Anda di halaman 1dari 22

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan


dan Pemerintahan Syiah dalam Tradisi dan
Budaya Bugis-Makassar
Supa Athana*
*Universitas Hasanuddin, Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu
Budaya, Makassar- Sulawesi Selatan,Tamalanrea 90245, Indonesia,
Email: supa.athana@gmail.com
Abstract
To Manurung is a classic tale of life in culture and tradition of BugisMakassar that includes a variety of viewpoints. With regard to
leadership and governance systems, the story of To Manurung has a
similar spirit to the Shiite Islamic beliefs, especially in terms of: 1.
Social and Political Leadership, 2. Regeneration, 3. The Legacy of
the Government System.
Keywords: To Manurung,
Regeneration.

Leadership,

Government,

Legacy,

Pendahuluan

To Manurung menjadi kata kunci untuk melihat segala


aspek yang terkait dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) baik dari
segi ilmu pengetahuan, ekonomi. sosial, budaya dan teknologi.
Demikian halnya jika kita ingin melihat dan membedah seputar
masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan.
Khusus
masalah
kepemimpinan
dan
sistem
pemerintahan To Manurung, kita menemukan ada banyak
nuansa dan semangat kepemimpinan dan pemerintahan tradisi
Islam Syiah yang terdapat di dalamnya. Untuk melihat hal
tersebut maka lebih awal sebaiknya mari kita lihat arti dan
pemaknaan To Manurung dalam berbagai sudut pandang:
1.To Manurung ditinjau dari segi etimologi (makna dasar). To
Manurung terdiri atas 'To' yang berarti orang, 'Manurung'
artinya yang sedang turun. Jadi To Manurung adalah orang
yang sedang turun. Bisa juga dalam terjemahan bebas berarti
orang yang sedang turun dari tempat yang tinggi.
Dalam kepercayaan Islam Syiah bahwa Nabi
Muhammad dan Imam Ali serta keturunan Ali- dari Fatimah AzZahra, yang merupakan pemimpin (Imam kaum Syiah)77

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

diciptakan dari cahaya jutaan tahun sebelum penciptaan alam


semesta dan bahwa mereka berdua satu cahaya sampai
mereka terpisah satu sama lain di tulang sulbi Abdul Muttalib.
Salah satu bagian ditempatkan di tulang sulbi (pinggang)
Abdullah dan melalui itu lahir Nabi Muhammad saw. Bagian
lain ditempatkan di pinggang Abu Thalib dan melalui itu lahir
Ali. Muhammad saw dipilih untuk kenabian dan kekhalifahan
untuk Ali.
2. To Manurung berdasarkan kepercayaan masyarakat BugisMakassar sebelum mengenal Islam dianggap sebagai
perwujudan Tuhan, dewa; manusia yang turun dari langit,
namun bukan sebagai manusia pertama (Adam). To Manurung
adalah manusia yang memiliki kesaktian dibanding manusia
lainnya; pandai dan mempunyai wawasan yang lebih luas
dibandingkan masyarakat sekitarnya.
Keyakinan Syiah menyebutkan bahwa pemimpin mereka
adalah sosok manusia yang mempunyai kecerdasan dan
wawasan yang tidak bisa dibandingkan dengan manusia pada
umumnya. Oleh karena itu, Syiah sangat menyukai salah satu
hadits Nabi yang berbunyi: Aku adalah kota ilmu dan Ali
adalah gerbangnya.
3. To Manurung dalam lontara dipahami sebagai orang yang
dinantikan dan disambut dengan suka cita oleh sekelompok
masyarakat yang kemudian memintanya untuk menjadi
raja/mangkau. Oleh sebab itu, To Manurung dipandang
sebagai orang suci yang sedang melakukan tugas dari dunia
atas yang dengan sengaja diutus untuk memberikan
penerangan dan petunjuk jalan kebenaran, kedamaian dan
kesejahteraan pada sebuah masyarakat yang tak punya
pemimpin yang adil.
Kaum Syiah meyakini bahwa mereka sekarang dalam
kondisi penantian. Mereka menanti kedatangan pemimpin
mereka yang terakhir yaitu Imam Mahdi. Imam Mahdi diyakini
akan datang sebagai juru selamat yang menyelematkan
manusia dari kondisi dan situasi yang penuh dengan
penyimpangan. Imam Mahdi datang membimbing manusia
kembali pada jalan kebenaran dan keadilan.
4. To Manurung dari segi potensi meski secara lahiriahjasmaniah sama dengan manusia pada umumnya, tetapi
78

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

secara bathiah-ruhaniah sangat jauh berbeda. To Manurung


memiliki keistimewaan berupa; dapat menembus dan hidup di
tiga alam: langit, darat dan laut; bila meninggal dunia jasadnya
serta merta menghilang. Hanya pakaian dan senjatanya yang
tersisa; bisa berada di suatu tempat dalam waktu sekedipan
mata; punya kepedulian sosial yang tinggi; memiliki ilmu yang
sangat dalam (mengetahui hal-hal gaib maupun yang empiris);
memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi; hidup dan
bekerja sesuai kebutuhan hidup dan pekerjaan masyarakat
umum; serta pemimpin yang penuh wibawa dan bijaksana.
Kaum Syiah juga meyakini bahwa Imam Mahdi di zaman ini
hidup di alam gaib.
Dari pengertian tersebut sangat jelas tergambar
semangat dan nuansa dari konsep kepemimpinan Islam Syiah
dalam sosok To Manurung. Jika dalam Islam Syiah menyebut
nama pemimpin (Imam) harus dengan penghormatan yang
tinggi maka To Manurung pun demikian halnya.
Tentang kesakralan penyebutan nama To Manurung
simak penggalan tulisan S. Koolhof, (1999) dalam The "La
Galigo"; A Bugis encyclopedia and its growth, berikut ini:
"Another possible reason for the growth of the La Galigo is
related to the sacredness of certain characters playing a role in
it and the taboos surrounding them. Next to the gods, with
Patotoq as the most important, their direct descendants like
Batara Guru and Sawrigading were (and sometimes still are)
also considered holy by certain individuals or groups. Some
people are only allowed to speak about Sawrigading and his
grandfather when their names are preceded by the honorific
puatta, our lord."
Dengan kualitas sedemikian besarnya tak heran bila To
Manurung secara sosial mendapat gelar tertentu seperti Andi,
Kareng, Datu, Patta, Maradia, Opu dan gelaran lain.
Pengakuan gelaran sosial yang ada di masyarakat Sulsel
sejarahnya bersumber dari kisah To Manurung yang memiliki
kualitas lahiriah-bathiniah yang luar biasa bila dibandingkan
dengan masyarakat umum. Oleh karena itu gelar kemuliaan di
masyarakat Sulsel yang disematkan pada seseorang
sebetulnya merupakan perwujudan simbolik akan kualitas
personal seseorang dan bukan karena garis keturunan semata.
Namun probabilitas karakter To Manurung bersemayam pada
79

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

seseorang manakala punya garis keturunan langsung lebih


besar. Tetapi ada juga banyak fakta yang menunjukkan bahwa
banyak orang memunyai garis keturunan yang sama akan
tetapi tidak memiliki sifat-sifat yang terpuji sebagaimana yang
dimiliki oleh pendahulunya, maka dengan sendirinya tidak
digolongkan sebagai 'To Manurung'. To Manurung dianggap
sebagai manusia langit yang senantiasa menjaga diri dan
mendapat bimbingan langsung dari Dewata Sewwae (Tuhan
yang maha Esa). Oleh karenanya To Manurung dipandang
sebagai manusia yang bebas dari segala kekhilafan dan
kesalahan.
Sejarah To Manurung
Sureq La Galigo menceritakan tentang awal mula
penghuni negeri Luwuq yang dipandang sebagai negeri Bugis
tertua. Dalam kosmologi La Galigo dunia dibagi tiga yaitu
Dunia Atas (Botiq Langiq), Dunia Bawah (Buriq Liuq) dan dunia
Tengah (Lino). Konon pada suatu masa penghuni Boring
Langie di bawah pimpinan Patotoqe (yang menentukan nasib)
dengan isterinya Datu Palingeq memusyawarahkan tentang
keinginannya dari keturunannya untuk menjadi penghuni dunia
(bumi). Batara Guru yang merupakan personifikasi aspek langit
dan pertiwi menjadi penghuni dan penguasa bumi pertama.
Batara Guru kawin dengan sepupunya We Nyuliq Timoq, puteri
Guru ri Selleq dan Sinauq Toja penguasa Buriq Liuq. Batara
Guru memunyai anak bernama Batara Lattuq yang
memperisterikan Opu Sanging dan menjadi ayah dan ibu
Sawerigading.
Sawerigading lahir kembar dengan saudaranya yang
bernama Puteri We Tenriabeng. Selanjutnya Sawerigading pun
menikah dan melahirkan I La Galigo. Kemudian I La Galigo
mempersunting We Tenrigangka. Dari perkawinan itu lahir La
Tenritatta sebagai cucu Sawerigading. Dialah yang kemudian
mengakhiri zaman I La Galigo, sehingga selesai pulalah zaman
To Manurung Batara Guru. Sesudah masyarakat ditimpa
kekacauan yang amat dahsyat selama tujuh generasi di
belakang La Tenritatta, maka tampillah Simpuruq Siang
sebagai To Manurung di Luwuq. Ia yang dipandang sebagai
Pajung atau Datu Luwuq yang diperkirakan memerintah sampai
tahun 1300 M.
80

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

Selanjutnya dari garis keturunan Batara Guru ke


Sawerigading menjadi garis keturunan berikutnya yang
menyebar ke seluruh kerajaan yang ada di Sulsel pada periode
sejarah berikutnya: Bone, Gowa, Wajo, Soppeng, Enrekang,
dan Pammana.
Tentang manusia pertama dalam kepercayaan,
pengetahuan, dan cerita rakyat di Sulsel yang beredar ada
versi lain yang mengatakan bahwa Tomboro Langiq yang
pertama kali turun mendahului Batara Guru.
To Manurung di Berbagai Tempat
Enrekang
Menurut tradisi lisan masyarakat Toraja dan Duri, To
Manurung yang pertama di Sulawesi adalah Datu Laukku
Puang Mula Tau (Manusia Pertama), yang turun dari langit di
Rura, sebuah tempat di Enrekang modern. Setelah memerintah
untuk waktu yang lama ia diperintahkan oleh Puang Matoa,
Yang Maha Esa, untuk kembali ke tempat sebelumnya (yaitu
langit). Dengan tidak adanya penguasa dan tidak ada hukum
(aluk) untuk mengatur masyarakat, anarki terus terjadi dan
masyarakat Rura saling memangsa satu sama lain seperti ikan.
Puang Matoa kemudian mengutus Puang Tamboro Langiq,
yang muncul di sebuah 'istana gantung' di Kandora yang
berlokasi di Gunung Bambapuang. Salah satu keturunannya,
Lakipadada Batara Lolo menikah dengan putri raja pertama
Gowa dan ia melahirkan Pattala Merang yang menjadi Pajung
Luwuq; dan Bantang Pattala, yang adalah Raja dari Lembanna
Tabu, Makale, Sangalla' dan Mengkendek (Abidin, 1983:209).
Tana Toraja
Konsep To Manurung di Tana Toraja sangat berbeda
dengan yang ada di daerah lain di Sulsel. Sebelum To
Manurung sudah ada kelompok masyarakat yang membentuk
kelompok adat yang di sebut Aluk Todolo. Diperkirakan pada
abad XIII konsepsi To Manurung mewarnai kehidupan di Tana
Toraja. Kedatangan To Manurung diberbagai tempat oleh
pemangku adat dan masyarakat itu sudah diperkirakan.
Sejumlah pusat kekuatan adat (Aluk Todolo) dikoordinir melalui
lembaga yang disebut Tongkonan Layuk. Selanjutnya ketika
To Manurung hadir di Toraja mereka tinggal melanjutkan
81

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

tatanan masyarakat Tana Toraja yang sudah ada sebelumnya.


Para To Manurung sangat berperan mewariskan tradisi
kehidupan masyarakat dan kebudayaan Toraja seperti Alik
Sanda Saratuq (Mattulada,1998: 60).
Luwuq
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pusat
kerajaan tertua di Sulsel adalah kerajaan Luwuq yang mana
menjadi tempat pertama bagi To Manurung memulai
pemerintahannya yang kemudian beranak-pinak, seterusnya
melahirkan generasi yang menjadi pemimpin di berbagai
kerajaan yang ada di Sulawesi dan sekitarnya.
Bone
Mattulada (1998) menulis bahwa di Bone, sebelum
kedatangan To Manurung, kelompok-kelompok Anang (suku)
dalam wilayah pemukiman masing-masing yang disebut
wanua. Setiap orang dalam kelompok itu merasa adanya
ikatan sekuturunan dari seorang nenek-moyang (primus
interparis) dalam anang. Dalam sistem kepemimpinan
patrimonial, persekutuan jenis ini merupakan jenis persekutuan
geneologis yang amat mengutamakan hubungan darah, yaitu
hubungan kekerabatan sebagai jalur primer dalam masyarakat.
Mereka hidup dalam kelompok yang mengucilkan diri dalam
wilayah teritorial yang tertutup terhadap persekutuan dengan
anang lainnya. Antara kaum dengan kaum, antara kelompok
dengan kelompok kaum lainnya selalu terbit permusuhan yang
tak berujung, tak berpangkal, dalam lontara, keadaan seperti
itu disebut sianre bale taue (manusia saling memangsa).
Dalam keadaan kacau balau itu tampillah tokoh To Manurung
yang dapat ditaati bersama, untuk dijadikan pemimpin yang
mengatasi dan menaklukkan segenap ketua kaum yang
disebut Matoa Anang. Berkat kedatangan To Manurung itu
berakhirlah permusuhan di kalangan kelompok-kelompok
Anang. Melalui perjanjian atau kesepakatan bersama antar
para Matoa Ulu Anang dengan To Manurung, diterimalah To
Manurung itu menjadi pemimpin tertinggi dan diataati bersama,
mengikuti perjanjian atau kesepakatan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan.

82

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

Kedatangan To Manurung dilukiskan secara amat


dramatis dan terperinci dalam lontara. Di katakan....bahwa
pada suatu hari ketika hujan deras membasahi muka bumi;
guntur dan petir memekakkan telinga, dan kilat sambung
menyambung....setelah itu ditemukan To Manurung di
Matajang. Setelah itu redalah cuaca dan terbit terang matahari
yang membawa kecerahan. To Manurung di Matajang ini,
seorang laki-laki dan diberi gelar Mata Silompoe (semua mata
tertuju padanya)(Mattulada,1998: 39-40).
Soppeng
Kisah kedatangan To Manurung Soppeng menyerupai
Bone. To Manurung ditemukan oleh para Matoa. Kala itu
Soppeng menderita kekurangan makanan untuk waktu yang
lama. Waktu itu tidak ada raja dan para Matoa bertengkar satu
sama lain. Sekali waktu, seorang penggembala kerbau melihat
seekor burung kakatua dengan batang padi di mulutnya
terbang menuju ke arah sebelah barat Soppeng. Ia mengikuti
burung itu dan tiba-tiba melihat banyak beras di Sekkanyili.
Peristiwa ini diketahui masyarakat. Enam puluh Matoa lalu
pergi ke Sekkanyili dan menemukan banyak beras dan juga
seorang budak bersama To Manurung.
Setelah itu para Matoa memutuskan untuk meminta To
Manurung menjadi raja di Soppeng. Para Matoa dengan
pengikutnya membawa upeti kerajaan, yang menjadi tandatanda kebesaran kerajaan. To Manurung bersedia menjadi raja
jika sepupunya yang ada di bagian Timur Soppeng, yaitu yang
dikenal Manurungnge ri Libureng, menjadi sekutunya untuk
memimpin Soppeng. Akhirnya jadilah Datu Soppeng Rilau ri
(Raja Timur Soppeng) dan yang satu menjadi Datu Soppeng
Riaja ri (Raja Soppeng Barat).
Gowa
To Manurung di Gowa yang ditemukan oleh ketua kaum
pesisir adalah seorang perempuan. Untuk menjadi suaminya,
tentu saja mesti ada orang yang setara di dalam negeri di
Gowa. Maka pasangan yang setara diusahakan lelaki dari
keturunan Sawerigading di negeri Luwuq yang dipandang
sebagai negeri tertua di Sulsel. Maka lontara pun menyebut
tentang kedatangan Karaeng Bayo bersama Lakipadada ke
83

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

Gowa untuk menghormati kedatangan To Manurung ri Gowa.


Lakipadada dipercaya sebagai tokoh legendaris. Karaeng Bayo
pun menetap di Butta Gowa dan memperisterikan To
Manurung. Perkawinan antara To Manurung dengan Karaeng
Bayo di istana yang dinamakan Tamalate (Tak Layu). Baik To
Manurung maupun Karaeng Bayo sangat dihormati. Mereka
ditempatkan dalam kedudukan yang amat mulia seperti ToNisomba (Orang yang disembah dan dipuja). Maka digelarkan
sejak itu raja-raja Gowa dengan Sombaya ri Gowa
(Mattulada,1998: 35).
Wajo
Konsepsi To Manurung di Wajo diungkap dalam bentuk
tradisi lisan sebagai berikut:"...pada mulanya datanglah
seorang yang tidak dikenal namanya dan tidak diketahui dari
mana asalnya, bermukim di pinggir danau Lapulungeng. Di
sana ia membuka sawah dan ladang, serta menangkap ikan.
Kemudian berdatanganlah orang-orang ke tempat itu,
meramaikan pertanian, mengikuti petunjuk orang 'yang tak
bernama' itu, tetapi ia dipandang sakti, mampu mendatangkan
Puangge
ri
kemakmuran.
Mereka
menamakannya
Lapilungeng" (Mattulada,1998: 53).
Tafsir To Manurung dalam Konteks Kekinian
Sebelumnya telah kita lihat bahwa konsep To Manurung
hadir pada setiap tempat dan momen yang berbeda-beda.
Namun ada sosok yang paling dominan di antara tokoh To
Manurung berkenaan dengan kisah kepemimpinan sosial To
Manurung yaitu Batara Guru.
Ada banyak versi tentang keberadaan Batara Guru,
misalnya, Batara Guru dipandang sebagai anak sulung Dewa
Langi Pototoqe yang ada di langit dan merupakan manusia
pertama. Versi lain menyebutkan sebelum Batara Guru ada
Tamboro Langiq yang muncul di puncak gunung Latimojong
mendahului kemunculannya. Ia juga disebut di kerajaan lainnya
selain Luwuq yang dipersepsi sebagai Pajung pertama di
kerajaan tersebut.
Sebagai raja pertama, tentu saja, Batara Guru menjadi
kisah fenomenal dan sebagai sentra pokok dari kisah To
Manurung bila dikaitkan dengan kondisi kepemimpinan sosial
84

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

dan politik Sulsel disebabkan oleh beberapa faktor, seperti


dipaparkan di bawah ini.
Kepemimpinan Sosial dan Politik
Di antara tahapan kemunculan serta peran To Manurung
dari segi kepemimpinan yang paling bisa dikaji berdasarkan
konteks kekinian dan kebutuhan masyarakat Sulsel adalah
Batara Guru. Disebutkan bahwa penyebab munculnya Batara
Guru berkenaan dengan kondisi masyarakat yang karut marut.
Terjadi perselisihan, permusuhan, saling intrik dimana-mana.
Pemerintah sudah tidak berwibawa dan rakyat sudah tidak
percaya pada hukum yang tebang pilih. Istilah ilmu politik dan
sosiologi ala To Manurung adalah terjadi Sianre bale (Hukum
Rimba) kemudian Batara Guru muncul sebagai juru selamat.
Terkait dengan dimensi kekinian pula adalah wajar bila
memunculkan pertanyaan tentang kepemimpinan model Batara
Guru yang sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat tajam
dengan kondisi dan zaman Batara Guru. Kehidupan di dunia
modern segalanya telah berubah dengan berbagai pola dan
cara. Dunia modern Sulsel (di era otonomi daerah) dalam hal
politik lebih banyak merujuk pada teori Plato dan Aristoteles.
Tersebutlah bahwa sistem politik pemerintahan
kontemporer telah berusaha mengatur untuk menyeimbangkan
segala bentuk kebutuhan manusia secara sempurna mulai
dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, kebutuhan
intelektual hingga spiritual. Bentuk pemerintahan yang
dipandang paling maju adalah demokrasi. Ciri utama dari
demokrasi adalah pemilihan umum yang kompetitif. Prasyarat
dari sebuah pemilihan umum demokrasi adalah kebebasan
berbicara, kebebasan pers, dan supremasi hukum. Kontrol sipil
atas militer sering dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk
mencegah kediktatoran militer dan campur tangan dalam
urusan politik.
Pemerintahan mayoritas adalah prinsip utama
demokrasi, meskipun ada banyak sistem demokrasi lainnya.
Banyak diantara mereka yang tidak patuh pada aturan seketat
itu karena kadang-kadang hak-hak minoritas sering tidak
dilindungi sehingga lebih tepat pemerintahan seperti itu disebut
tirani mayoritas. Pada titik ini menunjukkan bahwa makna
demokrasi tidak diterima secara universal. Ada unsur-unsur
85

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

tertentu yang terjadi perbedaan ketika berkaitan dengan unsurunsur dalam masyarakat yang dibutuhkan sebagai persyaratan.
Banyak orang menggunakan demokrasi sebagai perwujudan
dari demokrasi liberal yang mencakup beberapa unsur
tambahan seperti pluralisme politik, persamaan di depan
hukum, hak untuk dipilih, hak ganti rugi, kebebasan sipil, hak
asasi manusia, dan hak masyarakat sipil di luar pemerintah.
Bentuk lain dari pemerintah yang ada di dunia saat ini
adalah diktator. Diktator adalah bentuk pemerintahan otokrasi
di mana negara diperintah oleh seorang diktator. Di era
modern, diktator merujuk kepada suatu bentuk pemerintahan
otokrasi mutlak oleh kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh
hukum, konstitusi, atau faktor-faktor sosial dan politik lainnya
dalam sebuah negara.
Diantara ilmuwan seperti Joseph C.W. Chan dari
Universitas Hongkong memandang bahwa kediktatoran adalah
bentuk pemerintahan yang memiliki hak untuk mengatur tanpa
persetujuan dari orang yang diatur (rakyat), sementara
totalitarianisme menggambarkan keadaan yang mengatur
hampir setiap aspek perilaku masyarakat dan non-pemerintah.
Kediktatoran sangat perhatian pada sumber kekuatan
pemerintahan. Totalitarianisme fokus pada lingkup pengaturan
kekuasaan. Dalam pengertian ini, kediktatoran (pemerintah
tanpa persetujuan masyarakat) adalah berbeda dengan
demokrasi (pemerintahan yang kekuasaannya berasal dari
rakyat) dan totalitarianisme (pemerintah mengontrol setiap
aspek kehidupan masyarakat) sesuai dengan liberalisme
(pemerintah menekankan hak individu dan kebebasan).
Keduanya pada akhirnya memaksakan penghancuran hak dan
kebudayaan bagi kaum minoritas, sumber pengetahuan dan
tradisi masyarakat lokal.
Dengan adanya konsep dan perwujudan demokrasi
yang berbeda-beda; liberal, terpimpin, sosial, partisipasi,
consociational (Budiarjo,1978;96). Setidaknya, hal tersebut
bisa menjadi entry point (jalan masuk) bagi kita untuk
melakukan pengembangan dan perluasan terhadap demokrasi
dengan cara mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang
mana dalam sejarah dan kebudayaan Sulsel terbukti bahwa
pemerintahan lokal sebagai sebuah sistem yang melegenda
dalam sistem kepemimpinan dan pemerintahan di Sulsel. Jika
86

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

dilihat dari tradisi dan kebudayaan Sulsel maka bisa dipahami


bahwa
konsep
kepemimpinan
To
Manurung
yang
dipersonifikasi sebagai perwakilan dan ditugaskan oleh Dewata
Sewae (Tuhan yang Maha Esa) untuk membangun tatanan
sosial, politik dan hukum Sang Pencipta di bumi. Ini adalah
sebuah bentuk dari sistem kepemimpinan yang baik yang
merupakan rancangan dari Dewata Sewae (Sang Pencipta)
sendiri. Jika dikaji lebih jauh maka konsep To Manurung
sebetulnya sama dengan makna konsep demokrasi yang
sesungguhnya yaitu: Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara
Tuhan). Artinya suara rakyat merupakan ungkapan yang
berdasarkan padangan dan pengalaman religius masyarakat
sehingga suara raja dapat diabaikan apabila tidak sesuai
dengan nilai-nilai religiusitas masyarakat. Pemimpin dipandang
sebagai perwakilan Tuhan di bumi.
Bukan demokrasi dengan pengertian dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat. Pengertian demokrasi yang terakhir
dalam perjalanannya punya peluang untuk ditafsirkan secara
manipulatif dari penguasa korup yang ingin mengekalkan
kekuasaannya. Sebuah pemaknaan yang kabur dan tidak jelas
sumber dan tujuannya. Membedahnya dengan pisau analisis
ilmu logika akan ditemukan kalau pemaknaan yang demikian
menggunakan logika yang disebut logika circular (berputarputar, tasalsul). Ia tidak memunyai ujung pangkal. Secara
hermeneutik pun pengertian itu bisa menjadi seperti ini: Dari
penguasa oleh penguasa dan untuk penguasa. Pemaknaan
kekuasaan demokrasi berada di tangan rakyat hanya sebatas
lips service. Penjelasan tersebut senada yang dimuat dalam
dalam buku Civil society and democracy in Africa: Critical
Perspectives yang disunting oleh Nelson Kasfir bahwa :
Identifying those organizations within civil society that
encourage democracy is a distinct improvement over the
argument that civil society as a whole promotes democracy.
But, insistence on identifying civil behaviour with democracy
makes circular reasoning almost irresistible. (Kasfir,1998;137).
Adapun tawaran kepemimipinan To Manurung yang
tidak ada pada sistem politik dan kepemimpinan hari ini adalah
sebuah harapan menyingkirkan tirani dan penindasan, jaminan
keamanan dan kesejahteraan yang akan memberikan
kehidupan baru bagi penegakan hukum dan cara hidup yang
87

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

santun, pilihan yang baik dan tepat yang akan membangkitkan


semangat rakyat dan meningkatkan perekonomian untuk
keadilan dan transparansi, meningkatkan kepercayaan
sepenuhnya dalam menentukan sikap dan tindakan,
meruntuhkan fondasi kebingungan dan kemunafikan,
membasmi
korupsi
dan
ketidakadilan,
memangkas
keputusasaan dan kesulitan, menghapus jejak kesombongan
ketidakadilan, membuka simpul kepalsuan dan kesalahan,
memisahkan yang tidak masuk akal dan keangkuhan,
merobek-robek korupsi dan akar kekerasan, membuat orang
akrab dengan kata-kata bijak. Aspek kunci dari kepemimpinan
dan pemerintahan To Manurung berdasarkan kepentingan dan
keinginan rakyat yang sangat berbeda dengan kediktatoran.
Kepemimpinan To Manurung merupakan kekuatan kebenaran,
perdamaian dan keadilan, pembentuk nilai-nilai kemanusiaan
yang tinggi dan pembentukan masyarakat yang ideal.
Sedemikian itu, penantian masyarakat Sulsel terhadap
kepemimipinan dan pemerintahan To Manurung adalah logis.
Sebab sejarah kehidupan kita telah diisi oleh sosok yang
messianik yang tergambar dalam diri To Manurung. Penantian
sosok To Manurung adalah sosok yang dinanti yang memiliki
tujuan dan sangat bernilai. Penantian bisa membuat seorang
menjadi dinamis dan penuh harapan. Ketaatan masyarakat
pada kepemimpinan To Manurung tidak bermaksud untuk
mengabaikan kecerdasan manusia dan menggantikan
pemahaman manusia dan perasaan sebagaimana sebuah
mesin. Ketaatan pada kepemimpinan ini menjamin hak
masyarakat dan kemajuan kecerdasan masing-masing individu.
Sebagaimana logika kemunculan Batara Guru pada situasi
masyarakat dalam kondisi sianre bale To Manurung datang
untuk membebaskan semua bentuk perbudakan politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Suatu gagasan mengatakan
bahwa perbudakan telah berakhir di dunia sekarang ini adalah
analogi palsu. Meskipun saat ini kita tidak melihat perbudakan
kuno di sebagian besar pelosok dunia, namun perbudakan
sedang dilakukan dengan cara yang lebih modern. Hal itu
sangat jelas ditunjukkan oleh John Bellamy Foster (2006)
dalam Naked Imperialism bahwa Amerika Serikat dengan
kekuatan militer dan ekonominya di bawah tuntunan
kapitalisme global sedang menjalankan perangkat dan
88

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

perangkap era barbarian di dunia.


Perbudakan sekarang malah semakin meluas dalam
segala macam bentuk perbudakan seperti perbudakan
ekonomi, perbudakan politik, dan jenis perbudakan lainnya.
Kepemimpinan dan pemerintahan To Manurung sangat
manusiawi bahwa dia tidak akan menghukum dan membunuh
orang yang tidak bersalah, bukan pula sebuah revolusi buta
yang mengambil keuntungan dari individu-individu untuk
mencapai kemenangan dan kekuasaan.
Citra masyarakat To Manurung adalah kebaikan. Dalam
masyarakat dengan kepemimpinan To Manurung, orang saling
membantu satu sama lain tanpa intrik apapun. Di manapun
seseorang melakukan kejahatan, tidak peduli siapa dia akan
dihukum langsung tanpa pengecualian. Ia akan mengembalikan sifat fitrawi manusia berupa kecenderungan pada
kasih sayang, keadilan dan kebaikan. Bentuk adaptasi lain dari
pemerintahan To Manurung di zaman teknologi dan informasi
yang sangat canggih adalah kepemimpinan dan pemerintahan
yang akan diperlengkapi dan dilindungi oleh perangkat
elektromagnetik komputerisasi yang punya intensitas,
sensitifitas dan keakuratan yang tinggi. Ia dapat
mengidentifikasi semua alat-alat sesuai dengan instruksi
program untuk menghentikan atau mengalihkan sesuatu yang
ingin menyerang wilayah kepemimpinannya.
Regenerasi
Fenomena
keberhasilan seorang Batara
Guru
berikutnya adalah melahirkan generasi Batara Lattu yang
berpuncak pada putra mahkota Sawerigading. Sawerigading
kemudian
menjadi
ikon
kepahlawanan
yang
tiada
bandingannya.
Seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang
mampu menciptakan generasi pelanjut. Dalam situasi apapun
seorang pemimpin sejati punya tanggung jawab besar untuk
mendapatkan dan memberikan inspirasi pada orang lain.
Pemimpin sejati harus mempersiapkan generasi baru yang
akan mengawal dan mengikuti dengan sempurna apa yang
telah dirintisnya. Pemimpin yang bijak memunyai rencana
untuk generasi berikutnya. Ia harus terus membina orang lain
untuk mengambil tempatnya. Dan Batara Guru telah
89

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

melahirkan seorang kesatria tanpa tanding: Sawerigading.


Untuk memelihara dan mencetak generasi yang bisa
dipilih dan dijadikan pemimpin maka dalam budaya dan tradisi
Bugis Makassar dilakukan lewat prinsip yang dikenal dengan
tellu cappa (Tiga Ujung).
Ada yang patut menjadi keprihatinan kita bahwa prinsip
tellu cappa tidak dipahami secara utuh oleh masyarakat umum
maupun dari kalangan intelektual yang ada di tanah BugisMakassar. Semakin parah karena pemahaman mereka hanya
merujuk dan berlandaskan dengan apa yang dipahami oleh
kaum intelektual yang lahir dan tumbuh di luar luar wilayah
peradaban Bugis-Makassar (Ilmuwan Barat). Kerancuan
memahami tellu cappa terletak pada cara memahami secara
gradual yang kemudian hanya menekankan pada dimensi
kekuasaan. Selain itu komponen tellu Cappa tersebut dilihat
secara gradual dan saling terpisah bahwa keberadaan sebuah
ujung lidah (Cappa Lila) mempunyai kamar tersendiri yang
terpisah dengan keberadaan ujung yang lain. Simak tulisan
Gregory Acciaioli dalam Nurul Ilmi Idrus ( 2004),Behind the
Notion of Siala: Marriage, Adat and Islam among the Bugis in
South Sulawesi, berikut ini:
The three tips [tellu cappa] encompass the tongue, the knife
blade, and the penis. If a Bugis can not integrate himself with
the local leaders by diplomatic consultation (by the tip of his
tongue), he may have to resort to armed battle (by the tip of his
knife blade). But, best of all, he will be able truly to integrate
himself in the new community by marrying one (or more) of the
local women (by the tip of his penis).
Dari keterangan tersebut dapat kita lihat betapa logika
pemikiran dari penjelasan mengalami lompatan, tidak runtut
dari ujung tujuan dan maksud yang ingin dicapai dari ketiga
tellu cappa tersebut. Artinya bahwa penjelasan tersebut tidak
memunyai pemahaman yang utuh terhadap konsep tellu
cappa. Ungkapan dari pemikiran di atas dapat dinilai hanya
berdasarkan- kalau bukan- pada dugaan semata, penelitian
yang tidak lengkap data, atau ketidakmampuan penulis
(Acciaioli) dalam membaca dan memahami data. Akhirnya
yang disuguhkan adalah sebuah penjelasan yang tidak utuh
sekaligus cara pandang yang menyimpang.

90

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

Wujud lompatan dan ketidakruntutan penjelasan


tersebut adalah ketika menggunakan ujung lidah pada dimensi
kekuasaan dan ujung kelamin pada dimensi sosial atau
komunitas. Pemahaman dan penjelasan yang demikian sangat
dangkal, menyimpang, dan tidak berlaku universal sekaligus
merendahkan manusia Bugis-Makassar terkhusus bagi kaum
perempuan. Ada bias gender: Laki-laki dengan kodrat
kekuasaan dan perempuan dengan kodrat obyek kekuasaan.
Semestinya tellu cappa dipahami sebagai sebuah
komponen yang utuh (Integrated) dan bersifat simbolik.
Simbolik artinya ada pesan (Petanda/Signified) yang lebih
dalam dari sekadar materialnya (Penanda/Signifier).
Dengan demikian prinsip tellu cappa akan lebih
bernuansa filosofis yang merupakan bagian dari sebuah
konsep kepemimpinan seorang manusia Bugis-Makassar.
Nuansa filosofis membawa cappa (ujung) bernilai universal
yang melingkupi segenap dimensi kehidupan manusia. Untuk
menemukan universalitas makna cappa maka harus
ditempatkan sebagai fondasi dari tiga bentuk materialnya
(penanda). Oleh karena itu pemahaman yang benar untuk
cappa adalah ketajaman, fokus, visi dan misi.
Kekuatan ketajaman, daya fokus, dan energi visi-misi
tersebut kemudian diimplementasikan atau diwujudkan dalam
bentuk materialnya sesuai pada setiap waktu, situasi dan
kondisi apapun. Tiga bentuk ujung yang berbeda-beda adalah
simbolisasi untuk merespon bahwa manusia Bugis-Makassar
harus memiliki ketajaman, fokus, visi-misi guna melihat secara
cerdas waktu, situasi dan kondisi yang pas untuk ditonjolkan
sesuai dengan situasi, kondisi dan waktu yang sedang
dihadapinya. Dalam telaah kebudayaan, bentuk penanda dari
sebuah petanda seiring dengan perkembangan zaman
memungkinkan
terjadi
perubahan
bentuk
sementara
petandanya bagi manusia bersifat abadi. Jadi, cara yang benar
memahami tellu cappa adalah menempatkan cappa sebagai
dasar filosofis dan paradigma dari tiga bentuk materialnya. Jika
dicerminkan pada teori struktural ala Marxis maka cappa
adalah infrastruktur sedangkan tiga bentuk material:Lidah,
Badik, dan Penis adalah suprastruktur. Menurut pemikiran
Marxian, infrastruktur menempati posisi yang selalu dan sangat
mempengaruhi suprastruktur (Karatani, 205; 139). Manifestasi
91

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

dan perwujudan suprastruktur sangat ditentukan cara pandang


dan pemikiran infrastruktur.
Dari sini kemudian bisa dipahami bahwa sejak awal
mula peradaban manusia Bugis-Makassar sudah bisa
memahami dan memiliki konsep kepemimpinan yang
membedakan dengan konsep kekuasaan. Selanjutnya bisa
dikatakan bahwa manusia Bugis-Makassar bukan jenis
manusia yang haus akan kekuasaan yang ditandai dengan
status jabatan tertentu. Manusia Bugis lebih mengedepankan
kepemimpinan diri yang membentuk karakter tanpa mengenal
ruang, waktu dan situasi khusus untuk mewujudkan dan
melaksanakannya.
Konsep kepemimpinan yang berkarakter tersebut
membuat manusia Bugis-Makassar setiap hari memperlakukan
dan menjaga ketajaman tellu cappa dengan baik. Ia akan
berkata jujur (Ujung Lidah), bersikap tegas (Ujung Badik), dan
pernikahan atau integrasi sosial yang transenden (integrasi
religious- tidak berzina) (Ujung Penis). Menjaga ketajaman dari
ketiga ujung tersebut hanya bisa dilakukan manakala
disandarkan pada visi-misi, tujuan dari karakter kepribadian
dan kepemimpinan seorang manusia Bugis-Makassar. Dengan
pemuliaan dan penjagaan dari ketiga ujung tersebut, maka
yang menjadi titik fokus tujuannya dengan sendirinya juga
adalah mulia. Sehingga ketika manusia Bugis-Makassar meraih
kekuasaan maka kekuasaan itu akan dimuliakan dengan
pengabdian totalitas, bersikap kesatria dengan rivalnya dan
menjadi teman setia dengan pasangannya. Intinya, tellu cappa
berujung pada kepemimpinan diri dengan memuliakan diri
sekaligus memuliakan dan menghormati apa dan siapapun di
muka bumi. Manusia tellu cappa tidak akan bertindak
merendahkan dan menghinakan orang lain sekalipun itu
musuhnya.
Demikian halnya sebuah badik setiap saat harus
dipelihara
dan
dijaga
ketajamannya
dengan
tidak
mempergunakannya secara serampangan yang tidak sesuai
dengan prinsip kepemimpinan yang berkarakter dari seorang
manusia Bugis-Makassar. Manusia Bugis-Makassar yang bisa
menjaga ketajaman sebuah badik dengan memperlakukannya
dengan baik dari segala bentuk penyelewengan dan tindak
penyimpangan. Bersamaan dengan waktu badik tersebut akan
92

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

menjelma menjadi benda pusaka yang memiliki kesaktian,


keajaiban dan keistimewaan. Badik pusaka hanya kemudian
akan diwariskan pada pelanjut kepemimpinan yang dianggap
bisa menjaga ketajamannya (cappa) dari benda pusaka
tersebut. Oleh karena itu dalam tradisi bugis-Makassar antara
kepemimpinan dan benda pusaka seringkali tidak bisa
dipisahkan (Ahimsa, 2007:109). Jadi salah satu tradisi manusia
Bugis-Makassar dalam pengalihan kepemimpinan ditandai
dengan adanya penyerahan benda pusaka. Benda pusaka
tersebut bisa diartikan sebagai mandat legal seseorang untuk
menduduki jabatan kekuasaan. Dalam tradisi Bugis-Makassar
pula, menjaga dan memelihara kesaktian benda pusaka di
sebut dengan Arajang (Bugis) (Adhan, 2009:404) dan
Gaukang atau Kalompoang (Makassar) (Ahimsa 2007:108).
Hanya dengan cara tersebut maka pesan dan makna
terdalam dari prinsip tellu cappa bisa digali dan dicapai dengan
baik. Sebaliknya melakukan pendangkalan makna, seperti
cappa lila (ujung lidah) hanya diartikan sebatas diplomasi,
cappa badik diartikan sebatas perang, cappa laso artinya
persetubuhan akan mengakibatkan tidak saja melakukan
degradasi dan desakralisasi tetapi juga melakukan
penyimpangan terhadap makna sakral dari tellu cappa dalam
budaya manusia Bugis-Makassar. Sangat penting bagi kita
semua untuk mewujudkan pemahaman yang benar dalam
rangka membangkitkan semangat baru bagi generasi
selanjutnya guna mencapai kejayaan dan kebesaran
peradaban kita sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu.
Warisan Sistem Pemerintahan
Bentuk warisan generasi berikutnya tidak hanya
berdasarkan keturunan saja, tetapi yang lebih penting adalah
sebuah warisan generasi dalam bentuk sistem. Batara Guru
mewariskan sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan
sistem Kontrak Pemerintahan (Factum Subjectionis Contract of
Government). Menurut Abidin (1983) bahwa ada tiga
pemerintahan yang telah melakukan kontrak pemerintahan
tersebut: Luwuq, Bone dan Gowa (pada tahun 1582) yang
disebut Cappagalae dan ketiga kerajaan itu memiliki dua
anggota sekutu yaitu Wajo dan Soppeng yang disebut
Tellumpoccoe dengan Pammana. Kontrak pemerintahan itu
93

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

masih dipakai pada zaman Belanda. Di antara mereka yang


melakukannya adalah Andi Jemmabarue, Datu Luwuq
(sebelum Perang Dunia II); Andi Mappanyukki, Arumpone, dan
Andi Wana Sultan Salahuddin, Datu Soppeng (9 Januari 1941);
Andi Mangkona, Arung Matoa Wajo (1933) dan Andi Ijo
Karaeng Lalolang, Somba Gowa (1936). (ibid.).
Asumsi yang bisa dibangun dari sistem pemerintahan To
Manurung yang dikenal dengan kontrak pemerintahan itu
adalah: 1. Kekuasan yang diemban oleh To Manurung
merupakan mandat dan anugerah dari Tuhan. 2. Kontrak
pemerintahan menggambarkan hak dan tanggung jawab para
penguasa dan rakyat, mereka menunjukkan bahwa kekuasaan
raja tidak mutlak. 3. Pengalihan wewenang kekuasaan lebih
dititikberatkan pada otoritas, kapabilitas, dan kompetensi dan
bukan melalui kekuatan fisik dan paksaan berupa money politic
dan rekayasa suara. 4. Transformasi wewenang dari
masyarakat ke pemerintah adalah fondasi dasar dari sebuah
kerajaan atau negara. Artinya ketika wewenang tersebut tidak
lagi sesuai dengan keinginan rakyat maka secara substansial
negara itu sudah runtuh.
Tentu saja pada zaman penantian To Manurung,
dengan mengambil sosok Batara Guru sebagai ikon pemimpin
sosial yang datang menyelesaikan segenap karut marut
persoalan yang sekarang kita hadapi perlu dilakukan sebuah
persiapan untuk mempercepat kemunculan Batara Guru. Salah
satu cara adalah dengan melakukan replika Batara Guru baik
dalam bentuk pendekatan interaksi simbolik (tindakan),
behavior (perilaku), maupun fungsionalitas struktural (norma
individu/masyarakat). Adapun replika Batara Guru jika dilihat
dari aspek tersebut maka tafsir sosial untuk menentukan dan
memilih sosok Batara Guru adalah mencari sosok guru besar
(Professor) yang dipandang punya kompetensi, dedikasi,
semangat, antusias untuk membangun Sulsel.
Guru besar pun di sini, dengan memakai pendekatan
sosiolog Ali Syariati (1986) dalam bukunya Membangun Masa
Depan Islam sekaligus melihat eksistensi Batara Guru sebagai
seorang To Manurung itu sendiri sebagai manusia langit yang
turun ke bumi maka seharusnya guru besar tidak dimaknai
sekadar seorang yang punya tingkatan akademik formal yang
paripurna akan tetapi lebih menekankan seseorang yang punya
94

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

kepekaan nuansa langitan sekaligus kebumian. Hanya saja


pada konteks kekinian dan kesinian kita maka figur yang paling
mungkin menjadi replika Batara Guru secara sosiologis adalah
professor itu tadi.
Pandangan tersebut tidak serta merta muncul. Ada fakta
dan pemikiran yang kuat melandasinya, diantaranya;1. Secara
leksikal atau makna dasar Batara Guru itu artinya guru besar
(Professor). 2. Ada fakta sejarah yang membuktikan bahwa
ketika guru besar Prof.Dr.Ahmad Amiruddin memimpin Sulsel
sebagai gubernur, Sulsel mengalami kemajuan yang pesat baik
dari segi kesejahteraan sosial, pendidikan, keamanan,
toleransi, kerukunan dan prestasi lainnya. 3. Teori politik Plato.
Menurut Plato pemimpin ideal adalah seorang filsuf. Plato
mengeluarkan teori itu karena kegerahan dan kekecewaan
terhadap sikap dan perilaku para pemimpin politik pada
zamannya. Filsuf pada zaman Plato dipandang dan dimaknai
sebagai guru besar. 4. Hal ini juga dimaksudkan untuk
melakukan counter wacana terhadap kesalahan dan kekeliruan
aturan politik yang hanya memediasi pihak partai politik
(Parpol) sebagai pimpinan pemerintahan. Peraturan itu tidak
hanya mencederai Hak Azasi Manusia (HAM) tetapi juga
demokrasi itu sendiri.
Berdasarkan konsep To Manurung tersebut maka yang
paling mungkin untuk dilakukan dalam rangka sebuah rekayasa
sosial di masa depan yang lebih baik adalah: Pertama,
menghidupkan kembali konsep tradisi dan budaya Sulsel yang
telah mapan baik dalam lingkungan sosial masyarakat umum,
pemerintahan, maupun dalam institusi pendidikan pada semua
level. Kedua, semua strata sosial saling bahu-membahu,
bekerjasama dan bergotong royong untuk mempersiapkan
kedatangan To Manurung dengan membuat agenda-agenda
untuk menyambut kedatangan To Manurung sebagaimana
yang dilakukan masyarakat Tana Toraja. Ketiga, dengan
segala kekurangan yang ada di hadapan kita sekarang, dengan
konsep dan pemahaman budaya To Manurung, alih-alih
membuat kita berputus asa untuk menyongsong masa depan
yang cerah, sebaliknya menjadi trigger untuk semakin
bersemangat dan optimis menanti kedatangan situasi dan
sosok To Manurung yang mencerahkan dan menyelamatkan
kehidupan kita di masa depan.
95

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa dibangun dari makalah ini adalah
kisah To Manurung memunyai konsepsi dan pandangan yang
kuat tentang; kepemimpinan sosial dan politik, regenerasi, dan
warisan sistem pemerintahan. Adapun sistem pemerintahan To
Manurung yang dikenal dengan kontrak pemerintahan
memunyai pengertian bahwa: 1. Kekuasan yang diemban oleh
To Manurung merupakan mandat dan anugerah dari Tuhan. 2.
Kontrak pemerintahan menggambarkan hak dan tanggung
jawab para penguasa dan rakyat, mereka menunjukkan bahwa
kekuasaan raja tidak mutlak.
3. Pengalihan wewenang
kekuasaan lebih dititikberatkan pada otoritas, kapabilitas, dan
kompetensi dan bukan melalui kekuatan fisik dan paksaan
berupa money politic dan rekayasa suara. 4. Transformasi
wewenang dari masyarakat ke pemerintah adalah fondasi
dasar dari sebuah kerajaan atau negara. Artinya ketika
wewenang tersebut tidak lagi sesuai dengan keinginan rakyat
maka secara substansial negara itu sudah runtuh.
Dalam pencarian figur To Manurung sekarang ini,
dengan mengambil sosok Batara Guru sebagai ikon pemimpin
sosial yang datang menyelesaikan segenap karut marut
persoalan yang sekarang kita hadapi perlu dilakukan sebuah
persiapan untuk mempercepat kemunculan Batara Guru.
Salah satu cara adalah dengan melakukan replika Batara Guru
baik dalam bentuk pendekatan interaksi simbolik (tindakan),
behavior (perilaku), maupun fungsionalitas struktural (norma
individu/masyarakat). Adapun replika Batara Guru jika dilihat
dari aspek tersebut maka tafsir sosial untuk menentukan dan
memilih sosok Batara Guru adalah mencari sosok guru besar
(Professor) yang dipandang punya kompetensi, dedikasi,
semangat, antusias untuk membangun Sulsel khususnya dan
Indonesia secara umum.
Daftar Pustaka
Abidin, Andi Zainal. 1983, The Emergence of Early Kingdoms
in South Sulawesi; A Preliminary Remark on
Governmental Contracts from the Thirteenth to the
Fifteenth Century,Southeast Asian Studies, Vol. 20,No.4.
Adhan, Syamsurijal. 2009. BISSU YANG ENGGAN
MEMBISU,Proses Encountering Islam dan Kebugisan.
96

Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

Jurnal Al-Qalam Volume 15 Nomor 24 Juli - Desember


2009.
Ahimsa, Heddy Shri. 2007, Patron Klien di Sulawesi Selatan:
Suatu Kajian Fungsional-Struktural, Yogyakarta: Kepel
Press.
Budiarjo.1997. Demokrasi di Indonesia, Jakarta:Gramedia
Caldwell, Ian. 1995, Power, State and Society Among the PreIslamic Bugis In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 151 (1995), no: 3, Leiden.
Fauziah. 2001, Analisis Nilai-Nilai Kehidupan Batara Guru
dalam Naskah Mula Tau. Laporan Penelitian Sejarah
dan
Nilai
Tradisional
Sulawesi
Selatan.
Makassar:BKSNT.
Foster, John Bellamy .2006. Naked Imperialism: America's
Pursuit of Global Hegemony, Monthly Review Press
Hamid, Abu. 1965, Tinjauan Struktural atas Peranan-peranan
dalam Kehidupan Masyarakat Bone. Makassar, Unhas
Fakultas Sastra; Skripsi.
Idrus, Nurul Ilmi. 2004, Behind the Notion of Siala: Marriage,
Adat and Islam among the Bugis in South Sulawesi,
Intersections: Gender, History and Culture in the Asian.
Karatani, Kjin diterjemahkan oleh Kohso,Sabu. 2005.
Transcritique: On Kant and Marx. Cambridge,
Massachusetts (United States); The MIT Press.
Kasfir, Nelson (Editor) .1998. Civil society and democracy in
Africa: Critical Perspectives. London; Routdlege.
Koolhof, S. 1999, The La Galigo; A Bugis encyclopedia and its
growth,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,
Encompassing knowledgeIndigenous encyclopedias
from ninth-century Java to twentieth-century Riau. No: 3,
Leiden, 362- 387.
Mattulada,H.A, 1998, Sejarah,masyarakat dan Kebudayaan
Sulawesi Selatan, Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press.
Mattulada,1983. Islam di Sulawesi Selatan, dalam Agama dan
Perubahan Sosial, Taufik Abdullah (Ed). Yayasan IlmuIlmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, Jakarta.

97

Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

Paeni,Muchlis,
Edward
L.
Poelinggomang,
Ina
Mirawati. 2003, Batara
Gowa: Messianisme
dalam
Gerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna , Nyoman Kutha. 2005, Sastra dan Cultural Studies,
Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Sanusi H.M. Daeng Mattata . 1967, Luwu Dalam Revolusi,
Makassar.
Syariati, Ali. 1986, Membangun Masa Depan Islam,Bandung:
Mizan.

98

Anda mungkin juga menyukai