Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aceh (abjad Jawoë: ‫دارالسالم‬ ‫)اچيه‬ adalah
sebuah provinsi di Indonesia yang ibu kotanya berada di Banda Aceh. Aceh
merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah
istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh terletak di ujung
utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia.
Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2019, jumlah penduduk
provinsi ini sekitar 5.281.891Jiwa.[10] Letaknya dekat dengan Kepulauan
Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh
berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah
barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara
dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di
Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia
Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya,
terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh
kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk
bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan
dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang
sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[11] Persentase
penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup
sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia,
Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak
bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh
adalah yang terbesar di dunia.[11] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang
terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh
Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional
bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi
Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian
besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat
bencana tersebut.[14] Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian
damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang ada di Aceh ?
2. Bagaimana kehidupan di Aceh ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah yang ada di aceh.
2. Untuk mengetahui budaya / adat istiadat Aceh.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Aceh
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959),
kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroe Aceh
Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya,
nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini dibuktikan
dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman
tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu pada situs lain yang dinamakan
dengan Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil
ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak
Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan
sederhana lainnya. Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan
prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk
Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar.
Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia
prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun
yang lalu.

B. Aceh Sebagai Daerah Istimewa


Saat ini satuan pemerintahan daerah yang berstatus Daerah Istimewa di
Indonesia hanya dua provinsi yaitu Aceh (UU Nomor 44 Tahun 1999)
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU 13 Tahun 2012).

Berdasarkan status pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, UU


Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Daerah
Provinsi Istimewa Aceh telah memberikan legitimasi secara yuridis formal
keistimewaan.

Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh meliputi:

1. Penyelenggaraan kehidupan beragama;


2. Penyelenggaraan kehidupan adat;
3. Penyelenggaraan pendidikan; dan
4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

3
C. Etnis Aceh
Aceh memiliki 13 etnis bangsa asli. Yang terbesar adalah etnis Aceh yang
mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai
dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis lain nya adalah etnis Gayo, (Gayo
Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi) yang mendiami wilayah pegunungan di
tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai etnis-etnis lainnya seperti, etnis Jamèë di
Aceh Selatan, etnis Singkil dan etnis Pakpak di Subulussalam, Singkil dan etnis
Alas di Aceh Tenggara, etnis Kluet di Aceh Selatan dan etnis
Tamiang di Aceh Tamiang, dan di Pulau Simeulue terdapat etnis Sigulai.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai
berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (
2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), lain-lain
(10,09%)[50] Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa
konflik sehingga cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi
Aceh saat itu. Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten
Aceh Timur dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan
dari kabupaten Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan
mayoritas etnis Aceh.
Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 etnis bangsa terbesar di Aceh,
yaitu:

No Etnis Jumlah Persentase

1 Aceh 3.160.728 70,65


2 Jawa 399.976 8,94
3 Gayo 322.996 7,22
4 Batak 147.295 3,29
5 Alas 95.152 2,13
6 Simeulue 66.495 1,49
7 Jamèë 62,838 1,40
8 Tamiang 49.580 1,11
9 Singkil 46.600 1,04
10 Minangkabau 33.112 0,74
11 Lain-lain 89.172 1,99
Bahasa yang paling banyak dipakai di Aceh adalah Aceh yang
dituturkan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh dan sebagian pedalaman
Aceh. Bahasa lain nya adalah Bahasa Gayo di Aceh bagian tengah, Bahasa
Alas di Aceh Tenggara, Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Bahasa
Singkil dan Bahasa Pakpak di Aceh Singkil, Bahasa Kluet di Aceh
Selatan, Bahasa Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, Di Simeulue bagian utara

4
dijumpai Bahasa Sigulai dan Bahasa Lekon, sedangkan di selatan simeulue di
jumpai Bahasa Devayan, Bahasa Haloban.

Masjid Raya Baiturrahman, masjid bersejarah sejak era Kesultanan


Aceh yang menjadi simbol agama, semangat, perjuangan dan nasionalisme
rakyat Aceh.

Mayoritas penduduk Aceh menganut agama Islam dan Syariah


Islam menjadi hukum positif di daerah istimewa Aceh. Agama lain yang
dianut oleh penduduk Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang
beretnis Batak dan sebagian warga keturunan Tionghoa yang kebanyakan
beretnis Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut
agama Konghucu.

Selain itu Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi


yang lain, karena di Aceh Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan
intelektual Aceh sendiri masih memperdebatkan apakah yang diberlakukan di
Aceh sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja.

Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika


itu berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa
tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian selain persoalan dualisme
aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.

D. Adat Istiadat Aceh


Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi
kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap
masyarakat yang memilikinya. Negara Indonesia adalah satu Negara yang besar
serta terdiri beribu-ribu Pulau serta terdiri dari bermacam-macam Suku. Diantara
sekian banyak Suku-suku yang ada di Negara Indonesia yang begitu luas, disini
Penulis ingin membahas tentang Adat Istiadat satu daerah yang berada di ujung
paling barat pulau sumatera wilayah Indonesia yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam. Dan kebetulan juga penulis Sendiri berasal dari suku Aceh.
Aceh adalah sebuah entitas suku dan wilayah, tentunya ini sangat berbeda
dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini
terdapat beberapa sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet,
Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara sub etnis diatas, setiap etnis
mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan
dari beberapa suku yang ada di indonesia.

5
Dalam masyarakat Aceh, adat merupakan sesuatu yang tertulis ataupun tak
tertulis yang menjadi pedoman didalam bermasyarakat Aceh. Nah, adat yang
dipahami ini merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan
guna jalannya sistim dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau
hukum adat TIDAK boleh bertentangan dengan ajaran agama islam. Sesuatu
yang telah diputuskan oleh para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama
dengan ketentuan syariat. Dan jika adat ini bertentangan Ajaran Syariat maka
hukum adat itu akan dihapuskan. Inilah bukti bahwa masyarakat Aceh sangat
menjunjung tinggi Nilai-nilai keagamaan.
Menurut Mustafa Ahmad, yang dimaksud dengan adat di Aceh adalah
aturan hidup. Aturan yang mengatur kehidupan rakyat, yang diciptakanoleh para
cerdik dan pandai Aceh bersama Poe Meureuhom/Sultan Aceh. Aturan hidup ini
mengikat seluruh rakyat Aceh tanpa kecuali. Dan bagi siapa saja yang
melanggarnya, akan mendapat sanksi. Kalau sekarang, aturan hidup ini dikenal
dengan istilah Hukum Adat.
Langsung saja saya bahas, berikut tentang macam-macam Adat Istiadat
Masyarakat Aceh :
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya
masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan.
Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh
masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan
jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian
perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan
dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara
meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan
kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana,
hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng). Tapi adat ini
ada sebahagian daerah di aceh yang tidak lagi melaksanakannya.
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara
pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah
(kuasa) dari ayah dara baro (Pengantin Wanita). Qadli didampingi oleh dua
orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi.
Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya
kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih

6
yang diikuti oleh linto baro (pengantin Pria) dengan fasih pula. Apabila
lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan
kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus
mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan
persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu.
Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto.
Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan
sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan peng seumemah
(uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh
seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang
wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah
pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak
keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran
(tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung
tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro.
Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan
pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang
disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto
baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro
minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang.
Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara
baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan
rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih
di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur
tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk
mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara
cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi
digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi
pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus.
Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang
oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah
kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa

7
dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang
keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras
bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang
keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau
batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan
akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa
pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup
menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan
masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang
biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa
seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa
ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai
kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan
Paya), mie Aceh, dan Martabak.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat
warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan
pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada
siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan
kari kambing, dan sebagainya.

E. Tarian

a. Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907

8
b. Tari Saman dari Gayo Lues
Aceh yang memiliki setidaknya 10 etnis, memiliki kekayaan tari-tarian
yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang
terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal
dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Aceh

 Tari Laweuët
 Tari Likok Pulo
 Tari Pho
 Tari Rabbani Wahed
 Tari Ranup lam Puan
 Tari Rapa'i Geleng
 Tari Rateb Meuseukat
 Tari Ratoh Duek
 Tari Seudati
 Tari Tarek Pukat

Tarian Gayo

 Tari Saman
 Tari Bines
 Tari Didong
 Tari Guel
 Tari Munalu
 Tari Turun Ku Aih Aunen

Tarian Alas

 Tari Mesekat

Tarian Melayu Tamiang

 Tari Ula-ula Lembing

Tarian Kluet

 Tari Landok Sampot

Tarian Singkil

 Tari Dampeng

9
F. Alat Musik
a. Arbab

Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen


induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut:

Go Arab. Instrumen ini memakai bahan: tempurung kelapa, kulit


kambing, kayu dan dawai

Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan


Aceh Barat. Arbab ini dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat,
seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb. Sekarang ini tidak pernah
dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir kesenian
ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan
Jepang.

b. Bangsi Alas

Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai
di daerah Alas, Kabupeten Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan
Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal dunia di kampung/desa
tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia,
Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti
terus sampai Bangsi tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi
yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas lagi oleh pembuatnya dari
tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang akan
dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan
orang kaya yang sering dibungkus dengan perak atau suasa.

c. Serune Kalee (Serunai)

Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama


berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di
daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik
ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara
hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee
ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling
bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias
musik tradisional Aceh.

Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan


suatau perangkatan musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh
Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai kebudayaan
tradisional Aceh disektor musik.

10
d. Rapai

Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang.
Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda.
Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring
kesenian tradisional.

Rapai ini banyak jenisnya: Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai


Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.

e. Geundrang (Gendang)

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune


Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya
pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan
alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

Dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul.


Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah

f. Tambo

Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan
Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit.
Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk
menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan
masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.

Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah


terdesak olah alat teknologi microphone.

peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat


komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk
mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-
masalah kampung.

Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah


terdesak olah alat teknologi microphone.

g. Taktok Trieng

Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini
dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten
lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis : Yang dipergunakan di
Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat
lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.

11
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir
burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini
biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai
ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).

h. Bereguh

Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh
pada masa silam dijumpai didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan
terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh mempunyai nada yang
terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung
dari teknik meniupnya.

Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila


berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya.
Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah
mulai punah penggunaannya.

i. Canang

Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari


beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu
ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan
menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik
Canang dan memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.

Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian


tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang
sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan
di sawah ataupun pengisi waktu senggang.

j. Celempong

Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah


Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara
memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.

Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi


sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan
sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai.
Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di
daerah Tamiang.

12
G. Pemerintahan di Aceh

Nama 23 kabupaten/kota beserta ibu kota kabupaten yang ada di Provinsi


Aceh yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota pada tahun 2015 berdasarkan
data yang dipublikasikan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
adalah sebagai berikut:

1. Kabupaten Aceh Selatan


2. Kabupaten Aceh Tenggara
3. Kabupaten Aceh Timur
4. Kabupaten Aceh Tengah
5. Kabupaten Aceh Barat
6. Kabupaten Aceh Besar
7. Kabupaten Pidie
8. Kabupaten Aceh Utara
9. Kabupaten Simeulue
10. Kabupaten Aceh Singkil
11. Kabupaten Bireuen
12. Kabupaten Aceh Barat Daya
13. Kabupaten Gayo Lues
14. Kabupaten Aceh Jaya
15. Kabupaten Nagan Raya
16. Kabupaten Aceh Tamiang
17. Kabupaten Bener Meriah
18. Kabupaten Pidie Jaya
19. Kota Banda Aceh
20. Kota Sabang
21. Kota Lhokseumawe
22. Kota Langsa
23. Kota Subulussalam

H. Sumber Daya Alam di Aceh

a. Pertanian

Pertanian di daerah Aceh meng-hasilkan beras, kedelai, ubi kayu, ubi


jalar, jagung, kacang kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

b. Perikanan

Hasil perikanan di daerah Aceh terdiri dari perikanan darat dan laut.
Potensi perikanan laut di daerah Aceh cukup menjanjikan, tetapi belum

13
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sektor perikanan di Aceh akan lebih
banyak lagi jika dikembangkan dengan menggunakan peralatan yang
modern dan canggih.

c. Kawasan hutan lindung

Ada dua jenis tanaman yang akan ditanam. Tanaman buah semusim
seperti duku, durian, rambutan, langsat, dan jengkol. Sementara untuk
tanaman kayu alam adalah meranti, medang, dan ceremai. kedua jenis
tanaman ini ditanaman dalam jumlah yang tidak sama, yakni 40 berbanding
60.

d. Kawasan hutan produksi

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok


menghasilkan hasil hutan baik itu hasil hutan kayu maupun hasil hutan non
kayu.

e. Perairan

Potensi perairan Aceh cukup besar. Dapat dimanfaatkan sebagai


sumber listrik tenaga air yaitu PLTA Peusangan berlokasi di Kecamatan
Silih Nara, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh.

f. Peternakan

Pada sektor peternakan, daerah ini menghasilkan ternak sapi potong,


kerbau, kuda, kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur
dan itik.

g. Perkebunan

Bidang perkebunan, propinsi Aceh menghasilkan kemiri, coklat, karet,


kelapa, kelapa sawit, cengkeh, kopi, pala, nilam, pinang, lada, tembakau,
tebu, dan randu.

Sayur-sayuran dan buah-buahan yang dihasilkan warga Aceh, seperti


bawang merah, cabe, kubis, kentang, bawang, kacang panjang, tomat,
ketimun, pisang, mangga, durian, jambu biji, pepaya, rambutan, nangka,
dan melinjo.

14
h. Pertambangan

Daerah Aceh memiliki bahan tambang, seperti minyak bumi, batubara,


tembaga, timah hitam, dan gas alam.

 Selain itu juga Aceh memiliki :


• Tambang emas di daerah Aceh Besar, Aceh Tengah, Pidie, dan Aceh
Barat.
• Tambang biji besi terdapat di Aceh Besar, Aceh Selatan, dan Aceh Barat.

• Tambang mangan terdapat di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Tenggara.

• Tambang biji timah, batu bara, dan minyak bumi terdapat di Aceh Timur
dan Aceh Barat, yakni didaerah Rantau Kuala dan Sim-pang Peureulak.
• Tambang gas alam di daerah Lhok Sukon dan Kabupaten Aceh Utara.

i. Pariwisata

Daerah Istimewa Aceh memiliki potensi pariwisata yang cukup besar


untuk dapat dikembangkan menjadi lebih baik, terutama wisata bahari,
wisata alam, dan wisata sejarah.

j. Industri

Dalam bidang industri, daerah Aceh mempunyai potensi cukup besar


terutama industri perkebunan, hasil hutan, dan pertanian, seperti atsiri,
karet, kertas, minyak kelapa sawit, dan juga industri hasil pengolahan
tambang yang belum berkembang secara maksimal. Jenis industri yang lain
meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan
pakaian jadi; industri kayu, bambu, rotan, dan sejenisnya; industri kertas
dan barang-barang dari kertas; industri kimia dan barang-barang dari
kimia; industri logam dan barang-barang dari logam. Hasil produksi
komoditas industri utama berupa kayu gergajian, moulding chips, plywood,
semen, pupuk, dan kertas.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kesimpulan saya dari rumusan masalah yang kami bahas diatas
dapatdisimpulkan bahwa Suku Aceh masih mempertahankan kebudayaan,
hukum danadat istiadat suku mereka, tetapi tetap melaksanakan Hukum Nasional
dalam beberapa hal. Maka dari itu, pemerintah harus memperhatikan
kesejahteraan suku-suku yang masih eksis di masyarakat saat ini.

B. Saran
Jadi saran yang dapat kami berikan yaitu sebaiknya hukum adat dan
hukumnasional harus diseimbangkan karena belum tentu hukum adat selalu
dapatmenyelesaikan konflik-konflik yang ada di dalam masyarakat tersebut

16
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
C. Tujuan .......................................................................................................................... 2
BAB II....................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
A. Sejarah Aceh................................................................................................................ 3
B. Aceh Sebagai Daerah Istimewa .................................................................................... 3
C. Etnis Aceh .................................................................................................................... 4
D. Adat Istiadat Aceh ...................................................................................................... 5
1. Upacara Perkawinan ................................................................................................. 6
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah) ................................................................. 7
3. Tradisi Makan dan Minum ....................................................................................... 8
E. Tarian ........................................................................................................................... 8
F. Alat Musik ................................................................................................................. 10
a. Arbab ........................................................................................................................ 10
b. Bangsi Alas ............................................................................................................... 10
c. Serune Kalee (Serunai) ............................................................................................ 10
d. Rapai ......................................................................................................................... 11
e. Geundrang (Gendang) ............................................................................................. 11
f. Tambo ....................................................................................................................... 11
g. Taktok Trieng........................................................................................................... 11
h. Bereguh ..................................................................................................................... 12
i. Canang ...................................................................................................................... 12
j. Celempong ................................................................................................................ 12
G. Pemerintahan di Aceh .......................................................................................... 13
H. Sumber Daya Alam di Aceh ................................................................................. 13
BAB III..................................................................................................................................... 16
PENUTUP ................................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 16
B. Saran .......................................................................................................................... 16

17

Anda mungkin juga menyukai