Anda di halaman 1dari 1

Nama : Hamid Afkar Aulia

NIM : 22/502681/SA/21743
Prodi : Antropologi Budaya
Mata Kuliah : Etnografi Jawa, Bali, dan Sunda

Metafora Konseptual Kasta Dalam


Masyarakat Bali: Kajian Linguistik Kognitif

Artikel karya I Putu Ari Putra Maulana dan Ida Bagus Gede Dharma Putra ini
membahas tentang interpretasi makna kasta dari sisi linguistik berdasarkan metafora konsepsi
kasta dalam masyarakat Bali. Kasta sendiri dipahami sebagai sebuah tatanan pengelompokan
masyarakat Hindu-Bali berdasarkan perkawinan, pembagian kerja, dan hierarki yang
akhirnya membentuk sistem pemilahan berupa kasta tinggi dan rendah. Klasifikasi kasta Bali
ada empat; Brahmana (tokoh agama), Ksatria (pejuang dan penguasa), Waisya (pedagang),
dan Sudra (buruh). Sistem kasta di Bali muncul karena strategi politik Majapahitisasi di Bali,
kemudian dihidupkan lagi pada era kolonial untuk kepentingan politik mereka, dimana
dengan adanya revitalisasi sistem kasta, mereka menggunakan penguasa lokal sebagai
‘wayang’ sehingga mudah mengendalikan masyarakat dan memecah belah penguasa lokal.
Sistem kasta di Bali dikenal dengan istilah ‘Catur Wangsa’ dimana sistem klasifikasi kasta
berdasarkan keturunan. Melalui artikel ini, penulis berusaha mengkaji pemetaan
konseptualisasi masyarakat Bali terkait kasta menggunakan pendekatan lingusitik kognitif
untuk mengungkap sisi metafora konseptual. Penelitian ini kemudian mengungkap adanya
lima varian konseptualisasi masyarakat Bali mengenai kasta.
Pertama, kasta sebagai kendaraan. Konsep ini menggambarkan bahwa kasta
dimetaforakan sebagai roda, dimana suatu kendaraan tidak dapat berjalan tanpanya. Tiap
kasta memiliki peranan masing-masing sebagai penggerak kehidupan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang jika dapat bersinergi dengan baik maka akan membentuk
kehidupan yang harmonis layaknya kendaraan yang bergerak di jalan mulus tanpa adanya
halangan. Kedua, kasta sebagai pakaian. Kasta dibahasakan sebagai suatu’kekusutan’ yang
menggambarkan kompleksitas serta fungsi kasta sebagai tameng untuk melegitimasi
kepentingan politik. Selain itu, sifat ‘kusut’ juga identic dengan sifat pakaian serta juga bisa
menggambarkan fungsi pakaian sebagai gambaran identitas, karakteristik, dan kelas sosial.
Ketiga, kasta sebagai sesuatu yang unik. Fungsi utama kasta adalah sebagai ‘sekat’ atau
‘pembeda’ antar golongan. Oleh karena itu, perbedaan yang ditimbulkan oleh sistem kasta
dianggap sebagai sesuatu yang unik. Keempat, kasta sebagai pengelompokan. Inilah konsepsi
utama masyarakat mengenai kasta, yang menggolongkan orang dalam kelas-kelas sosial. Dari
sinilah kemudian muncul aturan-aturan dan larangan-larangan tertentu yang tidak boleh
dilampaui tiap golongan. Kelima, kasta sebagai suatu keindahan. Kasta dianggap sebagai
suatu keindahan karena memberikan warna unik terhadap kebudayaan Bali. Karena adanya
sistem kasta, terlahir berbagai produk seni seperti tarian, lagu, hingga karya sastra.
Dari penjelasan di atas, lima konsepsi masyarakat Bali terhadap kasta saling
berhubungan satu sama lain. Selain itu, mayoritas pandangan masyarakat terhadap sistem
kasta berupa pandangan negatif karena dianggap diskriminatif. Pertanyaan yang muncul
adalah kenapa sistem kasta yang sudah ditentang oleh masyarakat secara luas begitu sulit
untuk dihapus? Pertanyaan ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai