Anda di halaman 1dari 18

Identitas buku

Judul : KELAS KASTA (Pergulatan Kelas Menengah Bali)


Karya : Aagn Ari Dwipayana
Penerbit : Lapera Pustaka Utama
Tahun : 2001
Jumlah halaman : 298, terdiri dari enam bab

A. Pendahuluan
 Pengantar
Asumsi utama buku ini adalah fakta adanya sebuah elemen baru yang berdasarkan atas
kelas dalam masyarakat Indonesia yang bercorak kapitalistik. Sistem kapitalisme industri yang
memasuki fase monopoli di Indonesia telah mereproduksi tata produksi baru. Kelas atas dari tata
produksi baru tersebut dikonsptualisasi sebagai kelas menengah baru.
Dalam masyarakat kapitalis industri, kelompok ini diidentifikasi sebagai kaum terpelajar
kota yang bergelar, bekerja sebagai professional, manajer, dan ahli-ahli atau tokoh-tokoh
intelektual yang tidak terikat dalam suatu lembaga formal atau lembaga yang berorientasi profit.
Mereka merupakan kelas yang beroperasi produktif dengan mengandalkan pengetahuan
mutakhir dan keterampilan canggih.
 Kritik Terhadap Studi Kelas Menengah Di Indonesia
Kekaguman terhadap keberhasilan kaum borjuis yang menjadi kelas menengah di Eropa,
menyebabkan studi kelas menengah di Indonesia sekarang ini sering menyamakan kelas
menengah sebagai borjuis.
Perdebatan mengenai apakah kelas menengah sama dengan borjuis memperlihatkan
belum dicapai suatu konsensus tentang batas-batas sosiologis “kelas menengah”, dalam studi
tentang kelas menengah di Indonesia.
Analisa Weber tentang kelas konsumsi terlihat pengaruhnya dalam pembahasan Howard
Dick tentang kelas menengah di Indonesia, menurutnya pilihan keluarga kelas menengah pada
gaya hidup baru mempunyai implikasi terhadap hubungan-hubungan mereka terhadap tetangga
kampungnya, dan begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, tulisan dalam buku ini didasari oleh kemauan yang besar untuk
menambal kurangnya perhatian yang diberikan pada analisa kelas menengah di Indonesia.
Dengan demikian kebutuhan untuk benar-benar mengetahui prinsip-prinsip pertumbuhan dan
perkembangan kelas menegah sangat diperlukan.
 Potret Studi Tentang Bali
Pilihan untuk memilih Bali dalam tulisan ini adalah karena kurangnya studi kelas kelas
menengah di daerah di luar Jawa. Disamping itu juga tidak terlepas dari adanya model
masyarakat ”berkasta” atau di Bali dikenal dengan “wangsa”, yang dikonseptualisasikan sebagai
masyarakat yang mempunyai struktur kelas yang ketat. Struktur kelas yang ketat ini terutama
berlaku pada masa kerajaan (foedalisme) hindu di Bali. Dengan demikian struktur kelas dan
dinamika kelas menengah baru di Bali sekarang ini sangat erat kaitannya dengan struktur kelas di
Bali pada masa foedalisme-agraris dan dengan transformasi struktur kelas yang menandai
terbentuknya formasi kelas yang baru.
Clifford geertz melihat gambaran ekspresif kerajaan Bali pada abad ke-19, yang selalu
tampil dalam bentuk upacara, ritual dan drama kolosal. Kesemuanya merupakan bagian dari
obsesi yng menguasai budaya Bali, yaitu perbedaan social dan kebanggaan status.
Selain perspektif cultural antropologis, studi tentang kekuasaan di Bali juga diwarnai oleh
pendekatan strktural. Pendekatan struktural dalam melihat struktur sosial masyarakat Bali
diawali oleh Miquel cavaroubias dalam bukunya Island Of Bali. Dalam buku itu ditulis bahwa
foedalisme bangsawan hindu Bali tertumpang di atas komunalisme patriakhal Bali. Pemerintahan
foedal yang berabad-abad lamanya menurut dia tidak berhasil melenyapkan kebebasan
komunitas desa yang tertutup.
Untuk menjembatani pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam studi tentang Bali,
tulisan dalam buku ini mencoba untuk memberikan pemikiran alternative, dengan mencari
benang merah hubungan antara berbagai kelas di bali pada masa kerajaan.
Sedangkan dalam hubungan struktur kelas dan kebudayaan, tulisan dalam buku ini
memahami kebudayaan Bali sebagai sesuatu yang tidak hadir secara sendirinya dan berperan
sebagai penyebab tunggal yang mempengaruhi perkembangan masyarakat Bali (struktur sosial).
Kebudayaan Bali hadir dalam sosoknya yang sementara sebagai silang pengaruh dari struktur
sosial yang berkembang sepanjang sejarah.
Penetrasi kolonialisme Belanda, berdirinya negara Indonesia modern dan tumbuhnya
kota-kota modern di Bali menandai hancurnya pranata kelas lama Bali. Sekaligus merupakan
awal dari transisi dari pranata kelas agraris foedal menuju pranata kelas kapitalistik.
Hal-hal tersebut diatas, mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang mendasar dalam
struktur sosial masyarakat Bali, yakni terjadi transformasi dari bangsawan ke kelas pedagang.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa semua paparan diatas merupakan titik-titik terpenting dari
pergulatan wacana intelektual dalam buku ini. Sehingga dalam upaya memahami eksistensi kelas
menengah baru di Bali, yang menjadi tema dasar buku ini, diperlukan pengkajian tentang
formasi kelas di masa lalu suatu proses perubahan sosial-ekonomi yang telah terjadi di Bali.
B. Pemetaan Teoritik : Dari Kelas Sampai Hegemoni Budaya
 Struktur Kelas
Istilah kelas sudah banyak digunakan, yaitu pertama kali ketika zaman Romawi kuno dan
sepanjang sejarahnya telah banyak mengalami pergeseran makna. Penguasa Romawi kuno
menggunakan istilah kelas dalam konteks penggolongan terhadap para pembayar pajak, mereka
membagi masyarakat Romawi menjadi dua golongan yaitu : golongan kaya dan golongan miskin
(proletariat). Dalam struktur kelas, dapat memperjelas bagaimana bentuk-bentuk sosial yang
berstruktur mempunyai dasar pada hubungan kelas. Menurut Marx, pembagian kelas tidak
ditemukan di dalam semua bentuk masyarakat, kelas adalah ciptaan sejarah dan akan lenyap di
masa yang akan datang. Marx melihat bahwa dalam setiap struktur sosial masyarakat hanya ada
satu cara produksi yang akan menimbulkan dua kelas. Satu kelas dominan yaitu kelas yang
berkuasa, serta kelas yang dieksploitasi oleh kelas dominan.
Dalam bukunya yang berjudul “Primitive Culture” E.B. Taylor mendefinisikan
kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat
istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Kelas-kelas sosial membentuk kondisi ekonomi yang berbeda, mempunyai
kepentingan yang berbeda, masing-masing kelas membentuk sistem kepercayaan sendiri. analisa
Marx tentang hubungan antara kelas dominan dan ideologi (budaya) lebih lanjut dikembangkan
oleh Gramsci, dalam teorinya tentang hegemoni ideologi dalam masyarakat kapitalistik. Dalam
teorinya Gramsci menaruh perhatian besar pada peran ideologi. Kekuasaan hegemoni atau
kekuasaan mayoritas rakyat untuk memerintah diperoleh melalui pendidikan ideologi oleh
aparatur-aparatur ideologis negara.
 Struktur Kelas Dan Sistem Kasta
Istilah kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi yang ditandai oleh
strata sosial endogenous dalam perkawinan, yang mempraktekkan penolakan ritual terhadap
susunan dan tidak memungkinkan terjadinya mobilitas. Hassan sadely menyebut sistem kasta
sebagai model struktur kelas tertutup yang ketat. Sistem kasta atau sistem yang mirip dengannya
diperkirakan terjadi dalam beberapa masyarakat Hindu sejak 2000 tahun silam.
Lima kasta umum telah menentukan struktur masyarakat India : pertama, Brahmana atau
rohaniawan. Kedua, Ksatria atau pemimpin politik, pemerintahan dan pahlawan. Ketiga Waisya
atau pekerja dan pedagang. Keempat, Sudra pelayan buruh dan petani dan kelima Hariyan atau
individu yang hina dan najis.
Untuk memahami perubahan struktur kelas, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
dialektika yang tidak lepas dari perjungan kelas. Dalam perkembangan selanjutnya, Ralph
dahrendorf mengatakan bahwa perubahan struktur kelas dimungkinkan, bilamana dalam
masyarakat terjadi mobilitas wewenang dan posisi. Dalam kondisi ideal perubahan struktur kelas
harus dipahami dari konsep kepentingan nyata, kepentingan laten, dari kelompok kepentingan,
dan kelompok semu. Sementara dalam kondisi tidak ideal, fackor yang dapat mempengaruhi
perubahan struktur kelas adalah teknik dan personal, politik, kondisi sosial serta rantai
komunikasi. Dalam tulisan ini, transformasi struktur kelas akan mengikuti kerangka pemahaman
kaum Marxis tentang transformasi struktur kelas dalam dialektika historis, yakni diawali
perubahan dari tata produksi agraris ke tata produksi kapitalis sebagai tata produksi dominan.
Perubahan tata produksi itu akan diikuti dengan transformasi struktur kelas dimana kelas
kapitalis menjadi kelas yang dominan menggantikan kelas aristokrasi foedal.
 Struktur Masyarakat Foedalistik Dan Struktur Masyarakat Kapitalistik
Dalam struktur sosial ekonomi masyarakat agraris, tanah dimiliki dan dikuasai oleh
sekelompok tuan tanah, atau aparat pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan
tanah. Pola distribusi memperlihatkan hubungan yang sangat tidak seimbang dan eksploitatif
antara tuan tanah dan produsen utama. Aristokrat tuan tanah mengeruk keuntungan melalui
pajak, pelayanan berupa tenaga tanpa upah dan berbagai mekanisme lainnya.
Dalam banyak masyarakat agraris, kelas petani merupakan kelas yang terbesar, juga
merupakan kelas yang tereksploitasi. Banyak beban berat yang ditanggung petani yaitu pajak,
selain pajak yaitu kerja paksa. Sistem ini memaksa petani untuk bekerja seharian untuk penguasa
mereka dan negara.
Kedudukan seseorang dalam tatanan sosial masyarakat agraris ditentukan secara turun
temurun. Banyak yang meninggal tetap sebagai anggota kelas dimana dia dilahirkan. Ini berarti
bahwa mobilitas sosial tidak mungkin terjadi atau bahkan tidak ada.
Seorang analis kapitalisme yang paling terkenal dalam sejarah adalah Karl marx.
Menurutnya, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu
untuk meraih keuntungan maksimal. Marx menyebut individu sebagai kaum borjuis. Kaum
borjuis mempekerjakan sekelompok orang yang disebut marx sebagai proletar. Golongan ini
memproduksi barang-barang yang dihasilkan. Jelaslah dalam keyakinan Marx, bahwa kapitalis
tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang semata, tetapi keuntungan itu berasal dari
proses produksi yang dilakukan oleh golongan proletar.
Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur kelas. Tipe-tipe mobilitas sosial secara
garis besar ada dua macam, yaitu mobilitas sosial horizontal dan vertikal. Mobilitas sosial
horizontal yaitu peralihan individu dari suatu kelompok sosial yang sederajat. Sedangkan
mobilitas vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu dari suatu kedudukan kelas ke
kelas yang lain yang tidak sederajat.
 Kontradiksi Kultural Dalam Transisi
Menurut Daniel bell penolakan radikal terhadap borjuasi, tidak akan terjadi melalui
saluran politik melainkan melalui lapangan kebudayaan. Begitu juga dengan masyarakat
foedalisme, pertentangan kelas terjadi melalui kontradiksi-kontradiksi budaya dalam masa
transisi. Dengan kata lain kultur hegemoni foedalisme tidak akan mampu mengintegrasikan
budaya industri, hal ini disebabkan karena nilai-nilai diskriminasi kasta, adanya hak-hak
istimewa dari kaum aristrokrat tuan tanah dalam masyarakat foedal agraris, seperti Bali pada
masa kerajaan, akan sulit berekonsiliasi dengan budaya egalitarian yang dibawa kapitalisme.
 Batasan Sosiologis Kelas Menengah
Kelas menengah dapat dikonsepsikan sebagai terdiri dari beberapa kelas atas dari
beberapa tata produksi yang tidak dominan. Kelas menengah bukan suatu kelompok sosial yang
berada diantara kelas atas dan kelas bawah dalam suatu tata produksi. Diantara kelas menengah
(dari berbagai tata produksi kurang dominan) itu, yang terpenting bagi perubahan sosial adalah
kelas menengah dari tata produksi yang semakin lama semakin kuat. Kelas menengah ini disebut
sebagai kelas menengah baru. Dalam kebanyakan masyarakat kapitalis mutakhir, kelompok ini
diidentifikasikan sebagai kaum terpelajar kota yang bergelar, bekerja sebagai professional,
manajer, ahli atau tokoh-tokoh intelektual yang tidak terikat dalam suatu lembaga formal atau
lembaga yang berkiblat laba. Mereka merupakan kelas atas dari tata produksi yang belum
dominan, yang beroperasi produktif dengan mengandalkan pengetahuan mutakhir dan
keterampilan canggih. Modal dan asset eksploitasi mereka yang utama dalam kajian para sarjana
dua dekade terakhir ini disebut dengan julukan-julukan seperti modal budaya, modal manusiawi,
modal simbolik atau asset organisasional. Oleh karena itu dapat dibedakan apa yang disebut
sebagai kelas mengah baru, yakni kaum professional, intelektual serta manajer. Sedangkan kelas
menengah lama sering diidentifikasikan sebagai kaum borjuis. Seperti yang ditunjukkan dalam
sejarah perubahan sosial di Eropa, kaum borjuasi sebagai kelas menengah pada waktu itu, berada
di luar hubungan eksploitatif antara kaum aristokrat tuan tanah dengan petani.
 Transformasi Struktur Kelas Dan Kelas Menengah Baru Di Bali
Struktur sosial masyarakat Bali pada masa kerajaan menampakkan bentuk dan susunan
yang bersifat foedal. Raja memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas. Intervensi
koonialisme Belanda memberikan pengaruh terhadap struktur kelas masyarakat Bali. Kehadiran
kolonialisme lebih jauh mengarah kepada pengurangan dan pengebirian hak-hak politik dan
ekonomi golongan bangsawan. Namun setelah revolusi kemerdekaan Indonesia, kerja pelayanan
perseorangan parekan (petani) kepada tuan tanah (puri) secara resmi dilarang. Disamping itu,
transformasi terjadi salah satunya akibat diterapkannya politik Etis oleh belanda dan juga
kemajuan pendidikan pada zaman revolusi kemerdekaan. Sehingga banyak golongan parekan
(petani) ini memperoleh pendidikan.
C. Struktur Kelas Pra Kolonial Di Bali
Struktur ekonomi yang utama pada masa kerajaan di Bali, adalah struktur ekonomi yang
bersifat agraris. Sedangkan usaha kerajinan seperti pembuatan pakaian dan garam dilakukan
sebagai pekerjaan sambilan.
 Pola Penguasaan Atas Tanah
Pada masa kerajaan di Bali, masalah-masalah yang menyangkut kepemilikan tanah dan
sewa tanah bersumber pada hadiah-hadiah tanah yang diberikan oleh raja kepada nggota kerajaan
dan pejabat - pejabat negara serta kepada lembaga-lembaga keagamaan, yang mana tanah-tanah
milik raja tersebut terutama terletak di daerah pusat kerajaan. Petani-petani yang menggarap
sawah terbagi menjadi dua kategori : yaitu petani-petani merdeka, yakni mereka yang telah
diberi status sebagai orang merdeka, yang tidak dikenai pajak tanah dan tidak melakukan wajib
kerja (ayahan). Kategori kedua adalah petani penggarap tanah, merupakan masyarakat petani
biasa yang membayar pajak tanah, melakukan wajib kerja dan dapat dijadikan budak.
 Sistem Ayahan
Ayahan adalah sebutan pengutipan tenaga kerja, yaitu kewajiban untuk membayar pajak
dalam bentuk tenaga kerja yang dikenakan terhadap orang-orang dalam berbagai status. Mereka
melakukan kewajiban seperti membuat jalan-jalan umum, ikut berperang, membuat tanah baru.
 Perdagangan Pra Kolonial
Dalam bidang perdagangan, pulau Bali terpencil dari aktivitas perdaangan dengan dunia
luar,terutama dari perdagangan-perdagangan yang menggunakan kapal-kapal besar. Meskipun
demikian, bukan berarti pulau Bai terpencil sama sekali dari perdagangan dengan daerah luar
Bali. Perdagangan pada waktu itu berada di tangan orang-orang Cina, Mandar Dan Bugis.
Dengan kapal-kapal mereka yang kecil mereka berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Bali Selatan
seperti, Kuta, pantai timur dan pantai barat atau di Bali utara seperti pelabuhan Buleleng,
Sangsit, dan Temukus. Pedagang-pedagang itu mendatangkan dari luar Bali barang-barang yang
dibutuhkan oleh masyarakat Bali pada waktu itu seperti candu, gambir, Tekstil, uang kepeng
yang merupakan alat pembayaran sah di Bali, barang-barang besi, mesiu, dan senjata api.
Barang-barang tersebut mereka tukar dengan barang-barang hasil bumi Bali, misalnya beras,
minyak, kelapa, tembakau, kulit sapi, kapas, telor asin, dendeng dan kain tenun bali. Raja - raja
di Bali yang memiliki pelabuhan di wilayahnya, memperoleh penghasilan dari perdagangan ini.
Tiap-tiap barang yang keluar dan masuk dikenai upeti atau cukai. Dan pemungutan cukai ini
diserahkan kepada seorang petugas yang disebut Subandar. Tetapi penduduk Bali pada masa itu
memang tidak berminat untuk berpijak di dunia perdagangan. Mereka adalah petani-petani yang
mengerjakan sawah.
 Struktur Sosial
Struktur sosial masyarakat bali pada masa kerajaan, menampakkan bentuk dan susunan
bersifat foedal. Raja memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas. Raja dan keluarganya
dalam sistem sosial Bali disebut sebagai golongan “Puri”, yang merupakan golongan pemilik
sebagian besar tanah yag ada di wilayah suatu kerajaan di Bali.
 Dominasi Kelas Puri
Tanah milik kaum puri umumnya sangat luas, yang diperoleh dngan peperangan, atau
dengan mengambil tanah orang-orang yang tidak mempunyai warisan langsung. Ini berarti
kehidupan sebagian besar kaum tani bersangkut paut bahkan tergantung dengan kehidupan kaum
puri. Dalam soal pengairan kaum puri juga memainkan peranan penting untuk mengkoordinasi
kegiatan-kegiatan subak dan menyelesaikan perselisihan antara subak yang satu dengan subak
lainnya. Kaum puri juga berperan dalam memberikan hak untuk membuka tanah baru, membuat
bendungan, dan membentuk subak baru. Dalam bidang perdagangan, kelas puri menguasai
pertukaran dan memonopoli perdagangan asing lewat kontrak-kontrak dengan orang-orang Cina.
Dalam bidang kesenian, agama, dan kebudayaan umum kelas puri tidak kurang pentingnya
sebagai penggerak, penyebar dan pemersatu. Pertama-tama, upacara besar-besaran yang
dilakukan dalam istana mereka, seperti upacara pemotongan gigi, ngaben, dan upacara di pura.
 Hegemoni Budaya Tri Wangsa
Dalam kitab Suci Bhagawadgita IV, 13 dan XVIII, 14 memperjelas arti konsep warna
sebagai berikut : “Catur wana kuciptakan menurut pembagian guna dan karma meskipun aku
sebagai penciptanya ketahuilah aku mengatasi gerak perubahan”.
Dengan demikian konsepsi catur warna seperti yang ditulis dalam kitab suci Wedha itu,
memperlihatkan pembagian masyarakat berdasarkan pekerjaan yang disebut karma. dan sifat,
bakat serta pembawaannya yang disebut guna.
Namun dalam aplikasinya dalam masyarakat Bali terjadi penyimpangan terhadap
konsepsi catur warna tersebut. Munculnya kerajaan Gelgel setelah penaklukan Gadjah mada
pada tahun 1434 merupakan awal dari manipulasi terhadap konsep warna. Pembagian
masyarakat berdasarkan warna dimanipulasi menjadi pola hubungan yang lebih bersifat tertutup,
yang dikenal dengan nama kasta atau di Bali dikenal dengan wangsa.
Konsep wangsa merupakan pemilahan masyarakat berdasarkan atas keturunan, dimana
anak seorang Brahmana tetap menjadi seorang Brahmana. Para bangsawan puri merupakan kelas
dominan dalam pranata wangsa yang disebut Ksatria wangsa dan hanya anak keturunan Ksatrya
merupakan golongan yang sah untuk memerintah. Tetapi Wesia dalam konsep wangsa bukan
merupakan golongan pedagang seperti dalam konsep catur warna, melainkan golongan pengabdi
yang mana golongan ini terdiri dari para pejabat kerajaan, fungsionaris kerajaan seperti patih,
dan pelayan yang mengabdi kepada kelas dominan. Ketiga golongan di atas disebut sebagai Tri
Wangsa.
Yang terjadi dalam masyarakat Bali pada masa kerajaan adalah dikembangkan suatu
hegemoni budaya oleh kelas dominan untuk mensahkan kedudukan mereka dan membuat suatu
aturan khusus yang tidak memberi peluang untuk terjadinya mobilitas vertikal ke atas dari kelas
yang didominasi. Legitimasi kelas dominan ditandai dengan pemakaian bahasa yang berstruktur,
perbedaan perlakuan dalam adat pergaulan, kematian maupun perkawinan, antara golongan tri
wangsa dan parekan. Dengan adanya kultur Tri Wangsa ini kelas petani-parekan tetap
menghormati dan tunduk pada kelas bangsawan. Para bangsawan puri dianggap sebagai
keturunan dewa-dewa dan mempunyai kekuasaan yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.
 Sistem Kebahasaan Yang Berstruktur
Terjadinya kesenjangan antara yang terkandung dalam konsepsi warna menjadi wangsa
seperti terurai di atas, meletakkan dasar-dasar perubahan struktur masyarakat Bali, sekaligus
mewujudkan aliansi dua kekuatan yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Aliansi
pertama adalah kelompok Brahmana, Ksatrya, dan Wesya yang sering disebut Tri Wangsa, serta
di pihak lain di luar ketiga kelompok tersebut, yaitu Sudra wangsa yang juga disebut “ Jaba
wangsa”.
Adanya struktur sosial dari kehidupan wangsa di Bali membawa konsekuensi pada sistem
komunikasi antar personal yang berasal dari wangsa yang berbeda. Semakin jauh terhadap tinggi
rendahnya wangsa, semakin tampak struktur kebahasaan yang digunakan kedua belah pihak.
Pada prinsipnya tingkat-tingkat bicara itu dibedakan atas bentuk sangat halius, halus, dan
kasar. Perbedaan dalam konteks bahasa ini, terletak pada makna sosialnya. Petani parekan yang
berwangsa sudra, harus memakai bentuk bahasa sangat halus ketika berbicara dengan kelas puri,
pejabat negara dan brahmana yang termasuk tri wangsa. Di kalangan petani parekan bahasa yang
digunakan sehari-hari dalam komunikasi antar perorangan adalah bahasa kasar.
 Ketimpangan Perlakuan Sosial
Wujud dari ketimpangan perlakuan sosial dalam budaya Bali antara golongan tri wangsa
dengan golongan sudra dapat terlihat lebih jauh lagi dalam adat jamuan makan atau bertamu.
Kedua, kewenangan menggunakan berbagai properties dan simbol keagamaan serta ketiga
terlihat dari adat perkawinan.
Apabila seorang brahmana wangsa atau ksatrya wangsa mengunjungi rumah seorang
jabawangsa akan memperoleh pelayanan yang istimewa. Tetapi berlaku sebaliknya jika
jabawangsa berkunjung ke rumah tri wangsa. Bentuk ketimpangan kedua terlihat dalam
kewenangan menggunakan berbagai properti atau simbol-simbol adat dan keagamaan. Dalam hal
upacara Ngaben misalnya, hanya mereka yang keturunan puri saja yang berhak memakai “ naga
banda” dan “lembu”, sementara kaum petani parekan menggunakan wujud topeng boma,
bedawang.
Disamping itu, ketimpangan dalam penggunaan properties adat juga terlihat dari
perbedaan arsitektur rumah. Hanya keluarga puri dan brahmana saja yang dapat menggunakan “
batu merah bata” sebagai bahan tembok dan bangunan rumahnya. Sedangkan golongan parekan
biasanya hanya menggunakan “tanah” sebagai tembok rumah atau pagarnya. Terdapat pula
sebutan yang berbeda untuk rumah. Rumah milik kaum puri disebut puri atau purian, rumah
brahmana disebut gray, rumah pejabat kerajaan disebut “jero” sedangkan rumah milik petani
disebut “umah”. Selanjutnya dalam hal perkawinan ada ketidaksamaan perlakuan sosial dalam
adat perkawinan. Apabila ada tri wangsa yang mengambil jabawangsa, maka hal ini dapat
dibenarkan. Akan tetapi, bilamana putri dari tri wangsa diambil oleh laki-laki jaba, maka
dianggap sebagai pelanggaran besar.
D. Kolonialisme, Kapitalisme Dan Transformasi Struktur Kelas Di Bali
Awal mula keruntuhan pranata foedalisme agraris di Bali yang menandakan transformasi
struktur kelas, akar historisnya dapat dilacak dari kehadiran “orang-orang asing” di Bali, yang
disebut “wong sebrang”. Wong sebrang inilah yang kemudian mereproduksi sebuah pranata
ekonomi-politik baru yang disebut dengan kapitalisme. Kehadiran wong sebrang di Bali
sebenarnya sudah terlihat pada abad XVI, hal ini dimulai dengan pendaratan ekspedisi Cornelis
de houtman pada tahun 1597 di Bali.
 Integrasi Dalam Sistem Kapitalisme Internasional
Sejak awal abad ke-19 mulai dilakukan kontak dagang antara Bali dengan kantor dagang
asing bangsa Eropa yaitu Inggris. Semakin meningkatnya perdagangan pulau Bali dengan dunia
luar, khususnya dengan Singapura menyebabkan Bali secara tidak langsung telah melakukan
integrasi dengan sistem perdagangan dunia. Atau dengan kata lain Bali telah memasuki sistem
kapitalisme internasional. Sejalan dengan meningkatnya volume perdagangan pada abad XIX
antara Bali dan Singapura yang dilakukan oleh para pedagang cina, mandar dan bugis,
menimbulkan kekhawatiran pemerintah hindia belanda. Oleh karena itu, Belanda mendirikan
perusahaan perdagangan Belanda di bali. Berdirinya perusahaan dagang Belanda ini dapat
dipandang sebagai titik awal dari kehadiran kapitalisme di Bali. Kapitalisme yang masuk di Bali
merupakan jenis kapitalisme yang berlangsung sebelum revolusi industri, yang diebut Karl marx
sebagai kapitalisme perdagangan (merkantilisme).
 Intervensi Politik Kolonial
Intervensi kolonialisme Belanda ternyata lebih jauh lagi mengarah pada pengurangan dan
pengebirian hak-hak politik dan ekonomi golongan puri. Pengurangan hak-hak itu salah satunya
tampak pada dihapusnya tradisi Mesatya yaitu tindakan bunuh diri seorang istri dengan
menjatuhkan diri di api apabila suaminya meninggal yang secara historis berlaku di kalangan
puri dihapus. Akhir dari proses pengebirian hak-hak politik raja-raja Bali dan kaum puri adalah
penyerangan bersenjata terhadap beberapa kerajaan di Bali untuk menaklukkan kekuatan politik
terakhir kaum puri.
 Perubahan Lembaga Agrarian Dan Munculnya Perkebunan
Ayahan pada jaman Belanda diganti dengan wajib kerja yang dinamakan “kerja rodi”.
Dengan demikian lembaga pemilikan tanah sejak jaman berkuasanya pemerintahan hindia
belanda juga mengalami perubahan, dimana tanah catu ayahan dhalem yang identik dengan
milik puri atau tanah “druwe puri” dirubah menjadi tanah hak milik individual, yakni menjadi
milik petani penyakap. Dengan perubahan lembaga pemilikan tanah ini maka terjadi
”komersialisasi tanah” di Bali, yang meliputi jual beli, sewa gadai dan lain-lain. Konsekuensi
lebih lanjut mendorong pengusaha atau pemilik modal swasta Eropa menyewa serta membuka
tanah-tanah tersebut untuk usaha-usaha perkebunan seperti karet, tembakau, kelapa, pisang, kopi,
kapuk, dan palawija lainnya.
 Berkembangnya Kapitalisme Perdagangan Dan Moneisasi
Dengan dibukanya perkebunan di Bali, maka jenis komoditi pertanian mengalami
perluasan yang pada akhirnya mendorong lahirnya pajak baru. Dengan pajak-pajak ini dilakukan
perbaikan irigasi, transportasi, komunikasi, pembangunan sekolah dan yang paling penting
adalah didirikan pasar-pasar baru untuk memperlancar perdagangan. Pada masa pemerintahan
Belanda ini pedagang-pedagang umumnya bukan orang Bali, melainkan berasal dari daerah-
daerah lain, terutama daerah pantai Utara Jawa, Sumatera, Sulawesi yang datang ke kota-kota di
Bali pada tahun 1910. Disamping komersialisasi tanah dan moneisasi (pengenalan ekonomi
uang) lewat pajak, campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam bidang perekonomian juga
terlihat dengan didirikannya pabrik-pabrik.
 Tumbuhnya Kota-Kota Dan Urbanisasi
Berkembangnya sektor perdagangan menyebabkan tumbuhnya kota-kota baru sebagai
pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya mendorong terjadinya
mobilitas geografis berupa urbanisasi. Urbanisasi disebabkan oleh faktor tumbuhnya sektor
perdagangan di kota dan rata-rata pemilikan tanah yang rendah di pedesaan, urbanisasi
disebabkan juga oleh terjadinya ”proses pemiskinan petani”. Hal ini dikarenakan semakin
banyaknya pajak baru yang dikenakan pada petani, seperti pajak pemotongan hewan, pajak
pasar, pajak rodi dan sebagainya.
 Kehadiran Negara Bangsa
Dengan keluarmya Undang-Undang Pokok Agrarian pada tahun 1960, yang salah
satunya memuat land reform membawa akibat pada melemahnya posisi kaum puri yang pada
umumnya berbasis pada penguasaan tanah. Dalam undang-undang pokok agrarian tahun 1960,
diatur tentang pembatasan pemilikan dan penguasaan atas tanah., dengan menetapkan ketentuan
maksimum dan minimum luas tanah yang dapat dipunyai orang. Selain itu dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No.1 tahun 1951 kekuasaan golongan puri di bidang
hukum semakin melemah yakni dihapusnya peradilan adat oleh pemerintah nasional di Jakarta.
Pada tahun 1950 sampai 1960-an tumbuh dan berkembang partai politik berdasarkan ideologi-
ideologi yang ada. Partai politik yang berideologi nasionalis dan sosial, seperti PNI dan PKI
yang berorientasi partai massa, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai kalangan
untuk bergabung. Munculnya nation-state dan terbukanya Bali sebagai komponen di dalamnya
telah membawa pendidikan modern, bentuk-bentuk pemerintahan modern dan kesadaran politis
modern ke pulau ini.
 Berkembangnya Kapitalisme Industri Di Bali
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda maka berdirilah usaha dagang yang
didirikan oleh orang Bali untuk melanjutkan aktivitas perdagangan yang telah ditinggalkan oleh
perusahaan dagang Belanda. Disamping itu dalam rangka perekonomian nasional timbul juga
organisasi yang bernama koperasi. Peningkatan aktivitas perdagangan paska kemerdekaan,
terutama pada tahun 1950-an ditunjang dengan adanya perusahaan pelayaran pelni yang
mengadakan pelayaran dari Surabaya-Buleleng-Ampenan-Benoa-Buleleng-Surabaya, seminggu
sekali atau empat kali sebulan. Berkembang juga industri kerajinan pariwisata di Bali ternyata
menyerap tenaga kerja yang cukup besar di Bali. Tata produksi kapitalisme industri sudah mulai
tumbuh dan berkembang di Bali melalui industri pariwisata sebagai motor pendorongnya.
 Bangsawan Bali Menghadapi Perubahan
Pada awal tahun setelah revolusi kemerdekaan banyak dari kaum puri menduduki
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan daerah. Ini disebabkan karena mendapatkan akses
pendidikan yang pertama setelah kekuasaannya pemerintah belanda. Generasi pertama dari
golongan puri yang mendapatkan akses pendidikan ini menempati jabatan-jabatan yang
dikhususkan bagi bumiputera, seperti dalam pemerintahan swapraja, sebagai punggawa, pegawai
dan sedahan agung. Sedangkan dalam bidang ekonomi, melemahnya arti penting tanah sebagai
faktor produksi yang dominan akan membuat mereka melakukan transformasi ke struktur
ekonomi yang baru yaitu transformasi kelas foedal ke kelas borjuasi. Ini salah satunya dilakukan
dengan mendirikan perusahaan-perusahaan yang diberi nama firma. Perdagangan kaum puri
memperlihatkan kemauan untuk memindahkan landasan material (perekonomian) dari
kedudukan keluarganya, yaitu dari kepemilikan tanah dan kekuasaan politik ke perdagangan
industri.
 Mobilitas Vertikal Ke Atas Dari Petani Parekan
Masuknya kolonialisme Belanda, berdirinya negara bangsa Indonesia yang absolute dan
perubahan struktrur ekonomi di Bali membuka ketertutupan sosial untuk terjadinya mobilitas
vertikal ke atas dari kelas yang didominasi. Tahap awal dari mobilitas vertikal ke atas dari kelas
petani parekan dimungkinkan dengan dibukanya kesempatan yang lebih luas dibidang
pendidikan dan jabatan - jabatan politik pemerintahan pada masa kolonialisme Belanda. Tetapi
yang paling utama tentunya adalah kesempatan petani penyakap untuk menggarap tanah
miliknya sendiri terlepas dari kewajiban-kewajiban yang sangat berat seperti yang dibebankan
pada waktu jaman kerajaan.
E. Kelas Menengah Baru Di Bali
Sistem kapitalisme industri di Bali telah memproduksi tata produksi baru, yang mana tata
produksi baru tersebut semakin lama semakin kokoh karena didukung oleh kekuatan produksi
yang semakin kuat. Kapitalisme mutakhir memunculkan masyarakat paska industri, dengan
menekankan dimensi-dimensi non ekonomi dalam upaya memperkuat posisinya dalam struktur
sosialnya. Dimensi non ekonomi tersebut adalah semakin dominannya peranan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam sistem produksi. Dunia paska industri lebih tergantung pada produksi ilmu
pengetahuan daripada produksi kapitalis dan berdasarkan diri pada kekuatan intelektual.
Kelas atas dari tata produksi baru ini dirumuskan menjadi “kelas menengah baru”. Dalam
masyarakat kapitalis industri, kelas menengah baru dihubungkan dengan kehadiran kaum
terpelajar kota yang bergelar, kelompok professional, manajer dan ahli tokoh-tokoh intelektual.
 Akar Sosial Dari Kelas Menengah Baru
Kelas menengah baru yang sedang berkembang di Bali, dilihat dari akar kelasnya, berasal
dari kelas bangsawan dan dari kelas petani parekan. Kehadiran kapitalisme perdagangan di Bali
yang dibawa oleh kolonialisme Belanda membawa akibat pada perubahan struktuur di Bali.
Dimana kapitalisme perdagangan inilah memproduksi ”generasi pertama” kelas menengah baru
Bali, yang terdiri dari para pegawai administrasi pemerintahan belanda dan guru. Peralihan
kekuasaan dari belanda kepada republik, yang diikuti dengan berkembangnya sektor
perdagangan dan tumbuhnya sektor industri melahirkan “generasi kedua” dari kelas menengah
baru di Bali. Dalam generasi kedua ini tersebar secara luas sektor perdagangan yang menjadi
andalan daerah Bali pada waktu itu. Sektor perdagangan di Bali berkembang pesat pada paska
kolonialisme, setelah banyak perusahaan-perusahaan belanda dan jepang yang diambil alih oleh
”orang-orang” Bali, yang dikenal dengan “nasionalisasi perusahaan asing” pada tahun 1958.
Dari “generasi ketiga” dari kelas menengah baru di Bali muncul pada masa orde baru,
setelah berkembang dengan pesatnya sektor industri dan jasa di Bali, akibatnya “boom”
pariwisata. Kelas menengah baru generasi ketiga ini terlibat dalam berbagai sektor, baik sebagai
manajer, tenaga professional, teknisi teknik penjualan, maupun tenaga professional tata usaha.
 Kelas Menengah Baru Dari Bangsawan
Kepentingan untuk tetap dominan dalam struktur sosial yang baru,menyebabkan kaum
puri melakukan “mobilitas vertikal menurun” masuk ke dalam kelas menengah baru. Mereka
mulai memasuki birokrasi kolonial, sektor perkebunan dan perdagangan untuk bekerja sebagai
pegawai administrasi pemerintahan kolonial, pegawai perusahaan perdagangan, pegawai
perkebunan dan guru sekolah rakyat.
Setelah berakhirnya kekuasaan belanda, maka jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan
banyak diduduki oleh kelas menengah dari bangsawan.
 Kelas Menengah Baru Dari Parekan Jabawangsa
Didirikannya sekolah-sekolah rakyat sampai ke desa-desa oleh pemerintah kolonial
belanda, menyebabkan adanya kesempatan dari kelas petani jabawangsa untuk melakukan
“mobilitas vertikal ke atas”, memasuki posisi kelas menengah baru. Mereka mulai bekerja
sebagai guru, pegawai perusahaan perdagangan, pegawai perkebunan dan pegawai administrasi
kolonial. Ini dimungkinkan karena jabatan-jabatan politik pemerintahan juga mulai dibuka untuk
keturunan petani parekan ini.
 Kontradiksi Kultural Kelas Menengah Baru
Dominasi kaum puri dan kaum petani parekan pada masa kerajaan terlegitimasi dengan
hegemoni budaya tri wangsa. Dengan hegemoni budaya tri wangsa tersebut landasan kultural
dari dominasi kelas puri dapat diperoleh. Perubahan struktur kelas Bali yang diakibatkan dengan
kehadiran kolonial belanda, kehadiran negara bangsa dan perubahan struktur ekonomi,
memunculkan kekuatan baru yang disebut dengan kelas menengah baru. Hal tersebut menjadikan
kelas menengah yang berasal dari kaum puri mempunyai kepentingan untuk tetap
mempertahankan dominasi kelas yang termasuk didalamnya dominasi budaya tri wangsa.
Sedangkan kelas menengah yang berasal dari kaum petani parekan yang dalam ideologi tri
wanga disebut dengan jabawangsa, dalam kehadirannya akan membawa nilai-nilai kultural yang
menghendaki dihapuskannya hegemoni budaya triwangsa. Mereka menyebarkan nilai-nilai
persamaan, yang dibalut dengan ideologi modernisasi. Dengan kata lain, posisi hegemoni tri
wangsa sejalan dengan kehadiran kelas menengah baru mengalami guncangan dan mengalami
krisis relevansinya.
 Surya Kanta : Awal Perlawanan Kultural
Protes sosial terhadap sistem kasta diawali protes terhadap kepincangan dan sistem adat
istiadat, ini muncul untuk pertama kalinya secara terbuka pada tahun 1921, ketika di kota
Singaraja lahir sebuah perkumpulan yang diberi nama “Suita Gama Tirta”. Sedangkan pada masa
kerajaan perlawanan kelas petani parekan yang disebut jabawangsa lebih berwujud pada
perlawanan budaya yang bersifat tidak langsung yakni melalui karya sastra berupa dongeng,
mitos dan yang lainnya. Apa yang tersirat dalam dongeg ini merupakan protes dalam bentuk
yang masih tersembunyi terhadap susunan masyarakat yang terhegemoni budaya tri wangsa
(terutama kaum puri) ditentukan melalui kelahiran. Setelah tidak berfungsinya perkumpulan “
Suit Agama Tirta” diganti dengan berdirinya perkumpulan Shanty pada tahun 1923 di kota
Singaraja juga. Seperti perkumpulan sebelumnya, para pendiri dan anggota Shanty juga terdiri
atas golongan catur wangsa. Jadi merupakan korporasi berbagai wangsa yang ada di Bali dalam
mengadakan pembaharuan agama. Akan tetapi korporasi di berbagai bidang dalam memajukan
bidang agama dan sosial di dalam masyarakat Bali tidak lama berjalan, karena timbulnya
pertentangan dalam tubuh organisasi Shanty. Tetapi ada hal lain yang turut juga menentukan
perpecahan itu dan ada sangkut pautnya dengan soal kasta yang ada dalam masyarakat Bali.
Pertentangan itu kemudian semakin jelas, ketika I Gusti Caratenaya, salah seorang berasal dari
golongan tri wangsa yang memimpin penerbitan berkala Shanty Adnyana, mengubah nama
bulletin itu pada tahun 1924 menjadi “Bulletin Adnyana”. Bulletin ini lebih banyak memuat
pandangan-pandangan golongan tri wangsa (brahmana, ksatrya dan wesya). Akibatnya segera
golongan sudra yang menamakan dirinya jabawangsa, membuat bulletin tandingan ,”Surya
Kanta” pada tahun 1925. Badan penerbit surya kanta itu juga menamakan dirinya ”perkumpulan
surya kanta”.
Namun serentak di tengah berkecamuknya pertentangan paham antara bali adnyana dan
surya kanta ini, timbul kekhawatiran di kalangan masyarakat Bali akan terjadinya perbedaan
paham yang semakin meluas. Sebagai landasan untuk mencegah hal itu, sejumlah pemuka
masyarakat, dipimpin I Gusti Bagus Jelantik, mendirikan lembaga baru yang netral dengan
menghimpun seluruh golongan pada tahun 1926. Organisasi baru yang berdiri di Klungkung itu
diberi nama “Perkumpulan Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali”. Dalam tujuannya dengan
tegas dicantumkan : melenyapkan pertentngan paham yang terjadi di bali utara (singaraja) serta
memulihkan persatuan antara keempat lapisan masyarakat sesuai dengan dharmanya masing-
masing. Agar dasar-dasar permusuhan dan pertentangan paham antara catur wangsa, dihapuskan
untuk membina kesejahteraan.
 Kontradiksi Kultural Paska Kolonial
Setelah kemerdekaan terdapat perbedaan adat perkawinan melalui keputusan DPRD
Tingkat I Bali, yaitu dihapuskannya Peswara (pelanggaran perkawinan antar wangsa).
Disamping soal perkawinan, dalam keputusan DPRD itu juga diatur tentang perlidungan
terhadap penggarap tanah yang sebagian besar adalah jabawangsa yang mendapatkan setengah
dari hasil panen, berbeda dari sebelumnya yang hanya mendapatkan sepertiga atau bahkan
seperempat.
Pada era Demokrasi liberal (1950-1959), kontradiksi kultural ini terwujud dalam
perbedaan loyalitas kepartaian. Polarisasi terjadi antara tiga buah partai yang ada, yakni Partai
Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia. Kelas mengah baru
dari tri wangsa, khususnya dari kelas puri banyak yang memasuki dan memberikan loyalitasnya
pada PNI. Saat itu hegemoni budaya tri wangsa masih tetap dominan, yang tercermin dalam
ketimpangan perlakuan sosial. Hal tersebut nampak dalam pada kaum petani jabawangsa
pertimbangan untuk tidak dikenai ayahan berbeda dengan kaum puri, yang mendapatkan
pembebasan dari ayahan itu karena adanya hak istimewa sesuai dengan hegemoni budaya tri
wangsa. Pola foedalisme inilah yang menjadi bahan kampanye partai komunis Indonesia di Bali,
sehingga khadiran PKI mendapatkan sambutan yang cukup besar dari massa petani.
 Ketegaran Budaya Dominan
Ketegaran budaya dominan merupakan gejala dimana kelas menengah jabawangsa secara
tidak disadari tetap memelihara symbol-simbol tradisional yang terdapat dalam hegemoni budaya
tri wangsa (foedalisme) dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain ketegaran budaya
dominan adalah suatu gejala budaya berupa bertahannya dan dipeliharanya simbol-simbol
budaya lama dalam kelas menengah baru jabawangsa.
Gejala ketegaran budaya dominan yang terjadi di kalangan kelas menengah baru
jabawangsa terlihat dalam apikasi struktur kebahasaan, ketimpangan perlakuan sosial dan
penggunaan properties dalam bangunan dan adat.
Pertama, dalam struktur kebahasaan, ketegaran budaya dominan nampak dari
kecenderungan kelas menengah baru jabawangsa sering menggunakan “bahasa bali kasar”
dengan orang yang berada di bawahnya dari segi ekonomi atau kepangkatan. Sedangkan
bawahannya akan menggunakan bahasa bali halus dan hormat, walaupun bawahannya adalah
sama-sama jabawangsa. Dengan demikian perbedaanya kalau dahulu berdasarkan wangsa, maka
sekarang berdasarkan atas status ekonomi.
Kedua, dalam perlakuan sosial, kelas menengah baru jabawangsa sering memperlakukan
bawahannya sebagai ”parekan”. Hal ini tentunya sesuai dengan hegemoni budaya tri wangsa
yang berdasarkan kesetiaan tradisional. Kalau sekarang ayahan didasarkan “hutang budi” karena
ditolong untuk mendapat pekerjaan dan mendapat promosi kenaikan pangkat dalam jabatan
birokrasi. Sedangkan dalam penggunaan properties adat dan bangunan, dijumpai gejala dimana
kelas menengah baru jabawangsa dalam mendirikan tempat tinggal cenderung membuatnya
seperti gaya bangunan menyerupai istana”keraton kaum puri”.
Dalam bentuknya sekarang ini kelas menengah baru mengadopsi dan memanipulasi
kembali hegemoni budaya foedal, dengan menggunakan “kasta ekonomi” sebagai
pembenarannya. Fenomena ini tidak terlepas dari hegemoni budaya “kapitalisme” yang
memberikan pembenaran bahwa hanya kelas yang mempunyai kemampuan ekonomi saja yang
dapat menempati kelas dominan dalam kasta ekonomi baru.
Bila menilai buku ini sebenarnya cukup baik, dengan lengkapnya konten materi yang
disajikan dalam buku ini membuat pembaca semakin dengan mudah memahami sejarah dan
perkembangan kelas kasta yang ada di Bali. Mulai dari awal pembahasan disajikan teori-teori
kelas sosial dari tokoh-tokoh ahli yang terkenal di dunia seperti karl marx dan weber, sehingga
pembaca mengerti arti dari kelas social sebelum menginjak ke kelas kasta di Bali. Setelah
dikenalkan paparan teori-teori lalu dilanjutkan dengan kondisi sosial terlebih dahulu di bali mulai
dari masa kerajaan, pra kolonial, kemerdekaan, paska kemerdekaan yang disajikan dengan
lengkap sampai diberikan pula pandangan ke arah mana nanti kelas kasta di Bali itu berkembang
di masyarakat Bali. Akan tetapi disamping memiliki kelebihan, buku ini juga memiliki
kekurangan yaitu pada struktur bab nya, yaitu sangat banyaknya sub bab yang ada di masing-
masing bab, ditambah pula banyaknya pengulangan materi yang diulang lagi di bab selanjutnya,
hal tersebut membuat kebingungan pembaca dalam mencermati isi buku.

Anda mungkin juga menyukai