Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan
kaidah-kaidah hukum agama Islam. Hukum ada ini melekat erat dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Hal ini bisa dibuktikan dn berbagai gaya hidup orang Aceh yang masih mencerminkan
khasanah Islami dan religi yang kental. Misalnya dalam pemakaian busana, yang perempuan
dia Aceh diwajibkan memakai jilbab sebagai penutup kepala
Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan,
ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh
ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan
bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal
ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang
sebagai ragam hias
Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi
keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-
benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi Aceh Yang Masih Dipatenkan

1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang
dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-
layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu.
Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan
ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang
disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah
mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh
karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan
RI, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) atau event-event lainnya.

2. Kenduri Apam
Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa
pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari
nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender
Hijriah. Buleun artinya bulan, dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun
Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam
Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa
kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya
dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak
apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu
dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya(periuk besar). Campuran ini
direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang
sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah
yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya,
yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).
Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue
tho (daun kelapa kering. Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain
dengan on “ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya
berlubang-lubang , sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata(tidak bopeng).
Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa
masakan santan dicampur pisang klat barat(sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula.
Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan
bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja
(seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat
juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian
disebut Apam Leu'eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.
Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang
sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah,
pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga
diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung
lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke
kampung lainnya selama buleuen Apam(bulan Rajab) sebulan penuh.
Sejarah Khanduri Apam
Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di
Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang
sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji
kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya.
Keadaan yang menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya
yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk
mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam
untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam)
yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian.
Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi
dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan
kukuran kelapa yang diberi gula (dilhok ngon u)
Khanduri Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat– seperti gempa
tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar
(peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa besar; boleh
jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita atas
keadaan itu; disamping memohon rahmat bagi si mati, maka diadakanlah khanduri Apam
tersebut.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada
mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum'at ke mesjid tiga kali berturut-turut,
sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar
ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin
seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena
diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat jumat.

3. Kanduri Maulod
Kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan
peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah
SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula
disebut kanduri Pang Ulee.
Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap
bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada
bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal
sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada
bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan
Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil
Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil
Akhir.
Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai
tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata.
Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri,
pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan
Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu
pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari
masyarakat.
Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu
didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat
manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan.
Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati
batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul
Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang
menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam
hari.
Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang
hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang
menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan telah ditata rapi untuk para tamu.
Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi
dan berhenti ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.
Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan
dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib,
sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang
Isya. Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid.
Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau
desa tetangga dan ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya. Kondisi ini
diperngaruhi oleh jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.
Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut
maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang
menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah
SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang
dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat
kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor
kambing. Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya
akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada
kemampuan orang yang melaksanakan.
Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik
(kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk
panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang,
kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta anak yatim yang
berada di sekitarnya. Hidangan yang menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di
meunasah dan di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai
hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada
malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat
adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya.
Seperti telah disebutkan di atas Kenduri maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan
dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah
dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan
telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan
Jumadil Awal.Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan
Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya
tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Khanduri atau dalam bahasa melayunya kenduri merupakan hal yang sangat sakral
dilakukan oleh masyarakat Aceh Pidie dan masyarakat Aceh lainnya. Khanduri dilakukan
jika suatu pelaksanaan berhasil dilakukan dan pada musibah seperti meninggalnya seseorang.
Contoh berhasil pelaksanaan menang dalam permainan, sukses naik pangkat, dapat jabatan
baru, kenduri anak yatim dan lain-lain.

B. Saran
Kebudayaan juga merupakan warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh
masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu sebagai masyarakatnya, kebudayaan yang
ada mesti dijaga dengan baik, agar tidak berpengaruh dengan budaya-budaya moderen yang
berkembang dimasa ini.
DAFTAR PUSTAKA

- Usman Ali, Kebudayaan Aceh Yang Kental, Penerbit PT. Muda Semanggi, Bandung, 1990.
- Ahmad Gani, Haba Ureung Aceh, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1980.
- Husein Husnan, Pembahasan Adat dan Budaya, Penerbit Al-Husna, Solo, 1995.

Anda mungkin juga menyukai