbagai cara, berbagai sumber data dan berbagai setting.

Untuk mendapatkan data yang akurat dan perolehannya siap

dipertanggungjawabkan, maka peneliti mengumpulkan prosedur pengumpulan

data sebagai berikut:

1. Observasi

Menurut Mulyaningsih dalam Ningrum (2020) observasi adalah teknik

pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan pencatatan perilaku subjek

penelitian yang dilakukan secara terstruktur. Observasi ini berupa pengamatan

proses pelaksanaan tradisi maddui dan nilai kearifan yang terkandung dalam

prosesi tradisi tersebut.

Pada penelitian yang akan dilakukan, peneliti mengumpulkan data dengan

turun lapangan. Proses ini berlangsung dengan pengamatan yang meliputi melihat,

merekam, dan mencatat kejadian. Penelitian ini untuk mengetahui Proses

pelaksanaan tradisi Maddui di kawasan adat Karampuang


22

2. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data dan informasi dalam

penelitian yang dilakukan secara langsung oleh dua pihak antara pewawancara

dan narasumber untuk mengetahui hal hal yang terkait dengan fenomena atau

masalah yang lebih mendalam. Pada penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan

melakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan interaksi

atau pembicaraan yang terjadi antara satu pewawancara dengan satu narasumber.

Adapun menurut Trisliatanto (2020) mengemukakan bahwa wawancara

mendalam merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan

informasi secara langsung dengan mengajukan pertanyaan antara pewawancara

dengan narasumber. Bahkan keduanya dapat dilakukan bersamaan karena

wawancara dapat digunakan untuk menggali lebih dalam lagi data yang didapat

dari observasi.

Tujuan dari wawancara dalam penelitian ini yaitu untuk mendapatkan

informasi tentang:

a. Proses pelaksanaan tradisi maddui yang meliputi:

1. Persiapan

2. Acara inti

3. Penutupan

b. Nilai - nilai kearifan yang terkandung dalam tradisi maddui


23

3. Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data primer yang diperoleh

berdasarkan data yang dikumpulkan melalui penelusuran atau studi pustaka dari

berbagai arsip-arsip penelitian, artikel-artikel, dokumen-dokumen, buku dan video

pelaksanaan yang berkaitan dengan kajian penelitian ini.

F. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2011) menyatakan bahwa instrumen penelitian

merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur peristiwa alam ataupun

sosial yang diamati. Instrumen penelitian pada penelitian ini akan menjadi alat

atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data agar

pekerjaannya menjadi lebih mudah serta hasilnya lebih baik, dalam artian

lengkap, cermat dan terstruktur sehingga data tersebut mudah untuk diolah.

Setiap penelitian mempunyai susanan instrumen yang berbeda beda. Hal ini

mengingat pada tujuan dan mekanisme kerja dalam setiap metode penelitian juga

berbeda beda. Pada penelitian ini, yang menjadi instrumen yaitu si peneliti itu

sendiri dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam untuk mendapatkan

data.

G. Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian kualitatif sangatlah penting karena

penelitian kualitatif harus mengungkap kebenaran secara objektif. Adapun upaya

pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melakukan

Audit Trail. Menurut Lincoln dan Guba (1985) Audit Trail merupakan upaya yang

dilakukan untuk memeriksa keabsahan data atau informasi. Peneliti melakukan


24

Audit Trail untuk memverfikasi keabsahan data. Strategi Audit Trail dilakukan

dengan peneliti (Audit) meminta seorang diluar penelitian (Auditor) untuk

melaksanakan tinjauan menyeluruh terhadap penelitianyya dan melapor balik,

secara tertulis, kekuatan dan kelemahan proyek penelitian. Audit ini dapat terjadi

selama berkali-kali dan di akhir penelitian. Selama proses konsultasi/ pemeriksaan

rancangan laporan hasil penelitian auditor memberi laporan timbal balik. Jika dari

sisi auditor terlihat adanya kekeliruan, hal itu dibicarakan untuk kemudian

diperbaiki. Dengan demikian, penulisan rancangan atau hasil penelitian tidak

sekali jadi, tetapi senantiasa berkembang sejalan dengan hasil konsultasi atau

revisi.

H. Teknik Analisis Data

Tujuan dari analisis antara lain yaitu untuk memecahkan permasalahan

penelitian, menunjukkan hubungan antara peristiwa yang terdapat dalam

penelitian, memberikan jawaban terhadap hipotesis yang diajukan dalam

penelitian dan bahan dalam membuat kesimpulan dan implikasi serta saran yang

berguna untuk kebijakan penelitian selanjutnya (Hendrawati, 2016).

Menurut Sugiyono (2016) menyatakan bahwa analisis data merupakan proses

mencari dan menata secara terstruktur data yang diperoleh dari hasil wawancara,

catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam

kategori, menguraikan kedalam unit unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

pola, menentukan mana yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat

kesimpulan sehingga mudah untuk dipahami oleh peneliti maupun orang lain.
25

Teknik analisis data yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu

menggunakan analisis data oleh Miles dan Huberman.

Adapun analisis yang digunakan melalui tiga tahap yaitu:

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pengumpulan data dalam penelitian.

Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan data,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan data, pengabstrakan data dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan catatan tertulis di

lapangan. Dalam kegiatan reduksi data dilakukan pemilahan pemilahan

tentang bagian data yang perlu diberi kode, bagian data yang diharus

dibuang dan pola yang harus dilakukan peringkasan. Kegiatan reduksi ini

dapat dilakukan melalui seleksi data yang ketat, pembuatan ringkasan dan

menggolongkan data menjadi suatu pola yanglebih luas dan mudah

dipahami (Trisliatanto, 2020).

2. Penyajian Data

Data yang telah direduksi, selanjutnya disajikan dalam bentuk

deskripsi berdasarkan aspek aspek dalam penelitian. Penyajian data

merupakan menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, skema,

struktur, hubungan antar konsep atau kategori dan lain sebagainya.

Menyajikan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah

bersifat naratif (Trisliatanto, 2020). Oleh karena itu, didalam penyajian

data dapat dianalisis oleh peneliti untuk disusun secara terstruktur


26

sehingga data yang diperoleh dapat menjelaskan dan menjawab topik

permasalahan yang diteliti.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah analisis lanjutan dari reduksi data dan

penyajian data sehingga data dapat disimpulkan dan peneliti masih

berkesempatan untuk menerima masukan (Sugiyono, 2011).


27

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Masyarakat adat Karampuang adalah bagian dari suku bugis yang terletak di

Dusun Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai.

Wilayah adat Karampuang terletak di titik - 6‟9.27” LS, 6‟2.75” BT.

Dengan ketinggian ± 700 Meter diatas permukaan laut, memiliki curah hujan 75

mm/tahun dan suhu udara rata-rata C. Batas wilayah Karampuang yaitu,

sebelah utara berbatasan dengan Dusun Data, sebelah selatan berbatasan dengan

sungai Lamole, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bulu Tellue dan

disebelah barat berbatasan dengan Sungai Launre. Jumlah penduduk dusun

Karampuang sebanyak 467 jiwa dengan 138 KK (kepala keluarga). Terdiri dari

228 jiwa penduduk laki-laki dan 239 jiwa penduduk perempuan. Masyarakat

dusun Karampuang mayoritas beragama islam dan bermata pencaharian sebagai

petani (Data kantor desa Tompobulu, April 2021).

Masyarakat adat Karampuang membagi ruangnya berdasarkan filosofi

konsep Sulappa Eppa‟ Wala Suji (segi empat belah ketupat). Konsep ini

membagi tingkatan alam semesta menjadi tiga tingkat dunia yaitu dunia atas,

dunia tengah, dan dunia bawah. Penerapan konsep ini terlihat pada pembagian

wilayah masyarakat adat Karampuang. Secara makro wilayah masyarakat adat

Karampuang dibagi menjadi tiga bagian yaitu wilayah suci/sakral (dunia atas),

wilayah semi sakral (dunia tengah), dan wilayah profane (dunia bawah).
28

Wilayah suci merupakan wilayah yang tidak boleh dikunjungi pada waktu

tertentu dan oleh sembarangan orang. Area yang disakralkan seperti area rumah

adat Tomatoa dan Gella, ale karama (hutan keramat), posi tana, sumur adat

(buhung lohe), dan makan nenek moyang. Wilayah semi sakral merupakan area

permukiman masyarakat adat dan ale ade (hutan adat). Wilayah profane adalah

wilayah diluar wilayah adat yang masih masuk wilayah dusun Karampuang.

Luas wilayah masyarakat adat Karampuang sebesar 570,62 ha yang terbagi atas;

wilayah sakral seluas 14,56%, wilayah meso/semi sakral seluas 2,86%, dan

wilayah profane/ tidak sakral seluas 82,58% (Yusuf Muhammad,dkk. 2019)

B. Sejarah karampuang

Karampuang merupakan nama sebuah dusun di desa Tompobulu yang

terletak sekitar 31 Km arah barat ibukota Kabupaten Sinjai. Dalam Lontara

menyebutkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai berawal dari

Karampuang. Dahulu wilayah ini merupakan lautan sehingga terdapat daratan

yang muncul layaknya tempurung yang di kenal sekarang sebagai puncak

Cimbolo. Kehadiran Karampuang berawal dari adanya suatu peristiwa besar

yakni munculnya seseorang yang tidak dikenal diatas sebuah bukit pucak

Cimbolo yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Sosok itu disebut

masyarakat adat sebagai Manurung karampulue (seseorang yang kehadirannya

menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Adapula penamaan selanjutnya lokasi

tersebut pertemuan antara orang Gowa bergelar karaeng dan orang Bone

bergelar puang sehingga disebut Karampuang. Manurung karampulue diangkat

oleh warga sebagai raja, kemudian memimpin warga untuk membuka lahan baru
29

dan berpesan “Eloka Tuo, Tea Mate, Eloka Madeceng Tea Maja”. Pesan

tersebut mengisyaratkan agar masyarakat yang mendukungnya melestarikan

tradisi. Setelah memberi pesan, sosok manurung ini menghilang. Untuk

menghargai Sosok manurung ini lambang rumah adat dikarampuang

bersimbolkan wanita.

Tak lama kemudian muncul peristiwa besar yakni munculnya tujuh To

Manurung baru yang dilihat masyarakat adat berupa tanda cahaya dari busa-

busa air. Mereka kemudian diangkat sebagai pimpinan baru. Pimpinan yang

diangkat adalah seorang perempuan dan saudara laki-laki lainnya diperintahkan

menjadi to manurung ditempat lain. Dalam lontara dikatakan, “Laocimbolona,

Monrocampena”. Pada saat melepas saudaranya, dia berpesan, “Nonno Makale

Lembang, Numaloppo Kuallinrungi, Numatanre Kuaccinaungi, Makkelo

Kuakkelori, Uawali Lisu”. (Turunlah kedataran, kebesaranmu harus mampu

melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak turut

menaungi leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu adalah diatat

kehendakku, kalau tidak maka kebesaranmu akan kuambil kembali). Akhirnya

mereka menjadi raja di Ellung Mangenre, Bonglangi, Bontona Barua, Carimba,

Lante amuru, dan Tassese. Dalam perjalanannya, masing-masing diamanahkan

untuk membentuk dua belas Gella baru, yakni Bulu, Biccu, Salohe, Tanete,

Maroanging, Ankarung, Munte, Siung, Sulewatang Bulo, Sulewatang Salohe,

Satengnga, Dan Pangepena Satengnga. Setelah saudaranya menjadi raja, saudara

tertuanya yang tinggal di Karampuang lenyap dan meninggalkan sebuah benda


30

yang disebut arajang dan tersimpan dirumah adat sampai sekarang (Muhannis,

2013)

C. Struktur Lembaga Adat Karampuang

Dalam menjalankan dan melestarikan adat Karampuang terdapat perangkat

adat disebut Ade Eppa . Dalam lontara karampuang disebut “Eppa Alliri

Tettepona Hanuae” (empat tiang penyangga kampung). Ade Eppa di ungkapkan

dalam lontara ; “Api Tettong Arung, Tanah Tudang Ade, Angin Rekko Sanro,

Uhae Suju Guru”. Makna dari kalimat tersebut, Arung dapat diartikan sebagai

raja yang diduduki Tomatoa merupakan penguasa tertinggi dalam adat

karampuang. Arung Bergelar api sebagai sumber cahaya dan kehidupan bagi

rakyatnya sehingga harus terus berdiri melindungi rakyatnya. Gella dapat

dikatakan sebagai perdana menteri. Gella yang dekat dengan rakyat selaku

pelaksana harian adat harus selalu duduk bermusyawarah. Sanro sebagai orang

yang selalu tunduk kepada sang pencipta, memohon terhindar dari bencana,

meminta kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya kepada hal-hal gaib. Dan Guru

sebagai orang yang mengajak rakyatnya untuk berserah diri kepada tuhan.

Gambar 4.1 Struktur Ade Eppae Karampuang


Sumber: Diramu Dari Wawancara Gella
31

D. Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Tradisi Maddui

Salah satu tradisi yang masih melekat dalam masyarakat adat Karampuang

yaitu tradisi maddui. Tradisi maddui dalam istilah bahasa bugis maddui atau

mabella yaitu proses menarik kayu dari hutan adat karampuang. Tradisi maddui

dilakukan secara gotong royong bertujuan memelihara bagian dari rumah adat.

Menurut Puang Gella tradisi maddui ini dilaksanakan apabila ada bagian dari

rumah adat yang mulai rusak.

Iyaro maddui kede papaseng to manurung, narekko sininna bola ade


sibawa isenna maja parellu risambei. Sipakainge tauwwe sininna rupa tau
Tradisi maddui merupakan pesan dari to manurung untuk memperbaiki
rumah adat dan segala isinya yang mulai rusak perluh untuk diganti. Kita
harus saling mengingatkan sesama manusia (Wawancara Gella, 8 Juli
2021).

Makna dalan wawancara Gella, tradisi Maddui merupakan tradisi dari

nenek moyang berbentuk pesan To Manurung agar kita selalu merawat rumah

adat sebagai simbol eksistensi bagi adat Karampuang. Pesan Sipakainge

Ripadanna Rupa Tau bermakna saling mengingatkan dalam kaitan sosial

masyarakat.

Tradisi menarik kayu dalam hutan adat ini tidak sembarangan dalam

melakukannya. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan antara lain;

a. Persiapan

Pada tahap pertama ini merupakan tahap persiapan yaitu dilakukan acara

tudang sipullung bersama ade eppae dan masyarakat adat Karampuang.

Tudang sipulung ini dilaksanakan di rumah adat. Tudang sippulung ini

dipimpin oleh gella.


32

Gambar 4.2 Tudang Sipulung Di Rumah Adat Arung Karampuang

Tudang sippulung ini bersifat sangat umum. Sehingga semua pihak baik

masyarakat adat Karampuang maupun diluar boleh ikut berpartisipasi. Tujuan

dari Tudang Sippulung ini untuk mendiskusikan secara bersama tradisi

maddui. Pesan sipakainge (saling mengingatkan) sangat melekat pada tudang

sippulung ini. Hal-hal yang dibicarakan dalam Tudang sippulung ini berupa

segala kesiapan yang harus di lengkapi untuk mengganti beberapa bagian

rumah adat yang rusak.

Adapun hasil Tudang Sippulung ke tiga yang dilaksanakan pada (malam

senin 11 Juli 2020) di pimpin oleh Gella antara lain:

1) Bagian rumah adat yang harus di ganti

Taitani puang idi maneng ri lalennna tudang sippulung. Ri olota


engka tellu alliri, lemba ri attang engka dua alliri na ri munritta engka
eppa alliri. Parellu risambei nasaba maruttuni. Parellu tauwwe
maseddi. Iyanaro na parellu maddui ripogau. Narekko elo riparakai
bola ade loppoe.
Lihatlah semua yang hadir di tudang sippulung ini, di bagian depan
rumah adat ada tiga tiang, bagian kiri ada dua tiang dan dibagian
belakangnya ada empat tiang. Perluh di ganti sebab mulai keliatan
rapuh. Sehingga kita harus bersatu melakukan tradisi maddui untuk
memperbaiki rumah adat (Ungkapan Gella, 11 Juli 2021)
33

Makna dari ungkapan Gella tersebut memberitahukan bagian rumah

adat yang akan diganti. Alasan diganti karena ada 9 tiang bagian rumah

adat yang mulai rapuh. Diantaranya 3 tiang di bagian depan rumah adat, 2

tiang bagian kiri rumah adat dan 4 tiang bagian belakang rumah adat.

Tiang sebagai penyangga rumah adat agar tetap kokoh. Untuk

mengganti tiang dari rumah adat tersebut memerluhkan kayu yang kuat,

biasanya di ambil dalam hutan adat Karampuang sehingga diadakan tradisi

Maddui secara gotong royong.

2) Penentuan waktu

Penentuan waktu di tentukan oleh guru Puang Kacong bersama Puang

Mattang. Puang Mattang merupakan tokoh masyarakat yang diyakini

masyarakat adat mempunyai pengetahuan lebih mendalam mengenai

waktu secara spiritual.

Iyana esso paling makessing rilalengnna essoe 14 ompona ri famulla


mattubang ajue. Puang tomatoa sibawa puang mattang maelo
mappamulai.
Hari yang baik dalam 14 hijriah untuk memulai penebangan kayu.
Puang tomatoa dan puang mattang yang memegang ritual awal
permulaan penebangan (Ungkapan Guru, 11 Juli 2021)

Makna dalam ungkapan Guru, yaitu penebangan pohon dimulai pada

tanggal 14 Dzulhijah bertepatan pada bulan Juli. Dalam penentuan waktu

ini dibahas dan disepakati bersama. Kesepakatan itu berupa keputusan

tidak ada kegiatan masyarakat adat Karampuang selama proses tradisi

Maddui.
34

3) Pemantauan Pohon

Pohon yang akan ditebang merupakan pohon yang ada di kawasan

hutan adat. Pohon yang akan digunakan harus memenuhi syarat. Syarat-

syarat pohon menurut tomatoa harus kuat.

Narekko risambei bola loppoe, allirinna maloppo, engka lebbi 12


lampena allirie eddi, aju makejjepa ripakeanggi, abiassanna aju bitti
na ufang.
Ketika hendak mengganti bagian rumah adat salah satunya tiang yang
ukurannya besar, sekitar kurang lebih 12 meter memerluhkan kayu
yang kuat dan besar. Jenis kayu yang biasa dipakai berupa kayu
bitti/gupasa dan kayu ufang.( Wawancara Tomatoa, 11 Juli 2021)

Makna dalam wawancara Tomatoa dalam Pemantuan pohon tidak

sembarangan orang. Sebab dalam memasuki hutan adat harus ijin kepada

Gella terlebih dahulu. Tujuan penebangan untuk memastikan pohon yang

akan ditebang sesuai syarat-syarat untuk mengganti tiang rumah adat.

Pemantauan pohon ini dilakukan oleh Gella dan Tomatoa. Pohon sebelum

ditebang Gella biasanya menanam 10 pohon setiap satu pohon yang akan

di tebang. Ada tiga jenis kayu yang hanya bisa digunakan untuk keperluan

rumah adat yaitu kayu bitti (Gupas, Vitex copasus), kayu ufang (kayu

jawa, Lannea coromandelica), dan kayu cinrana (cendana). Ketiga jenis

kayu ini merupakan kayu yang hanya tumbuh didaerah hutan adat dan

ditanam secara turun temurun oleh masyarakat adat karampuang. Gella

memastikan selalu menanam dan merawat pohon yang ada di dalam hutan

adat karena menurutnya segala sumber kehidupan berasal dari hutan. Adat

Karampuang juga menghormati makhluk ciptaan tuhan dengan tidak

menebang pohon apabila ada burung yang sedang bersarang di pohon itu.
35

4) Ritual Patola Bala (penolak musibah)

Ritual ini patola bala ini menentukan pohon yang akan ditebang. Ritual

ini dilakukan oleh Guru dan Sanro beserta bawaannya. Bawaannya disebut

finating (pembantu sanro). Tugas Sanro yaitu menyiapkan segala

kebutuhan ritual dalam prosesi tradisi maddui ini. Salah satu yang

disiapkan berupa sesajian baje khas karampuang, ota (daun sirih), dan

uhae (air).

Segala persiapan lainnya seperti tali “tamping” sejenis rotan yang di ambil

dari hutan adat, selain itu persiapan lain seperti konsumsi, kapak, pembatasan

kegiatan, hanya masyarakat adat yang hanya bisa berpartisipasi dalam prosesi

tradisi ini untuk meminimalisir penyebaran covid-19. Tentu semuanya diatur

oleh perangkat adat bersama pemerintah desa Tompobulu.

b. Acara Inti

Pada acara inti tradisi maddui ini dilaksanakan pada 14 ompona, atau 14

hari hitungan kelender Hijriah pada bulan ini bertepatan pada 14 Dzulhijah

1442 Masehi ( 24 Juli 2021). Ada pula tahap-tahap yang dilakukan antara

lain:

1) Upacara Macera Ale (Mattuli)

Upacara ritual ini merupakan upacara penentuan pohon akan ditebang.

Upacara ini berupa ijin kepada makhluk yang tuhan amanahkan untuk

menjaga tanah dalam istilah bugis disebut sebagai “fapunna tanae/

fagonroang tanahe”. Upacara ini dipimpin oleh sanro dan dibantu oleh

finating. Selanjutnya meletakkan kapak ke pohon dan sesajen kemudian


36

Sanro, Finating, Puang Mattang, Tomatoa, dan masyarakat adat duduk

melingkar di pohon tersebut dan finating meletakkan ota (daun sirih).

Menunggu tanda-tanda alam apakah pohon tersebut bisa di tebang apa

tidak. Tanda-tandanya berupa apabila tidak ada ranting yang jatuh dan

kapak tidak bergerak maka pohon tersebut bisa segera di tebang. Prosesi ini

biasa dibutuhkan waktu menunggu sekitar kurang lebih 20 menit. Prosesi

ritual ini dilakukan pada 9 pohon yang akan ditebang di wilayah hutan adat

Karampuang.

2) Mappamula Tubang Ajue

Mappamula Tubing Ajue merupakan prosesi permulaan untuk

menebang kayu. Dalam hasil tudang sipulung, Tomatoa bersama Puang

Mattang yang memulai penebangan dengan kapak. Kemudian diserahkan

ke orang yang diamanahkan oleh gella untuk menebang kayu yang

menggunakan mesin pemotong kayu agar penebangannya lebih cepat.

3) Pemotongan Pohon

Pohon yang ditebang merupakan jenis pohon gupasa aju bitti dan

pohon jawa aju ufang. Pohon ini terletak di hutan adat Karampuang.

Pemotongan pohon dilakukan oleh masyarakat adat yang menggunakan

mesin pemotong pohon. Tentunya atas amanah dari gella dan diyakini oleh

masyarakat adat bahwa mereka bisa memegang amanah tersebut. Puang

Kahi, Puang Ulung, Puang Bahtiar dan Puang Baco. Selain itu mereka juga

dimanahkan untuk mengukur tiang rumah adat yang akan di ganti. Prosesi

ini berlansung dua hari.


37

4) Pemasangan Tali Dan Menarik Kayu

Pada hari senin 26 Juli 2021 semua masyarakat adat ramai-ramai ke

rumah adat untuk bersiap menarik kayu dalam hutan. Partisipan kurang

lebih 400 orang dari masyarakat adat Karampuang, perangkat adat dan

partisipan luar. Sebelum mereka kehutan adat, ritual patola bala dilakukan

terlebih dahulu yang dipimpin oleh sanro untuk meminta keselamatan

kepada Tuhan agar semua orang yang terlibat dalam menarik kayu diberi

keselamatan dari bencana yang bisa menimpahnya. Setelah itu mereka

semua memakan sesajen berupa baje dan onde-onde khas Karampuang

sebagai makanan penambah kukuatan. Kemudian mereka pergi ke lokasi

kayu yang akan ditarik. Sesampai di lokasi sebatang kayu di pemasangkan

tali yang dipimpin oleh Gella dilakukan bersama masyarakat adat lainnya.

Tali yang gunakan di sambung supaya sangat panjang sehingga semua

orang dapat ikut menarik sebatang kayu.

Gambar 4.3 Pemasangan Tali (Tamping) Pada Pohon


Di Hutan Adat Karampuang
38

Sebatang kayu ini ditarik bertujuan agar semua orang baik kalangan

anak-anak, muda, tua, laki-laki dan perempuan ikut serta dalam tradisi

maddui ini. Keikut sertaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi

masyarakat adat, rasa tanggungjawab terhadap papaseng Tomatoa, untuk

senantiasa memelihara rumah adat.

Setelah di pasangkan tali sebatang kayu kemudian ditarik. Gella dan

Guru berada di posisi bagian depan, ditengah memegang tali bersama

masyarakat lainnya yang memegang tali. Sebelum itu pemuka adat

menyanyikan syair pembuka paddui.

Gambar 4.4 Penarikan Kayu Di Kawasan Hutan Adat Karampuang

Adapun syair paddui menurut (Manda 2017) yaitu syair pembuka

Paddui berbunyi:

Assimaningsai (Mohon Ampun)


Pangngonroanna Ale‟e (Kepada Segenap Penghuni Hutan)
Pura Kuillau (Telah Kuminta)
Ri Dewatae Ritoli (Kepada Penjaga Hutan)
Lao-Lao Mai Rangeng (Kemarilah Semua Kawan)
39

Lao Tonni Mai (Datanglah Kemari)


Tossira-Rai (Saling Mendukung)
Taullei Namaraja (Satukan Seluruh Kekuatan Tenaga)

Makna dalam syair pembuka nyanyian Paddui, berupa nyanyian untuk

permohonan ijin kepada pemilik hutan agar senantiasa pemilik hutan tidak

merasa terganggu akan kehadiran partisipan dalam tradisi Maddui.

Kemudian mengajak semua partisipan untuk memulai penarikan sebatang

kayu tersebut secara bersama-sama, saling mendukung untuk menyatukan

seluruh kekuatan dengan tidak membeda-bedakan kemampuan fisik setiap

individu. Sebatang kayu ini ditarik dengan tujuan agar semua bisa

berpartisipasi baik itu orang dewasa, anak-anak, tua, muda, perempuan

maupun laki-laki. Hal tersebut meningkatkan kebersamaan diantara

individu.

Kemudian syair dari pemuka adat tersebut disambut oleh seluruh anggota

paddui dengan syair:

Igapi ritajeng (siapa lagi yang ditunggu)


Igapi ritaroang (siapa lagi disimpankan)
Taengka manengna (telah hadir seluruh masyarakat)
Idi siperennuang (saling berbagi tanggung jawab)
Dua memenggi (hanya dua)
Naonroi leo-leo (yang mendatangkan kekuatan)
Pakkollo ajue (kekuatan untuk yang didepan)
Paccappa welanreng (dan diujung tali)

Makna syair sambutan partisipan berupa kesiapan untuk segera menarik

sebatang kayu tersebut secara gotong royong. Rasa tanggung jawab secara

individu harus melekat dalam diri partisipan dengan menyatukan kekuatan

menarik sebatang kayu secara gotong rotong.


40

Apabila ada anggota yang singgah bernaung dibawah pohon sementara

anggota lainnya tetap menarik kayu akan dinyanyikan syair:

Eeeee Toto toto sai (eeeee Pangkaslah, pangkas)


Takenna ampulajenge (tangkai ampulajeng)
Ampulajenge aja naleppani (ampulajeng agar tak singgah)
Maccinaung maleae (bernaung sang pemalas)
Lealeeemalea (lemah)

Adapula syair yang lain :

Balunni tunria (juallah saja)


Narianggeliang rituae (baru dibelikan tuak)
Naripainunanggi (kemudian diberi minum)
Tomalea (orang yang lemah)

Makna syair tersebut berbentuk bercandaan ketika ada anggota yang

singgah bernaung dibawah pohon sementara anggota lainnya tetap menarik

kayu. Dalam syair tersebut mempertanyakan kekuatan partisipan dan rasa

tanggung jawabnya secara individu. Tujuannya syair ini untuk

menyemangati partisipan tersebut kembali menarik bersama yang lainya

agar

Syair paddui yang dinyanyikan apabila mentari pagi :

Tassi palloi (tetaplah, tetaplah)


Ejae ri tellonengnge (sambutlah pagi dijendela)
Mita taumaleae (memandang orang yang tidak kuat)
Tangnga tamallaku-laku (menatap yang tak bergerak atau menarik)
Laloa ro denre (telah kulewati)
Ripassiringnna jaE (di bawah rumah sang gadis)
Kanangkalingai (lalu mendengarkan)
Riuja taumalea (si pemalas)

Makna syair saat mentari pagi tersebut menyimbolkan kekuatan saat

pagi hari untuk bersama-sama menarik kayu dan menyinggung beberapa

laki-laki muda yang bermalasan ikut serta dalam menarik kayu. Syair ini
41

bentuk penyemangat untuk kalangan muda agar senantiasa menunjukan

jiwa muda dengan fisik yang kuat. Pelaksanaan tradisi maddui ini rata-rata

didominasi anak muda. Sehingga membangkitkan jiwa mereka terhadapat

rasa tanggung jawab akan pesan leluhur terhadap warisannya.

Apabila waktu sudah sore hari maka syair paddui dinyanyikan:

Lakulaku jai (pandanglah-pandanglah)


Rangeng laku-laku jai ( kawan, pandanglah)
Tanra mariaja (tanda di bagian barat)
Di monro ela-ela (dibalik berbukitan)
Angkana muwita (akan kau lihat)
Tanra-tanra tea bella (tanda-tanda yang pasti)
Labuni essoe (mentari akan terbenam)
Inang mawenni tonni (malam pun segera menjelang)

Makna syair ini menunjukkan waktu sore hari dimana akan segera

malam hari waktu untuk beristirahat mengumpulkan kekuatan kembali dan

sore hari ini menandakan berlangsungnya penarikan kayu akan segera

berakhir di lanjutkan besok pagi sampai terkumpul semua kayu yang akan

dipakai untuk perbaikan rumah adat.

Syair-syair yang dinyanyikan para paddui ini biasanya akan diganti oleh

pemuka adat apabila suasana berganti seperti ada orang yang melewati

kelompok paddui dan tidak turut menarik, maka secara spontan akan

dinyanyikan syair:

Laono riolo (cepatlah melangkah)


Uhalli lalenneng (kan kubayar jalananmu)
Rimunri pasia (semoga kelak)
Malaeka linrungengngi (malaikat melindungimu)

Makna syair tersebut berupa bentuk doa kepada individu yang tidak

memiliki rasa tanggung jawab untuk berpartisipasi agar diberi hidayah


42

supaya mengingat pesan leluhur To Manurung dalam melestarikan tradisi.

Pelaksanaan tradisi ini adalah amanah dari leluhur untuk masyarakat adat

Karampuang yang senantiasa harus dijaga.

Apabila perkampungan penduduk yang banyak terdapat rumah

penduduk maka syair dinyanyikan sesuai dengan kondisi pemilik rumah

seperti rumah janda,duda,memiliki banyak anak rumah mewah dan lain-lain

syairnya:

Dua memengngi (hanya dua)


Namasumpu banuae (yang biasa meramaikan kampung)
Alukkalunge (kalung berbau laki-laki)
Uninna tanrajengnge (yang berbau merdu (wanita))
Dua memengngare (mungkin juga ada dua tempat)
Maka ribole-bole (untuk saling bertemu)
Ajena bolae (tiang rumah (di bawah rumah))
Lalengna sangiangseri (jalanan sangianseri (di loteng))
Syair-syair di sesuaikan pula apabila melewati tanda alam syairnya:
Liwesi ri solo (menyebrang langit di sungai)
Tuppusi bulu matanre (mendaki lagi kegunung tinggi)
Rimaccelengngia (lalu menatap)
Riatenate lampe ede (di gunung tinggi (untuk pendakian))
Iriko angin (berhembuslah iringan angin)
Natabbellu lumpajang (biar tersingkap)
Nakuitai (lalu kulihat)
Sappo sisenna lemo‟E (sepupunya jauh (buah dada)
Magi-magiro (apa gerangan)
Namaronro ale‟E (bergetar seluruh badan)
Siruntui passarie (ternyata menyerap nira (laki-laki))
Napakkampiri‟E (perempuan) (bertemu dengan pemungut kemiri)
Calo-calo pokki (selokan-selokan pendek)
Natuo rameng-remeng (di tumbuhi rerumputan)
Remeng-remeng nakadoi (rerumputan beradu)
Bekku mabbebbe ulunna (terkukur berliur)

Makna syair tersebut hanya bentuk kejenakaan semata agar partisipan

merasa terhibur dan tujuan utamanya untuk menumbuhkan jiwa semangat.


43

Syair-syair semacam ini selalu diikuti dengan syair permohonan maaf

atas kejenakaan dan kelancangan mereka dengan syair:

E lapuang aja kimacai (oh tuhan mohon jangan marah)


Ajaki magelli (jangan menegur)
Elokkelong mua (hanyalah lagu)
Pakkolo aju mua (lagu-lagu dang pemohon)
Sebelum Sanro menjalankan ritual penyambutanya maka masyarakat
turut serta menyambut akan serentak menyayikan syair:
I koro sanroE (dikau sang dukun)
Angngattai rialemu (siapkanlah dirimu)
Engkani tumai (telah datang)
Tuanna mutajengnge (tamu yang telah lama di tunggu)
Adapun syair yang menurut puang Gella yang sempat di nyanyikan

antara lain:

Ikosi bali‟E (hai sekalian)


Kegollao,kegoleppang (kemanalah kau, kemanalah singgah)
Maittana ri tajeng (hingga harus lama di tunggu)
Kuappa leppang (singgalah di sini)
Ripalisunna tanae (dipusat bumi)
Mangkalinga pappangngaja madeceng (mendengarkan nasehat
kebaikan)
Sappoi lempu (usung kejujuran)
Pabbatari ri pammase (memohon kepada yang kuasa)
Lalengna kira-kira‟E (nasib yang pasti)
Risaliweng marilaleng (di luar dan di dalam)
Kira-kira maraja (keutamaan nasib)
Ripandang maloangngede (dipandang yang luas)

Makna syair dari Gella berupa ajakan untuk mendegar pesan tentang

dimanapun kita berada di bumi ini kita senantiasa harus berbuat baik.

kebaikan berupa bersikap jujur "Sappoi lempu” dan patuh kepada Tuhan

“Pabbatari ri pammase” menentukan nasib kita dimanapun berada.

Lagu paddui ini secara umum berfungsi sebagai “asumange”

penyemangat untuk masyarakat yang menarik kayu. Selain itu sorakan

“hella, hellaki” artinya dalam bahasa bugis tarik, tariklah terus. Sebatang
44

kayu ini ditarik sampai ke rumah adat. Sesampai di wilayah rumah adat.

Mereka di sambut dengan dihamburkan beras sebagai tanda keselamatan.

Ritual tersebut di pimpin oleh Sanro dan Finatingnya.

c. Penutup

Sesampai di wilayah rumah adat. Mereka di sambut dengan hamburan

beras sebagai tanda keselamatan. Ritual tersebut di pimpin oleh Sanro dan

Finatingnya. Setelah semua kayu di tarik dalam hutan. Semua warga

berkumpul ke rumah adat. Bagian rumah adat kemudian dilepas yang akan

direnovasi. Penghuni rumah adat yaitu Tomatoa dan Sanro serta barang-

barangnya dibuatkan galampang atau pondok sementara. Para wanita

mempersiapkan makanan. Makanan ini disiapkan secara sukarelawan oleh

warga sebagai wujud cinta terhadap adat karampuang.

Gambar 4.5 Ritual penyambutan Di Kawasan Rumah Adat Karampuang


45

2. Nilai-Nilai Kearifan Yang Terkandung Dalam Tradisi Maddui

a Nilai Gotong Royong

Nilai gotong royong dapat dilihat dalam prosesi maddui saat sebatang

kayu ditarik secara bersama-sama. menurut marjuli sebagai pemuda adat,

mengatakan bahwa didalam nilai gotong royong terdapat nilai kebersamaan.

Kebersamaan dalam tradisi maddui tidak melihat umur tapi kerja samanya.

Baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, dan ibu-ibu semua terlibat

dalam menghidupkan nilai dalam budaya tradisi maddui.

b Nilai Ekologis

Nilai ekologis pada tradisi maddui ini saat proses ritual penebangan

pohon. Menurut Tomatoa Pohon yang akan ditebang harus memenuhi syarat-

syarat berupa ranting pohon tidak jatuh saat ritual dilakukan, tidak ada

burung yang bersarang di pohon.

c Nilai Solidaritas

Nilai solidaritas pada tradisi maddui tampak pada saat berbaur saat

kegiatan dimulai yaitu saat Tudang Sipulung, prosesi menarik kayu sampai

merenovasi rumah adat. Menurut Gella, diadakannya tradisi maddui ini untuk

kita semua sebagai manusia di Karampuang saling mengingatkan menjaga

tradisi kebudayaan di Karampuang.

d Nilai Seni

Dalam tradisi maddui terdapat nyanyian saat melakukan penarikan kayu.

Nyanyian itu disebut elong paddui. Elong paddui ini biasanya dinyanyikan

oleh Gella saat proses ritual menarik kayu dalam hutan adat Karampuang
46

E. PEMBAHASAN

1. Pelaksanaan Tradisi maddui

Tradisi maddui dalam istilah bahasa bugis maddui atau mabella yaitu

menarik kayu dari hutan adat Karampuang di iringin nyanyian Elong Paddui

secara gotong royong. Tradisi ini bertujuan untuk memelihara bagian dari rumah

adat. Tradisi maddui merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat

Karampuang untuk menjaga pappaseng (pesan) dari leluhur to manurung dalam

menjaga kebudayaan yang senantiasa masih terjaga dalam adat Karampuang.

Selain di Karampuang, praktek tradisi menarik kayu ini dilaksanakan

masyarakat adat Hatuhaha Pulau Haruku Kabupaten Maluku Utara tradisi itu

diberi nama tradisi Hela Kayu. Selain untuk memperbaiki rumah adat (Soa),

tujuan menarik kayu itu untuk memperbaiki makam leluhurnya pula. Prosesinya

diiringi pula dengan nyanyian Bersuat akan tetapi nyanyian mereka diiringi

dengan pukulan tifa dan dilakukan pula secara gotong royong (Rahmat, 2019).

Praktek tradisi menarik kayupun dapat disaksikan di Kecamatan Ratekarua

Toraja Utara. Nama tradisinya yaitu Mangriu Kayu. Tujuannya untuk

pembangunan rumah adat (Tongkonan). Prosesinya dibarengi nyanyian pula

secara gotong royong. Tetapi kayu tersebut di bawah ke sawah yang basah agar

lebih muda untuk menariknya dan disertai aksi kejar-kejaran saling melempar

lumpur (Tribunnews.com, 2021).

Tradisi maddui yang dilaksanakan di Karampuang bertujuan memelihara

rumah adat sebagai simbol eksistensi adat Karampuang. Rumah adat

Karampuang ada dua yaitu Pertama Bola loppo ade‟e punanna arung (rumah
47

adat ini dihuni oleh Arung dan istrinya), Kedua Bola loppo ade‟e punanna gella

(rumah adat ini dihuni oleh Gella dan isrinya). Jarak kedua rumah adat ini

sekitar 70 meter dan batas keduanya berupa batu yang disusun. Rumah adat

Karampuang menyimbolkan keagungan To Manurung sebagai sosok

perempuan. Sosok To Manurung ini dapat dikatakan sebagai faham feminis (To

Manurung adalah sosok perempuan) karena pergerakan awal adanya kelompok

adat di Karampuang karena adanya To Manurung tersebut. Kearifan lokal yang

melekat sampai sekarang merupakan ajaran dari To Manurung. Sehingga setiap

kegiatan yang dilakukan masyarakat selalu tidak lepas dari lingkungan. Selain

itu ekofeminise hadir dalam setiap tindakan yang dilakukan dalam adat

Karampuang menyimbolkan sosok ke angungan To Manurung. Ke angungan

tersebut sehingga rumah adat Karampuang disimbolkan sosok perempuan. Salah

satunya, pintu rumah adat berada ditengah rumah menandakan rahim perempuan

yang masyarakat adat Karampuang percaya bahwa kehidupan pertama berasal

dari Karampuang.

Rumah adat Arung dan Gella memiliki filosofi perbedaan arah yaitu rumah

adat Arung berarah barat bermakna arah barat adalah arah tenggelamnya

matahari berupa kepercayaan sebagai tempat berpulang ke sang pencipta. Di

rumah Arung mengajarkan kebajikan dan pesan-pesan moral sebagai persiapan

menuju berpulang ke sang ilahi. Rumah Gella mengarah dari timur, arah

terbitnya matahari berupa kepercayaan sebagai kehidupan masyarakat. Di rumah

Gella mengajarkan dan membina kehidupan sosial masyarakat seperti bercocok


48

tanam, dan menjadi penengah masalah dalam lingkungan masyarakat adat

(Yusuf Muhammad dkk, 2019)

Gambar 4.6 Rumah gella Gambar 4.7 Rumah arung


(sumber: Tribun-timur.com)

Tradisi maddui bertujuan memperbaiki rumah adat, dan bagian-bagiannya.

Seperti menganti bagian-bagian rumah adat berupa tiang, palungeng, pareha

lempa dan panampa. Tradisi maddui pada rumah adat arung dilaksanakan 26

juli 2021 untuk memperbaiki tiang yang sudah mulai rapuh. Rumah adat Gella

terakhir diperbaiki pada tanggal 30 september 2017 yang lalu. Sebelum

melakukan tradisi maddui ini ada beberapa tahap-tahap yang harus dilalui dan

diatur oleh perangkat adat bersama masyarakat adat karampuang yaitu:

a Persiapan

Pada tahap pertama ini merupakan tahap persiapan yaitu dilakukan acara

tudang sipulung bersama ade eppae dan masyarakat adat Karampuang.

Tudang sipullung ini dilaksanakan di rumah adat sebanyak 3 (tiga) kali pada

hari tertentu yang dipilih sebagai hari baik menurut ade eppae. Tudang

sippulung ini dipimpin oleh Gella.


49

Istilah Tudang Sipulung dalam bahasa bugis “tudang” berarti duduk

sedangkan “sipulung” berarti berkumpul dengan demikian secara etimologi

tudang sipulung diartikan duduk berkumpul kemudian diartikan musyawarah.

Menurut Syahruna et al (2014) Tudang Sipulung selalunya dihadiri oleh para

pakar pada buku lontara (Palontara) atau keturunan bangsawan yang

dihormati (Bissu`: Puang Matoa) dan tokoh-tokoh masyarakat budaya.

Menurut Arifin (2010) makan bersama (Manre Sipulung) atau duduk

bersama-sama (Tudang Sipulung) sebagai salah satu bentuk penyertaan

tempatan dalam sebuah keputusan misalnya dalam bidang pertanian. Ini

bermakna tudang sipulung adalah salah satu legasi yang sangat penting

mengenai perundingan, perkataan di peringkat tempatan untuk membuat

keputusan misalnya dalam bidang pertanian itu. Oleh karena itu pesawah

Bugis khasnya di Siderang Rappang sebelum memasuki musim penanaman

selalunya mereka melakukan pembicaraan dalam Tudang Sipulung

(Fatmawati, 2018). Dalam upacara ini di bincangkan masa awal tanam

dengan astrologi. Kedua tanda dan isyarat ini di perincikan dalam lontara

Allaoruman. Keputusan yang diambil dalam Tudang Sipulung harus

berdasarkan prinsip mengalir bersama. Yang artinya bahwa keputusan yang

dicapai dalam musyawarah merupakan keputusan atas kehendak bersama

dan untuk kepentingan bersama yang diibaratkan air mengalir bersama-sama.

antara kehendak penguasa (Pemerintah) dan kehendak rakyat harus berjalan

beriringan dalam menemukan titik temu berdasarkan kepentingan bersama.


50

Tudang sipulung dalam pelaksanaan tradisi maddui ini bersifat umum.

Menurut Gella tudang sipulung ini memang harus banyak yang berpartisipasi

baik itu pimpinan adat, masyarakat adat karampuang maupun orang luar yang

ingin ikut berpartisipasi dalam tradisi maddui. Semakin banyak yang

berpartisipasi maka akan semakin mudah kita semua untuk saling membahu.

Sehingga semua pihak baik masyarakat adat karampuang maupun diluar

boleh ikut berpartisipasi. Tujuan dari tudang sippulung ini untuk

mendiskusikan secara bersama tradisi maddui. Pesan sipakainge (saling

mengingatkan) sangat melekat pada tudang sippulung ini. Hal-hal yang

dibicarakan dalam tudang sippulung ini berupa:

1) Bagian rumah adat yang akan di ganti

Bagian rumah adat yang diganti biasanya tiang penyangga rumah yang

mulai rapuh, atap rumah yang terbuat dari daun rumpia mulai rapuh dan

coppo luek tiang yang panjangnya mencapai 20 meter bagian tengah

rumah adat yang rapuh dan palungeng yang mulai rapuh. Dalam tudang

sipulung yang dipimpin Gella, semua yang berpartisipasi melihat secara

langsung bagian rumah adat yang akan di ganti.

Menurut Tomatoa sebagai Arung, rumah adat yang ditempatinya

bersama istrinya yang sebagai Sanro pula bahwa rumah adat ini dihuni

secara turun temurun dan rumah adat ini milik semua masyarakat adat

Karampuang sehingga semua masyarakat harus tetap menjaga budaya

yang dimilikinya.
51

Gambar 4.8 Tiang Rumah Adat Karampuang Yang Rapuh

2) Pemantauan Pohon

Dalam memasuki hutan adat tidak sembarangan yang boleh

menginjakkan kaki dalam hutan adat. Apalagi mengambil tanpa ijin

pemangku adat. Dalam lontara adat karampuang terdapat larangan bagi

masyarakat adat untuk mengambil kayu dalam hutan adat tanpa seijin

Gella. Menurut Gella, tempat keramat seperti dalam hutan adat tidak boleh

mengambil apapun didalamnya karena pemilik hutan akan marah. Selain

itu para ade eppae percaya bahwa hutan adalah sumber kehidupan bagi

masyarakatnya.

Pemantauan Pohon yang akan ditebang dalam hutan merupakan pohon

yang ada di kawasan hutan adat. Pohon yang akan digunakan harus

memenuhi syarat-syarat yaitu:

a) Pohon sudah berukuran besar dan kokoh

b) Pohon kuat dan tidak mudah rapuh

c) Pohon berumur minimal 70 tahun


52

d) Pohon yang tidak ada burung yang bersarang. Namun apabila

sudah tidak ditempati burung tersebut. menurut kepercayaan ada

karampuang ketika ada sarang burung menandakan pohon ini

dipakai untuk tempat berlindung oleh burung tersebut sehingga

dikatakan pohon ini memiliki kualitas baik.

e) Ada tiga jenis kayu yang hanya bisa digunakan untuk keperluan

rumah adat yaitu kayu bitti (Gupas, Vitex copasus), kayu ufang

(kayu jawa, Lannea coromandelica), dan kayu cinrana (cendana).

Pohon bukan hanya sekedar di tebang akan tetapi terdapat

pemikiran deep ecology (masyarakat adat Karampuang menganggap

pohon memiliki jiwa) sehingga dalam masyarakat adat Karampuang

sangat mengarhai pohon . Ade eppae terutama Gella yang memastikan,

selalu menanam dan merawat pohon yang ada di dalam hutan adat.

Menurut Gella segala sumber kehidupan berasal dari hutan. Adat

Karampuang juga menghormati makhluk ciptaan tuhan dengan tidak

menebang pohon apabila ada burung yang sedang bersarang di pohon itu.

Apabila masyarakat adat yang ingin mengambil ranting kayu di

dalam hutan adat. Kayu dalam hutan adat boleh diambil dengan syarat

meminta ijin kepada Gella. Jika melanggar aturan akan mendapat sanksi

menanam pohon dan memastikan pohon tersebut tumbuh, dikucilkan

masyarakat adat lainnya dan sanksi paling besar dikeluarkan dari

lingkungan adat. Selain itu masyarakat adat menganggap sakral apabila

mengambil tanpa ijin ke pemuka adat akan mendapat musibah.


53

3) Ritual patola bala (penolak musibah)

Ritual ini patola bala merupakan ritual khusus meminta ijin kepada

sang pemilik rumah. Masyarakat adat percaya bahwa setiap pohon yang

ada dalam hutan adat merupakan tumbuhan yang dihuni oleh makhluk tak

kasat mata. Mereka juga merupakan makhluk tuhan yang tidak harus kita

ganggu. Ritual ini sangat penting sebab menentukan pohon yang akan

ditebang. Ritual ini dilakukan oleh Guru dan Sanro beserta bawaannya.

Bawaannya disebut Finating (pembantu Sanro). Tugas Sanro yaitu

menyiapkan segala kebutuhan ritual dalam prosesi tradisi maddui ini.

Salah satu yang disiapkan berupa sesajian berupa baje khas Karampuang,

ota (daun sirih), dan uhae (air).

Persiapan lainnya seperti tali (tampeng) sejenis rotan yang di ambil dari

hutan adat jenis tali ini sangat kuat dan mudah didapatkan didalam hutan. Tali

ini disambung agar semua partisipasi yang ingin menarik kayu dapat

memegangnya. Selain itu persiapan lain seperti konsumsi di amanahkan kepada

perempuan masyarakat adat Karampuang dan perempuan yang ingin

berpartisipasi. Segala konsumsi disiapkan secara sukarelawan oleh masyarakat

adat Karampuang.
54

Gambar 4.9 Perempuan Adat Karampuang Yang Menyiapkan Konsumsi

Keperluan lainnya seperti kapak untuk ritual penebangan pohon disiapkan

oleh Gella. Dan persiapan lainnya seperti pembatasan kegiatan seperti hanya

masyarakat adat yang hanya bisa berpartisipasi dalam prosesi tradisi ini untuk

meminimalisir penyebaran Covid-19. Tentu semuanya diatur oleh perangkat

adat bersama pemerintah Desa Tompobulu.

Menurut kepala Desa Tompobulu bapak Mahmudin tradisi Maddui ini

membutuhkan banyak partisipasi. Sehingga dalam pelaksanaannya hanya

masyarakat adat saja dan beberapa masyarakat di luar dusun dapat berpartisipasi

dikarenakan covid-19 yang sedang mewabah. Dan beberapa warga sudah

dihimbau menggunakan masker dalam menjalankan tradisi. Dalam adat

Karampuang dapat dikatakan semua warga merupakan keluarga dekat, kerabat

dan secara umum pekerjaan mereka sebagai petani, pekebun, sebagian kecil

lainnya sebagai pegawai negeri sipil dan pengusaha. Tradisi maddui ini tetap

dijalankan oleh masyarakat adat Karampuang ditengah Covid 19. Mereka

percaya kematian bukan hanya datang dari wabah tetapi apabila sudah waktunya

maka kita akan kembali kepada tuhan sang pemilik jiwa.


55

b. Acara inti

Pada acara inti tradisi Maddui Ada pula tahap-tahap yang dilakukan antara

lain:

1) Upacara macera ale (mattuli)

Upacara ritual ini merupakan upacara penentuan pohon akan ditebang.

Upacara ini berupa ijin kepada makhluk yang tuhan amanahkan untuk

menjaga tanah dalam istilah bugis disebut sebagai “fapunna tanae/

fagonroang tanahe”. Upacara ini dipimpin oleh Sanro dan dibantu oleh

Finating. Selanjutnya meletakkan kapak ke pohon dan sesajen kemudian

Sanro, Finating, Puang Mattang, Tomatoa, dan masyarakat adat duduk

melingkar di pohon tersebut dan Finating meletakkan ota (daun sirih).

Menunggu tanda-tanda alam apakah pohon tersebut bisa di tebang apa

tidak. Tanda-tandanya berupa apabila tidak ada ranting yang jatuh dan

kapak tidak bergerak maka pohon tersebut bisa segera di tebang. Prosesi ini

biasa dibutuhkan waktu menunggu sekitar kurang lebih 20 menit. Prosesi

ritual ini dilakukan pada 9 pohon yang akan ditebang di daerah wilayah

adat Karampuang.

2) Mappamula Tubang Ajue

Mappamula tubang ajue merupakan prosesi permulaan untuk

menebang kayu. Dalam hasil tudang Sipulung Tomatoa bersama Puang

Mattang yang memulai penebangan dengan kapak. Kemudian diserahkan

ke orang yang diamanahkan oleh Gella untuk menebang kayu yang

menggunakan mesin pemotong kayu agar lebih penebangannya lebih cepat.


56

Gambar 4.10 Kawasan hutan adat Karampuang

3) Pemotongan Pohon

Pohon yang ditebang merupakan jenis pohon gupasa aju bitti dan

pohon jawa aju ufang. Pohon ini terletak di hutan adat Karampuang.

Pemotongan pohon dilakukan oleh masyarakat adat yang menggunakan

mesin pemotong pohon. Tentunya atas amanah dari Gella dan diyakini oleh

masyarakat adat bahwa mereka bisa memegang amanah tersebut. Puang

Kahi, Puang Ulung, Puang Bahtiar dan Puang Baco. Selain itu mereka juga

dimanahkan untuk mengukur tiang rumah adat yang akan di ganti. Prosesi

ini berlansung dua hari.

4) Pemasangan tali dan menarik kayu

Semua masyarakat adat ramai-ramai ke rumah adat untuk bersiap

menarik kayu dalam hutan. Sebelum mereka kehutan adat. Ritual patola

bala dilakukan terlebih dahulu dipimpin oleh Sanro untuk meminta

keselamatan kepada hutan agar semua orang yang terlibat dalam menarik

kayu diberi keselamatan dari bencana yang bisa menimpahnya. Setelah itu
57

mereka semua memakan sesajen berupa baje dan onde-onde khas

Karampuang sebagai makanan penambah kekuatan. Setelah mereka pergi

ke lokasi kayu yang akan ditarik. Sesampai di lokasi sebatang kayu di

pemasangkan tali yang dipimpin oleh Gella dilakukan bersama masyarakat

adat lainnya. Tali yang gunakan di sambung supaya sangat panjang

sehingga semua orang dapat ikut menarik sebatang kayu.

Sebatang kayu ini ditarik bertujuan agar semua orang baik kalangan

anak-anak, muda, tua, laki-laki dan perempuan ikut serta dalam tradisi

maddui ini. Keikut sertaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi

masyarakat adat, rasa tanggungjawab terhadap papaseng tomatoa, untuk

senantiasa memelihara rumah adat.

Setelah di pasangkan tali sebatang kayu kemudian ditarik. Gella dan

Guru berada di posisi bagian depan, ditengah memegang tali bersama

masyarakat lainnya yang memegang tali. Sebelum itu pemuka adat

menyanyikan syair pembuka paddui.

Lagu paddui ini bertujuan sebagai penyemangat untuk masyarakat yang

menarik kayu. Selain itu sorakan “hella, hellaki” artinya dalam bahasa

bugis tarik, tariklah terus. Sebatang kayu ini ditarik sampai ke rumah adat.

Sesampai di wilayah rumah adat. Mereka di sambut dengan dihamburkan

beras sebagai tanda keselamatan. Ritual tersebut di pimpin oleh Sanro dan

Finatingnya.
58

d. Penutup

Sesampai di wilayah rumah adat mereka di sambut dengan hamburan beras

sebagai tanda keselamatan. Ritual tersebut di pimpin oleh Sanro dan

Finatingnya. Setelah semua kayu di tarik dalam hutan. Semua warga berkumpul

ke rumah adat. Bagian rumah adat kemudian dilepas yang akan direnovasi.

Penghuni rumah adat yaitu tomatoa dan sanro serta barang-barangnya dibuatkan

galampang atau pondok sementara. Makanan ini disiapkan secara sukarelawan

oleh warga sebagai wujud cinta terhadap adat Karampuang.

Gambar 4.11 Perbaikan Rumah Adat Arung

2. Nilai-nilai kearifan tradisi maddui

a Nilai gotong royong

Gotong royong tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat

karampuang dari dulu sampai sekarang. masyarakat adat percaya bahwa

saling membahu akan mempererat hubungan sosial dalam kehidupan

sehari-hari. Pappaseng ini berupa Assijampangeng (saling peduli) dan


59

Assamaturuseng (saling kerjasama). Dalam budaya gotong royong dapat

meningkatkan nilai-nilai kebersamaan, menjunjung tinggi etika, kejujuran,

saling percaya (effendi, 2013). Nilai gotong royong dapat dilihat dalam

prosesi maddui mulai dari tudang sipulung dimana semua orang saling

bekerja sama untuk menikmati hasil usaha bersama. Pappaseng berupa

sipakainge (saling mengingatkan) bahwa yang namanya manusia tidak

luput dari yang namanya kesalahan-kesalahan, maka dari itu kita harus

saling mengingatkan.

Nilai gotong royong dapat pula dilihat saat prosesi memperbaiki rumah

adat. Ada beberapa orang yang membongkar bagian rumah adat ada pula

yang pergi kehutan untuk menarik kayu. Dan secara umum perempuan

menyiapkan konsumsi secara sukarelawan sebagai bentuk rasa sayang

terhadap budaya yang dimilikinya.Nilai gotong royong sangat jelas dilihat

saat proses maddui dimana sebatang kayu ditarik secara bersama-sama.

Partisipasi secara umum dilakukan oleh laki-laki baik tua maupun muda.

Kayu ini ditarik agar semua partisipasi dapat ikut serta. Apabila di pikul

maka hanya orang yang sama tinggi dan kuat saja yang bisa berpartisipasi.

Partisipasi terbanyak adalah pemuda adat karampuang. Mereka yang

berpartisipasi beranggapan untuk memperlihatkan kekuatan mereka

sehingga menggerakkan pemuda lain untuk ikut berpartisipasi. Maddui

menafsirkan mengenai kebersamaan dimana menitik beratkan kepemuda

untuk mengikuti ritme atau menjiwai tradisi maddui sehingga tradisi ini

tetap ada sampai sekarang.


60

b Nilai ekologis

Ekologi mempelajari interaksi organisme satu sama lain dengan

lingkungan sekitarnya. Ekologi hadir sebagai bentuk adaptasi organisme

dengan lingkungan fisiknya (ultina, 2015).

Nilai ekologis pada tradisi maddui ini muncul pada perilaku

masyarakat adat saat proses ritual penebangan pohon. Pohon yang akan

ditebang harus memenuhi syarat-syarat salah satunya ranting pohon tidak

jatuh saat ritual macera ale dilakukan hal ini menandakan kesiapan

tumbuhan untuk ditebang.

Masyarakat adat Karampuang percaya bahwa pohon merupakan

sumber kehidupan bagi semua orang. Sehingga mereka sangat menjaga

pohon dalam hutan adat Karampuang. Apabila pohon ditebang maka 1

(satu) pohon akan diganti 10 pohon ditanam kembali, dirawat dan dijaga

bersama-sama. Pohon yang akan ditebang dipastikan tidak ada burung

yang bersarang di atasnya.

Apabila ada, maka pohon tersebut tidak ditebang. Alasannya,

masyarakat adat tidak ingin mengganggu habitat burung yang bersarang di

pohon tersebut. masyarakat adat selain menyayangi pohon mereka juga

melestarikan hewan yang ada di dalam hutan adat tersebut.

c Nilai solidaritas

Nilai solidaritas pada tradisi maddui tampak pada saat berbaur saat

kegiatan dimulai yaitu saat tudang sipulung, saat prosesi menarik kayu

sampai merenovasi rumah adat. Menurut gella, diadakannya tradisi


61

maddui ini untuk kita semua sebagai manusia di karampuang saling

mengingatkan menjaga tradisi kebudayaan di Karampuang.

d Nilai seni

Dalam tradisi maddui terdapat nyanyian saat melakukan penarikan

kayu. Nyanyian itu disebut elong paddui. Elong paddui ini biasanya

dinyanyikan oleh gella saat proses ritual menarik kayu dalam hutan adat

Karampuang.

Nyanyian paddui ini melambangkan kekuatan masyarakat adat sebagai

“asumae” rasa semangat dalam menjalankan tradisi. Nyanyian dengan

syair yang unik membuat maddui ini unik serta memikat perhatian

kalangan luar untuk melihat proses tradisi ini. Nyanyian ini agak sulit

dinyanyikan sebab memiliki tempo yang hanya beberapa orang saja

dimasyarakat adat Karampuang mengetahuinya.


62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengadakan penelitian tentang kearifan lokal tradisi maddui di desa

Tompobulu kecamatan Bulupoddo kabupaten Sinjai dapat ditarik kesimpulan

yaitu sebagai berikut:

1. Tradisi maddui merupakan salah satu bentuk budaya lokal dalam

melestarikan rumah adat Karampuang, kabupaten Sinjai provinsi Sulawesi

Selatan yang sampai saat ini masih dilaksanakan. Tradisi ini di lakukan

apabila ada bagian rumah adat yang mulai rusak atau rapuh seperti tiang.

Tradisi maddui ini merupakan tradisi mabbela (menarik) sebatang kayu

dalam hutan adat karampuang. Pelaksanaan tradisi maddui ini terdapat tiga

tahap yaitu persiapan yang diatur dalam tudang sipulung, acara inti

(macera ale, mappamula tubang ajue, pemasangan tali dan penarikan

kayu) disertai dengan nyanyian elong paddui dan penutup (penyambutan

dengan hemburan beras pertanda keselamatan).

2. Tradisi maddui ini merupakan budaya bangsa yang tetap dilestarikan

keberadaanya karena banyak mengandung nilai-nilai budaya leluhur

warisan nenek moyang dan generasi muda tidak boleh lepas dari budaya.

Nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam tradisi maddui ini sebagai

berikut: nilai gotong royong, nilai ekologis, nilai soladiritas, dan nilai seni.
63

B. Saran

1. Penting bagi masyarakat Karampuang secara khusus terus menjaga

kebudayaan yang ada dalam masyarakat seperti tradisi maddui agar nilai-

nilai yang terkandung seperti nilai gotong royong, nilai ekologis, nilai

soladiritas, dan nilai seni dapat tetap di pertahankan

2. Untuk generasi muda adat Karampuang, untuk terus menjaga dan

mempertahankan tradisi maddui sebagai kebanggaan budaya yang patut

disyukuri. Keberadaan tradisi maddui merupakan budaya turun-temurun

dilaksanakan nenek moyang hingga sekarang dan menjadi sebuah identitas

masyarakat adat Karampuang.


64

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, H., & Resmini, W. (2018). Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai

Budaya pada Rumah Tradisional Masyarakat Sade Lombok

Tengah. CIVICUS: Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan, 6(2), 13-22.

Akmal, A., & Prihatin, P. (2020). Metode Pengembangan Desain Produk Kriya

Berbasis Budaya Lokal Desain Kriya, Kriya Tradisional & Aset Budaya

Lokal. Deepublish.

Ahmad H.A.K. 1989. Komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba, studi tentang

kepercayaan dan pelestarian lingkungan hidup (Tesis), Makassar:

Pascasarjana Unhas

Abdillah, Fahri.(2020, Agustus). Pentingnya Memahami Kearifan Lokal dan

Karakteristiknya..https://www.ruangguru.com/blog/kearifan-lokal-dan-

karakteristiknya. Diakses pada 18 Maret 2020.

Arifin, I. 2020. Good Governance Dan Pembangunan Dan Pembangunan Daerah

Dalam Bingkai Nilai Lokal: Sebuah Studi Birokrasi Pemerintah Dan

Perubahan Sosial Politik Di Kabupaten Wajo. Makassar: Pustaka Repleksi

Coomans, M. (1987). Manusia Daya: dahulu, sekarang, masa depan. Gramedia.

Fatmawati,P. 2018. Nilai-Nilai Budaya Dalam Tradisi Tudang Sipulung

Masyarakat Amparita Kabupaten Siderang Rappang. Jurnal Pengaderang 4

(1) :67-77
65

Hasan dan Iqbal. 2002. Pokok Pokok Materi Metodologi Penelitian dan

Aplikasinya. Bogor: Ghana Indonesia

Hendrawati, Heni. (2016). Analisis Potensi Tenaga Kerja Lokal di Kawasan

Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) DI Kecamatan Kertajati

Kabupaten Majalengka. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Bandung.

Kun, P. Z. (2013, September). Pembelajaran sains berbasis kearifan lokal. In

Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika Ke-3 2013. Sebelas Maret

University.

Lusianti, L. P., & Rani, F. (2012). Model Diplomasi Indonesia Terhadap

UNESCO Dalam Mematenkan Batik Sebagai Warisan Budaya Indonesia

Tahun 2009. Transnasional, 3(02).

Lureng, Abd., Gaffar. 1980. Pasang ri kajang: Suatu pendekatan dari segi

Antropologi (skripsi). Ujung pandang`: Fakultas Sastra Unhas

Manda Darma, 2017. Ritual Manusia Karampuang

Marampa, A.T. Guide To Tana Toraja (n.p.,n.d.,2003)

Melalatoa, Junus. 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamor

Mahya, F. (2017). Pengaruh Modernisasi Terhadap Kearifan Lokal Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo

Kabupaten Malang (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

Muhannis, 2013. Karampuang dan bunga Rampa Sinjai, Yogyakarta: penerbit

Ombak
66

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Moleong, Lexy J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi)

Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Ningrum, A. (2020). Analisis Pelaksanaan Pembelajaran Google Classroom Era

Pandemic Covid-19 Materi Tata Surya Pada Siswa Kelas VII MTs Negeri

Salatiga Tahun Pelajaran 2019/2020. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri

Salatiga. Salatiga.

Patji, A. R. (2010). Pengembangan Dan Perlindungan Kekayaan Budaya Daerah:

Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Adanya Klaim Oleh Pihak Lain.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, 12(3), 167-188.

Prabowo, N. B., Holilulloh, H., & Adha, M. M. (2014). Pengaruh Globalisasi

Terhadap Bergesernya Tata Cara Adat Midodareni Pada Masyarakat Adat

Jawa. Jurnal Kultur Demokrasi, 3(6).

Rahmawaty, U., & Maharani, Y. (2014). Pelestarian budaya indonesia melalui

pembangunan fasilitas pusat jajanan tradisional jawa barat (Doctoral

dissertation, Bandung Institute of Technology).

Rahmat Yudi, 2019. Porsonel Satgas Yonif Raider Khusus 136 Pamrahwan Aluku

Ikuti.Tradisi.Tarik.Kayu.https://infopublik.id/kategori/nusantara/390193/per

sonel-satgas-yonif-raider-khusus-136-pamrahwan-maluku-ikuti-tradisi-

tarik-kayu. Dikutip Rabu 06 Oktober 2021

Rumbewas, V. P., Hidaya, N., & Pabalik, D. (2017). Pengaruh Modernisasi

Terhadap Dinamika Kebudayaan Masyarakat Suku Maya Kabupaten Raja


67

Ampat (Studi Pada Bahasa Abel Suku Maya Di Kampung Kali Toko Distrik

Teluk Maya Libit). Gradual, 6(1), 114-122.

Rasyid, A., 2002. Studi Manajemen Pelestarian Hutan Adat Ammatoa Kajang

Melalui Pendidikan Kearifan Tradisional. Program Pasca sarjana

Universitas Negeri Makassar. Thesis. Tidak Dipublikasikan

Sartini, S. (2004). Menggali kearifan lokal Nusantara: Sebuah kajian filsafati.

Jurnal filsafat, 14(2), 111-120.

Syarif, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Kearifan Lokal

Masyarakat Adat Karampuang Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal

Sainsmat, 6(2), 49-55.

Syahruna, A.R.,M.Yussof.,M.Amin, 2014. Peranan Budaya Tudang Sipulung/

Apolilli Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bergesernya Nilai Budaya

Pertanian Di Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan

Kemanusiaan.

Sibarani, R. (2015). Pendekatan antropolinguistik terhadap kajian tradisi lisan.

RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1(1), 1-17.

Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian

Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang

Dati Ii Bulukumba (Disertasi). Makassar: Pascasarjana Universitas

Hasanuddin

Syarif, E. (2019). Pengintegrasian Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Karampuang Dalam Pembelajaran Geografi Berorientasi Pendidikan

Karakter Di Sekolah Menengah Atas. LaGeografia, 17(2), 031-040.


68

Sugiarto, Eko. (2015). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan

Tesis.Yogyakarta: Suaka Media.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suryabrata, Sumadi. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Tribunnews.com, 2021. Mangriu Kayu, Tradisi Tarik Kayu Dan Lempar Lumpur

Warga.Toraja..Sebelum.Didirikan.Rumah.Adat.Tongkonan,.https://video.tri

bunnews.com/amp/view/260367/mangriu-kayu-tradisi-tarik-kayu-lempar-

lumpur-warga-toraja-sebelum-dirikan-rumah-adat-tongkonan . Dikutip Rabu

06 Oktober 2021

Trisliatanto, D.A. (2020). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Triwardani, R., & Rochayanti, C. (2014). Implementasi Kebijakan Desa Budaya

dalam Upaya Pelestarian Budaya Lokal. Reformasi, 4(2).

Thamrin, H. (2013). Kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan (the lokal


wisdom in environmental sustainable). Kutubkhanah, 16(1), 46-59

Tamalene, M. M., Al Muhdhar, M. H. I., Suarsini, E., & Rochman, F. (2014). The

practice of local wisdom of Tobelo Dalam (Togutil) tribal community in

forest conservation in Halmahera, Indonesia. Int J Plant Res, 4(4A), 1-7.


69

Ultina, R. (2015). ”Pendidikan Lingkungan Hidup dan Konservasi Sumber daya

Alam Pesisir”.

Usop, M,. KMA. 1978: Pasang Ri Kajang: Kajian Sistem Nilai Di “Benteng

Hitam” Ammatoa. Ujung Pandang: Laporan Penelitian Pusat Latihan

Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.

Yusuf, wiwik p, dkk 1993. Upacara Tradisional Rapasan: Upacara Pemakaman

Yusuf Muhammad, dkk, 2019. Makna nilai Pappaseng fenomenologi konservasi

hutan karampuang. Malang: Media Nusa Kreatif

Zahra, H. (2020). Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Tingkeban di Dusun

Asampitu Desa Pademawu Barat Kecamatan Pademawu Kabupaten

Pamekasan (Doctoral dissertation, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

MADURA).
70

LAMPIRAN
71
72

Gambar 1. Rumah Adat Karampuang (Rumah Gella)

Gambar 2. Kawasan Hutan Adat Karampuang

Gambar 3. Rumah Adat Karampuang (Rumah Arung) sedang Direnovasi


73

Gambar 4. Tudang Sipulung (Masyarakat Adat Karampuang)

Gambar 5. Tudang Sipulung (Perangkat Adat Karampuang Dan Masyarakat adat)

Gambar 6. Penyiapan konsumsi oleh wanita adat karampuang


74

Gambar 7. Proses Pemasangan Tali

Gambar 8. Penarikan Kayu dikawasan rumah adat

Gambar 9. Penarikan kayu dalam hutan


75

Gambar 10. Penarikan kayu memasuki kawasan rumah adat

Gambar 11. Penyambutan

Gambar 11. Penyemburan Beras sebagai tanda keselamatan


76

Gambar 12. Pintu Kawasan Rumah Adat

Gambar 13. Kebersamaan wanita Adat Karampuang

Gambar 14. Galampang (Pondok Sementara)


77

Gambar 15. Wawancara Mendalam dengan informan kunci (TOMATOA)

Gambar 16. Wawancara Mendalam dengan informan kunci (GELLA)


78

Gambar 17. Wawancara Mendalam Bersama Informan Kunci (SANRO)

Gambar 18. Wawancara Mendalam Bersama Informan Kunci (GURU)

Gambar 19. Wawancara Kepala Desa Tompobulu (Bapak Mahmudin)


79

Gambar 20. Wawancara Masyarakat Adat Karampuang

Gambar 21. Wawancara Tokoh Pemuda Adat Karampuang (Marjuli)

Gambar 22. Wawancara Wanita Masyarakat Adat Karampuang


80
81
82

RIWAYAT HIDUP

Susiyanti, Lahir di Tompobulu Kabupaten Sinjai,

Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Agustus

1999. Anak pertama dari pasangan Irwan dan

Kismawati. Memulai Pendidikan formal pada tahun

2005 penulis terdaftar di SDN 207 Parepo, dan tamat

pada tahun 2011. Pada tahun

yang sama penulis melanjutkan Pendidikan di SMP Negeri 3 Bulupoddo dan

tamat pada tahun 2014. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan

di SMA Negeri 1 Sinjai dan tamat pada tahun 2017, dan pada tahun 2017 penulis

melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN,

penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Geografi Fakultas Matematika Dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.

Penulis pernah aktif dalam organisasi HMJ Geografi Tahun 2019 sebagai

anggota staff Bidang Advokasi, organisasi KMS UNM Tahun 2019-2020 dan

Magang di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gowa selama 2 bulan Tahun

2020, serta Angkatan (1) Kampus Mengajar program Kampus Merdeka Tahun

2021.

Anda mungkin juga menyukai